BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan sangat penting yaitu untuk
memperoleh keturunan dalam kehidupan
manusia baik perorangan maupun kelompok, dengan jalan perkawinan yang sah. Pergaulan laki-laki dan perempuan
terjadi secara hormat sesuai dengan kedudukan
manusia sebagai mahluk yang sempurna yaitu memiliki akal (pikiran) dan perasaan (hati). Pergaulan hidup berumah
tangga dibina dalam suasana damai,
tenteram dan penuh rasa kasih sayang antara suami isteri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah
menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus
merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan terhormat.
Langgengnya sebuah perkawinan merupakan tujuan
yang diinginkan oleh ajaran Islam . Akad
nikah diadakan untuk dipelihara keutuhannya dan dijaga selamanya, karena akad tersebut dipandang oleh
Islam sebagai ikatan suci yang tidak
boleh dibuat main-main. Maka tidak sepatutnya akad nikah yang sakral tersebut dirusak atau dilecehkan.Setiap usaha
untuk melecehkan hubungan perkawinan dan
memutuskannya tanpaadanya alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar putusnya perkawinan atau
perceraian dibenci oleh Islam karena merusak
ketertiban dan kemaslahatan antara suami isteri. Prinsip-prinsip Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,
Yogyakarta: Fakultas Hukum UndangUndangi, Cetke-8, 1996, h. 1.
perkawinan merupakan kesadaran akan hukum agama dan keyakinan
masingmasing warga Negara Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan
berdasarkan hukum agama dan kepercayaan
masing-masing, hal ini merupakan Crusial Point dari perkawinan. Disamping itu perkawinan
harus memenuhi administratif pemerintahan
dalam betuk pencatatan nikah.
Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata
cara perkawinan yang dibenarkan oleh
hukum adalah seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975.
Sehingga perkawinan ini akan mempunyai
akibat hukum yaitu akibat yang mempunyai hak mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa
suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah menurut hukum apabila perkawinan itu dilakukan
menurut masing-masing Agama dan kepercayaannya
dan ayat (2) menentukan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan dalam
masyarakat yang dibuktikan dengan Akta Nikah dan masingmasing suami isteri
mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka atau salah satu
tidak bertanggung jawab, maka yang lain
dapat melakukan upaya hukum guna
mempertahankan atau Amir Nuruddin dan
Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 51 Departemen Agama RI, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, Tentang Perkawinan, h. 6 memperoleh
hak masing-masing. Akta nikah itu adalah sebagai bukti otentik sahnya suatu perkawinan seseorang sangat
bermanfaat dan maslahat bagi diri dan
keluarganya (isteridan anaknya) untuk menolak dan menghindari kemungkinan dikemudian hari adanya
pengingkaran atas perkawinannya dan akibat
hukum dari perkawinan itu (hartabersama dalam perkawinan dan hak-hak perkawinan) dan juga untuk melindungi dari
fitnah dan qadzaf zina (tuduhan zina).
Maka jelaslah bahwa pencatatan nikah untuk mendapatkan Akta Nikah tersebut adalah sangat penting.
Hal ini berbeda dengan pemahaman
tentang ketentuan perkawinan oleh sebagian
masyarakat Muslim yang lebih menekankan perspektif fiqh sentris.
Menurut pemahaman versi ini, perkawinan telah
cukup apabila syarat dan rukunnya
menurut ketentuan fiqh terpenuhi, tanpa diikuti dengan pencatatan perkawinan. Kondisi semacam ini dipraktekkan
sebagian masyarakat dengan melakukan
praktek nikah di bawah tangan. Pada awalnya perkawinan di bawah tangan yang dilakukan, adalah didasarkanpada
suatu pilihan hukum yang sadar dari
pelakunya, bahwa mereka menerima tidak mendaftarkan atau mencatatkan perkawinannya ke KUA, mereka merasa cukup
sekedar memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat
(1) tetapi tidak mau memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 109 Sesuai denga ketentun Pasal 2 Undang-Undang
Nomor Tahun 1974 telah diletakkan
fundamentum yuridis perkawinan Nasional. a. Dilakukan menurut hukum agama dan, b. Dicatat menurut
Undang-Undang berlaku. Fundamental yuridis
ini di perjelas penekanannya pada Pasal 4, 5, 6 dan 7 berbarengan dengan penekanan itu sekaligus diaktualkan ketertiban
perkawinan masyarakat Islam .
Juga sekaligus dianulir kebolehan
yang dirumuskan dalam al-Qur’an Surat alMaidah: 5 menjadi larangan seperti yang
diatur dalam Pasal 40 Kompilasi Hukum
Islam atas alasan kondisi situasi, dan maslahat.
Sahnya Perkawinan apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 1974, namun, agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat oleh
pegawai pencatat nikah. Sesuai dengan permasalahan yang penulis bahas yaitu masalah Isbat Nikah, didalam kompilasi
hukum Islam jika akta nikah tidak bisa
ditunjukkan (hilang) maka dapat mengajukan Isbat Nikah ke Pengadilan Agama, Isbat Nikah yang dapat diajukan ke
pengadilan agama terbahas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaikan
perceraian b. Hilangnya akta nikah c.
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan d.
Adanya perkawinan yang berlaku sebelum Tahun 1974 e.
Perkawinan yang dilakukan merekayang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974.
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama, (UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989), h. 39 f.
Yang berhak mengajukan permhonan Isbat Nikah ialah suami istri, anakanak
mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Dari uraian di atas tidak lepas dari wewenang
peradilan agama yang tersurat dalam Bab
I Pasal 2 jo Bab III Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ditetapkan tugas dan wewenangnya yaitu
memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan
perkara-perkara perdata bedasarkan hukum Islam . Dengan demikian, kewenangan peradilan agama,
sekaligus pesonalitas (dasar-dasar hukum
yang dipakai atau epistimologi) majlis hakim dalam menetapkan atau memutuskan terjadinya Isbat Nikah.
ِﺑ
َﻮ ِﻟ ﱟﻲ ) ﻩﺍﻭﺭ ﻡﺎﻣﻹﺍ ﺔﺴﻤﳋﺍ
ﻻﺍ ﻰﺋﺎﺴﻨﻟﺍ
( Artinya : “tidak ada nikah sama sekalikecuali dengan adanya seorang wali” (H.R Kelompok Imam lima kecuali an-Nasa>’i).
Dari hadits di atas menunjukkan bahwa adanya
wali merupakan bagian yang mutlak untuk
sahnya pernikahan. Akan tetapi adanya keberanian muda-mudi melakukan nikah tanpa walibukan
tidak berdasar, melainkan karena adanya
sebagian ulama yangmembolehkan wanita gadis menikah tanpa wali. Salah seorang di antaranya adalah
Ahmad Hassan yang menegaskan : Keterangan-keterangan itu tak dapat dijadikan
alasan untuk mewajibkan perempuan
menikah harus disertai wali, karena berlawanan dengan beberapa keterangan dari al-Qur'an,
Hadits dan riwayatnya yang sahih dan
kuat. Dengan tertolaknya keterangan-keterangan yang mewajibkan wali itu, berarti wali tidak perlu, artinya
tiap-tiap wanita boleh menikah tanpa
wali. Jika sekiranya seorang wanita tidak boleh menikah kecuali harus ada wali, tentunya al-Qur'an menyebutkan
tentang itu.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi