BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Menjalankan Profesi Kedokteran
Dalam Pasal 1 Undang-undang Hak
Asasi Manusia yang dimaksud dengan hak asasi
manusia adalah seperangkat
hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sehat bukan
segalanya, tapi tanpa
sehat segalanya akan
menjadi tidak berarti. Kata tersebut menggambarkan bahwa
sehat adalah sebuah hal yang sangat utama bagi
manusia, sehingga sudah
sewajarnya jika kemudian
setiap orang berhak
untuk sehat dalam
hidupnya. Sehat tidak
dapat hanya dilihat
dari aspek fisik saja, tetapi juga mencakup fisik,
mental, dan sosialnya.
Hak untuk
sehat merupakan bagian
dari hak asasi
manusia. Sudah seharusnya
jika ada pelarangan
terhadap siapa saja
yang dengan sengaja
akan mengganggu kesehatan
orang lain. Kesehatan
merupakan hak asasi
manusia.
Setiap orang
berhak atas taraf
hidup yang memadai
untuk kesehatan dan kesejahteraan diri
dan keluarganya sebagaimana
disebutkan pada pasal
25 Deklarasi Umum
Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa “Negara mengakui hak setiap orang untuk memperoleh
standar tertinggi yang dapat dicapai atas
kesehatan fisik dan mental.” Untuk dapat
memelihara kesehatan masyarakat, maka diperlukan berbagai sarana,
keberadaan sarana-sarana tersebut
tidak dapat ditinggalkan.
Sarana tersebut antara lain
adalah: 1) Institusi pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, puskesmas,
balai pengobatan dan
poliklinik, rumah bersalin,
praktik dokter, praktik
bidan atau perawat,
dan lainnya; 2)
Sumber daya manusia
kesehatan, seperti dokter,
perawat, bidan, apoteker, asisten apoteker, dan lain sebagainya; 3) Sistem manajemen
pelayanan kesehatan; 4)
Ekonomi kesehatan; 5)
Teknologi kesehatan,dan; 6)
Kebijakan atau politik
kesehatan. Dari hal
tersebut dapat diperoleh pengertian bahwa sehat atau kesehatan dan usaha untuk mencapai sehat
memerlukan pengetahuan
dan sarana, keberadaan
unsur-unsur dan sarana penunjang tersebut tidak dapat diabaikan.
Meskipun secara bertahap, keberadaan seluruh sarana
dan pengetahuan kesehatan
harus diwujudkan den gan memperhatikan
kebijakan secara menyeluruh
dari berbagai aspek
kebutuhan manusia (Hari
Wujoso,2009:17).
Salah satu
sarana tersebut adalah
dokter, dapat dikatakan
bahwa dokter adalah
“Leader” (pemimpin) dalam
pelayanan kesehatan. Meskipun
demikian keberadaan tenaga
kesehatan yang lain
tetap memiliki kekhususan
ya ng tidak dapat digantikan. Dalam memberikan pelayanan
kesehatan semua perilaku dokter disoroti oleh
Hukum Kedokteran, sehingga
dokter adalah obyek
kajian hukum, maksudnya
adalah aturan apa
saja yang mengikat
perilaku dokter, aturan
mana dapat dilihat
dari berbagai aspek
hukum. Apabila dilihat
dalam kajian hukum normatif,
maka dapat dikatakan seluruh peraturan tertulis yang mengikat perilaku dokter
dalam rangka menjalankan
profesinya dapat dimasukkan
sebagai hukum kedokteran (Hari Wujoso,2009:50).
Kajian hukum
kedokteran dari kaca
mata hukum normatif
tersebut mengandung arti
bahwa hukum kedokteran
dapat dilihat dari
3 sudut pandang, yaitu:
1) Aspek hukum administrasi
kedokteran, 2) aspek
hukum perdata kedokteran,
dan 3) aspek
hukum pidana kedokteran
(Adami Chazawi,2007:12).
Ketiga aspek
hukum tersebutlah yang
mengikat perilaku dokter
dalam menjalankan profesinya,
dokter harus melengkapi perilakunya sesuai dengan tata aturan tersebut agar tidak dikatakan melakukan
“Malpraktik” aspek hukum.
Secara umum
dapat dikatakan bahwa
hukum kedokteran adalah
hukum administrasi, merupakan
cabang dari hukum
administrasi n egara. Sehingga, seperti yang dimaksudkan dalam hukum dministrasi negara maka adanya hukum kedokteran ditujukan agar tercipta keteraturan
perilaku dokter dalam berhubungan dengan
komunitas lainnya (pasien, perawat, rumah sakit,dan lain-lain), sehingga selanjutnya
akan tercipta keadilan,
kedamaian, dan kesejahteraan
untuk semua yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan
tersebut.
Aspek administrasi dari hukum
kedokteran ini dapat dilihat pertama kali adalah adanya undang-undang pendidikan, bahwa
untuk menjadi seorang dokter harus lulus
dari fakultas kedokteran.
Tidak mungkin gelar
dokter terlahir dari fakultas ekonomi
atau fakultas sastra.
Dari fakultas ekonomi
akan terlahir ekonom. Dari fakultas sastra akan terlahir
budayawan, misalnya. Jadi jelas, sejak awal dokter
sudah terikat dengan
aturan, baru untuk
menjadi dokter mau
tidak mau harus menuruti masuk di
fakultas kedokteran (Hari Wujoso,2009:51).
Dokter dalam
menjalankan profesinya harus
didasarkan pada Undangundang
Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik
Kedokteran (UU Pradok).
Hal tersebut dikarenakan
hubungan yang terbentuk antara pasien
dengan dokter atau tenaga kesehatan
yang lain, atau
hubungan antara pasien
dengan rumah sakit, maka
posisi pasien selalu
ada dalam posisi
yang lebih lemah.
Posisi pasien ada dalam keadaan
membutuhkan pertolongan, sementara
posisi tenaga kesehatan adalah
pihak yang menolong.
Jadi, posisi pasien
dengan tenaga kesehatan
lebih kuat pada
posisi tenaga kesehatan.
Posisi pasien dengan
tenaga kesehatan yang tidak
seimbang seperti itu membuat pasien
mudah untuk mendapat
perlakuan tidak adil.
Sehingga tepatlah jika
di dalam Undang-Undang
Praktik Kedokteran ini, posisi
pasien perlu mendapat pengawalan, agar tidak mengalami kerugian atau dengan kata lain, pasien perlu mendapat
keadilan atau perlindungan.
Begitu juga
dengan tenaga kesehatan,
posisi tenaga kesehatan
dengan keberadaan Undang-Undang
Praktik Kedokteran dalam
hal ini adalah mendapatkan
kepastian hukum, sehingga
pasien tidak dapat
semena-mena melakukan tuduhan
kepada dokter atau tenaga kesehatan lain jika terjadi peristiwa yang
tidak diinginkan. Hal
ini sesuai dengan
arti dari lambang
hukum neraca timbang,
yaitu bahwa neraca
menimbang seringan -ringannya suatu
masalah sehingga tercipta
akhir dari hukum
yang seadil -adilnya yang
merupakan hasil akhir atau tujuan akhir dari hukum itu sendiri.
Sehingga jelaslah di sini bahwa
semua warga Negara memiliki kedudukan yang
sama di mata hukum, bahwa hukum tidak memihak salah satu pihak yang dalam hal ini adalah dokter dan atau pasien.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 27 Ayat 1
Undang-undang Dasar 1945
yang berbunyi “Segala
warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak
ada kecualinya.” Pasal tersebut
mengandung maksud bahwa
semua warga Negara
berhak atas perlindungan hukum atas diri, pribadi, jiwa,
kehormatan, dan harta bendanya.
Dewasa ini
praktek kedokteran kembali
menjadi sasaran kritikan
dari pelbagai kalangan
masyarakat. Secara humanistik, dokter sebagai manusia biasa tentunya tidak lepas dari kelalaian dan
kealpaan. Kelalaian yang terjadi pada saat melakukan tugas profesinya inilah yang dapat mengakibatkan malpraktik medis.
Sementara dalam
masyarakat terdapat pula
orang yang beritikad
kurang bai k, yang
sengaja menarik dokter
untuk berperkara. Malpraktik
dalam praktiknya terkadang
dikaburkan dengan apa
yang disebut dengan
resiko medik. Sehingga tidak
jarang seorang dokter
yang telah bekerja
dengan sangat profesional
yaitu telah sesuai
dengan standar profesi
medis, standar pelayanan
medis, serta Standard
Operating Procedure (SOP)
masih dituntut dengan
tuduhan telah melakukan malpraktik.
Seperti contoh Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi jaksa atas kasus malpraktik
dengan terdakwa dr
Wida Parama Astiti.
MA memutuskan dr
Wida telah melakukan malpraktik
sehingga pasien berusia 3 tahun meninggal dunia dan dijatuhi 10 bulan penjara. Seperti dilansir
dalam website Mahkamah Agung (MA), Jumat (22/3/2013),
kasus tersebut bermula
saat dr Wida menerima
pasien Deva Chayanata (3) pada 28 April 2010 pukul 19.00
WIB datang ke RS Krian Husada, Sidoarjo, Jatim.
Deva datang diantar
orang tuanya karena
mengalami diare dan kembung
dan dr Deva langsung memberikan tindakan medis berupa pemasangan infuse, suntikan, obat sirup dan memberikan
perawatan inap. Keesokan harinya, dr
Wida mengambil tindakan
medis dengan meminta
kepada perawat untuk melakukan penyuntikan
KCL 12,5 ml.
Saat itu, dr
Wida berada di
lantai 1 dan tidak melakukan
pengawasan atas tindakan
perawat tersebut dan
Deva kejang kejang. Akibat
hal ini, Deva
pun meninggal dunia (http://news.detik.com/read/2013/03/22/123335/2201025/10/. Diakses
pada 30 April
2013). Praktisi hukum
Indrianto Senoadji mengatakan,
materi UU Praktik Kedokteran
“amburadul”. “Di satu sisi kita harus menjaga profesi yang terhormat seorang
dokter, di sisi lain di dalam undang-undang tersebut telah dicabut profesi terhormat
kita sebagai dokter,”
katanya di Jakarta,
Rabu (6/3). Dia
mengkritik menteri kesehatan
terkait Pasal 48
tentang UU Kekuasaan
Pokok Kehakiman.
Pasal itu dinilai bertentangan
dengan Pasal 51 UU Praktik Kedokteran. “Kalaupun ada
kasus kelalaian medis
tentunya hukum yang
diberikan harus berupa
hukum perdata di
mana seorang pasien
dapat diberikan ganti
rugi sebesar pengeluaran medis
yang diakibatkan,” tuturnya
(http://cetak.shnews.co/web/read/2013-03-07/8872/banyak.dokter.dipidana.
Diakses pada 30 April 2013).
Bertitik tolak dari uraian di
atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul: “PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP DOKTER DALAM MENJALANKAN PROFESI KEDOKTERAN.”.
B. Perumusan Masalah.
Pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah:.
Apakah substansi
hukum kedokteran sudah
berfungsi memberikan perlindungan hukum terhadap Dokter dalam
menjalankan profesi kedokteran?.
C. Tujuan Penelitian.
1. Tujuan Obyektif.
Untuk mengetahui
substansi hukum kedokteran
berfungsi memberikan perlindungan hukum terhadap Dokter dalam
menjalankan profesi kedokteran.
2. Tujuan Subyektif.
a. Menambah dan memperluas pengetahuan penulis
dalam penelitian hukum pada khususnya di
bidang Hukum Administrasi Negara.
b. Memenuhi
persyaratan akademis guna
mencapai gelar sarjana
dalam bidang ilmu hukum di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian.
1. Manfaat Teoritis.
a. Diharapkan
hasil penelitian ini
dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi pengembangan ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum administrasi negara pada khususnya.
b. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat
digunakan sebagai refrensi
dibidang karya ilmiah,
serta bahan masukan
bagi penelitian yang
sejenis di masa yang
akan datang.
2. Manfaat Praktis.
a. Memberi
jawaban atas permasalahan yang
menjadi pokok bahasan
dalam penelitian ini, yaitu
apakah Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran berfungsi memberikan
perlindungan hukum terhadap Dokter dalam menjalankan profesi kedokteran.
b. Meningkatkan
penalaran, membentuk pola
pikir dinamis dan mengaplikasikan ilmu
yang diperoleh penulis
selama studi di
Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
Skripsi Hukum: Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Menjalankan Profesi Kedokteran
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi