Kamis, 07 Agustus 2014

Skripsi Syariah:KHURUJ SEBAGAI SYARAT NIKAH, STUDI KASUS DALAM PERNIKAHAN ANGGOTA JAMA’AH TABLIG DI DESA PAKAPURAN, AMUNTAI KALSEL


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Islam  adalah  agama  sempurna  dan  satu-satunya  yang  diridai  Allah,  sempurna  dalam  artian  bahwa  ia  mengatur  seluruh  aspek  kehidupan  manusia.
 Sebagaimana  yang  diterangkan  Muhammad  Ali  As-S}a>bu>ni  dalam  kitab  S}afwa>tut  Tafa>si>r,  bahwa  yang  dimaksud  pada  surah  al-Maidah  ayat  5  tentang  kesempurnaan agama adalah kesempurnaan syari’at,  yaitu segala sesuatu yang  bersumber  dari  Allah  sebagai  Sya>ri’,  yang  di  dalamnya  tercakup  hablum  minalla>h dan hablum minanna>s.
 Salah  satu  bentuk  konkrit  dari  hablum  minanna>s  adalah  pernikahan,  yaitu  sebuah  akad  yang  menghalalkan  kedua  belah  pihak  (suami  dan  istri)  untuk  menikmati pihak satunya.

  Hubungan  perkawinan  merupakan  suatu  fitrah  dan  kecenderungan  alami  manusia  sebagai  makhluk  jasmaniyah,  namun  ia  harus  diatur  sedemikian  rupa  demi tercapainya tujuan pernikahan yang utama, yaitu  saki>nah,  mawaddah, dan  rah}mah.  Hal  ini  disebutkan  dalam  firman  Allah  surat  ar-Ru>m  ayat  21  yang  berbunyi:  Muhammad Ali As-S}a >bu>ni, S}a fwa>tut Tafa> si>r, Juz I, (Beirut: Da>r Al-Fikr, 2001)   Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minha>j Al-Muslim, Artinya  :‚Dan  di  antara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah  dia  menciptakan  untukmu  istri-istri  dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan  merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih  dan  sayang.  Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  benar-benar  terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
 Demi  mewujudkan  tujuan  pernikahan  tersebut,  ditetapkanlah  hukum  pernikahan dari berbagai aspeknya di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Secara  umum, hukum pernikahan tersebut mencakup apa saja yang harus, boleh, atau  dilarang  dilakukan  oleh para  pihak  sebelum  pernikahan,  saat  pembacaan akad,  ketika berlangsungnya pernikahan, dan pasca berakhirnya pernikahan. Hukumhukum  tersebut  kemudian  dipahami  dan  diajarkan  oleh  para  ulama  madza>hib sesuai dengan latar belakang masing-masing.
 Diantara hukum-hukum tersebut misalnya sebelum pernikahan, pihak lakilaki  diharuskan  untuk  bersedia  membayar  mahar  (maskawin)  kepada  pihak  perempuan  yang  menjadi  simbol  penghormatan  Islam  kepada  kedudukan  perempuan.  dimana mahar tersebut hanya diperuntukkan kepada pihak istri dan  tidak boleh  disentuh  oleh siapapun tanpa kerelaannya.
  Kewajiban menunaikan  mahar tersebut diterangkan dalam surat an-Nisa>’  ayat 4: ً ة َ ل ْ ِ نِ َّ ن ِ ِ تِا َ ق ُ د َ ص َ ءا َ سِّ نلا ا و ُ تَ آ َ و Artinya  :‚  Berikanlah  maskawin  (mahar)  kepada  wanita  (yang  kamu  nikahi)  sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
  H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 37   Batasan minimal atau maksimal atas kuantitas maupun kualitas mahar pada  dasarnya  tidak  ditentukan  dalam  syari’at,  selama  ia  adalah  sesuatu  yang  bernilai, banyak atau sedikit. Sesuatu yang bernilai tersebut bisa berupa  materi ataupun  non-materi  seperti  mengajarkan  al-Qur’an  kepada  istrinya.
  Hal  ini  tersirat dalam sebuah hadis yang berbunyi: Artinya  :  Seorang  wanita  dari  suku  Bani  Faza>rah  menikah  dengan  mahar  sepasang  sandal.  Rasulullah  pun  bertanya  ‚Apakah  kamu  merelakan  dirimu  dan  segala  yang  kamu  punyai  dengan  sepasang  sandal? wanita itu menjawab ‚ya. Maka Rasulullah pun membolehkannya.
  Adapun  saat  berlangsungnya  pernikahan,  diperbolehkan  pula  bagi  para  pihak  untuk  mengadakan  perjanjian  pernikahan,  yaitu  suatu  persetujuan  yang  dibuat  oleh  kedua  calon  mempelai  pada  waktu  atau  sebelum  perkawinan  dilangsungkan,  dan  masing-masing  pihak  tersebut  berjanji  akan  mentaati  apa  yang disebutkan dalam persetujuan itu.
  Hal ini didasarkan pada salah satu hadis  Nabi yang berbunyi:  Sayyid Sa>biq, Fiqh As-Sunnah, Juz II, (Kairo: Da>r Al-Fath Lil I’la>m Al-‘Arabiy, 1999),   At-Tirmiz|i, Sunan At-Tirmiz|i, Juz II, (Beirut: Da>r Al-Garbi Al-Islami, 1998),   Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), " Artinya  :  ‚Syarat  yang  paling  berhak  untuk  dipenuhi  adalah  syarat  yang  dengannya dihalalkan kemaluan.
  Apabila pada masa berlangsungnya pernikahan terjanji pelanggaran atas isi  perjanjian  tersebut,  maka  pihak  yang  dirugikan  boleh  menjadikannya  sebagai  alasan untuk meminta perceraian jika ia menginginkannya.  Hal ini dikarenakan  pada  saat  terjadinya  pelanggaran,  perceraian  tidak  langsung  jatuh  dengan  sendirinya,  melainkan  harus  diajukan  terlebih  dahulu  kepada  Pengadilan  Agama.
  Isi perjanjian pernikahan ini pada dasarnya adalah bebas, namun ada sedikit  batasan yang dirumuskan oleh para ulama, yaitu bahwa perjanjian tersebut boleh  berupa  apapun  dan  harus  ditepati  selama  ia  adalah  sesuatu  yang  tidak  bertentangan  dengan  hukum  Islam  dan  hakikat  pernikahan,  atau  dilarang  oleh  syariat.  Oleh  karena  itu  tidak  sah  jika  syarat  pernikahannya  berupa  tidak  memberi  nafkah  batin  maupun  lahir,  tidak  ada  pemberian  mahar,  harus  menceraikan  istri  sebelumnya,  dan  lain-lain.  Syarat-syarat  seperti  ini  batal  dengan sendirinya dan tidak boleh dipenuhi.
   Al-Bukha>ri, S}ahi>h Al-Bukha>ri, Juz III, (Boulaq: Al-Mat}ba’ah Al-Kubra> Al-Ami>riyyah, 1312  H),   Kompilasi Hukum Islam, Pasal   Sayyid Sa>biq, Fiqh As-Sunnah, 34   Demikianlah  beberapa  aturan  fikih  yang  berkaitan  dengan  pernikahan.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi