BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama Islam
yang dibawakan Nabi
Muhammad SAW merupakan sebuah
aturan yang lengkap
dan sempurna yang
mengatur segala aspek kehidupan untuk
keselamatan dunia dan
akhirat. Salah satu
syari’at yang diatur
dalam agama Islam
adalah tentang hukum
waris, yakni pemindahan harta
waris kepada ahli
waris yang berhak
menerimanya. Harta waris
yaitu segala jenis
harta benda atau
kepemilikan yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa uang, tanah dan sebagainya.
Hukum kewarisan
menempati tempat yang
sangat penting dalam perkembangan sejarah
hukum Islam. Karenanya,
para fuqaha banyak membincangkan masalah tersebut, mulai dari
masalah klasik sampai modern.
Bahkan
para fuqaha menjadikan
hukum tersebut sebagai
salah satu cabang ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu
“waris” atau faraid.
Bagi seorang
muslim, tidak terkecuali apakah
dia laki-laki atau perempuan yang
tidak memahami atau
tidak mengerti hukum
waris Islam maka wajib
hukumnya (dilaksanakan berpahala,
tidak dilaksanakan berdosa)
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pmembagian Warisan Menurut Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam,
(Yogyakarta: bagian penerbit FE UII, 1990), 7 baginya
untuk mempelajarinya. Dan
sebaliknya bagi siapa
saja yang telah memahami
dan menguasai hukum waris Islam, maka berkewajiban
pula untuk mengajarkannya kepada
orang lain. Kewajiban
belajar dan mengajarkan tersebut
dimaksudkan agar di
kalangan kaum muslimin
(khususnya dalam keluarga)
tidak terjadi perselisihan-perselisihan disebabkan
masalah pembagian harta
warisan yang pada
gilirannya akan melahirkan perpecahan/keretakan dalam hubungan
kekeluargaan kaum muslimin.
Syariat
Islam telah menetapkan peraturan-peraturan untuk mewaris di atas
sebaik-baik aturan kekayaan,
terjelas dan paling
adil. Sebab, Islam mengakui pemilikan
seseorang atas harta,
baik ia laki-laki
atau perempuan, melalui
jalan yang dibenarkan
syariah, sebagaimana Islam
mengakui berpindahnya sesuatu
yang dimiliki seseorang
ketika hidupnya kepada
ahli warisnya sesudah matinya,
baik ahli waris itu laki-laki atau perempuan, tanpa membedakan antara anak kecil atau orang dewasa.
Al-Qur’an yang mulia telah menerangkan
hukum-hukum kewarisan, keadaan-keadaan
setiap ahli waris dengan penjelasan yang
cukup memadai, di mana tidak
seorang pun di antara manusia yang luput dari bagian atau batasan warisan.
Sebab, Al-Qur’an sebagai
sandaran dalam menetapkan
hukum dan kadar bagiannya.
Surahwadi
K. Lubis, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 1.
Muhammad
Ali Ash-shabuniy, Hukum Waris Islam, ( Surabaya: Al- Ikhlas, 1995), 47.
Di
antara aturan yang mengatur hubungan antar sesama manusia yang diciptakan
Allah adalah aturan
tentang harta warisan
(Hukum Kewarisan Islam)
yang mengatur peralihan
harta dari seseorang
yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang
telah meninggal dunia
memerlukan pengaturan tentang
siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana
cara mendapatkannya.
Berkaitan dengan masalah waris, hukum Islam
telah mengatur dengan sedemikian rupa
sebagaimana yang termaktub dalam al- Qur’anArtinya: “Allah
mensyariatkan bagimu tentang
pembagian pusaka untuk
anakanakmu. Yaitu: bagian
seorang anak laki-laki
sama dengan bagian
dua anak perempuan;
dan jika anak
itu semuanya anak
perempuan lebih dari dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal
itu tidak mempunyai
anak dan ia
diwarisi oleh bapakibunya
(saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya
mendapat seperenam.
(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui
siapa diantara mereka
yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu.Ini
adalah ketetapan dari Allah.Sesungguhnya
Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q.S.
An-Nisa’ :11).
Surat
An-nisa’ ayat 12: َ Artinya:
“ Dan
bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang
ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteriisterimu itu
mempunyai anak, Maka
kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau (dan) seduahdibayar
hutangnya. para isteri memperoleh
seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai
anak. jika kamu
mempunyai anak, Maka
para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu
saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta.
tetapi
jika Saudara-saudara seibu
itu lebih dari
seorang, Maka mereka
bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan
tidak memberi mudharat
(kepada ahli waris)[274].
(Allah menetapkan yang demikian
itu sebagai) syari'at yang benar-benar Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2005), 78.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi