Sabtu, 09 Agustus 2014

Skripsi Syariah:ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN KAFA'AH DALAM PERKAWINAN MENURUT MAHASISWA FAKULTAS SYARI'AH IAIN SURABAYA


BAB I  PENDAHULUAN  
A.  Latar Belakang Masalah  Setiap manusia mempunyai gambaran dalam pikirannya akan bentuk ideal  calon jodohnya. Pertimbangan dalam mencari pasangan tersebut dalam kaitannya  dengan hubungan perkawinan sangatlah penting, hal ini konsep memilih  pasangan harus melalui beberapaunsur-unsur yang mendukung dalam  menentukan keharmonisan rumah tangga. Kunci keharmonisan yang tetap dan  subur ialah mengetahui cara memilih pasangan serasi, tidak ada hal yang lebih  mempengaruhi kebahagiaan dari pada pilihan kita sendiri atas kekasih atau  pasangan hidup dalam membangun rumah tangga  .
 Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 disebutkan, "perkawinan bertujuan  untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan  rahmah"  . Perkawinan menjadikan proseskeberlangsungan hidup manusia di  dunia ini berlanjut dari generasi ke generasi. Selain juga berfungsi sebagai  penyalur nafsu birahi dan membentuk suasana kehidupan yang tentram,   Alan loy Mc Ginnis, Romantika Suami Isteri, h. 68.

  Undang-undang RI No. 1 Tahun 1974 Tenrang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, hal.
  harmonis, selaras saling mengasihidan penuh pengayoman sebagaimana  dinyatakan dalam firman Allah SWT QS Ar-Ru>m Ayat 21, yaitu:  ْ ( Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan  untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih  dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar  terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”  Pembentukan keluarga merupakan salah satu jalan untuk merealisasikan  tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan.
 Pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara  pemuda dan pemudi. Tujuan yang luhur daripernikahan adalah agar suami istri  berusaha membangun keharmonisan dalam rumah tangganya. Oleh karena itu  setiap calon suami isteri yang ingin membina rumah tangga yang harmonis dan  bahagia, terdapat beberapa pertimbangan-pertimbangan kriteria tentang calon  pasangan yang ideal.
 Salah satu unsur sumber kebahagiaan dalam pembinaan rumah tangga ini  adalah adanya kufu’(seimbang) antara suami dan isteri. Arti kafa>‘ahadalah  hendaknya seorang laki-laki (calon suami) itu setara derajatnya dengan wanita  yang akan menjadi istrinya dalam beberapa hal  .
  Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab (edisi lengkap),h. 349  Maksud kufu’dalam perkawinan, laki-laki sebanding dengan calon  isterinya, kesamaan dalam kedudukan, dalam tingkat sosial serta dalam akhlak  dan kekayaannya. Permasalahan tentang kafaah memang merupakan problema  utama dalam proses pemilihan calon jodoh. Untuk itu konsepsi kafa>‘ah dalam  perkawinan harus menjadi telaah yang cukup serius bagi para calon pasangan.
 Dalam hal ini berkaitan dengan konsep kafa>‘ah tersebut, terdapat paradigma  yang berbeda dalam proses penerapannya. Dalam satu sisi kecenderungan dalam  memilih pasangan harus sesuai dengan tingkat karakter dan kondisi, sedangkan  dalam sisi yang lain menghendaki pasangan yang berbeda dalam tingkat karakter  maupun kondisinya, hal ini berkaitan bahwa perkawinan adalah suatu  persekutuan yang saling melengkapi dalam mencapai suatu keharmonisan.
 Kafa>‘ah merupakan salah satu diantara hak seorang calon isteri, sehingga  seorang wali tidak boleh menikahkan putrinya dengan laki-laki yang tidak sekufu  dengannya. Kafa>‘ah juga merupakan hak seorang wali, sehingga jika seorang  wanita meminta atau menuntut kepadawalinya untuk dinikahkan dengan lakilaki yang tidak sekufu maka sang wali boleh tidak mengabulkannya, dengan  alasan tidak adanya kafa>‘ah. Adapun Kufu’ini tidak menjadi syarat dalam  perkawinan. Sebab, kafa>‘ah merupakan hak bagi seorang wanita dan juga  walinya, sehingga keduanya bisa sajamenggugurkannya (tidak mengambilnya).
 Oleh karena itu jika seorang perempuan sholehah dikawinkan seorang laki-laki  yang fasiq, maka ia berhak menuntut pembatalan perkawinan dengan alasan  tidak kufu’.
  Hal ini menyangkut pada suatu bentuk yang secara umum dapat  menentukan tingkat keharmonisan berumah tangga. Namun demikian, kenyataan  yang terjadi dalam rumah tangga masyarakat masih terdapat perceraian atau  putus hubungan perkawinan. Oleh karena itu, Kafa>‘ah dalam perkawinan  memang merupakan permasalahan utama dalam proses pemilihan calon jodoh.
 Hal ini berkaitan dengan egoisitas karakter orang dewasa, hal ini bisa  dikategorikan mahasiswa sebagai masa-masa pencarian pasangan hidup, dalam  kecenderungannya memilih pasangan tanpa mempertimbangkan dengan  sungguh-sungguh akan kelangsungan hubungan mereka pada masa depan dalam  hal ini perkawinan. Untuk itu konsep kafa>‘ah harus menjadi telaah yang cukup  serius bagi para calon pasangan untuk menghindari hal-hal yang dapat merusak  hubungan dalam perkawinan.
 Dengan demikian kufu’memang harus diperhatikan, terdapat beberapa  pandangan dari kalangan mahasiswa terhadap kafa>‘ahdalam perkawinan yang  terpengaruhi oleh karakter remaja sehingga dapat merubah cara pikir terhadap  pencarian pasangan dalam membangun rumah tangga. Sedangkan dalam  pendapat ulama fuqaha terdapat uraian keterangan yang mampu dijadikan  pertimbangan-pertimbangan dalam factor criteria kafa>‘ah.
s � 5 < � @ p}A e='mso-spacerun:yes'> Artinya : ”Dari Annas bin Siriin ia berkata : Saya bertanya kepada Ibnu Umar  tentang perempuannya yang telah dicerai, maka Ibnu Umar berkata :  Saya telah mencerai istriku dalam keadaan haid, maka Annas  mengatakan : hal itu kepada Umar dan Umar menuturkan kepada  Nabi SAW., maka Nabi bersabda : Suruhlah dia kembali kepada  isterinya”.
 Adapun tata cara rujukmenurut pendapat Imam Malik mengatakan rujuk boleh (sah) dilakukan melalui perbuatan yang disertai dengan niat untuk rujuk.
Akan tetapi bila suami mencampuri isterinya tersebut tanpa niat rujuk, maka  wanita tersebut tidak bisa kembali (menjadi isterinya) kepadanya. Namun  percampuran tersebut tidak mengakibatkan adanya h}ad(hukuman) maupun  keharusan membayar mahar. Anak yang lahir dari percampuran tersebut  dikaitkan nasabnya kepada laki-laki yang mencampuri itu. Wanita tersebut harus  menyucikan dirinya dengan haidh manakala dia tidak hamil.
 Imam Malik  bahwa rujukitu diperbolehkan dengan berwat}’i, hal ini harus disertai dengan  adanya niat. Disini Imam Malik tidak mewajibkan adanya saksi dalam peristiwa  itu sendiri.
Sedangkan tata cara rujukpendapat Imam Syafi’i mengatakan dengan  rujukharus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu rujuktidak sah bila  dilakukan dengan mencampuri, sungguhpun hal itu diniatkan sebagai rujuk.
Suami haram mencampurinya dalam iddah. Kalau dia melakukan hal itu ia harus  membayar mahar mitsil, sebab percampuran tersebut tergolong pada   Imam Abi Husain bin Hajjaj bin Muslim, Al-Jami’atus Shahih II, h.
 M. Jawad Al-Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab,h.428  6  percampuran syubhat.
 Bahwa Imam Syafi’i menolak dengan keras bahwa rujuk itu sah harus melalui ucapan. Ucapan disini boleh dengan cara tulisan maupun  langsung. Imam Syafi’i memberikan argument ini dengan menqiyaskan rujukitu  sama halnya dengan nikah. Disini rujukmaupun nikah sama-sama bersifat  menghalalkan setelah terjadi pengharaman dan diwajibkan adanya saksi dalam  rujuk. Maka dari itu, dalam rujukdiharuskan adanya ucapan atau ikrar yang  sebagaimana dalam hal nikah. Jadi nikah itu harus melalui ucapan tidak dengan  berwat}’iatau jima’.
B.  Rumusan Masalah Dari pembatasan masalah-masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan  masalah sebagai berikut :  1.  Bagaimana tata cara rujukmenurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i?  2.  Bagaimana relevansi pendapat ImamMalik dan Imam Syafi’i dengan  Peraturan Menteri Agama RI No. 11 Tahun 2007 tentang tata cara rujuk?  C.  Kajian Pustaka  Tinjauan pustaka ini pada intinya adalah untuk mendapatkan gambaran  hubungan topik yang akan diteliti dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya.
Skripsi yang ditulis oleh Nur Kolis ( 2003 ) dengan judul: ” Studi komparasi  tentang tata cara pelaksanaan rujukdalam perspektif mazhab Syafi’i dan KHI”.
 Ibid, h. 482  7  Skripsi ini membandingkan cara rujuk menurut mazhab Syafi’i dan menurut  KHI. Penulis skripsi ini menjelaskan apa perbedaan dan persamaan tata cara  rujuk menurut Syafi’i dan KHI. Sedangkan skripsi yang berjudul ” Relevansi  pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dengan Peraturan Menteri Agama No.11  tahun 2007, menjelaskan tentang pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i  dengan Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007. Selama ini, penulis belum  pernah menemukan skripsi yang berkaitan dengan tema tersebut. Jadi,  pembahasan ini merupakan skripsi pertama yang membahas tentang tema  tersebut. Dengan demikian skripsi ini murni penelitian yang dilakukan penulis  dan tidak merupakan duplikasi dari skripsi yang lain.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi