BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Skripsi Hukum: Implementasi sistem pembebasan bersyarat terhadap narapidana narkotika di lembaga pemasyarakatan narkotika
Negara Indonesia saat ini telah
menjadi salah satu negara sasaran peredaran gelap narkotika.
Dewasa ini Indonesia
bukan lagi dinilai
sebagai konsumen narkotika, bahkan telah berkembang menjadi
salah satu negara produsen narkotika.
Peredaraan gelap
dan penyalahgunaan narkoba
sudah menjadi suatu
kejahatan yang berskala
transnasional dan internasional. Para
pelaku kejahatan ini
adalah para sindikat
yang sangat profesional
dan militan. Kegiatan
operasionalnya dilakukan secara
konsepsional, terorganisir dengan rapi, sistematis, menggunakan modus
operandi yang berubah-ubah,
didukung oleh dana
yang tidak sedikit
dan dilengkapi dengan alat serta
peralatan yang berteknologi tinggi dan canggih.
Di tengah
situasi meningkatnya kejahatan
narkoba seperti dewasa
ini, maka realitas
penegakan hukum di
atas potensial menjadi
faktor kriminogen bagi
timbul dan meluasnya
kejahatan narkoba itu
sendiri.
Sebab efektivitas
berlakunya hukum di
masyarakat seringkali justru ditentukan
oleh bagaimana hukum
tersebut ditampilkan secara
kongkrit oleh para petugas hukum
(M. Abdul Kholiq AF.2003:63).
Kecenderungan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika ini setiap tahun
terus mengalami peningkatan, hal ini telah menjadi ancaman bahaya yang serius terhadap berbagai aspek kehidupan
manusia, masyarakat, dan bangsa. “Di dalam buku Badan Narkotika Nasional
Menyebutkan Penanggulangan tidak saja membutuhkan komitmen
dan kesanggupan semua
pihak, tetapi juga
aksi nyata semua
jajaran pemerintah, pihak
legislatif baik pusat
maupun daerah dan partisipasi
aktif seluruh lapisan masyarakat”(Anang Iskandar, 2009:1).
Berdasarkan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika
yang berlaku di Indonesia, pengertian dari narkotika itu sendiri adalah “zat
atau obat yang
berasal dari tanaman
atau bukan tanaman,
baik sintesis maupun
semi sintesis, yang
dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan”.
Undang-undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
tidak melarang penggunaan
narkotika, apabila narkotika
tersebut digunakan sebagaimana
mestinya untuk keperluan medis dan keperluan penelitian atau ilmu pengetahuan.
Taufik Makarao menyatakan : Narkotika
apabila dipergunakan secara proporsial, artinya sesuai menurut asas
pemanfaatan, baik untuk
kesehatan maupun untuk
kepentingan penelitian ilmu
pengetahuan, maka hal
tersebut tidak dapat
dikualisir sebagai tindak pidana
narkotika. Akan tetapi apabila dipergunakan untuk maksud-maksud yang
lain daripada itu,
maka perbuatan tersebut
dapat dikategorikan sebagai
perbuatan yang jelas sebagai perbuatan pidana dan atau penyalahgunaan narkotika (Taufik Makarao,
2003:43-44).
Tindak pidana
narkotika dapat diartikan
dengan suatu perbuatan
yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum
narkotika, dalam hal
ini adalah UndangUndang No 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk
dan/atau tidak bertentangan
dengan undang-undang tersebut.
Tindak pidana narkotika tersebut dapat berupa penyalahgunaan
narkotika dan peredaran gelap narkotika.
Undang-Undang No 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika telah menentukan perbuatan-perbuatan apa
saja yang dilarang
dan diancam dengan
sanksi pidana dalam
hubungannya dengan narkotika,
perbuatan-perbuatan tersebut dikenal sebagai
tindak pidana narkotika.
Undang-undang Narkotika tersebut
telah menjelaskan penyalahgunaan narkotika
termasuk kualifikasi perbuatan
pidana (delict) yang
pelakunya diancam dengan
sanksi pidana karena
pemakaian narkotika dilakukan
oleh seseorang yang tanpa hak dan melawan hukum. Seperti yang
di tegaskan dalam
Jurnal Internasional yang
berjudul Is Proverty
To Be Blamed For Narcotic Abuse? A Case Study Of
Pakistan, bahwa “Narcotic abuse is
defined by impaired
function and interference
in the daily
life of the
users.
Users often
develop serious physical,
social, and mental
health problems that compromise wellbeing
and affect family
and friends” (Mohammad
Raza Ullah Khan Niazi, 2009:147-148). Artinya Penyalahgunaan narkotika ini
didefinisikan oleh fungsi
gangguan dan gangguan
dalam kehidupan sehari-hari
pengguna.
Pengguna sering
mengembangkan serius gejala
fisik, sosial, dan
masalah kesehatan mental
yang kompromi kesejahteraan
serta dapat mempengaruhi keluarga dan teman.
Pengedar narkotika dalam
terminologis hukum dikatagorikan sebagai pelaku (daders) akan tetapi pengguna dapat
dikatagorikan baik sebagai pelaku atau korban.
Pelaku penyalahguna
narkotika terbagi atas
dua katagori yaitu
pelaku sebagai pengedar
dan/atau pemakai. Secara
eksplisit tidak dijelaskan
pengertian pengedar narkotika,
tetapi secara implisit
dan sempit dapat
dikatakan bahwa pengedar narkotika
adalah orang yang
melakukan kegiatan penyaluran
dan penyerahan narkotika. “Akan tetapi, secara luas
pengertian pengedar narkotika tersebut juga dapat dilakukan
dan berorientasi kepada
dimennsi penjual, pembeli
untuk diedarkan, menyangkut,
menyimpan, menguasai, menyediakan,
melakukan kegiatan mengekpor
dan mengimport narkotika”(http://pn-kepanjen.go.id/ option =com_content &task= view&id= 163/
diakses tanggal 20 Februari 2012).
Melihat banyaknya
pelaku tindak pidana
narkotika, pemerintah telah berinisiatif membuat
lembaga pemasyarakatan narkotika
yang dikhususkan bagi para produsen
dan pengedar narkotika,
sedangkan bagi pengguna
atau korban narkotika telah dibuatkan tempat rehabilitasi.
Penyalahguna narkotika yang telah terbukti bersalah
dan diputuskan oleh
hakim untuk menjalani
pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)
Narkotika yang di
dalam Undang-Undang Narkotika
bahwa narapidana narkotika
harus dilakukan perawatan
di Lembaga Pemasyarakatan
Narkotika karena hal
tersebut sebagai bagian
dari pembinaan.
Fungsi dari pidana penjara, tidak
hanya sekedar penjaraan tetapi juga
merupakan suatu usaha rehabilitas dan
reintegrasi sosial.
Konsep pemasyarakatan di
Indonesia memiliki tujuan dari pidana penjara di
samping menimbulkan derita
pada terpidana karena
dihilangkannya kemerdekaan bergerak,
juga ditujukan untuk
membimbing terpidana agar bertaubat, mendidik
supaya ia menjadi
anggota masyarakat Indonesia
yang berguna. “Pemasyarakatan sebagai
tujuan dari pidana
penjara, pada tanggal
27 April 1964
dalam Konferensi Jawatan
Kepenjaraan yang dilaksanakan
di Lembang Bandung,
istilah pemasyarakatan dibakukan
sebagai pengganti kepenjaraan”(Harsono, 2005:1).
Secara filosofis pemasyarakatan adalah
sistem pemidanaan yang
sudah jauh bergerak
meninggalkan filosofis retributif
(Pembalasan), deterence (Penjeraan)
dan resosialisasi. Menurut
Pasal 1 Angka
(1) Peraturan Pemerintah No.
32 Tahun 1999
Tentang Syarat Dan
Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan bahwa Pembinaan
adalah kegiatan untuk
meningkatkan kualitas ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional,
kesehatan jasmani dan
rohani Narapidana dan
Aanak Didik Pemasyarakatan. Pembinaan
yang dilaksanakan dalam
sistem pemasyarakatan tidak
terlepas dari instansi
pelaksanaannya. Pembinaan yang
dilakukan hanya dapat diberikan kepada narapidana bukan kepada tahanan karena disamping yang mempunyai
kekuatan hukum yang
tetap ia juga
masih dalam tahap
proses penyidikan, penuntutan
maupun persidangan di pengadilan.
Berdasarkan Pasal
2 Undang–undang No.12
Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
ditegaskan bahwa tujuan
dari sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam
rangka, membentuk warga
binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia
seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan
tidak mengulangi tindak
pidana, sehingga diterima
kembali dilingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan
dapat hidup secara wajar, sebagai warga yang
baik dan bertanggung
jawab, untuk tercapainya
tujuan dari sistem pemasyarakatan tersebut diberikan program
kepada narapidana narkotika berupa Pembebasan
bersyarat dan Cuti
mengunjungi keluarga. Pembinaan
yang dilaksanakan dalam
sistem pemasyarakatan, menurut
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan di
dalam Pasal 6 menyebutkan “Bahwa
pembinaan dapat dilakukan
secara intramural dan ekstramural yaitu
di dalam Lembaga
Pemasyarakatan dan di
luar Lembaga Pemasyarakatan, dengan arti kata pembinaan itu
dijalankan secara bertahap”.
Pembinaan di
luar Lembaga Pemasyarakatan ini
merupakan pembinaan pada tahap integrasi yaitu dalam bentuk
pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. Pembinaan
dan pengawasannya dilaksanakan
oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS)
(Soedjono Dirdjo Sisworo,
1984: 21-24). “Maksudnya
adalah pembinaan dalam tahap
integrasi ini dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan, dan pengawasan terhadap pembinaan dalam tahap
integrasi ini juga dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan merupakan
suatu pranata untuk
melaksanakan bimbingan klien
pemasyarakatan”(Pasal 1 Angka
(4) Undang-Undang No.
12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan).
Pemberian Pembebasan
bersyarat jika dilihat
secara implisit maupun eksplisit merupakan hadiah atau remisi dari Negara bagi
narapidana untuk bebas lebih awal dari masa hukuman yang sebenarnya.
Untuk mendapatkan pembebasan bersyarat,
narapidana narkotika harus memenuhi
syarat dan tata cara yang diatur dalam Pasal
42 A ayat
(3) Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun
1999 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 28
Tahun 2006 Tentang
Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, yang
dimana peraturan pemerintah tersebut menyebutkan bahwa Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan
tindak pidana terorisme,
narkotika dan psikotropika,
korupsi, kejahatan terhadap
keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan
kejahatan transnasional terorganisasi
lainnya, diberikan Cuti
Menjelang Bebas oleh Menteri
apabila memenuhi persyaratan.
Pembebasan Bersyarat
bagi narapidana, berada
sepenuhnya di tengahtengah keluarga dan masyarakat dengan
maksud memberikan kesempatan kepada narapidana
untuk belajar bergaul
dengan keluarga dan
masyarakat yang selama mereka
di dalam Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) terputus,
agar kelak nanti setelah
menjalani pidananya mereka dapat hidup wajar di tengah-tengah keluarga dan
masyarakat. Namun, proses
pembinaan melalui pemberian
Pembebasan Bersyarat kepada
narapidana pelaksanaannya tidaklah mudah, karena dibutuhkan persiapan,
kemampuan dan kerja
keras dari petugas
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
Dewasa ini pelaksanaan pembebasan
bersyarat masih mengalami kendala bagi para
narapidana. Pelaksanaan pembebasan
bersyarat tersebut mengalami suatu
permasalahan yang menyulitkan
Lapas Narkotika atau
Narapidana yang sudah
menjalani syarat dan
ketentuan yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Syarat dan
Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Berdasarkan latar belakang
diatas, penulis ingin
meneliti lebih lanjut tentang pelaksanaan syarat dan tata cara untuk
mendapatkan sistem pembebasan bersyarat dan
kendala apa yang
menghalangi atau yang
menjadi suatu permasalahan
bagi narapidana yang
ingin mendapatkan sistem
pembebasan bersyarat. Oleh
karena itu sangat
penting untuk dilakukan
kajian lebih jauh, sehingga penulis
memilih judul penelitian:
IMPLEMENTASI SISTEM PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA
NARKOTIKA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS
II A YOGYAKARTA.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar
belakang yang telah
diapaparkan diatas, maka
penulis merumuskan masalah
untuk mempermudah pemahaman
terhadap permasalahan yang
akan dibahas serta
untuk lebih mengarahkan
pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai
berikut : .
1. Bagaimana
Implementasi Sistem Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
Klas II A Yogyakarta?.
2. Kendala
apa saja yang
terdapat dalam Implementasi
Sistem Pembebasan Bersyarat
Terhadap Narapidana Narkotika
di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A
Yogyakarta?.
C. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan penelitian yang
ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah :.
1. Tujuan Objektif .
a. Untuk
meneliti Implementasi Sistem
Pembebasan Bersyarat Terhadap Narapidana
Narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Klas
II A Yogyakarta.
b. Untuk
meneliti kendala yang
terdapat dalam Mengimplementasikan Sistem Pembebasan
Bersyarat Terhadap Narapidana
Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A
Yogyakarta.
2. Tujuan Subyektif.
a. Untuk
memperoleh bahan hukum
dan informasi sebagai
bahan utama penyusunan
penulisan hukum untuk
memenuhi persyaratan wajib
bagi setiap mahasiswa
dalam meraih gelar
kesarjanaan pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
b. Untuk
menambah, memperluas, mengembangkan
wawasan, pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman aspek
hukum dalam teori dan praktek lapangan
hukum yang sangat
berarti bagi penulis.
Untuk menerapkan ilmu-ilmu
dan teori-teori hukum
yang telah penulis
peroleh, agar dapat memberi manfaat
bagi penulis sendiri
khususnya dan masyarakat
pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian.
Suatu penelitian
akan mempunyai nilai
apabila penelitian tersebut memberi
manfaat bagi para
pihak. Adapun manfaat
yang dapat diperoleh
dari tulisan hukum ini adalah :.
1. Manfaat Teoritis :.
Memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan
ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya mengenai
implementasi sistem pembebasan bersyarat
terhadap narapidana narkotika,
serta menambah literatur
atau bahan-bahan informasi
ilmiah yang dapat
digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian serupa.
2. Manfaat Praktis :.
a. Mengembangkan
daya penalaran dan
membentuk pola pikir
dinamis penulis, sehingga
dapat mengetahui kemampuan
penulis atas ilmu
yang telah diperoleh.
b. Memberikan jawaban atas permasalahan yang
diteliti.
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat
membantu dan memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak yang
berkepentingan dengan penelitian ini.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi