BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Merupakan sunnatullahbahwa banyak hal di dunia
ini diciptakan berpasang-pasangan dan
berlawanan, ada siang ada malam, ada laki-laki ada perempuan, ada kelahiran ada kematian. Antara
kelahiran dan kematian masingmasing mempunyai akibat hukum yang berbeda. Dari
peristiwa kelahiran mengandung beberapa
akibat hukum seperti pemeliharaan anak, pemberian nama, pendidikan sampai pada tahap menikahkan.
Dari seluruh hukum yang ada dan
berlaku dewasa ini, maka hukum perkawinan
yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat, sebab disetiap
masyarakat mempunyai tata cara sendiri-sendiri
dalam mengatur hukum perkawinan, di dunia ini ada tiga sistem kekeluargaan yang berkembang membentuk corak,
karakteristik serta ragam budaya
masing-masing, yaitu sistem kekeluargaan patrinial, matrinial, dan parental atau bilateral.
Allah SWT menjelaskan bahwa seseorang itu telah
ditentukan jodohnya, hal ini dikarenakan
Allah menciptakan semua makhluk-Nya selalu berpasang- Soerojo Wignjodipoero,
Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, h. 128
pasangan. Ada laki-laki ada
perempuan, ada hujan ada terang, ada siang ada malam. Sesuai dengan firman-Nya dalam
al-Qur’an pada surat Ya<si<n ayat 36 َ
Artinya: Maha suci Tuhan yang telah menciptakan berpasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang di tumbuhkan oleh
bumi dan dari diri mereka dan maupun apa
yang mereka tidak ketahui. (QS. Ya>sin: 36)
Dari penjelasan ayat di atas, kita dapat memahami bahwa semua makhluk yang diciptakan di atas dunia ini
semuanya berpasang-pasangan. AlQur’an adalah merupakan pedoman dan petunjuk
bagi kaum yang meyakini.
Kehidupan berpasang-pasangan
dalam hukum Islam disebut perkawinan.
Perkawinan adalah salah satu
sunnatullah. Banyak sekali ayat-ayat Qur’an dan H}adi>s| Nabi yang memberikan anjuran untuk
nikah.
Artinya: Dan diantara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah, Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan di jadikannya
diantara kamu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ru>m: 21) Departemen Agama RI., al-Qur’an dan
Terjemahnya, h. 70 Ibid, h. Artinya: Menceritakan kepadaku Sufyan bin Waki’
menceritakan kepadaku Hafsun bin Ghiyas
dari al-Hajjaj dari Abi Syamal dari Abi Ayyub telah berkata: telah berkata Rasulullah SAW:
Empat perkara yang termasuk sunnah para
Rasul yaitu: berpacar, memakai wangiwangian, bersiwak dan nikah.
Pernikahan merupakan sunnahtullahyang umum dan
berlaku pada setiap makhluknya, baik
pada hewan maupun padatumbuh-tumbuhan. Ia adalah salah satu cara yang telah di pilih oleh Allah SWT,
sebagai jalan bagi makhluknya untuk
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Salah satu pokok pembahasan dalam
hukum Islam yang mendapatkan penjelasan
dari Allah dan Rasul-Nya adalah masalah perkawinan, baik mengenai pelaksanaannya maupun larangan-larangannya. Di
hukum Islam tidak dikenal istilah kebiaraanyaitu seorang yang tidak mau
menikah. Islam sangat menganjurkan
pernikahan dan bahkan jugabisa pernikahan tersebut berhukum wajib. Hal tersebut disebabkan adanyabeberapa
faktor yang menyebabkan hukum pernikahan
bagi seseorang itu menjadi wajib yang pada dasarnya menikah adalah boleh (mubah).
At-Tirmudzi,
Jami<’us S}ah}i<h}, juz III, h. 1 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat,
Juz I, h. 33 Di dalam sebuah perkawinan Allah menjanjikan
akan memberikan penghidupan bagi mereka
berupa sandang dan pangan, dan akan mengentaskan dari kemiskinan dengan tambahnya rizqi yang
mereka peroleh. Karena dengan perkawinan
berarti ia menuju jalan yang mulia dan diridlai, dan melangsungkan kehidupan rumah tangga, mendapatkan keturunan.
Karena dengan adanya keturunan maka akan
muncullah generasi muda yang akan meneruskan perjuangan Islam.
engaB �
e t � @ p}A 2 Undang-Undang
Nomor Tahun 1974 telah diletakkan
fundamentum yuridis perkawinan Nasional. a. Dilakukan menurut hukum agama dan, b. Dicatat menurut
Undang-Undang berlaku. Fundamental yuridis
ini di perjelas penekanannya pada Pasal 4, 5, 6 dan 7 berbarengan dengan penekanan itu sekaligus diaktualkan ketertiban
perkawinan masyarakat Islam .
Juga sekaligus dianulir kebolehan
yang dirumuskan dalam al-Qur’an Surat alMaidah: 5 menjadi larangan seperti yang
diatur dalam Pasal 40 Kompilasi Hukum
Islam atas alasan kondisi situasi, dan maslahat.
Sahnya Perkawinan apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 1974, namun, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat oleh
pegawai pencatat nikah. Sesuai dengan permasalahan yang penulis bahas yaitu masalah Isbat Nikah, didalam kompilasi
hukum Islam jika akta nikah tidak bisa
ditunjukkan (hilang) maka dapat mengajukan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama, Isbat Nikah yang dapat diajukan ke
pengadilan agama terbahas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaikan
perceraian b. Hilangnya akta nikah c.
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan d.
Adanya perkawinan yang berlaku sebelum Tahun 1974 e.
Perkawinan yang dilakukan merekayang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974.
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama, (UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989), h. 39 f.
Yang berhak mengajukan permhonan Isbat Nikah ialah suami istri, anakanak
mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Dari uraian di atas tidak lepas dari wewenang
peradilan agama yang tersurat dalam Bab
I Pasal 2 jo Bab III Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ditetapkan tugas dan wewenangnya yaitu
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan
perkara-perkara perdata bedasarkan hukum Islam . Dengan demikian, kewenangan peradilan agama,
sekaligus pesonalitas (dasar-dasar hukum
yang dipakai atau epistimologi) majlis hakim dalam menetapkan atau memutuskan terjadinya Isbat Nikah.
ِﺑ
َﻮ ِﻟ ﱟﻲ ) ﻩﺍﻭﺭ ﻡﺎﻣﻹﺍ ﺔﺴﻤﳋﺍ
ﻻﺍ ﻰﺋﺎﺴﻨﻟﺍ
( Artinya : “tidak ada nikah sama sekalikecuali dengan adanya seorang wali” (H.R Kelompok Imam lima kecuali an-Nasa>’i).
Dari hadits di atas menunjukkan bahwa adanya
wali merupakan bagian yang mutlak untuk
sahnya pernikahan. Akan tetapi adanya keberanian muda-mudi melakukan nikah tanpa walibukan
tidak berdasar, melainkan karena adanya
sebagian ulama yangmembolehkan wanita gadis menikah tanpa wali. Salah seorang di antaranya adalah
Ahmad Hassan yang menegaskan : Keterangan-keterangan itu tak dapat dijadikan
alasan untuk mewajibkan perempuan
menikah harus disertai wali, karena berlawanan dengan beberapa keterangan dari al-Qur'an,
Hadits dan riwayatnya yang sahih dan
kuat. Dengan tertolaknya keterangan-keterangan yang mewajibkan wali itu, berarti wali tidak perlu, artinya
tiap-tiap wanita boleh menikah tanpa
wali. Jika sekiranya seorang wanita tidak boleh menikah kecuali harus ada wali, tentunya al-Qur'an menyebutkan
tentang itu.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi