BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Ekonomi: Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Periode 2006-2010
Pertumbuhan ekonomi
merupakan salah satu
indikator penting dalam melakukan analisis
tentang pembangunan ekonomi
yang terjadi pada
suatu negara. Krisis
ekonomi moneter yang
pernah dialami bangsa
Indonesia telah menyadarkan akan pentingnya landasan ekonomi
yang lebih kokoh dalam upaya mendukung pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan. Berbagai
langkah yang ditempuh
secara berangsur-angsur dapat
membuahkan hasil, seperti misalkan
tercapainya kestabilan ekonomi
makro yang mulai
pulih seperti tercermin
pada perkembangan nilai
tukar rupiah yang
cenderung menguat dan menunjukkan kestabilan
dalam beberapa tahun
belakangan ini. Perkembangan nilai
tukar memberikan kontribusi
tersendiri dalam menurunkan
tingkat inflasi dan memungkinkan berlangsungnya peningkatan
pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi secara singkat merupakan proses kenaikan
output per kapita
dalam jangka panjang
yang menekankan pada
tiga hal yaitu
proses, output per
kapita dan jangka
panjang. Proses yang
menggambarkan perkembangan perekonomian
dari waktu ke
waktu yang lebih
bersifat dinamis, output
perkapita yang mengaitkan
dengan aspek output
total (GDP) dan
aspek jumlah penduduk.
Pertumbuhan ekonomi juga diartikan secara sederhana sebagai kenaikan
output total (PDB)
dalam jangka panjang
tanpa memandang apakah kenaikan
itu lebih kecil
atau lebih besar
dari laju pertumbuhan
penduduk atau apakah diikuti oleh pertumbuhan struktur
perekonomian atau tidak.
Beberapa kemajuan tersebut tidak
lepas dari adanya penerapan kebijakan moneter
dan kebijakan fiskal serta didukung oleh adanya perbaikan-perbaikan di sisi
mikro serta perbaikan
bank dalam penyaluran
kreditnya ke sektor
riil, walaupun pertumbuhannya belum
seperti yang diharapkan.
Dilihat dari sektor moneter, apabila perkembangan inflasi yang
membaik, terkendalinya uang primer atau jumlah
uang yang beredar
serta nilai tukar
rupiah yang stabil
dapat secara bertahap menurunkan suku bunga sehingga
terjadi proses pemulihan ekonomi.
Berbagai pihak
yang terlibat dalam
pembangunan ekonomi seperti misalnya Bank
Sentral yang juga
berperan dalam perekonomian
dan status kelembagaanya
dalam suatu negara.
Pembangunan ekonomi yang
telah berlangsung cukup
lama di Indonesia
menuntut berbagai prasyarat
untuk mencapai keberhasilannya.
Salah satunya adalah keterlibatan sektor moneter dan perbankan, yang merupakan salah satu unsur
penting dalam proses pembangunan tersebut. Disatu
sisi hal ini
dapat dipahami mengingat
sektor moneter dan perbankan memang
mempunyai fungsi yang
mampu memberi pelayanan
pada bekerjanya sektor
riil, baik kegiatan
investasi, produksi, distribusi
maupun konsumsi.
Terjadinya penurunan nilai tukar
rupiah disertai dengan terputusnya akses sumber dana luar negeri menyebabkan turunnya
kegiatan produksi secara drastis sebagai
akibat tingginya ketergantungan produsen domestik terhadap barang dan jasa
impor. Para pengusaha
mengalami kesulitan dalam
memenuhi kewajibankewajiban luar
negeri yang segera harus dipenuhinya.
Kebijakan bank
sentral yang sebagai
otoritas moneter dalam
bentuk pengendalian besaran
moneter untuk mencapai
perkembangan kegiatan perekonomian
yang diinginkan, yaitu stabilitas
ekonomi makro yang antara lain dicerminkan
oleh stabilitas harga
(rendahnya laju inflasi),
membaiknya perkembangan output
riil (pertumbuhan ekonomi),
serta cukup luasnya kesempatan kerja yang tersedia. Dalam
pelaksanaanya, strategi kebijakan moneter yang
dilakukan setiap negara
berbeda-beda, tergantung pada
tujuan yang ingin dicapai
serta mekanisme transmisi moneter yang diyakini.
Mengacu pada tujuan yang dapat
dicapai, dalam hal ini kebijakan moneter diarahkan
pada sasaran jamak,
yaitu tidak saja
kestabilan harga (inflasi)
tetapi juga untuk
mendorong output dan
kesempatan kerja. Namun
semua pilihan sasaran kebijakan moneter (baik inflasi,
output, maupun kesempatan kerja) sangat sulit
dicapai secara bersamaan karena seringkali pencapaian sasaran-sasaran akhir tersebut
bersifat kontradiktif, sesuai
dengan teori Philips
Curve, inflasi yang rendah biasanya
menuntut trade off
berupa tingkat pengangguran
yang tinggi.
Demikian pula
sintesa teori neoklasik
dan temuan empiris
di berbagai negara bahwa
dalam jangka panjang
kebijakan moneter hanya
berdampak pada inflasi meskipun dalam jangka pendek dapat berpengaruh
pula terhadap output.
Dengan demikian,
bank sentral dihadapkan
kepada dua pilihan,
yaitu memilih suatu sasaran seoptimal mungkin dengan mengabaikan sasaran
lainnya, atau mengusahakan
semua sasaran dapat
tercapai namun tidak
secara optimal.
Dewasa ini,
semakin banyak bank
sentral telah menerapkan
kebijakan moneter yang lebih memfokuskan kepada sasaran tunggal,
yaitu stabilitas harga. Strategi kebijakan moneter
yang diterapkan disejumlah
bank sentral untuk
mencapai sasaran akhir tersebut
juga berbeda-beda tergantung pada kondisi perekonomian yang
bersangkutan dan mekanisme
transmisi moneter yang
diyakini. Dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999, kebijakan moneter
yang sebelumnya mempunyai sasaran ganda
(pencapaian inflasi yang rendah dan peningkatan kesempatan kerja) menjadi
hanya mempunyai sasaran
tunggal, yaitu pencapaian
kestabilan nilai rupiah dalam arti kestabilan harga (inflasi)
maupun kestabilan nilai tukar rupiah (kurs). Kondisi
ini tentunya menimbulkan
berbagai konsekuensi dalam pencapaiannya, seperti
bagaimana dukungan kebijakan
moneter dalam memelihara
momentum pemulihan ekonomi.
Dalam paradigma ini,
peran kebijakan moneter
lebih ditujukan pada
pencapaian kestabilan makroekonomi yang tercermin pada pengendalian beberapa
variable ekonomi seperti kestabilan tingkat harga,
jumlah uang beredar
yang sesuai dengan
kebutuhan riil perekonomian
nilai tukar rupiah
yang stabil dan
kompetitif, sehingga dapat mendukung terjadinya
pertumbuhan ekonomi yang
memadai. Berkaitan dengan ini,
Bank Indonesia terus
berupaya mengarahkan kebijakan
moneter untuk mencapai kestabilan harga jangka panjang
sebagai landasan bagi berlangsungnya pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan.
Sehubungan dengan stabilitas
nilai tukar, undang-undang
tersebut mengamanatkan Bank
Indonesia untuk menjaga
stabilitas “external value”
dari nilai rupiah
yaitu nilai tukar,
namun tidak mewajibkan
Bank Indonesia untuk menjadikan nilai
tukar sebagai sasaran
akhir. Dengan demikian
hal ini berbeda dengan inflasi, dimana secara tegas
undang-undang mewajibkan Bank Indonesia untuk
mengumumkan sasaran inflasi yang akan
dicapai. Oleh karena itu, dalam memformulasikan kebijakan
moneter, Bank Indonesia
menggunakan inflasi sebagai
sasaran akhir dan
mengendalikan fluktuasi nilai
tukar dalam rangka mencapai
sasaran inflasi. Sesuai
dengan sistem nilai
tukar yang mengambang (floating exchange rate), nilai tukar rupiah
tetap ditentukan oleh kekuatan pasar.
Namun demikian, mengingat
kestabilan nilai tukar rupiah merupakan faktor yang sangat penting bagi dunia usaha, maka dalam
hal terjadi gejolak pada nilai tukar, Bank
Indonesia dapat melakukan intervensi di pasar valuta asing. Tujuannya tidak lain hanya melakukan smoothing
terhadap pergerakan nilai tukar rupiah sehingga mengurangi faktor ketidakpastian.
Berdasarkan Undang-Undang
No. 3 Tahun
2004, Bank Indonesia diamanatkan untuk mengumumkan kepada
masyarakat mengenai sasaran sasaran moneter yang
akan dicapai guna
mendukung tercapainya sasaran
inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah (setelah
berkoordinasi dengan bank Indonesia). Secara implicit, sasaran ini telah menempatkan
kebijakan moneter Bank Indonesia dalam suatu kerangka
kebijakan moneter yang
menggunakan inflation targeting framework
(ITF). Dengan framework
ini, penting adanya
komitmen antara otoritas moneter (Bank Indonesia) dengan
otoritas fiskal (Departemen Keuangan) untuk mentargetkan
inflasi kedepan yang
menurun. Hal ini
bertujuan untuk membentuk ekspektasi inflasi masyarakat yang
menurun.
Babak baru
Bank Indonesia ditandai
dengan keluarnya Undang-Undang No.
13 Tahun 1968.
Selama hampir 31
tahun (Desember 1968-Mei
1999) berlakunya UU
ini, Bank Indonesia
telah mengeluarkan sejumlah
kebijakan moneter yang bisa
digolongkan dalam 4 periode yaitu periode stabilisasi moneter, periode oil boom, periode deregulasi, dan periode
krisis.
Periode stabilisasi
moneter (1968-1970) merupakan
program stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi. Hal
ini terjadi karena
adanya perubahan politik Indonesia dari rezim Soekarno ke Soeharto yang
memberi pengaruh negatif pada perekonomian. Beberapa
kebijakan moneter yang
diambil pada masa
ini antara lain
peninjauan kembali kebijakan
kredit perbankan. Caranya
adalah memperbarui aturan
penentuan jumlah, arah,
dan tingkat bunga
yang lebih selektif dengan prioritas pada sektor
produksi. Secara pelan namun pasti, program stabilisasi
ekonomi ini membuahkan
hasil yang nyata.
Ini tercermin dari kecenderungan penurunan
laju inflasi. Kalau
pada tahun 1965
inflasi sebesar 635%,
mulai tahun 1967,
1968, dan 1969
berturut-turut inflasi turun
menjadi 112%, 85%, dan 10%.
Skripsi Ekonomi: Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Periode 2006-2010
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi