Kamis, 07 Agustus 2014

Skripsi Syariah:STUDI ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA MALANG NOMOR: 0457/Pdt. G/2011/PA. Mlg TENTANG SISA HARTA WARIS YANG DIBERIKAN KEPADA LEMBAGA AMIL, ZAKAT, INFAK DAN SEDEKAH


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris seringkali menjadi  krusial yang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan hubungan  keluarga. Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, di  samping karena kekurangtahuan pihak-pihak yang terkait mengenai hukum  pembagian waris.
Syariat Islam telah meletakkan sistem kewarisan dalam aturan yang  paling baik, bijak, dan adil. Agama Islam menetapkan hak pemilikan benda bagi  manusia, baik laki-laki maupun perempuan dalam petunjuk syara’, seperti  memindahkan hak milik seseorang pada waktu masih hidup kepada ahli warisnya  atau setelah dia meninggal, tanpa melihat perbedaan antara anak kecil dan orang  dewasa.
Hukum kewarisan Islam atau dalam kitab-kitab fiqih biasa disebut fara>’id} adalah hukum kewarisan yang diikuti oleh umat Islam dalam usaha mereka  menyelesaikan pembagian harta peninggalan keluarga yang meninggal dunia.

 Ilmu waris termasuk ajaran ilmu  syari’at yang memiliki kedudukan  tinggi. Ilmu yang menangani tentang waris ini merupakan sebuah disiplin ilmu   Amir Syarifudddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 35.
1  2  yang Allah sendiri berkenan menjelaskan pembagiannya secara tegas. Allah  SWT berfirman dalam al-Quran surat An Nisa>’ ayat: 11 yang berbunyi Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)  anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagaian  dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih  dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika  anak perempuan itu seorang saja, Makaia memperoleh separo harta. dan  untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta  yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang  yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya  (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu  mempunyai beberapa saudara, Makaibunya mendapat seperenam.
(Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia  buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan  anakanakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih  dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
 Ditambah beberapa hadis Nabi SAW. yang memperjelas kandungan ayatayat tersebut. Dengan begitu mayoritas pembahasan hukum kewarisan dalam  Islam tidak keluar dari dua sumber pokok tersebut.
Hukum kewarisan Islam adalah hukumyang mengatur segala sesuatu  yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan  seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum kewarisan   Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Kudus: Mubarokatan Toyyibah), 78.
Bagi umat Islam melaksanakan syariat yang ditunjuk oleh  nas-nas yang sarih adalah keharusan. Oleh sebab itu pelaksanaan waris  bedasarkan hukum waris Islam bersifat wajib.
Kemudian Allah menetapkan hak kewarisan dalam al-Quran dengan  angka yang pasti yaitu : 1/2 ; 1/3 ; 1/4 ; 1/6 ; 1/8 ; dan 2/3 menyebutkan pula  orang yang memperoleh harta warisan menurut angka-angka tersebut, seperti  anak perempuan, ibu dll.
 Hukum kewarisan Islam di samping memuat ahli waris dengan  kedudukan tertentu dan bagian yang telah pasti. Ada juga di antara mereka ahli  waris yang tidak disebutkan bagiannya secara pasti, seperti anak laki-laki dan   Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 22.
 Otje Salman dan Mustofa Hanffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: PT Refika Aditama,  2000), 4.
 Amir Syarifudddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 40.
4  saudara laki-laki atau seayah.
 Dalam kelompok kerabat laki-laki ini dalam  penggunaan pengertian bahasa arab biasanya disebut ‘as}abah.Dikatakan tidak  pasti karena ahli waris ‘as}abahterkadang tidak mendapatkan harta waris atau  juga bisa mendapatkan harta waris. Bahkan bisa berhak atas seluruh harta atau  sisa harta waris.
Dalam Hukum Kewarisan Islam dikenal juga dengan adanya masalah  radd. Masalah ini terjadi, apabila dalam pembagian harta waris terdapat sisa  harta setelah ahli waris as}h}a>bul furu>d}  6 memperoleh bagiannya. Cara radd  ditempuh untuk mengembalikan sisa harta tersebut kepada ahli waris as}h}abul  furu>d} seimbang dengan bagian yang diterimamasing-masing secara proporsional.
Caranya adalah mengurangi angka asal masalah, sehingga sama besarnya dengan  jumlah bagian yang diterima oleh mereka. Apabila tidak ditempuh dengan cara  radd akan menimbulkan persoalan siapa yang berhak menerimanya, sementara  tidak ada ahli waris yang menerima ‘as}abah.
 Hukum Kewarisan Islam juga memuat ahli waris z|awil arha>m, apabila  tidak ada as|h}abul furu>d}dan ‘as}abah. Mereka adalah ahli waris yang tidak  mempunyai bagian tertentu dalam al quran dan sunnah dan bukan termasuk  ‘as}abah. Dengan ungkapan yang lebih ringkas: mereka yang bukan as|h}abul furu>d} dan bukan ‘aho>bah. Maka setiap kerabat yang mempunyai hubungan kekerabatan   St. Rahma, “Kedudukan Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Islam”, Jurnal Imiah  Keagamaan dan Kemasyarakatan, 16, (Mei-Agustus, 2005), 11.
} � n y � �= /span>adil.  Sebab,  Islam mengakui  pemilikan  seseorang  atas  harta,  baik  ia  laki-laki  atau  perempuan,  melalui  jalan  yang  dibenarkan  syariah,  sebagaimana  Islam  mengakui  berpindahnya  sesuatu  yang  dimiliki  seseorang  ketika  hidupnya  kepada  ahli  warisnya sesudah matinya, baik ahli waris itu laki-laki atau perempuan, tanpa  membedakan antara anak kecil atau orang dewasa.
 Al-Qur’an yang mulia telah menerangkan hukum-hukum kewarisan,  keadaan-keadaan setiap ahli waris dengan penjelasan yang  cukup memadai, di  mana tidak seorang pun di antara manusia yang luput dari bagian atau batasan  warisan.  Sebab,  Al-Qur’an  sebagai  sandaran  dalam  menetapkan  hukum  dan  kadar bagiannya.
   Surahwadi K. Lubis, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 1.
  Muhammad Ali Ash-shabuniy, Hukum Waris Islam, ( Surabaya: Al- Ikhlas, 1995),  47.
  Di antara aturan yang mengatur hubungan antar sesama manusia yang  diciptakan  Allah  adalah  aturan  tentang  harta  warisan  (Hukum  Kewarisan  Islam)  yang  mengatur  peralihan  harta  dari  seseorang  yang  telah  meninggal  kepada yang masih hidup.  Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah  meninggal  dunia  memerlukan  pengaturan  tentang  siapa  yang  berhak  menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.
 Berkaitan dengan masalah waris, hukum Islam telah mengatur dengan  sedemikian rupa sebagaimana yang termaktub dalam al- Qur’anArtinya:  “Allah  mensyariatkan  bagimu  tentang  pembagian  pusaka  untuk  anakanakmu.  Yaitu:  bagian  seorang  anak  laki-laki  sama  dengan  bagian  dua  anak  perempuan;  dan  jika  anak  itu  semuanya  anak  perempuan  lebih  dari  dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika  anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan  untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta  yang  ditinggalkan,  jika  yang  meninggal  itu  mempunyai  anak;  jika  orang  yang  meninggal  itu  tidak  mempunyai  anak  dan  ia  diwarisi  oleh  bapakibunya  (saja),  maka  ibunya  mendapat  sepertiga;  jika  yang  meninggal  itu  mempunyai  beberapa  saudara,  maka  ibunya  mendapat  seperenam.
 (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia  buat  atau  (dan)  sesudah  dibayar  hutangnya.  (Tentang)  orang  tuamu  dan  anak-anakmu,  kamu  tidak  mengetahui  siapa  diantara  mereka  yang  lebih  dekat  (banyak)  manfaatnya  bagimu.Ini  adalah  ketetapan  dari   Allah.Sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S.
 An-Nisa’ :11).
  Surat An-nisa’ ayat 12: َ Artinya: “  Dan  bagimu  (suami-suami)  seperdua  dari  harta  yang  ditinggalkan  oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteriisterimu  itu  mempunyai  anak,  Maka  kamu  mendapat  seperempat  dari  harta  yang  ditinggalkannya  sesudah  dipenuhi  wasiat  yang  mereka  buat  atau  (dan)  seduahdibayar  hutangnya.  para  isteri  memperoleh  seperempat  harta  yang  kamu  tinggalkan  jika  kamu  tidak  mempunyai  anak.  jika  kamu  mempunyai  anak,  Maka  para  isteri  memperoleh  seperdelapan  dari  harta  yang  kamu  tinggalkan  sesudah  dipenuhi  wasiat  yang  kamu  buat  atau  (dan)  sesudah  dibayar  hutang-hutangmu.  Jika  seseorang  mati,  baik  laki-laki  maupun  perempuan  yang  tidak  meninggalkan  ayah  dan  tidak  meninggalkan  anak,  tetapi  mempunyai  seorang  saudara  laki-laki  (seibu  saja)  atau  seorang  saudara  perempuan  (seibu  saja),  Maka  bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
 tetapi  jika  Saudara-saudara  seibu  itu  lebih  dari  seorang,  Maka  mereka  bersekutu  dalam  yang  sepertiga  itu,  sesudah  dipenuhi  wasiat  yang  dibuat  olehnya  atau  sesudah  dibayar  hutangnya  dengan  tidak  memberi  mudharat  (kepada  ahli  waris)[274].  (Allah  menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at  yang benar-benar   Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Syaamil Cipta Media,  2005), 78.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi