Selasa, 11 November 2014

Skripsi Ekonomi: Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Periode 2006-2010

  BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Skripsi Ekonomi:  Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Periode 2006-2010
Pertumbuhan  ekonomi  merupakan  salah  satu  indikator  penting  dalam  melakukan  analisis  tentang  pembangunan  ekonomi  yang  terjadi  pada  suatu  negara.  Krisis  ekonomi  moneter  yang  pernah  dialami  bangsa  Indonesia  telah  menyadarkan akan pentingnya landasan ekonomi yang lebih kokoh dalam upaya  mendukung  pertumbuhan  ekonomi  yang  berkesinambungan.  Berbagai  langkah  yang  ditempuh  secara  berangsur-angsur  dapat  membuahkan  hasil,  seperti  misalkan  tercapainya  kestabilan  ekonomi  makro  yang  mulai  pulih  seperti  tercermin  pada  perkembangan  nilai  tukar  rupiah  yang  cenderung  menguat  dan  menunjukkan  kestabilan  dalam  beberapa  tahun  belakangan  ini.  Perkembangan  nilai  tukar  memberikan  kontribusi  tersendiri  dalam  menurunkan  tingkat  inflasi  dan memungkinkan berlangsungnya peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi  secara singkat merupakan proses kenaikan output  per  kapita  dalam  jangka  panjang  yang  menekankan  pada  tiga  hal  yaitu  proses,  output  per  kapita  dan  jangka  panjang.  Proses  yang  menggambarkan  perkembangan  perekonomian  dari  waktu  ke  waktu  yang  lebih  bersifat  dinamis,  output  perkapita  yang  mengaitkan  dengan  aspek  output  total  (GDP)  dan  aspek  jumlah penduduk. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan secara sederhana sebagai  kenaikan  output  total  (PDB)  dalam  jangka  panjang  tanpa  memandang  apakah    kenaikan  itu  lebih  kecil  atau  lebih  besar  dari  laju  pertumbuhan  penduduk  atau  apakah diikuti oleh pertumbuhan struktur perekonomian atau tidak.
Beberapa kemajuan tersebut tidak lepas dari adanya penerapan kebijakan  moneter dan kebijakan fiskal serta didukung oleh adanya perbaikan-perbaikan di  sisi  mikro  serta  perbaikan  bank  dalam  penyaluran  kreditnya  ke  sektor  riil,  walaupun  pertumbuhannya  belum  seperti  yang  diharapkan.  Dilihat  dari  sektor  moneter, apabila perkembangan inflasi yang membaik, terkendalinya uang primer  atau  jumlah  uang  yang  beredar  serta  nilai  tukar  rupiah  yang  stabil  dapat  secara  bertahap menurunkan suku bunga sehingga terjadi proses pemulihan ekonomi.
Berbagai  pihak  yang  terlibat  dalam  pembangunan  ekonomi  seperti  misalnya  Bank  Sentral  yang  juga  berperan  dalam  perekonomian  dan  status  kelembagaanya  dalam  suatu  negara.  Pembangunan  ekonomi  yang  telah  berlangsung  cukup  lama  di  Indonesia  menuntut  berbagai  prasyarat  untuk  mencapai keberhasilannya. Salah satunya adalah keterlibatan sektor moneter dan  perbankan, yang merupakan salah satu unsur penting dalam proses pembangunan  tersebut.  Disatu  sisi  hal  ini  dapat  dipahami  mengingat  sektor  moneter  dan  perbankan  memang  mempunyai  fungsi  yang  mampu  memberi  pelayanan  pada  bekerjanya  sektor  riil,  baik  kegiatan  investasi,  produksi,  distribusi  maupun  konsumsi.
Terjadinya penurunan nilai tukar rupiah disertai dengan terputusnya akses  sumber dana luar negeri menyebabkan turunnya kegiatan produksi secara drastis  sebagai akibat tingginya ketergantungan produsen domestik terhadap barang dan    jasa  impor.  Para  pengusaha  mengalami  kesulitan  dalam  memenuhi  kewajibankewajiban luar negeri yang segera harus dipenuhinya.
Kebijakan  bank  sentral  yang  sebagai  otoritas  moneter  dalam  bentuk  pengendalian  besaran  moneter  untuk  mencapai  perkembangan  kegiatan  perekonomian  yang diinginkan,  yaitu stabilitas ekonomi makro  yang antara lain  dicerminkan  oleh  stabilitas  harga  (rendahnya  laju  inflasi),  membaiknya  perkembangan  output  riil  (pertumbuhan  ekonomi),  serta  cukup  luasnya  kesempatan kerja yang tersedia. Dalam pelaksanaanya, strategi kebijakan moneter  yang  dilakukan  setiap  negara  berbeda-beda,  tergantung  pada  tujuan  yang  ingin  dicapai serta mekanisme transmisi moneter yang diyakini.
Mengacu pada tujuan yang dapat dicapai, dalam hal ini kebijakan moneter  diarahkan  pada  sasaran  jamak,  yaitu  tidak  saja  kestabilan  harga  (inflasi)  tetapi  juga  untuk  mendorong  output  dan  kesempatan  kerja.  Namun  semua  pilihan  sasaran kebijakan moneter (baik inflasi, output, maupun kesempatan kerja) sangat  sulit dicapai secara bersamaan karena seringkali pencapaian sasaran-sasaran akhir  tersebut  bersifat  kontradiktif,  sesuai  dengan  teori  Philips  Curve,  inflasi  yang  rendah  biasanya  menuntut  trade  off  berupa  tingkat  pengangguran  yang  tinggi.
Demikian  pula  sintesa  teori  neoklasik  dan  temuan  empiris  di  berbagai  negara  bahwa  dalam  jangka  panjang  kebijakan  moneter  hanya  berdampak  pada  inflasi  meskipun dalam jangka pendek dapat berpengaruh pula terhadap output.
Dengan  demikian,  bank  sentral  dihadapkan  kepada  dua  pilihan,  yaitu  memilih suatu sasaran  seoptimal mungkin dengan mengabaikan sasaran lainnya,    atau  mengusahakan  semua  sasaran  dapat  tercapai  namun  tidak  secara  optimal.
Dewasa  ini,  semakin  banyak  bank  sentral  telah  menerapkan  kebijakan  moneter  yang lebih memfokuskan kepada sasaran tunggal, yaitu stabilitas harga. Strategi  kebijakan  moneter  yang  diterapkan  disejumlah  bank  sentral  untuk  mencapai  sasaran akhir tersebut juga berbeda-beda tergantung pada kondisi perekonomian  yang  bersangkutan  dan  mekanisme  transmisi  moneter  yang  diyakini.  Dengan  adanya UU No. 23 Tahun 1999, kebijakan moneter yang sebelumnya mempunyai  sasaran ganda (pencapaian inflasi yang rendah dan peningkatan kesempatan kerja)  menjadi  hanya  mempunyai  sasaran  tunggal,  yaitu  pencapaian  kestabilan  nilai  rupiah dalam arti kestabilan harga (inflasi) maupun kestabilan nilai tukar rupiah  (kurs).  Kondisi  ini  tentunya  menimbulkan  berbagai  konsekuensi  dalam  pencapaiannya,  seperti  bagaimana  dukungan  kebijakan  moneter  dalam  memelihara  momentum  pemulihan  ekonomi.  Dalam  paradigma  ini,  peran  kebijakan  moneter  lebih  ditujukan  pada  pencapaian  kestabilan  makroekonomi  yang tercermin pada pengendalian beberapa variable ekonomi seperti kestabilan  tingkat  harga,  jumlah  uang  beredar  yang  sesuai  dengan  kebutuhan  riil  perekonomian  nilai  tukar  rupiah  yang  stabil  dan  kompetitif,  sehingga  dapat  mendukung  terjadinya  pertumbuhan  ekonomi  yang  memadai.  Berkaitan  dengan  ini,  Bank  Indonesia  terus  berupaya  mengarahkan  kebijakan  moneter  untuk  mencapai kestabilan harga jangka panjang sebagai landasan bagi berlangsungnya  pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
  Sehubungan  dengan  stabilitas  nilai  tukar,  undang-undang  tersebut  mengamanatkan  Bank  Indonesia  untuk  menjaga  stabilitas  “external  value”  dari  nilai  rupiah  yaitu  nilai  tukar,  namun  tidak  mewajibkan  Bank  Indonesia  untuk  menjadikan  nilai  tukar  sebagai  sasaran  akhir.  Dengan  demikian  hal  ini  berbeda  dengan inflasi, dimana secara tegas undang-undang mewajibkan Bank Indonesia  untuk mengumumkan sasaran inflasi  yang  akan  dicapai. Oleh karena itu, dalam  memformulasikan  kebijakan  moneter,  Bank  Indonesia  menggunakan  inflasi  sebagai  sasaran  akhir  dan  mengendalikan  fluktuasi  nilai  tukar  dalam  rangka  mencapai  sasaran  inflasi.  Sesuai  dengan  sistem  nilai  tukar  yang  mengambang  (floating exchange rate), nilai tukar rupiah tetap ditentukan oleh kekuatan pasar.
Namun demikian, mengingat kestabilan nilai tukar rupiah merupakan faktor yang  sangat penting bagi dunia usaha, maka dalam hal terjadi gejolak pada nilai tukar,  Bank Indonesia dapat melakukan intervensi di pasar valuta asing. Tujuannya tidak  lain hanya melakukan  smoothing  terhadap pergerakan nilai tukar rupiah sehingga  mengurangi faktor ketidakpastian.
Berdasarkan  Undang-Undang  No.  3  Tahun  2004,  Bank  Indonesia  diamanatkan untuk mengumumkan kepada masyarakat mengenai sasaran sasaran  moneter  yang  akan  dicapai  guna  mendukung  tercapainya  sasaran  inflasi  yang  ditetapkan oleh pemerintah (setelah berkoordinasi dengan bank Indonesia). Secara  implicit, sasaran ini telah menempatkan kebijakan moneter Bank Indonesia dalam  suatu  kerangka  kebijakan  moneter  yang  menggunakan  inflation  targeting  framework  (ITF).  Dengan  framework  ini,  penting  adanya  komitmen  antara    otoritas moneter (Bank Indonesia) dengan otoritas fiskal (Departemen Keuangan)  untuk  mentargetkan  inflasi  kedepan  yang  menurun.  Hal  ini  bertujuan  untuk  membentuk ekspektasi inflasi masyarakat yang menurun.
Babak  baru  Bank  Indonesia  ditandai  dengan  keluarnya  Undang-Undang  No.  13  Tahun  1968.  Selama  hampir  31  tahun  (Desember  1968-Mei  1999)  berlakunya  UU  ini,  Bank  Indonesia  telah  mengeluarkan  sejumlah  kebijakan  moneter yang bisa digolongkan dalam 4 periode yaitu periode stabilisasi moneter,  periode oil boom, periode deregulasi, dan periode krisis.
Periode  stabilisasi  moneter  (1968-1970)  merupakan  program  stabilisasi  dan  rehabilitasi  ekonomi.  Hal  ini  terjadi  karena  adanya  perubahan  politik  Indonesia dari rezim Soekarno ke Soeharto yang memberi pengaruh negatif pada  perekonomian.  Beberapa  kebijakan  moneter  yang  diambil  pada  masa  ini  antara  lain  peninjauan  kembali  kebijakan  kredit  perbankan.  Caranya  adalah  memperbarui  aturan  penentuan  jumlah,  arah,  dan  tingkat  bunga  yang  lebih  selektif dengan prioritas pada sektor produksi. Secara pelan namun pasti, program  stabilisasi  ekonomi  ini  membuahkan  hasil  yang  nyata.  Ini  tercermin  dari  kecenderungan  penurunan  laju  inflasi.  Kalau  pada  tahun  1965  inflasi  sebesar  635%,  mulai  tahun  1967,  1968,  dan  1969  berturut-turut  inflasi  turun  menjadi  112%, 85%, dan 10%.

Skripsi Ekonomi:  Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Periode 2006-2010

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi