BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan di muka bumi ini oleh Allah
SWT., dalam perjalannya mengalami
beberapa peristiwa, seperti waktu ia dilahirkan, waktu ia menikah, dan waktu ia meninggal dunia. Pada waktu ia
dilahirkan, maka dalam dirinya melekat
suatu hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban harus berjalan secara berdampingan. Jadi selain manusia meminta
haknya, maka kewajibanya pun wajib
dikerjakan. Hak dan kewajiban akanterus melekat baik ketika ia masih hidup sampai ia meninggal dunia.
Ketika orang meninggal dunia,
maka akan timbul pertanyaan : bagaimana dengan
hak dan kewajibannya itu? Apakah hak dan kewajibannya akan lenyap begitu saja setelah ia meninggal dunia?Hal ini
tidak mungkin karena hak dan kewajiban
itu tersusun secara tali-temali dengan hak dan kewajiban orang lain.
Oleh karena itu dengan
meninggalnya seseorang, maka kepemilikan harta akan beralih kepada orang yang masih hidup
atau ahli warisnya. Hak dan kewajiban
yang dapat beralih adalah hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda. Adapun
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang beralihnya hak dan kewajiban dari seseorang
dalam bidang kehartaan kepada orang lain
yang menjadi ahli warisnya disebut dengan hukum waris.
Pada umumnya pewaris mempunyai keinginan
terakhir dalam hidupnya.
Salah satu keinginan yang sering
terjadi sebelum orang tersebut meninggal adalah mengenai hartanya. Ketika meninggal
dunia pewaris berkeinginan supaya hartanya
dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan. Namun, terkadang keinginannya itu bertentangan dengan hukum
waris yang berlaku. Keinginan terakhir
pewaris, ada yang diucapkan saatia sakit keras atau akan meninggal dunia kepada sanak saudaranya, ada pula yang
dituangkan dalam bentuk tulisan atau
disebut dengan surat yang akan dibacakan di hadapan sanak saudaranya.
Oleh karena itu, undang-undang
menetapkan bahwa untuk mendapatkan harta
warisan ada dua cara, yaitu : 1.
Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang, 2.
Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama disebut dengan
mewarisi “menurut ketentuan undangundang” atau “ab intestato”. Mewarisi menurut
undang-undang kita dapat membedakan
antara orang-orang yang mewarisi “uit eigen hoofed” dan mereka yang mewarisi “bij plaatsvervulling.” Yang
dimaksud dengan “uit eigen hoofed” seseorang
yang mendapatkan harta waris berdasarkan berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap pewaris. Sedangkan yang
dimaksud dengan “bij plaatsvervulling”
adalah ahli waris pengganti .
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, h. 98.
Ibid, h. 95 Sedangkan cara yang kedua disebut dengan
mewarisi secara “wasiat”.
Wasiat artinya suatu pesan
seseorang kepada orang lain tentang apa yang dikehendakinya terhadap hartanya setelah ia
meninggal dunia. Kompilasi Hukum Islam
(KHI) juga menjelaskan, wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah meninggal dunia (Pasal
171 huruf f). Adapun ketentuan mengenai wasiat dalam KHI diatur dalam Pasal 194-209.
Wasiat tidak saja dikenal dalam
hukum Islam. Namun, wasiat juga dikenal dalam
Hukum Perdata (BW), yaitu dengan sebutan testament. Penjelasan tentang testamentatau wasiat diatur dalam Buku
Kedua Bab Ketigabelas .
Wasiat dalam hukum perdata harus
dibuat dalam bentuk surat wasiat (testament) dan pembuatan surat wasiat itu merupakan
perbuatan hukum yang sangat pribadi.
Jadi, inti dari wasiat merupakan tas{aruf terhadap harta peninggalannya yang akan dilaksanakan setelah ia meninggal,
dan berlaku setelah orang yang berwasiat
itu meninggal.
Menurut ketentuan hukum Islam,
bagi orang yang mendekati kematian dan orang
tersebut meninggalkan harta yang cukup ataupun banyak, maka diwajibkan atas orang tersebut untuk membuat
suatu wasiat. Ketentuan tentang membuat
suatu wasiat sebelum mendekati ajal diatur dalam surat al-Baqarah ayat 180 yang bunyinya : Ibid.,h. 99.
Artinya : ”Diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan
karib kerabatnya secara ma’ruf. Ini
asalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.(al-Baqarah
: 180) .
Selanjutnya, Nabi SAW. menjelaskan
wasiat dalam hadis\ yang berbunyiArtinya : “ Dari Ibnu Umar r.a. berkata : Dari
Rasulullah saw,. bersabda : Tidak patut
seorang muslim seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak dia wasiatkan itu bermalam
dua malam melainkan wasiatnya itu
tertulis padanya” .
Berdasarkan hadis\ di atas dapat
disimpulkan, bahwa bagi orang yang melakukan
wasiat, hendaknya ditulis dan selalu berada di sisi orang yang berwasiat merupakan suatu keberhati-hatian,
karena sesungguhnya orang yang berwasiat
tidak mengetahui datangnya kematian .
Adapun hadis yang Departemen Agama,
Al-Qur’an dan Terjemah, h. 34.
Muhammad Salim Hasyim, Shohih Muslim Juz V,h.
596.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 14, h. 232.
diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Arba’ah selain
Nasa’i menjelaskan, yang berbunyi : Artinya
: “Dari Umamah Ali Bahili r.a. beliau berkata : Saya mendengar Rasulullah saw., bersabda : Sesunggunya Allah
memberikan hak kepada orang yang
mempunyai hak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”
.
Ayat al-Qur’an dan hadis\ di atas
menjelaskan bahwa, bagi setiap muslim diwajibkan
berwasiat bagi kerabatnya selain ahli waris. Akan tetapi, ada beberapa hal yang menghalangi para ahli waris
untuk mewarisi harta waris, salah satunya
yaitu berlainan agama. Jadi orang muslim dan non muslim tidak boleh saling waris mewarisi. Adapun cara untuk
mendapatkan harta waris yaitu dengan jalan
wasiat.
style='� M s a � @ p}A '> Indonesia, h. 52.
Sedangkan hal pernikahan dini tersebut
bertentangan didalam UU perlindungan
anak yang mana disebutkan dalam pasal 26 (c), bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab atas
pencegahan terjadinya perkawinan pada
usia anak-anak.
Sedangkan
anak-anak yang dimaksud dalam UndangUndang Perlindungan Anak ini di terangkan
dalam pasal 1 (satu) yaitu seorang yang
berusia belum 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
n deng9 � e w � @ p}A
hal ini harus disertai dengan adanya
niat. Disini Imam Malik tidak mewajibkan adanya saksi dalam peristiwa itu sendiri.
Sedangkan tata cara rujukpendapat
Imam Syafi’i mengatakan dengan rujukharus
dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu rujuktidak sah bila dilakukan dengan mencampuri, sungguhpun hal
itu diniatkan sebagai rujuk.
Suami haram mencampurinya dalam
iddah. Kalau dia melakukan hal itu ia harus membayar mahar mitsil, sebab percampuran
tersebut tergolong pada Imam Abi Husain
bin Hajjaj bin Muslim, Al-Jami’atus Shahih II, h.
M. Jawad Al-Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab,h.428 6 percampuran
syubhat.
Bahwa Imam Syafi’i menolak dengan keras bahwa
rujuk itu sah harus melalui ucapan. Ucapan disini boleh dengan cara tulisan
maupun langsung. Imam Syafi’i memberikan
argument ini dengan menqiyaskan rujukitu sama halnya dengan nikah. Disini rujukmaupun
nikah sama-sama bersifat menghalalkan
setelah terjadi pengharaman dan diwajibkan adanya saksi dalam rujuk. Maka dari itu, dalam rujukdiharuskan
adanya ucapan atau ikrar yang sebagaimana
dalam hal nikah. Jadi nikah itu harus melalui ucapan tidak dengan berwat}’iatau jima’.
B. Rumusan Masalah Dari pembatasan
masalah-masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana tata cara rujukmenurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i? 2.
Bagaimana relevansi pendapat ImamMalik dan Imam Syafi’i dengan Peraturan Menteri Agama RI No. 11 Tahun 2007
tentang tata cara rujuk? C. Kajian Pustaka Tinjauan pustaka ini pada intinya adalah untuk
mendapatkan gambaran hubungan topik yang
akan diteliti dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya.
Skripsi yang ditulis oleh Nur
Kolis ( 2003 ) dengan judul: ” Studi komparasi tentang tata cara pelaksanaan rujukdalam
perspektif mazhab Syafi’i dan KHI”.
Ibid, h. 482 7 Skripsi
ini membandingkan cara rujuk menurut mazhab Syafi’i dan menurut KHI. Penulis skripsi ini menjelaskan apa
perbedaan dan persamaan tata cara rujuk
menurut Syafi’i dan KHI. Sedangkan skripsi yang berjudul ” Relevansi pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dengan
Peraturan Menteri Agama No.11 tahun
2007, menjelaskan tentang pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dengan Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun
2007. Selama ini, penulis belum pernah
menemukan skripsi yang berkaitan dengan tema tersebut. Jadi, pembahasan ini merupakan skripsi pertama yang
membahas tentang tema tersebut. Dengan
demikian skripsi ini murni penelitian yang dilakukan penulis dan tidak merupakan duplikasi dari skripsi
yang lain.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi