Selasa, 09 Desember 2014

Skripsi Hukum: Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167Pid.B2003Pn.Dps)

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
 Skripsi Hukum: Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167Pid.B2003Pn.Dps)
Terorisme bukanlah hal baru di Indonesia. Sejak sekitar tahun 2000, bangsa  ini  nampaknya  semakin  sering  dikejutkan  oleh  aksi  para  teroris.  Segala  macam  bentuk terorisme yang terjadi didorong oleh berbagai motivasi dan tujuan. Namun  dari  setiap  aksi  teror itu, ada satu akibat yang sama,  yaitu munculnya keresahan  dan  perasaan  tidak  aman  dalam  diri  masyarakat.  Hal  semacam  ini  disebabkan  karena  aksi  teror  yang  dilakukan  seringkali  tidak  memiliki  target  yang  spesifik,  namun  justru  banyak  melukai  bahkan  menghilangkan  puluhan  hingga  ratusan  nyawa masyarakat sipil.

Banyaknya  kasus  teror  yang  telah  terjadi  di  Indonesia  menjadikan  bangsa  ini dicap sebagai sarang teroris. Beberapa pekan  atau beberapa  bulan pasca aksi  teror,  misalnya,  jumlah  wisatawan  mancanegara  yang  berkunjung  ke  Indonesia  berkurang drastis. Selain itu,  ketika warga Negara Indonesia  hendak berkunjung  ke luar negeri, khususnya untuk wilayah Amerika dan Eropa, ada suatu perubahan  dimana prosedur yang diberikan bagi WNI menjadi lebih ketat.
Aksi teror selalu mendapat kecaman keras dari banyak elemen masyarakat,  namun  nampaknya  pemerintah  belum  mampu  membebaskan  bangsa  ini  dari  sih  banyak  bentuk  aksi  teror  yang  terjadi  yang  dilakukan  oleh  kelompok-kelompok  tertentu.
Meskipun  demikian,  aparat  pemerintah  bukanlah  satu-satunya  pihak  yang  dapat  dipersalahkan.  Upaya  pemberantasan  terorisme  semacam  ini  tentu  saja  membutuhkan campur tangan dan dukungan penuh dari seluruh masyarakat yang  merasa  memiliki  bangsa  ini,  termasuk  para  akademisi,  alim  ulama,  pemuka  agama, mahasiswa, bahkan seluruh lapisan masyarakat yang hidup di Indonesia.
Para pelaku  teror  di  Indonesia  merupakan bagian  dari  suatu jaringan  yang  sudah  terorganisir  dengan  baik,  mempunyai  semacam  susunan  kepemimpinan,  pembagian  tugas,  hingga  pelatihan-pelatihan  khusus  bagi  anggota  jaringan  yang   bersangkutan. Jaringan-jaringan semacam ini juga sudah mempunyai akses untuk  memasok alat persenjataan mereka, sumber-sumber pendanaannya pun juga sudah  dirancang  dan  dipersiapkan  sedemikian  rupa.  Karena  alasan  inilah  seringkali  aparat keamanan di Indonesia perlu bekerja keras dan juga bekerja secara cerdas  untuk  dapat  melumpuhkan  jaringan  teroris.  Disinilah  peranan  intelijen  dibutuhkan.
Semakin  lama  bentuk  tindak  pidana  terorisme  semakin  berkembang.  Para  teroris mempunyai alasannya sendiri untuk melakukan teror, mereka mempunyai  teknik  dalam  melakukan  aksinya,  ada  tujuan-tujuan  tertentu  yang ingin  dicapai,  dan di  balik  itu semua ada semacam  doktrin atau paham yang menjadi landasan  dan  motivasi  bagi  mereka  untuk  melakukan  tindak  pidana  ini.  Target  aksi  teror  pun  sulit  untuk  ditebak.  Aksi  teror  dapat  terjadi  di  mana  saja,  kapan  saja,  dan  dengan berbagai  macam  cara.  Hal  semacam  inilah  yang  dapat  menimbulkan  keresahan bagi masyarakat, karena siapapun dapat menjadi korban.
Salah  satu  aksi teror besar yang pernah terjadi di Indonesia  adalah tragedi  Bom  Bali  1,  yang  terjadi  pada  tanggal  12  Oktober  2002  silam.  Peristiwa  yang  terjadi di wilayah Legian, Kuta, Bali ini masih segar dalam ingatan banyak orang,  terlebih mereka yang menjadi korban, atau yang kehilangan anggota keluarganya  akibat  peristiwa  ini.  Bahkan  setiap  tahun  selalu  diadakan  satu  acara  khusus  di  Kuta untuk mengenang mereka yang meninggal dalam tragedi Bom Bali 1. Selain  warga Bali, para wisatawan asing dari berbagai Negara, yang sanak saudara atau  rekannya  menjadi  salah  satu  korban  peristiwa  Bom  Bali  1,  juga  berpartisipasi  dalam acara ini.
Tragedi Bom Bali 1 tidak hanya menimbulkan masalah-masalah sosial saja,  namun juga masalah hukum. Peristiwa ini terjadi pada  tanggal 12 Oktober 2002  dan  pada  waktu  itu  Indonesia  tidak  memiliki  Undang-Undang  terkait  dengan  terorisme,  dan  belum  ada  kriminalisasi  terhadap  terorisme  itu  sendiri.  Barulah  setelah  peristiwa  Bom  Bali  tersebut  terjadi,  Pemerintah  Indonesia  merasa  perlu  untuk  membentuk  Undang-Undang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Terorisme,  yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)  Nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi undang-  undang, yakni dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-undang  Nomor  1  Tahun  2002  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Terorisme  menjadi  Undang-undang  (http://id.
wikipedia.org/wiki/Terorisme).
Undang-undang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Terorisme  diberlakukan  surut (retroaktif) untuk kasus Bom Bali 1 dengan terpidana antara lain Amrozi bin  H. Nurhasyim, Abdul  Aziz aliasImam  Samudra, Ali  Gufron alias  Mukhlas  dan  Ali  Imron  bin  H.  Nurhasyim  alias  Alik.  Berdasarkan  Pasal  46,  Undang-Undang  Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat diberlakukan surut untuk tindakan  hukum  bagi  kasus  tertentu sebelum  mulai berlakunya  Undang-Undang  ini,  yang  penerapannya  ditetapkan  dengan  Undang-Undang  atau  Peraturan  Pemerintah  tersendiri.  Karena  harus  melalui  Undang-Undang  atau  Perpu  tersendiri,  maka  dibentuklah  Perpu Nomor  2  Tahun  2002  tentang  Pemberlakuan  Perpu  Nomor  1  Tahun  2002  pada  Peristiwa  Peledakan  Bom  Bali  tanggal  12  Oktober  2002  (Ari  Wibowo, 2012:3).
Undang-undang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Teorisme  telah  melakukan  kriminalisasi terhadap terorisme, sehingga diancam dengan sanksi pidana tertentu.
Selain  tindak  pidana  dan  sanksi  pdana, undang-undang  ini  juga  menetapkan  beberapa  aturan  lain  terkait  dengan  mekanisme  prosedural  penegakan  hukum  terhadap tindak pidana terorisme. Mengingat undang-undang ini dibuat pada suatu  kondisi  yang  dapat  dibilang  genting  dan  tidak  melalui  serangkaian  pembahasan  panjang  di  DPR  layaknya  undang-undang  yang  lain,  maka  Undang-Undang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Terorisme  ini  dianggap  mengandung  banyak  kelemahan.
Mekanisme  prosedural  yang  diatur  dalam  Undang-Undang  Pemberantasan  Tindak Pidana Terorisme ini dalam penegakannya berbeda dengan Kitab UndangUndang  Hukum  Acara  Pidana  (KUHAP).  Perbedaan  di  antara  keduanya  dapat  ditemukan  dalam  Pasal  26  Undang-undang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Terorisme  yang  memungkinkan  penggunaan  setiap  laporan  intelijen  untuk  memperoleh bukti permulaan yang cukup. Persoalan dapat muncul ketika laporan  intelijen  yang  digunakan  sifatnya  tertutup.  Selain  itu,  dalam  Pasal  45  juga   disebutkan  bahwa  Presiden  mempunyai  wewenang  untuk  mengambil  langkahlangkah  untuk  merumuskan  kebijakan  dan  langkah-langkap  operasional   dalam  pelaksanaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pentingnya  undang-undang  yang  baik  dalam  pemberantasan  tindak  pidana  terorisme  berpijak  pada  teori  yang  dikemukakan  Friedman,  seorang  Profesor  Hukum dari University of Chicago, bahwa kunci utama yang sangat menentukan  dalam konteks penegakan hukum adalah substansi  (legal substance), di samping  struktur (legal structure) dan budaya hukum (legal culture). Struktur menyangkut  aparat penegak hukum serta sarana danprasarananya kemudian substansi meliputi  perangkat  perundang-undangan,  dan  budaya  hukum  merupakan  hukum  yang  hidup  yang  dianut  dalam  suatu  masyarakat  (Marwan  Effendy,  2005:1).  Akan  us Bom  Bali 1, dapat dikatakan situasi saat itu cukup  genting sehingga pemerintah dapat  mengeluarkan  peraturan  pemerintah  pengganti  undang-undang,  karena  aturan  perundang-undangan  yang  ada  dirasa  belum  cukup  memadai  untuk  diterapkan  dalam kasus tersebut.
Dalam  kasus  ini,  terdapat  pertentangan  antara  asas  hukum  pidana  yang  terdapat  dalam  KUHP,  yaitu  asas  legalitas  dengan  asas  retroaktif  yang  berlaku  bagi  Undang-Undang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Terorisme.  Asas  legalitas  (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali) artinya ketentuan dalam  hukum  pidana  tidak  dapat  berlaku  surut.  Suatu  tindakan  atau  perbuatan  tidak  dapat  dipidana  apabila  tidak  diatur  dalam  undang-undang.  Sedangkan  asas  retroaktif  artinya  suatu  ketentuan  pidana  dapat  berlaku  surut,  dimana  asas  ini  menjadi  senjata  untuk  menghadapi  kejahatan-kejahatan  baru  yang  tidak  dapat  disejajarkan  dengan  tindak  pidana  yang  terdapat  dalam  KUHP  ataupun  di  luar  KUHP. Sehingga dengan demikian, tidak ada pelaku yang dapat lolos dari jeratan  hukum.
Berdasarkan  hal  tersebut,  penulis  tertarik  untuk  melakukan  penelitian  dan  Terorisme  (Studi  Putusan  Pengadilan  Negeri  Denpasar  Nomor .
 B. Perumusan Masalah.
Berdasarkanlatar  belakang  yang  telah  dipaparkan  di  atas,  penulis  akan  mengkaji lebih rinci permasalahan yang ada dengan rumusan masalah untuk dikaji  dalam penelitian ini, yaitu:.
1.Bagaimana  Pengaturan  Tindak Pidana  Terorisme Dalam Hukum Pidana  Indonesia?.
2.Bagaimana pertimbangan hukum Majelis  Hakim terhadap tindak pidana  terorisme  dalam  putusan  Pengadilan  Negeri  Denpasar  Nomor  167/Pid.B/2003/PN.Dps?.
C. Tujuan Penelitian.
Setiap penelitian haruslah memiliki tujuan yang jelas agar memberikan hal  yang pasti sebagai pemecahan permasalahan yang dihadapi. Dalam penelitian ini  adapun tujuan objektif dan subjektif:.
1.Tinjauan Objektif.
a. Untuk  mengetahui  pengaturan  tindak  pidana  terhadap  kejahatan  terorisme;.
b.Untuk  mengetahui  pertimbangan  hakim  dalam  menangani  tindak  pidana terorisme Bom Bali 1.
2.Tujuan Subjektif.
a. Memperoleh  data  sebagai  bahan  penulisan  hukum  (skripsi)  untuk  melengkapi  persyaratan  akademis  guna  memperoleh  gelar  sarjana  di  bidang  hukum  pada  Fakultas  Hukum  Universitas  Sebelas  Maret  Surakarta;.
b.Sebagai salah satu carauntuk  menerapkan serta  mendalami teori dan  ilmmu  pengetahuan  penulis  yang  telah  diperoleh  selama  menempuh  studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;.
 c. Untuk  menambah  wawasan  serta  pengetahuan  penulis  khususnya  dalam bidang hukum pidana terorisme.
D. Manfaat Penelitian.
Tujuan dari penelitian adalah memberikan manfaat, terutama dalam bidang  ilmu  pengetahuan  itu  sendiri.  Ada  beberapa  manfaat  yang  diharapkan  dari  penelitian ini, yaitu sebagai berikut:.
1.Manfaat Teoretis.
a. Hasil penelitian  ini  diharapkan  memberikan  sumbangan  pemikiran  dalam  ilmu  hukum  pada  umumnya  dan  hukum  pidana  pada  khususnya;.
b.Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan literatur  kepustakaan  mengenai  permasalahan-permasalahan  pada  tindak  pidanaterorisme;.
c. Merupakan  salah  satu  sarana  bagi  penulis  untuk  mengumpulkan  bahan-bahan  serta  sumber-sumber  yang  dibutuhkan  untuk  dapat  menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini.
2.Manfaat Praktis.
a. Hasil  dari  penelitian  ini  diharapkan  dapat  memberikan  jawaban atas  permasalahan yang akan diteliti;.
b.Hasil  dari  penelitian  ini  diharapkan  dapat  membantu  memberikan  sumbangan pemikiran pada pihak-pihak terkait tentang tindak pidana  terorisme;.
c. Hasil  penelitian  ini  diharapkan  dapat  meningkatkan  pola  pikir  yang  kritis  bagi  masyarakat  serta  penulis  dalam  menerapkan  ilmu  yang  diperoleh.

 Skripsi Hukum: Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167Pid.B2003Pn.Dps)

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi