BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Skripsi Hukum: Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167Pid.B2003Pn.Dps)
Terorisme bukanlah hal baru di
Indonesia. Sejak sekitar tahun 2000, bangsa ini
nampaknya semakin sering
dikejutkan oleh aksi
para teroris. Segala
macam bentuk terorisme yang
terjadi didorong oleh berbagai motivasi dan tujuan. Namun dari
setiap aksi teror itu, ada satu akibat yang sama, yaitu munculnya keresahan dan
perasaan tidak aman
dalam diri masyarakat.
Hal semacam ini
disebabkan karena aksi
teror yang dilakukan
seringkali tidak memiliki
target yang spesifik, namun
justru banyak melukai
bahkan menghilangkan puluhan
hingga ratusan nyawa masyarakat sipil.
Banyaknya kasus
teror yang telah
terjadi di Indonesia
menjadikan bangsa ini dicap sebagai sarang teroris. Beberapa
pekan atau beberapa bulan pasca aksi teror,
misalnya, jumlah wisatawan
mancanegara yang berkunjung
ke Indonesia berkurang drastis. Selain itu, ketika warga Negara Indonesia hendak berkunjung ke luar negeri, khususnya untuk wilayah
Amerika dan Eropa, ada suatu perubahan dimana
prosedur yang diberikan bagi WNI menjadi lebih ketat.
Aksi teror selalu mendapat
kecaman keras dari banyak elemen masyarakat, namun
nampaknya pemerintah belum
mampu membebaskan bangsa
ini dari sih
banyak bentuk aksi
teror yang terjadi
yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok tertentu.
Meskipun demikian,
aparat pemerintah bukanlah
satu-satunya pihak yang
dapat dipersalahkan. Upaya
pemberantasan terorisme semacam
ini tentu saja membutuhkan
campur tangan dan dukungan penuh dari seluruh masyarakat yang merasa
memiliki bangsa ini,
termasuk para akademisi,
alim ulama, pemuka agama, mahasiswa, bahkan seluruh lapisan
masyarakat yang hidup di Indonesia.
Para pelaku teror
di Indonesia merupakan bagian dari
suatu jaringan yang sudah
terorganisir dengan baik,
mempunyai semacam susunan
kepemimpinan, pembagian tugas,
hingga pelatihan-pelatihan khusus
bagi anggota jaringan
yang bersangkutan. Jaringan-jaringan
semacam ini juga sudah mempunyai akses untuk memasok alat persenjataan mereka,
sumber-sumber pendanaannya pun juga sudah dirancang
dan dipersiapkan sedemikian
rupa. Karena alasan
inilah seringkali aparat keamanan di Indonesia perlu bekerja
keras dan juga bekerja secara cerdas untuk dapat
melumpuhkan jaringan teroris.
Disinilah peranan intelijen dibutuhkan.
Semakin lama
bentuk tindak pidana
terorisme semakin berkembang.
Para teroris mempunyai alasannya
sendiri untuk melakukan teror, mereka mempunyai teknik
dalam melakukan aksinya,
ada tujuan-tujuan tertentu
yang ingin dicapai, dan di
balik itu semua ada semacam doktrin atau paham yang menjadi landasan dan
motivasi bagi mereka
untuk melakukan tindak
pidana ini. Target
aksi teror pun
sulit untuk ditebak.
Aksi teror dapat
terjadi di mana
saja, kapan saja,
dan dengan berbagai macam
cara. Hal semacam
inilah yang dapat
menimbulkan keresahan bagi
masyarakat, karena siapapun dapat menjadi korban.
Salah satu
aksi teror besar yang pernah terjadi di Indonesia adalah tragedi Bom
Bali 1, yang
terjadi pada tanggal
12 Oktober 2002
silam. Peristiwa yang terjadi
di wilayah Legian, Kuta, Bali ini masih segar dalam ingatan banyak orang, terlebih mereka yang menjadi korban, atau yang
kehilangan anggota keluarganya akibat peristiwa
ini. Bahkan setiap
tahun selalu diadakan
satu acara khusus
di Kuta untuk mengenang mereka yang
meninggal dalam tragedi Bom Bali 1. Selain warga Bali, para wisatawan asing dari berbagai
Negara, yang sanak saudara atau rekannya menjadi
salah satu korban
peristiwa Bom Bali
1, juga berpartisipasi dalam acara ini.
Tragedi Bom Bali 1 tidak hanya
menimbulkan masalah-masalah sosial saja, namun juga masalah hukum. Peristiwa ini
terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002 dan
pada waktu itu
Indonesia tidak memiliki
Undang-Undang terkait dengan terorisme,
dan belum ada
kriminalisasi terhadap terorisme
itu sendiri. Barulah setelah
peristiwa Bom Bali
tersebut terjadi, Pemerintah
Indonesia merasa perlu untuk membentuk
Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun
2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi undang- undang, yakni dengan Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor
1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme menjadi
Undang-undang (http://id.
wikipedia.org/wiki/Terorisme).
Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme
diberlakukan surut (retroaktif)
untuk kasus Bom Bali 1 dengan terpidana antara lain Amrozi bin H. Nurhasyim, Abdul Aziz aliasImam Samudra, Ali
Gufron alias Mukhlas dan Ali Imron
bin H. Nurhasyim
alias Alik. Berdasarkan
Pasal 46, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat
diberlakukan surut untuk tindakan hukum bagi
kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Undang-Undang
ini, yang penerapannya
ditetapkan dengan Undang-Undang
atau Peraturan Pemerintah tersendiri.
Karena harus melalui
Undang-Undang atau Perpu
tersendiri, maka dibentuklah
Perpu Nomor 2 Tahun
2002 tentang Pemberlakuan
Perpu Nomor 1 Tahun 2002
pada Peristiwa Peledakan
Bom Bali tanggal
12 Oktober 2002
(Ari Wibowo, 2012:3).
Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Teorisme
telah melakukan kriminalisasi terhadap terorisme, sehingga
diancam dengan sanksi pidana tertentu.
Selain tindak
pidana dan sanksi
pdana, undang-undang ini juga
menetapkan beberapa aturan
lain terkait dengan
mekanisme prosedural penegakan
hukum terhadap tindak pidana
terorisme. Mengingat undang-undang ini dibuat pada suatu kondisi
yang dapat dibilang
genting dan tidak
melalui serangkaian pembahasan panjang
di DPR layaknya
undang-undang yang lain,
maka Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme
ini dianggap mengandung
banyak kelemahan.
Mekanisme prosedural
yang diatur dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini dalam penegakannya
berbeda dengan Kitab UndangUndang
Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Perbedaan di
antara keduanya dapat ditemukan dalam
Pasal 26 Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
yang memungkinkan penggunaan
setiap laporan intelijen
untuk memperoleh bukti permulaan
yang cukup. Persoalan dapat muncul ketika laporan intelijen
yang digunakan sifatnya
tertutup. Selain itu,
dalam Pasal 45
juga disebutkan bahwa
Presiden mempunyai wewenang
untuk mengambil langkahlangkah untuk
merumuskan kebijakan dan
langkah-langkap operasional dalam pelaksanaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme.
Pentingnya undang-undang
yang baik dalam
pemberantasan tindak pidana terorisme
berpijak pada teori
yang dikemukakan Friedman,
seorang Profesor Hukum dari University of Chicago, bahwa kunci
utama yang sangat menentukan dalam
konteks penegakan hukum adalah substansi
(legal substance), di samping struktur
(legal structure) dan budaya hukum (legal culture). Struktur menyangkut aparat penegak hukum serta sarana
danprasarananya kemudian substansi meliputi perangkat
perundang-undangan, dan budaya
hukum merupakan hukum yang
hidup
yang dianut dalam
suatu masyarakat (Marwan
Effendy, 2005:1). Akan us
Bom Bali 1, dapat dikatakan situasi saat
itu cukup genting sehingga pemerintah
dapat mengeluarkan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang, karena
aturan perundang-undangan yang
ada dirasa belum
cukup memadai untuk
diterapkan dalam kasus tersebut.
Dalam kasus
ini, terdapat pertentangan
antara asas hukum
pidana yang terdapat
dalam KUHP, yaitu
asas legalitas dengan
asas retroaktif yang
berlaku bagi Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenali) artinya ketentuan dalam hukum pidana
tidak dapat berlaku
surut. Suatu tindakan
atau perbuatan tidak dapat dipidana
apabila tidak diatur
dalam undang-undang. Sedangkan
asas retroaktif artinya
suatu ketentuan pidana
dapat berlaku surut,
dimana asas ini menjadi senjata
untuk menghadapi kejahatan-kejahatan baru
yang tidak dapat disejajarkan dengan
tindak pidana yang
terdapat dalam KUHP
ataupun di luar KUHP.
Sehingga dengan demikian, tidak ada pelaku yang dapat lolos dari jeratan hukum.
Berdasarkan hal
tersebut, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian
dan Terorisme (Studi
Putusan Pengadilan Negeri
Denpasar Nomor .
B. Perumusan Masalah.
Berdasarkanlatar belakang
yang telah dipaparkan
di atas, penulis
akan mengkaji lebih rinci
permasalahan yang ada dengan rumusan masalah untuk dikaji dalam penelitian ini, yaitu:.
1.Bagaimana Pengaturan
Tindak Pidana Terorisme Dalam
Hukum Pidana Indonesia?.
2.Bagaimana pertimbangan hukum
Majelis Hakim terhadap tindak pidana terorisme
dalam putusan Pengadilan
Negeri Denpasar Nomor 167/Pid.B/2003/PN.Dps?.
C. Tujuan Penelitian.
Setiap penelitian haruslah
memiliki tujuan yang jelas agar memberikan hal yang pasti sebagai pemecahan permasalahan yang
dihadapi. Dalam penelitian ini adapun
tujuan objektif dan subjektif:.
1.Tinjauan Objektif.
a. Untuk mengetahui
pengaturan tindak pidana
terhadap kejahatan terorisme;.
b.Untuk mengetahui
pertimbangan hakim dalam
menangani tindak pidana terorisme Bom Bali 1.
2.Tujuan Subjektif.
a. Memperoleh data
sebagai bahan penulisan
hukum (skripsi) untuk melengkapi persyaratan
akademis guna memperoleh
gelar sarjana di bidang hukum
pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta;.
b.Sebagai salah satu carauntuk menerapkan serta mendalami teori dan ilmmu
pengetahuan penulis yang
telah diperoleh selama
menempuh studi di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta;.
c. Untuk
menambah wawasan serta
pengetahuan penulis khususnya dalam bidang hukum pidana terorisme.
D. Manfaat Penelitian.
Tujuan dari penelitian adalah
memberikan manfaat, terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Ada beberapa manfaat
yang diharapkan dari penelitian
ini, yaitu sebagai berikut:.
1.Manfaat Teoretis.
a. Hasil penelitian ini
diharapkan memberikan sumbangan
pemikiran dalam ilmu
hukum pada umumnya
dan hukum pidana
pada khususnya;.
b.Hasil penelitian ini diharapkan
dapat menambah referensi dan literatur kepustakaan mengenai
permasalahan-permasalahan
pada tindak pidanaterorisme;.
c. Merupakan salah
satu sarana bagi
penulis untuk mengumpulkan bahan-bahan
serta sumber-sumber yang
dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan
penulisan hukum (skripsi) ini.
2.Manfaat Praktis.
a. Hasil dari
penelitian ini diharapkan
dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang akan diteliti;.
b.Hasil dari
penelitian ini diharapkan
dapat membantu memberikan sumbangan pemikiran pada pihak-pihak terkait
tentang tindak pidana terorisme;.
c. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat
meningkatkan pola pikir
yang kritis bagi
masyarakat serta penulis
dalam menerapkan ilmu
yang diperoleh.
Skripsi Hukum: Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167Pid.B2003Pn.Dps)
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi