BAB I.
PENDAHULUAN.
A.Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Pengaruh The Basel Core Principles Terhadap Undang-Undang Bank Indonesia Dan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
Bank merupakan
salah satu komponen
penting dalam peningkatan pembangunan,
dimana kegiatan perbankan
sendiri didasarkan pada
adanya kepercayaan dari
masyarakat yang menyimpan
dana mereka di
bank.
Kepercayaan dalam
perbankan merupakan salah
satu asas yang
menyatakan bahwa usaha
bank dilandasi oleh
hubungan kepercayaan antara
bank dan nasabahnya.
Bank terutama bekerja dengan
dana dari masyarakat
yang disimpan padanya atas dasar
kepercayaan sehingga perlu untuk terus menjaga kesehatannya
dengan tetap memelihara
dan mempertahankan kepercayaan masyarakat
padanya. Kemauan masyarakat
untuk menyimpan sebagian uangnya
di bank semata-mata dilandasi
oleh kepercayaan bahwa
uangnya dapat kembali
pada waktu yang
diinginkan atau sesuai
dengan yang diperjanjikan
dan disertai dengan
imbalan. Apabila kepercayaan nasabah penyimpan
dana terhadapsuatu bank berkurang,
tidak tertutup kemungkinan akan terjadi rushterhadap dana yang disimpan
(Rachmadi Usman, 2003 : 14).
Untuk menjaga
kepercayaan tersebut bank
perlu melakukan kegiatannya dengan
berpedoman kepada prinsip
kehati-hatian, dan juga
bank wajib mematuhi
segala peraturan yang
berkaitan dengan kegiatan
perbankan itu sendiri.
Dalam rangka
mengawasi kegiatan perbankan
agar berjalan sesuai dengan
semestinya, diperlukan adanya
suatu otoritas pengawas
yang mana bertugas
memastikan bahwa kegiatan
bank dijalankan dengan
berpedoman pada prinsip kehati-hatian
yang akan berimplikasi
pada terjaganya tingkat kesehatan suatu bank serta terjaganya
kepercayaan masyarakat terhadap bank yang
bersangkutan. Berbicara mengenai pengawasan perbankan, pertama kali fungsi pengawasan tersebut dilakukan oleh Bank
Indonesia (BI) sesuai dengan amanat
dari Undang-Undang No.
13 Tahun 1968
Tentang Bank Sentral.
BI sebagai lembaga
pengawas perbankan terus
mengalami evolusi, terdapat perubahan yang cukup signifikan mengenai
kedudukan BI pada masa sebelum dan sesudah
terjadinya krisis moneter
1997. Sebelum terjadinya
krisis moneter, dimana kedudukan BI masih
diatur dalam Undang-Undang
No. 13 Tahun 1968
Tentang Bank Sentral,
peran BI sebagai
suatu lembaga dapat dikatakan sebagai
alat pemerintah hal
ini menyebabkan BI
sebagai bank sentral
bukanlah suatu badan
yang memiliki independensi.
Sebelum krisis moneter
terjadi, pengawasan perbankan
oleh BI tidak
berhasil menciptakan kondisi perbankan yang baik. Lemahnya
pengawasan yang dilakukan BI dapat dilihat
dalam keadaan dimana hampir seluruh bank swasta dikendalikan oleh pemiliknya
yang merangkap pengurus
komisaris/direksi, bank-bank milik negara
pun dikendalikan oleh
oknum pejabat, selain
itu manajemen risiko kurang dikembangkan, pemilik bank leluasa
meminjamkan dana ke kelompok usahanya sendiri
atau kolega sehingga
menghancurkan pondasi industri perbankan
nasional begitu pula
dengan penyalahgunaan BLBI
yang dikeluarkan oleh BI selain
itu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pun
kesulitan menangani kredit
macet sehingga pemulihan
sektor-sektor industri lain masih
tersendat-sendat ( Achmad Daniri, 2005 : 142-143).
Kurang berhasilnya pengawasan
yang dilakukan oleh BI menyebabkan banyak
bank yang dapat dikategorikan tidak sehat lagi akan tetapi tetap dapat menjalankan
kegiatannya, ketika pada akhirnya bank tersebut sudah tidak lagi dapat menjalankan kegiatannya hal itu
menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap bank
yang bersangkutan menurun,
yang pada akhirnya mengakibatkan apa yang kita kenal dengan bank
rush. Bank rushmerupakan suatu peristiwa
dimana banyak nasabah secara bersamaan menarik dana secara besar-besaran
dan sesegera mungkin
pada suatu bank
karena nasabah tidak percaya bahwa
bank mampu membayar
dananya dalam jumlah
penuh dan tepat waktu (George G. Kaufman, 1988 : 559).
Dalam kasus Indonesia bank rushterjadi
berulang-ulang, pada tahun 1992 terjadi bank rushpada beberapa bank
nasional sehingga mengakibatkan
dilikuidasinya Bank Summa, selanjutnya
pada tahun 1997/1998
terjadi bank rush yang berkembang
menjadi krisis perbankan terparah dalam
sejarah perbankan Indonesia dimana terjadi
penutupan enam belas bank yang dilakukan Pemerintah pada tanggal 1 November 1997. Penutupan terhadap enam
belasbank tersebut mengakibatkan menurunnya
kepercayaannasabah terhadap banknya, khususnya bank swasta yang
diyakini masyarakat mempunyai
kinerja keuangan yang
rendah.
Penurunan kepercayaan
terhadap bank tersebut
mendorong nasabah secara besar-besaran
menarik dananya. Selanjutnya,
penarikan pada satu
bank menjalar secara
sistemik (contagion) ke
bank lain sehingga
berkembang menjadi krisis
perbankan.
Sehubungan dengan
adanya krisis tersebut
status dan peranan
BI berdasarkan Undang-Undang No.
13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, dinilai sudah
tidak sesuai dengan perkembangan zaman
serta dinilai tidak
mampu memberikan kontribusi
yang maksimal dalam
fungsinya melakukan pengawasan
perbankan. Berdasarkan Ketetapan MPR
Nomor X/MPR/1998, Ketetapan MPR
Nomor XI/MPR/1998, dan Ketetapan
MPR Nomor XVI/MPR/1998, ditetapkan dan diberlakukan
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagai
ganti dari Undang-Undang
No. 13 Tahun
1968 Tentang Bank
Sentral. Undang-Undang No.
23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia memberikan status dan kedudukan kepada BI sebagai suatu bank
sentral yang independen,
bebas dari campur
tangan pemerintah, ataupun pihak- pihak
lainnya. Penegasan independensi
BI sebagai wujud reformasi
sistem perbankan nasional
pasca krisis moneter, juga dapat
dilihat dalam Undang-Undang
No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah terakhir denganUndang-Undang No. 10
Tahun 1998 (UU Perbankan) yang mana
merupakan salah satu
dasar hukum penegasan
status dan kedudukan BI sebagai suatu lembaga yang
independen. Sehubungan dengan hal tersebut
maka di Indonesia
pengawasan terhadap bank
dilakukan sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia dimana dalam
ketentuan Pasal 8 huruf c dinyatakan mengenai tugas BI yang salah satunya
adalah mengatur dan
mengawasi bank, serta UU Perbankan dalam
Pasal 29 ayat
(1) UU Perbankan menyatakan
pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
Mengacu pada ketentuan Pasal 29
ayat (1) UU Perbankan, ada dua hal pokok terkait
pengawasan kegiatan perbankan
yang dilakukan oleh
Bank Indonesia, yaitu
adanya upaya pembinaan
serta pengawasan. Fungsi pembinaan dan
pengawasan oleh BImerupakan
kesatuan yang saling
terkait dan tersinergi,
meskipun demikian Undang-Undang No.
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
diubah terakhir denganUndang-Undang No. 6
Tahun 2009 (UU BI) dan UUPerbankan membedakan
secara jelas yang dimaksud dengan fungsi pembinaan
(mengatur) dan fungsi pengawasan.
Fungsi pembinaan
menitik beratkan pada
regulasi, sedangkan fungsi pengawasan
menitik beratkan pada supervisionatau penyeliaan. (Rachmadi Usman,
2001 : 123).
Lebih lanjut penjelasan
mengenai tugas BI
dalam hal pengawasan
bank berdasarkan Pasal
24 UU BI, Bank
Indonesia berwenang menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut
izin atas kelembagaan serta kegiatan usaha
tertentu dari bank,
melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi
terhadap bank sesuai
dengan ketentuan perundangundangan. Kemudian dalam Pasal 25
dinyatakan bahawa dalam rangka tugas mengatur
bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan
ketentuan-ketentuan perbankan yang
memuat prinsip kehati-hatian. Pelaksanaan
kewenangan ini ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia
(PBI). Tugas BI untuk mengatur dan mengawasi
bank dijabarkan lebih
lanjut dalam Pasal
24 sampai dengan Pasal 35 UUBIdan Pasal 29 sampai dengan Pasal
37 UUPerbankan. Dengan begitu luasnya
wewenang dan tanggung
jawabnya, maka BIdapat bertindak preventif maupun represif.
Usaha-usaha BI
dalam rangka perbaikan
sistem pengawasan perbankan, tidak hanya berhenti pada
penyempurnaan Undang-Undang No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia saja. Disadari bahwa kemunculan krisis 1997
memberi pengaruh yang
sedemikian besar tidak
hanya bagi perekonomian Indonesia tetapi krisis serupa
yang melanda negara-negara lain juga memberikan
pengaruh yang serupa
bagi perekonomian dunia,
sehingga membuat pengembangan
suatu sistem keuangan
yang kokoh menjadi
salah satutujuan utama kalangan
penentu kebijakan keuangan/perbankan dunia.
Pengawasan perbankan
yang semula diorientasikan hanya
untuk menjaga kepentingan
nasional mulai meluas
dengan kerjasama guna
kepentingan bilateral sehingga
muncul kebutuhan akan kerja sama dan harmonisasi standar internasional
bagi metode pengawasan
perbankan. BI sebagai
otoritas pengawasan perbankan
juga menyadari perlunya suatu aturan
yang dapat berlaku
secara internasional karena
meski di setiap
negara memiliki karakteristik sistem pengawasan
yang berbeda corak
dan ragamnya dengan negara
lain, tetaplah dirasakan
adanya kebutuhan akan
model pengawasan yang
berlaku universal, yaitu
model pengawasan bank
yang secara umum dapat
diterima dan diberlakukan oleh hampir semua negara sehingga terdapat bahasa
yang sama dalam
komunikasi antar sesama bank
lintas negara, dan tentunya
untuk mengetahui kondisi sistem keuangan suatu negara.
Adanya kesadaran inilah
yang mendorong sepuluhnegara maju yang
terhimpun dalam kelompok G-10 untuk
mencari model bagi pengawasan yang berlaku
universal. Pada waktu merebak wabah krisis moneter di kawasan Asia di tahun 1997, meluncurlah satu model baru
pengawasan bank merujuk Core Principles for
Effective Banking Supervision.
Core Principles for
Effective Banking Supervision
atau yanglebih dikenal
dengan nama theBasel Core Principles
adalah prinsip-prinsip dasar
sistem supervisi perbankan
yang disusun oleh the
Basel Committee on
Banking Supervisionbersama dengan beberapa
institusi supervisor perbankan
lainnya, merupakan suatu
pedoman yang memuat syarat-syarat minimumyang dibutuhkan
oleh perbankan di dalam
merespon berbagai kondisi dan risiko di sistem keuangan suatu negara, sehingga the Basel Core
Principlesdiharapkan dapat menjadi
rujukan dasar bagi
institusi supervisor perbankan
dan otoritas publik
lainnya di seluruh negara
maupun secara internasional. the
Basel Committeemeyakini bahwa pengadopsian prinsip-prinsip tersebut
oleh semua negara
menjadi langkah penting dalam proses memperbaiki dan
meningkatkan kualitas keuangan baik didalam
negeri masing-masing maupun dunia
internasional (Dahlan Siamat, 2005 : 197).
Dikatakan sebelumnya
bahwa the Basel Core Principles adalah prinsip-prinsip dasar
sistem supervisi perbankan,
didalam the Basel Core Principlesmemuat
dua puluh limaprinsip dasar yang dapat dijadikan rujukan bagi
pengawasan perbankan. Dari
ke dua puluh
lima prinsip tersebut dikelompokkan lagi
menjadi tujuh prinsip kelompok
utama yaitu prinsip prakondisibagi
pengawasan perbankan yang
efektif, prinsip perizinan
dan struktur, prinsip
ketentuan kehati-hatian dan
persyaratan, prinsip metode pengawasan
perbankan yang sedang
berjalan, prinsip akuntansi
dan persyaratan informasi,
prinsip pengawas bank, dan
prinsip lintas batas perbankan.
Indonesia merupakan salah satu
negara yang mengadopsi produk yang dihasilkan oleh the Basel Committee,
mulai dari the Core Principles for Effective
Banking Supervisionsampai dengan perkembangannya yang terakhir yaitu the New
Basel Capital Accord. Pengadopsian prinsip-prinsip yang dikeluarkan oleh theBasel
Committee, dapat dikatakan sebagai
salah satu tindakan
pembenahan diri yang
mulai dilakukan oleh
BI terhadap metode yang selama ini digunakan dalam rangka
pengawasan perbankan.
Lebih lanjut
untuk membangun kembali
sistem perekonomian pasca krisis pemerintah
menyiapkan kebijakan ekonomi
yang diterbitkan dalam Instruksi Presiden
No. 5 Tahun
2003 dan Surat
Keputusan Gubernur Bank Nomor 5/13/KEP/GBI/2003 sebagai
tindak lanjutnya. Guna
menindaklanjuti kebijakan tersebut,
maka Bank Indonesia
pada tanggal 9
Januari 2004 telah meluncurkan
Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula dari upaya Pemerintah dan
BI untuk membangun kembali perekonomian Indonesia
melalui penerbitan white paper Pemerintah sesuai dengan
Inpres No. 5
Tahun 2003, dimana
API menjadi salah
satu program utama dalam white paper tersebut.
Peluncuran API oleh BI bertujuan untuk menerapkan secara bertahap praktik terbaik
internasional yang tercakup dalam 25 Basel
for Effective Banking
Supervision Basel Core
Principles. API merupakan
suatu progam yang
dibuat oleh BI sebagai
kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri
perbankan Indonesia ke depan. Dalam rangka pelaksaan
progam-progam yang tertuang
dalam keenam pilar API maka BI
mengeluarkan sejumlah kebijakan
yang tertuang dalam
Peraturan Bank Indonesia
(PBI) sebagai peraturan
pelaksana dari penerapan
keenam pilar API, PBI
tersebut antara lain
PBI No. 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum, PBI
No. 9/16/PBI/2007 tentang Jumlah
Modal Inti Minimum
Bank Umum, PBI
No. 6/10/PBI/2004 tentang
Sitem Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank Umum, dan PBI
No.13/3/PBI/2011 tentangPenetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank, dan lain-lain.
Skripsi Hukum: Pengaruh The Basel Core Principles Terhadap Undang-Undang Bank Indonesia Dan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi