Rabu, 10 Desember 2014

Skripsi Hukum: Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Menjalankan Profesi Kedokteran

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Menjalankan Profesi Kedokteran
Dalam Pasal 1 Undang-undang Hak Asasi Manusia yang dimaksud dengan  hak  asasi  manusia  adalah  seperangkat  hak  yang  melekat  pada  hakikat  dan  keberadaan  manusia  sebagai  makhluk  Tuhan  Yang  Maha  Esa  dan  merupakan  anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,  hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat  dan martabat manusia.

Sehat  bukan  segalanya,  tapi  tanpa  sehat  segalanya  akan  menjadi  tidak  berarti. Kata tersebut menggambarkan bahwa sehat adalah sebuah hal yang sangat  utama  bagi  manusia,  sehingga  sudah  sewajarnya  jika  kemudian  setiap  orang  berhak  untuk  sehat  dalam  hidupnya.  Sehat  tidak  dapat  hanya  dilihat  dari  aspek  fisik saja, tetapi juga mencakup fisik, mental, dan sosialnya.
Hak  untuk  sehat  merupakan  bagian  dari  hak  asasi  manusia.  Sudah  seharusnya  jika  ada  pelarangan  terhadap  siapa  saja  yang  dengan  sengaja  akan  mengganggu  kesehatan  orang  lain.  Kesehatan  merupakan  hak  asasi  manusia.
Setiap  orang  berhak  atas  taraf  hidup  yang  memadai  untuk  kesehatan  dan  kesejahteraan  diri  dan  keluarganya  sebagaimana  disebutkan  pada  pasal  25  Deklarasi  Umum  Hak  Asasi  Manusia  Perserikatan  Bangsa-Bangsa  “Negara  mengakui hak setiap orang untuk memperoleh standar tertinggi yang dapat dicapai  atas kesehatan fisik dan mental.”  Untuk dapat memelihara kesehatan masyarakat, maka diperlukan berbagai  sarana,  keberadaan  sarana-sarana  tersebut  tidak  dapat  ditinggalkan.  Sarana  tersebut antara lain adalah: 1) Institusi pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit,  puskesmas,  balai  pengobatan  dan  poliklinik,  rumah  bersalin,  praktik  dokter,  praktik  bidan  atau  perawat,  dan  lainnya;  2)  Sumber  daya  manusia  kesehatan,  seperti dokter, perawat, bidan, apoteker, asisten apoteker, dan lain sebagainya;  3)  Sistem  manajemen  pelayanan  kesehatan;  4)  Ekonomi  kesehatan;  5)  Teknologi  kesehatan,dan;  6)  Kebijakan  atau  politik  kesehatan.  Dari  hal  tersebut  dapat  diperoleh pengertian bahwa sehat  atau kesehatan dan usaha untuk mencapai sehat    memerlukan  pengetahuan  dan  sarana,  keberadaan  unsur-unsur  dan  sarana  penunjang tersebut tidak dapat diabaikan. Meskipun secara bertahap, keberadaan  seluruh  sarana  dan  pengetahuan  kesehatan  harus  diwujudkan  den gan  memperhatikan  kebijakan  secara  menyeluruh  dari  berbagai  aspek  kebutuhan  manusia (Hari Wujoso,2009:17).
Salah  satu  sarana  tersebut  adalah  dokter,  dapat  dikatakan  bahwa  dokter  adalah  “Leader”  (pemimpin)  dalam  pelayanan  kesehatan.  Meskipun  demikian  keberadaan  tenaga  kesehatan  yang  lain  tetap  memiliki  kekhususan  ya ng  tidak  dapat digantikan. Dalam memberikan pelayanan kesehatan semua perilaku dokter  disoroti  oleh  Hukum  Kedokteran,  sehingga  dokter  adalah  obyek  kajian  hukum,  maksudnya  adalah  aturan  apa  saja  yang  mengikat  perilaku  dokter,  aturan  mana  dapat  dilihat  dari  berbagai  aspek  hukum.  Apabila  dilihat  dalam  kajian  hukum  normatif, maka dapat dikatakan seluruh peraturan tertulis yang mengikat perilaku  dokter  dalam  rangka  menjalankan  profesinya  dapat  dimasukkan  sebagai  hukum  kedokteran (Hari Wujoso,2009:50).
Kajian  hukum  kedokteran  dari  kaca  mata  hukum  normatif  tersebut  mengandung  arti  bahwa  hukum  kedokteran  dapat  dilihat  dari  3  sudut  pandang,  yaitu:  1)  Aspek  hukum  administrasi  kedokteran,  2)  aspek  hukum  perdata  kedokteran,  dan  3)  aspek  hukum  pidana  kedokteran  (Adami  Chazawi,2007:12).
Ketiga  aspek  hukum  tersebutlah  yang  mengikat  perilaku  dokter   dalam  menjalankan profesinya, dokter harus melengkapi perilakunya sesuai dengan tata  aturan tersebut agar tidak dikatakan melakukan “Malpraktik” aspek hukum.
Secara  umum  dapat  dikatakan  bahwa  hukum  kedokteran  adalah  hukum  administrasi,  merupakan  cabang  dari  hukum  administrasi  n egara.  Sehingga,  seperti yang dimaksudkan dalam    hukum dministrasi negara maka adanya hukum  kedokteran ditujukan agar tercipta keteraturan perilaku dokter dalam berhubungan  dengan komunitas lainnya (pasien, perawat, rumah sakit,dan lain-lain), sehingga  selanjutnya  akan  tercipta  keadilan,  kedamaian,  dan  kesejahteraan  untuk  semua  yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan tersebut.
Aspek administrasi dari hukum kedokteran ini dapat dilihat pertama kali  adalah adanya undang-undang pendidikan, bahwa untuk menjadi seorang dokter    harus  lulus  dari  fakultas  kedokteran.  Tidak  mungkin  gelar  dokter  terlahir  dari  fakultas  ekonomi  atau  fakultas  sastra.  Dari  fakultas  ekonomi  akan  terlahir  ekonom. Dari fakultas sastra akan terlahir budayawan, misalnya. Jadi jelas, sejak  awal  dokter  sudah  terikat  dengan  aturan,  baru  untuk  menjadi  dokter  mau  tidak  mau harus menuruti masuk di fakultas kedokteran (Hari Wujoso,2009:51).
Dokter  dalam  menjalankan  profesinya  harus  didasarkan  pada  Undangundang  Nomor  29  Tahun  2004  tentang  Praktik  Kedokteran  (UU  Pradok).  Hal  tersebut dikarenakan hubungan  yang terbentuk antara pasien dengan dokter atau  tenaga  kesehatan  yang  lain,  atau  hubungan  antara  pasien  dengan  rumah  sakit,  maka  posisi  pasien  selalu  ada  dalam  posisi  yang  lebih  lemah.  Posisi  pasien  ada  dalam  keadaan  membutuhkan  pertolongan,  sementara  posisi  tenaga  kesehatan  adalah  pihak  yang  menolong.  Jadi,  posisi  pasien  dengan  tenaga  kesehatan  lebih  kuat  pada  posisi  tenaga  kesehatan.  Posisi  pasien  dengan  tenaga  kesehatan  yang tidak  seimbang  seperti  itu  membuat  pasien  mudah  untuk  mendapat  perlakuan  tidak  adil.  Sehingga  tepatlah  jika  di  dalam  Undang-Undang  Praktik  Kedokteran ini, posisi pasien perlu mendapat pengawalan, agar tidak mengalami kerugian atau  dengan kata lain, pasien perlu mendapat keadilan atau perlindungan.
Begitu  juga  dengan  tenaga  kesehatan,  posisi  tenaga  kesehatan  dengan  keberadaan  Undang-Undang  Praktik  Kedokteran  dalam  hal  ini  adalah  mendapatkan  kepastian  hukum,  sehingga  pasien  tidak  dapat  semena-mena  melakukan tuduhan kepada dokter atau tenaga kesehatan lain jika terjadi peristiwa  yang  tidak  diinginkan.  Hal  ini  sesuai  dengan  arti  dari  lambang  hukum  neraca  timbang,  yaitu  bahwa  neraca  menimbang  seringan -ringannya  suatu  masalah  sehingga  tercipta  akhir  dari  hukum  yang  seadil -adilnya  yang  merupakan  hasil  akhir atau tujuan akhir dari hukum itu sendiri.
Sehingga jelaslah di sini bahwa semua warga Negara memiliki kedudukan  yang sama di mata hukum, bahwa hukum tidak memihak salah satu pihak yang  dalam hal ini adalah dokter dan atau pasien. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 27  Ayat  1  Undang-undang  Dasar  1945  yang  berbunyi  “Segala  warga  Negara  bersamaan  kedudukannya  di  dalam  hukum  dan  pemerintahan  dan  wajib  menjunjung  hukum  dan  pemerintahan  itu  dengan  tidak  ada  kecualinya.”  Pasal    tersebut  mengandung  maksud  bahwa  semua  warga  Negara  berhak  atas  perlindungan hukum atas diri, pribadi, jiwa, kehormatan, dan harta bendanya.
Dewasa  ini  praktek  kedokteran  kembali  menjadi  sasaran  kritikan  dari  pelbagai kalangan masyarakat. Secara humanistik, dokter sebagai manusia biasa  tentunya tidak lepas dari kelalaian dan kealpaan. Kelalaian yang terjadi pada saat  melakukan tugas profesinya inilah yang  dapat mengakibatkan malpraktik medis.
Sementara  dalam  masyarakat  terdapat  pula  orang  yang  beritikad  kurang  bai k,  yang  sengaja  menarik  dokter  untuk  berperkara.  Malpraktik  dalam  praktiknya  terkadang  dikaburkan  dengan  apa  yang  disebut  dengan  resiko  medik.  Sehingga  tidak  jarang  seorang  dokter  yang  telah  bekerja  dengan  sangat  profesional  yaitu  telah  sesuai  dengan  standar  profesi  medis,  standar  pelayanan  medis,  serta  Standard  Operating  Procedure  (SOP)  masih  dituntut  dengan  tuduhan  telah  melakukan malpraktik.
Seperti contoh  Mahkamah Agung (MA)  menolak kasasi jaksa atas kasus  malpraktik  dengan  terdakwa  dr  Wida  Parama  Astiti.  MA  memutuskan  dr  Wida  telah melakukan malpraktik sehingga pasien berusia 3 tahun meninggal dunia dan  dijatuhi 10 bulan penjara. Seperti dilansir dalam website Mahkamah Agung (MA),  Jumat  (22/3/2013),  kasus  tersebut  bermula  saat  dr  Wida menerima  pasien  Deva  Chayanata (3) pada 28 April 2010 pukul 19.00 WIB datang ke RS Krian Husada,  Sidoarjo,  Jatim.  Deva  datang  diantar  orang  tuanya  karena  mengalami  diare  dan  kembung dan dr Deva langsung memberikan tindakan medis berupa pemasangan  infuse, suntikan, obat sirup dan memberikan perawatan inap.     Keesokan harinya,  dr  Wida  mengambil  tindakan  medis  dengan  meminta  kepada  perawat  untuk  melakukan  penyuntikan  KCL  12,5  ml.  Saat  itu,  dr  Wida  berada  di  lantai  1  dan  tidak  melakukan  pengawasan  atas  tindakan  perawat  tersebut  dan  Deva  kejang kejang.  Akibat  hal  ini,  Deva  pun  meninggal  dunia (http://news.detik.com/read/2013/03/22/123335/2201025/10/.  Diakses  pada  30  April  2013).  Praktisi  hukum  Indrianto  Senoadji  mengatakan,  materi  UU  Praktik  Kedokteran  “amburadul”. “Di satu sisi kita harus menjaga profesi yang terhormat seorang dokter, di sisi lain di dalam undang-undang tersebut telah  dicabut profesi  terhormat  kita  sebagai  dokter,”  katanya  di  Jakarta,   Rabu  (6/3).  Dia  mengkritik    menteri  kesehatan  terkait  Pasal  48  tentang  UU  Kekuasaan  Pokok  Kehakiman.
Pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 51 UU Praktik Kedokteran. “Kalaupun  ada  kasus  kelalaian  medis  tentunya  hukum  yang  diberikan  harus  berupa  hukum  perdata  di  mana  seorang  pasien  dapat  diberikan  ganti  rugi  sebesar  pengeluaran  medis  yang  diakibatkan,”  tuturnya  (http://cetak.shnews.co/web/read/2013-03-07/8872/banyak.dokter.dipidana. Diakses pada 30 April 2013).
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan  penelitian  dengan  judul:  “PERLINDUNGAN  HUKUM  TERHADAP  DOKTER DALAM MENJALANKAN PROFESI KEDOKTERAN.”.
B. Perumusan Masalah.
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:.
Apakah  substansi  hukum  kedokteran  sudah  berfungsi  memberikan  perlindungan hukum terhadap Dokter dalam menjalankan profesi kedokteran?.
C. Tujuan Penelitian.
1.  Tujuan Obyektif.
Untuk  mengetahui  substansi  hukum  kedokteran  berfungsi  memberikan  perlindungan hukum terhadap Dokter dalam menjalankan profesi kedokteran.
2.  Tujuan Subyektif.
a.  Menambah dan memperluas pengetahuan penulis dalam penelitian hukum  pada khususnya di bidang Hukum Administrasi Negara.
b.  Memenuhi  persyaratan  akademis  guna  mencapai  gelar  sarjana  dalam  bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian.
1.  Manfaat Teoritis.
a.  Diharapkan  hasil  penelitian  ini  dapat  memberikan  sumbangan  pemikiran  bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum  administrasi negara pada khususnya.
  b.  Diharapkan  hasil  penelitian  ini  dapat  digunakan  sebagai  refrensi  dibidang  karya  ilmiah,  serta  bahan  masukan  bagi  penelitian  yang  sejenis  di  masa  yang akan datang.
2.  Manfaat Praktis.
a.  Memberi  jawaban atas  permasalahan  yang  menjadi  pokok  bahasan  dalam  penelitian ini, yaitu apakah Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang  Praktik  Kedokteran  berfungsi  memberikan  perlindungan  hukum  terhadap  Dokter dalam menjalankan profesi kedokteran.
b.  Meningkatkan  penalaran,  membentuk  pola  pikir  dinamis  dan  mengaplikasikan  ilmu  yang  diperoleh  penulis  selama  studi  di  Fakultas  Hukum Universitas Sebelas Maret.

 Skripsi Hukum: Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Menjalankan Profesi Kedokteran

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi