Sabtu, 09 Agustus 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO : 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP PENETAPAN DISPENSASI NIKAH USIA DINI DI PA. JOMBANG NOMOR : 24/Pdt.P/2008/PA.Jbg


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Perkawinan adalah salah satu asas pokok kehidupan yang paling utama  dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. Banyaknya ayat al-Qur’an dan  hadits menjadi bukti bahwa perkawinan adalah hal yang sakral. Seperti pada  firman Alla>h pada surat an-Nisa> ayat 1:  Artinya:  “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah  menciptakan kamu dari seorang diri dan darinyalah Alla>h menciptakan istrinya,  dan dari keduanya Alla>h memeperkembangkan biakkan laki-laki dan perempuan  yang banyak….”   Perkawinan sendiri merupakan ibadah yang diproyeksikan sebagai media  menggapai kebahagiaan dalam menjalani bahtera rumah tangga.
  Dalam UU  perkawinan juga terdapat beberapa prinsip yang salah satunya adalah tujuan  perkawinan, yaitu membentuk keluargayang bahagia dan kekal. Untuk itu  suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat   Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 114.
  Team Kodifokasi Purna Siswa 2005 M Madrasah Hidayatul Mubtadi-en Lirboyo Kediri,  Kontekstualisasi Turats, h. 254.

 1  mengembangkan kepribadiannya serta membantu dan mencapai kesejahteraan  spiritual dan materiil.
  Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan perkawinan adalah akad  yang sangat kuat atau  goli>zanuntuk mentaati perintah Alla>h dan  melaksanakannya merupakan ibadah.
  UU nomor 7 tahun 1974 tentang  perkawinan menyebutkan yang dinamakan perkawinan adalah ikatan lahir batin  antar seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk  keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang  Maha Esa.
  Sedangkan menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud aqad tersebut adalah  untuk selamanya dan seterusnya sampaimeninggal dunia. Dengan tujuan agar  suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat  berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anakanaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik.
  Alla>h telah menetapkan adanya aturantermasuk perkawinan bagi manusia  dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar. Orang tidak boleh berbuat  semaunya seperti binatang yang berkumpuldengan lawan jenis hanya menurut   Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, h. 7.
  Amandemen UU Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006, UU Peradilan Agama Nomor 7  Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam, h. 120.
  Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal1 ,h. 5.
  Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 8, Penerj. Moh. Thalib, h. 9.
 seleranya, atau tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantara angin,  sebagaimana firman Alla>h:  Artinya:   “Dan kami Telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)  dan kami turunkan hujan dari langit, lalukami beri minum kamu dengan air itu,  dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.”   Perkawinan adalah salah satu perjanjianyang suci dimata Alla>h hal ini bisa  kita lihat dalam firmannya didalam Q.S. an-Nisā, ayat 21:  šχõ‹yzr&uρ …..    Νà6ΖÏΒ   $¸)≈sV‹ÏiΒ   $Zà‹Î=xî   ⊄⊇∪ Artinya:  “…Perkawinan itu adalah sesuatu perjanjian yang suci.”  Oleh karena itu Alla>h sangat membenci perbuatan ketika ada hambanya  yang memutuskan perjanjian suci tersebut atau kata lain bercerai, hal ini  tercermin dalam salah satu hadis Nabi dari Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim,  sabda Nabi:  ِ  H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, Penerj. Agus Salim, h. 2.
  Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 392.
  Ibid, h. 120.
 Artinya:  “Dari Ibnu Umar, dari NabiSAW. telah bersabda, sesuatu yang h}alal yang amat  dibenci Alla>h ialah t}alaq.”  Salah satu penyebab terjadinya perceraian adalah usia pernikahan yang  masih kurang mapan dalam melaksanakan pernikahan atau yang sering disebut  dengan pernikahan usia dini. Sementara fenomena pernikahan dini di Indonesia  sebenarnya sudah sejak lama dikenal olehmasyarakat luas baik dari kebisaaan  nenek moyang mereka maupun dari Agama (Islam), yaitu melalui kebiasaaan  para sahabat Rasu>lulla>h SAW. yang banyak mempraktekkan pernikahan model  ini maupun dari Rasu>lulla>h SAW. itu sendiri yang menikahi ‘A<’isyah, anak dari  Abu> Bakar r.a. sahabat beliau yang diketahui dari riwayat-riwayat Hisya>m ibn  ‘Urwah, terlepas dari pro-kontra terhadap kebenaran pernikahan dini Rasu>lulla>h  SAW. tersebut.
 Pasal 7 (tujuh) UU perkawinan mengemukakan bahwa perkawinan hanya  diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan  pihak wanita 16 (enam belas) tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap  ketentuan usia kawin ini, dapat dimintai dispensasi kepada pengadilan atau  pejabat lain yang ditunjuk oleh keduaorang tua pihak pria maupun pihak  wanita.
   Imam Khafid Abi Dawu>d Sulaiman Ibn Asy‘as As-Sajastani, Sunan Abi Dawu>d juz 2,  Kitab T{alaq, No. 2178, h. 120.
  Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam Di  Indonesia, h. 52.
 Sedangkan hal pernikahan dini tersebut bertentangan didalam UU  perlindungan anak yang mana disebutkan dalam pasal 26 (c), bahwa orang tua  berkewajiban dan bertanggung jawab atas pencegahan terjadinya perkawinan  pada usia anak-anak.
  Sedangkan anak-anak yang dimaksud dalam UndangUndang Perlindungan Anak ini di terangkan dalam pasal 1 (satu) yaitu seorang  yang berusia belum 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam  kandungan.
n deng9 � e w � @ p}A hal ini harus disertai dengan  adanya niat. Disini Imam Malik tidak mewajibkan adanya saksi dalam peristiwa  itu sendiri.
Sedangkan tata cara rujukpendapat Imam Syafi’i mengatakan dengan  rujukharus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu rujuktidak sah bila  dilakukan dengan mencampuri, sungguhpun hal itu diniatkan sebagai rujuk.
Suami haram mencampurinya dalam iddah. Kalau dia melakukan hal itu ia harus  membayar mahar mitsil, sebab percampuran tersebut tergolong pada   Imam Abi Husain bin Hajjaj bin Muslim, Al-Jami’atus Shahih II, h.
 M. Jawad Al-Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab,h.428  6  percampuran syubhat.
 Bahwa Imam Syafi’i menolak dengan keras bahwa rujuk itu sah harus melalui ucapan. Ucapan disini boleh dengan cara tulisan maupun  langsung. Imam Syafi’i memberikan argument ini dengan menqiyaskan rujukitu  sama halnya dengan nikah. Disini rujukmaupun nikah sama-sama bersifat  menghalalkan setelah terjadi pengharaman dan diwajibkan adanya saksi dalam  rujuk. Maka dari itu, dalam rujukdiharuskan adanya ucapan atau ikrar yang  sebagaimana dalam hal nikah. Jadi nikah itu harus melalui ucapan tidak dengan  berwat}’iatau jima’.
B.  Rumusan Masalah Dari pembatasan masalah-masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan  masalah sebagai berikut :  1.  Bagaimana tata cara rujukmenurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i?  2.  Bagaimana relevansi pendapat ImamMalik dan Imam Syafi’i dengan  Peraturan Menteri Agama RI No. 11 Tahun 2007 tentang tata cara rujuk?  C.  Kajian Pustaka  Tinjauan pustaka ini pada intinya adalah untuk mendapatkan gambaran  hubungan topik yang akan diteliti dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya.
Skripsi yang ditulis oleh Nur Kolis ( 2003 ) dengan judul: ” Studi komparasi  tentang tata cara pelaksanaan rujukdalam perspektif mazhab Syafi’i dan KHI”.
 Ibid, h. 482  7  Skripsi ini membandingkan cara rujuk menurut mazhab Syafi’i dan menurut  KHI. Penulis skripsi ini menjelaskan apa perbedaan dan persamaan tata cara  rujuk menurut Syafi’i dan KHI. Sedangkan skripsi yang berjudul ” Relevansi  pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dengan Peraturan Menteri Agama No.11  tahun 2007, menjelaskan tentang pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i  dengan Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007. Selama ini, penulis belum  pernah menemukan skripsi yang berkaitan dengan tema tersebut. Jadi,  pembahasan ini merupakan skripsi pertama yang membahas tentang tema  tersebut. Dengan demikian skripsi ini murni penelitian yang dilakukan penulis  dan tidak merupakan duplikasi dari skripsi yang lain.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi