Jumat, 08 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS TENTANG SAHNYA WANITA MENIKAH TANPA WALI MENURUT PENDAPAT AHMAD HASSAN


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Perkawinan adalah sunnatulla>h, hukum alam di dunia. Perkawinan  dilakukan oleh manusia, hewan, bahkan olah tumbuh-tumbuhan.
  Pernikahan  dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. Dapatlah dipahami  bahwa nikah merupakan suatu ikatan perjanjian yang sakral dan kekal antara  seorang lelaki (calon suami) dengan seorang perempuan (calon istri) untuk  bersama-sama sepakat saling mengikat diantara keduanya, hidup bersama  dalam membentuk lembaga keluarga(rumah tangga) agar memperoleh  kedamaian hati, ketentraman jiwa, dan cinta kasih.
  Sebagaimana yang  difirmankan oleh Allah SWT dalam surat ar-Ru>mayat 21 :  َ  Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan  untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa  tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
  Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), h.

  Didi Jubaedi Ismail, Membina Rumah Tangga Islami di Bawah Ridha Ilahi, h. 64   Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi  kaum yang berpikir.(Q.S. ar-Ru>m : 21).
  Serta dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan  bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang wanita dan  seorang pria sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah  tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”  Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 disebutkan  bahwa “perkawinan yang sah menurut hukum Islam merupakan pernikahan,  yaitu akad yang kuat atau mis|a>qan gali>d}anuntuk menaati perintah Allah dan  melaksanakannya merupakan ibadah.”  Dan yang dimaksud istilah Kompilasi Hukum Islam adalah sebuah  buku yang berisi kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah atau garis-garis  hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum perkawinan, hukum kewarisan,  dan hukum perwakafan yang disusun secara sistematis.
  Sesuai dengan fitrahnya, bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri,  dalam arti ia memiliki sifat ketergantungan dan saling membutuhkan.
 Demikian halnya antara pria dan wanita, mereka sama-sama saling  membutuhkan. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa hidup berpasangpasangan, hidup berjodoh adalah nalurisegala makhluk Allah, termasuk   Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
  Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum (UU no.1 tahun 1974),pasal 1, h.
  Depag RI, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, pasal 2, h.
  Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, h. 38   manusia.
  Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasangpasangan inilah Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak  dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya,sebagaimana tercantum  dalam surat an-Nisa>’ayat 1 Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah  menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan  istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan  perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan  (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan  (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan  mengawasi kamu. (Q.S. an-Nisa>’ : 1).
  Agar hubungan antara pria dan wanita ini dapat terjalin secara  harmonis dan lebih langgeng, maka Islam mengaturnya melalui ketentuanketentuan hukum tata cara hidup berumah tangga, yang lebih dikenal dengan  fiqih muna>kah}at(hukum perkawinan).
 Agama Islam mengisyaratkan nikah sebagai satu-satunya bentuk  hidup secara pasangan yang dibenarkan yang kemudian dianjurkan untuk  dikembangkan dalam pembentukan keluarga. Melalui lembaga nikah,  kebutuhan naluriah manusia (yang mengharuskan dan mendorong adanya   Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h.
  Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 114   hubungan antara pria dan wanita) tersalurkan secara terhormat sekaligus  memenuhi panggilan watak kemasyarakatan dari kehidupan manusia itu  sendiri dan panggilan moral yang ditegakkan oleh agama.
 Nikah adalah satu asas atau pokok yang terutama untuk hidup dalam  pergaulan yang sempurna, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat  mulia untuk teraturnya kehidupan rumah tangga dan turunan, tetapi ia pun  sebagai satu pintu untuk berkenalan antara satu kaum dengan yang lain, yang  mana perkenalan itu akan menjadi jalan buat menyampaikan kepada tolong  menolong antara satu dengan yang lainnya.
 Dalam hukum Islam, untuk dapat melakukan perkawinan secara sah,  harus dilakukan sesuai rukun dan syarat perkawinan. Tanpa terpenuhinya  syarat maupun rukun-rukun yang dimaksud, maka perkawinan dinyatakan  batal. Hukum Islam mamasukan adanyawali bagi mempelai perempuan  sebagai salah satu rukun perkawinan. Suatu perkawinan yang dilangsungkan  tanpa wali, atau wali bukanlah orang yang berhak, maka perkawinan tersebut  menjadi batal (tidak sah).
  Dalam prakteknya tidak sedikit adanya hubungan muda-mudi yang  tidak direstui orang tuanya sehinggamengambil jalan pintas dengan cara  menikah tanpa wali. Dalam kaitan ini ada hadits yang menegaskan sebagai  berikut :   Slamet Abidin dkk, Fiqih Munakahat, h. 100   Dalam riwayat Abi> Burda>h ibn Abu> Musa> dari Rasulullah SAW,  beliau bersabda :  ﹶ   ِﻧ َﺡ    ِﺍ ﱠﻻ   ِﺑ َﻮ ِﻟ ﱟﻲﻩﺍﻭﺭ   ﻡﺎﻣﻹﺍ   ﺔﺴﻤﳋﺍ   ﻻﺍ   ﻰﺋﺎﺴﻨﻟﺍ ( Artinya : “tidak ada nikah sama sekalikecuali dengan adanya seorang wali”  (H.R Kelompok Imam lima kecuali an-Nasa>’i).
 Dari hadits di atas menunjukkan bahwa adanya wali merupakan  bagian yang mutlak untuk sahnya pernikahan. Akan tetapi adanya keberanian  muda-mudi melakukan nikah tanpa walibukan tidak berdasar, melainkan  karena adanya sebagian ulama yangmembolehkan wanita gadis menikah  tanpa wali. Salah seorang di antaranya adalah Ahmad Hassan yang  menegaskan :  Keterangan-keterangan itu tak dapat dijadikan alasan untuk  mewajibkan perempuan menikah harus disertai wali, karena berlawanan  dengan beberapa keterangan dari al-Qur'an, Hadits dan riwayatnya yang  sahih dan kuat. Dengan tertolaknya keterangan-keterangan yang mewajibkan  wali itu, berarti wali tidak perlu, artinya tiap-tiap wanita boleh menikah  tanpa wali. Jika sekiranya seorang wanita tidak boleh menikah kecuali harus  ada wali, tentunya al-Qur'an menyebutkan tentang itu.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi