Sabtu, 09 Agustus 2014

Skripsi Syariah:PEMBATALAN WASIAT NON MUSLIM (Studi Analisis Undang-UndangNo. 3 Tahun 2006 Terhadap Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa Tanggerang No. 015/Pdt.G/2007/PA.Tgrs)


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Manusia diciptakan di muka bumi ini oleh Allah SWT., dalam perjalannya  mengalami beberapa peristiwa, seperti waktu ia dilahirkan, waktu ia menikah,  dan waktu ia meninggal dunia. Pada waktu ia dilahirkan, maka dalam dirinya  melekat suatu hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban harus berjalan secara  berdampingan. Jadi selain manusia meminta haknya, maka kewajibanya pun  wajib dikerjakan. Hak dan kewajiban akanterus melekat baik ketika ia masih  hidup sampai ia meninggal dunia.
Ketika orang meninggal dunia, maka akan timbul pertanyaan : bagaimana  dengan hak dan kewajibannya itu? Apakah hak dan kewajibannya akan lenyap  begitu saja setelah ia meninggal dunia?Hal ini tidak mungkin karena hak dan  kewajiban itu tersusun secara tali-temali dengan hak dan kewajiban orang lain.
Oleh karena itu dengan meninggalnya seseorang, maka kepemilikan harta  akan beralih kepada orang yang masih hidup atau ahli warisnya. Hak dan  kewajiban yang dapat beralih adalah hak dan kewajiban dalam lapangan hukum  kekayaan harta benda. Adapun ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang  beralihnya hak dan kewajiban dari seseorang dalam bidang kehartaan kepada  orang lain yang menjadi ahli warisnya disebut dengan hukum waris.

 Pada umumnya pewaris mempunyai keinginan terakhir dalam hidupnya.
Salah satu keinginan yang sering terjadi sebelum orang tersebut meninggal  adalah mengenai hartanya. Ketika meninggal dunia pewaris berkeinginan supaya  hartanya dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan. Namun, terkadang  keinginannya itu bertentangan dengan hukum waris yang berlaku. Keinginan  terakhir pewaris, ada yang diucapkan saatia sakit keras atau akan meninggal  dunia kepada sanak saudaranya, ada pula yang dituangkan dalam bentuk tulisan  atau disebut dengan surat yang akan dibacakan di hadapan sanak saudaranya.
Oleh karena itu, undang-undang menetapkan bahwa untuk mendapatkan  harta warisan ada dua cara, yaitu   :  1.  Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang,  2.  Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama disebut dengan mewarisi “menurut ketentuan undangundang” atau “ab intestato”. Mewarisi menurut undang-undang kita dapat  membedakan antara orang-orang yang mewarisi “uit eigen hoofed” dan mereka  yang mewarisi “bij plaatsvervulling.” Yang dimaksud dengan “uit eigen hoofed”  seseorang yang mendapatkan harta waris berdasarkan berdasarkan kedudukannya  sendiri terhadap pewaris. Sedangkan yang dimaksud dengan “bij  plaatsvervulling” adalah ahli waris pengganti  .
 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, h. 98.
 Ibid, h. 95   Sedangkan cara yang kedua disebut dengan mewarisi secara “wasiat”.
Wasiat artinya suatu pesan seseorang kepada orang lain tentang apa yang  dikehendakinya terhadap hartanya setelah ia meninggal dunia. Kompilasi Hukum  Islam (KHI) juga menjelaskan, wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris  kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah meninggal dunia  (Pasal 171 huruf f). Adapun ketentuan mengenai wasiat dalam KHI diatur dalam  Pasal 194-209.
Wasiat tidak saja dikenal dalam hukum Islam. Namun, wasiat juga dikenal  dalam Hukum Perdata (BW), yaitu dengan sebutan testament. Penjelasan  tentang testamentatau wasiat diatur dalam Buku Kedua Bab Ketigabelas  .
Wasiat dalam hukum perdata harus dibuat dalam bentuk surat wasiat (testament)  dan pembuatan surat wasiat itu merupakan perbuatan hukum yang sangat  pribadi. Jadi, inti dari wasiat merupakan tas{aruf terhadap harta peninggalannya  yang akan dilaksanakan setelah ia meninggal, dan berlaku setelah orang yang  berwasiat itu meninggal.
Menurut ketentuan hukum Islam, bagi orang yang mendekati kematian dan  orang tersebut meninggalkan harta yang cukup ataupun banyak, maka  diwajibkan atas orang tersebut untuk membuat suatu wasiat. Ketentuan tentang  membuat suatu wasiat sebelum mendekati ajal diatur dalam surat al-Baqarah  ayat 180 yang bunyinya :   Ibid.,h. 99.
Artinya : ”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu  kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta  yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya  secara ma’ruf. Ini asalah kewajiban atas orang-orang yang  bertakwa”.(al-Baqarah : 180)  .
Selanjutnya, Nabi SAW. menjelaskan wasiat dalam hadis\ yang berbunyiArtinya : “ Dari Ibnu Umar r.a. berkata : Dari Rasulullah saw,. bersabda :  Tidak patut seorang muslim seorang muslim yang mempunyai  sesuatu yang hendak dia wasiatkan itu bermalam dua malam  melainkan wasiatnya itu tertulis padanya”  .
Berdasarkan hadis\ di atas dapat disimpulkan, bahwa bagi orang yang  melakukan wasiat, hendaknya ditulis dan selalu berada di sisi orang yang  berwasiat merupakan suatu keberhati-hatian, karena sesungguhnya orang yang  berwasiat tidak mengetahui datangnya kematian  . Adapun hadis yang   Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 34.
 Muhammad Salim Hasyim, Shohih Muslim Juz V,h. 596.
 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 14, h. 232.
 diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Arba’ah selain Nasa’i menjelaskan, yang  berbunyi  :  Artinya : “Dari Umamah Ali Bahili r.a. beliau berkata : Saya mendengar  Rasulullah saw., bersabda : Sesunggunya Allah memberikan hak  kepada orang yang mempunyai hak, maka tidak ada wasiat bagi  ahli waris”  .
Ayat al-Qur’an dan hadis\ di atas menjelaskan bahwa, bagi setiap muslim  diwajibkan berwasiat bagi kerabatnya selain ahli waris. Akan tetapi, ada  beberapa hal yang menghalangi para ahli waris untuk mewarisi harta waris, salah  satunya yaitu berlainan agama. Jadi orang muslim dan non muslim tidak boleh  saling waris mewarisi. Adapun cara untuk mendapatkan harta waris yaitu dengan  jalan wasiat.
style='� M s a � @ p}A '> Indonesia, h. 52.
 Sedangkan hal pernikahan dini tersebut bertentangan didalam UU  perlindungan anak yang mana disebutkan dalam pasal 26 (c), bahwa orang tua  berkewajiban dan bertanggung jawab atas pencegahan terjadinya perkawinan  pada usia anak-anak.
  Sedangkan anak-anak yang dimaksud dalam UndangUndang Perlindungan Anak ini di terangkan dalam pasal 1 (satu) yaitu seorang  yang berusia belum 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam  kandungan.
n deng9 � e w � @ p}A hal ini harus disertai dengan  adanya niat. Disini Imam Malik tidak mewajibkan adanya saksi dalam peristiwa  itu sendiri.
Sedangkan tata cara rujukpendapat Imam Syafi’i mengatakan dengan  rujukharus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu rujuktidak sah bila  dilakukan dengan mencampuri, sungguhpun hal itu diniatkan sebagai rujuk.
Suami haram mencampurinya dalam iddah. Kalau dia melakukan hal itu ia harus  membayar mahar mitsil, sebab percampuran tersebut tergolong pada   Imam Abi Husain bin Hajjaj bin Muslim, Al-Jami’atus Shahih II, h.
 M. Jawad Al-Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab,h.428  6  percampuran syubhat.
 Bahwa Imam Syafi’i menolak dengan keras bahwa rujuk itu sah harus melalui ucapan. Ucapan disini boleh dengan cara tulisan maupun  langsung. Imam Syafi’i memberikan argument ini dengan menqiyaskan rujukitu  sama halnya dengan nikah. Disini rujukmaupun nikah sama-sama bersifat  menghalalkan setelah terjadi pengharaman dan diwajibkan adanya saksi dalam  rujuk. Maka dari itu, dalam rujukdiharuskan adanya ucapan atau ikrar yang  sebagaimana dalam hal nikah. Jadi nikah itu harus melalui ucapan tidak dengan  berwat}’iatau jima’.
B.  Rumusan Masalah Dari pembatasan masalah-masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan  masalah sebagai berikut :  1.  Bagaimana tata cara rujukmenurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i?  2.  Bagaimana relevansi pendapat ImamMalik dan Imam Syafi’i dengan  Peraturan Menteri Agama RI No. 11 Tahun 2007 tentang tata cara rujuk?  C.  Kajian Pustaka  Tinjauan pustaka ini pada intinya adalah untuk mendapatkan gambaran  hubungan topik yang akan diteliti dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya.
Skripsi yang ditulis oleh Nur Kolis ( 2003 ) dengan judul: ” Studi komparasi  tentang tata cara pelaksanaan rujukdalam perspektif mazhab Syafi’i dan KHI”.
 Ibid, h. 482  7  Skripsi ini membandingkan cara rujuk menurut mazhab Syafi’i dan menurut  KHI. Penulis skripsi ini menjelaskan apa perbedaan dan persamaan tata cara  rujuk menurut Syafi’i dan KHI. Sedangkan skripsi yang berjudul ” Relevansi  pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dengan Peraturan Menteri Agama No.11  tahun 2007, menjelaskan tentang pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i  dengan Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007. Selama ini, penulis belum  pernah menemukan skripsi yang berkaitan dengan tema tersebut. Jadi,  pembahasan ini merupakan skripsi pertama yang membahas tentang tema  tersebut. Dengan demikian skripsi ini murni penelitian yang dilakukan penulis  dan tidak merupakan duplikasi dari skripsi yang lain.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi