BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam adalah
agama sempurna dan
satu-satunya yang diridai
Allah, sempurna dalam
artian bahwa ia
mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia.
Sebagaimana
yang diterangkan Muhammad
Ali As-S}a>bu>ni dalam
kitab S}afwa>tut Tafa>si>r, bahwa
yang dimaksud pada
surah al-Maidah ayat
5 tentang kesempurnaan agama adalah kesempurnaan
syari’at, yaitu segala sesuatu yang bersumber
dari Allah sebagai
Sya>ri’, yang di
dalamnya tercakup hablum minalla>h dan hablum minanna>s.
Salah
satu bentuk konkrit
dari hablum minanna>s
adalah pernikahan, yaitu sebuah akad
yang menghalalkan kedua
belah pihak (suami
dan istri) untuk menikmati
pihak satunya.
Hubungan perkawinan
merupakan suatu fitrah
dan kecenderungan alami manusia sebagai
makhluk jasmaniyah, namun
ia harus diatur
sedemikian rupa demi tercapainya tujuan pernikahan yang utama,
yaitu saki>nah, mawaddah, dan rah}mah.
Hal ini disebutkan
dalam firman Allah
surat ar-Ru>m ayat
21 yang berbunyi:
Muhammad Ali As-S}a >bu>ni, S}a fwa>tut Tafa> si>r, Juz
I, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 2001) Abu
Bakr Jabir Al-Jazairi, Minha>j Al-Muslim, Artinya :‚Dan
di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah dia
menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir‛.
Demi
mewujudkan tujuan pernikahan
tersebut, ditetapkanlah hukum pernikahan
dari berbagai aspeknya di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Secara umum, hukum pernikahan tersebut mencakup apa
saja yang harus, boleh, atau dilarang dilakukan
oleh para pihak sebelum
pernikahan, saat pembacaan akad, ketika berlangsungnya pernikahan, dan pasca
berakhirnya pernikahan. Hukumhukum
tersebut kemudian dipahami
dan diajarkan oleh
para ulama madza>hib sesuai dengan latar belakang
masing-masing.
Diantara hukum-hukum tersebut misalnya sebelum
pernikahan, pihak lakilaki diharuskan untuk
bersedia membayar mahar
(maskawin) kepada pihak perempuan yang
menjadi simbol penghormatan
Islam kepada kedudukan perempuan.
dimana mahar tersebut hanya diperuntukkan kepada pihak istri dan tidak boleh
disentuh oleh siapapun tanpa
kerelaannya.
Kewajiban
menunaikan mahar tersebut diterangkan
dalam surat an-Nisa>’ ayat 4: ً ة َ
ل ْ ِ
نِ َّ ن ِ
ِ تِا َ
ق ُ د
َ ص َ
ءا َ سِّ نلا
ا و ُ
تَ آ َ و
Artinya :‚ Berikanlah
maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan‛.
H.M.A
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 37 Batasan minimal atau maksimal atas kuantitas
maupun kualitas mahar pada dasarnya tidak
ditentukan dalam syari’at,
selama ia adalah
sesuatu yang bernilai, banyak atau sedikit. Sesuatu yang
bernilai tersebut bisa berupa materi ataupun non-materi
seperti mengajarkan al-Qur’an
kepada istrinya.
Hal ini tersirat
dalam sebuah hadis yang berbunyi: Artinya
: Seorang wanita
dari suku Bani
Faza>rah menikah dengan
mahar sepasang sandal.
Rasulullah pun bertanya
‚Apakah kamu merelakan dirimu
dan segala yang
kamu punyai dengan
sepasang sandal?‛ wanita itu menjawab ‚ya‛. Maka Rasulullah
pun membolehkannya.
Adapun saat
berlangsungnya pernikahan, diperbolehkan
pula bagi para pihak untuk
mengadakan perjanjian pernikahan,
yaitu suatu persetujuan
yang dibuat oleh
kedua calon mempelai
pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan,
dan masing-masing pihak
tersebut berjanji akan
mentaati apa yang disebutkan dalam persetujuan itu.
Hal ini
didasarkan pada salah satu hadis Nabi
yang berbunyi: Sayyid Sa>biq, Fiqh
As-Sunnah, Juz II, (Kairo: Da>r Al-Fath Lil I’la>m Al-‘Arabiy, 1999), At-Tirmiz|i, Sunan At-Tirmiz|i, Juz II,
(Beirut: Da>r Al-Garbi Al-Islami, 1998), Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,
(Jakarta: Kencana, 2006), " Artinya
: ‚Syarat yang
paling berhak untuk
dipenuhi adalah syarat
yang dengannya dihalalkan
kemaluan‛.
Apabila
pada masa berlangsungnya pernikahan terjanji pelanggaran atas isi perjanjian
tersebut, maka pihak
yang dirugikan boleh
menjadikannya sebagai alasan untuk meminta perceraian jika ia
menginginkannya. Hal ini dikarenakan pada
saat terjadinya pelanggaran,
perceraian tidak langsung
jatuh dengan sendirinya,
melainkan harus diajukan
terlebih dahulu kepada
Pengadilan Agama.
Isi
perjanjian pernikahan ini pada dasarnya adalah bebas, namun ada sedikit batasan yang dirumuskan oleh para ulama, yaitu
bahwa perjanjian tersebut boleh berupa apapun
dan harus ditepati
selama ia adalah
sesuatu yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam dan
hakikat pernikahan, atau
dilarang oleh syariat.
Oleh karena itu
tidak sah jika
syarat pernikahannya berupa
tidak memberi nafkah
batin maupun lahir,
tidak ada pemberian
mahar, harus menceraikan
istri sebelumnya, dan
lain-lain. Syarat-syarat seperti
ini batal dengan sendirinya dan tidak boleh dipenuhi.
Al-Bukha>ri,
S}ahi>h Al-Bukha>ri, Juz III, (Boulaq: Al-Mat}ba’ah Al-Kubra>
Al-Ami>riyyah, 1312 H), Kompilasi Hukum Islam, Pasal Sayyid Sa>biq, Fiqh As-Sunnah, 34 Demikianlah
beberapa aturan fikih
yang berkaitan dengan
pernikahan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi