BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Sinkronisasi Hak-Hak Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Negara Indonesia
merupakan negara hukum
yang menjamin tiap-tiap warga negaranya termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan hak asasi manusia. Sebagai negara yang berdaulat
dan memiliki landasan hukum, hal ini
sesuai dengan Konsideran
dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka jaminan
terhadap kesejahteraan rakyat harus diwujudkan
kepada seluruh masyarakat
termasuk terhadap anak-anak tanpa
ada perbedaan, karena
anak adalah amanah
dan karunia Tuhan
Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya.
Kelangsungan hidup
suatu bangsa menjadi
besar atau terpuruknya
suatu bangsa tergantung
bagaimana bangsa itu
mempersiapkan anak-anak sebagai generasi
pengganti yang akan
terus mempertahankan, berkarya
dan memperjuangkan hingga
tercapai cita-cita bangsa
tersebut. Anak di
muka bumi mempresentasikan restu,
potensi, harkat, martabat
dan tujuan Tuhan Yang
Maha Esa yang terintegrasi dalam diri anak
sebagai manusia seutuhnya, yang harus dihargai oleh semua orang dan didukung oleh semua agama yang melarang keras adanya pembunuhan terhadap
sesama manusia, maka seorang anak
yang dilahirkan dengan potensi-potensi luar biasa di dalam dirinya harus dilindungi. Konsekuensi
logisnya, anak-anak sebagai
aset masa depan
suatu bangsa harus
mendapat perlindungan hukum
dan kesempatan mengembangkan
diri agar semua
potensi mereka dapat
ditingkatkan untuk berkarya bagi bangsa.
Dalam Mukadimah
Konvensi Anak yang
disetujui oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
pada tanggal 20
November 1989 mengatakan, ”Menyadari bahwa
perserikatan bangsa-bangsa dalam
deklarasi universal mengenai Hak-Hak Asasi Manusia telah memproklamasikan dan
menyetujui bahwa setiap orang berhak
atas semua hak dan kebebasan yang
dinyatakan di dalamnya tanpa
perbedaan apapun, seperti
ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pendapat
lain, asal kebangsaan, sosial, harta kekayaan,
kelahiran atau kedudukan
lain”, artinya adalah
semua orang dari
bangsa, kelas, warna
kulit, atau anak
berhak untuk mendapat
perlakuan baik atau dihargai
hak-haknya.
Jauh sebelum Konvensi dan Deklarasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak
asasi manusia, para
pendiri bangsa Indonesia
telah meletakkan dasar hukum sebagai jaminan atas hak-hak asasi
manusia khususnya hak-hak anak. Menurut
ketentuan Pasal 34
Undang-Undang Dasar 1945
dinyatakan bahwa “Fakir
miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh
Negara”, ini berarti
pendiri bangsa sudah
mengetahui persoalan yang
akan timbul dan memberikan jaminan
bagi semua anak
Indonesia untuk mendapat pemeliharaan dari negara.
Untuk meneguhkan
amanat para pendiri
bangsa tentang hak
anak, maka Presiden
Republik Indonesia bersama-sama
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI) memutuskan
untuk mengeluarkan beberapa undang-undang
sebagai landasan hukum sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang tersebut
menetapkan batas umur
anak adalah seseorang yang
belum mencapai usia
21 (dua puluh
satu) tahun dan hak-hak anak antara lain
: anak berhak
atas kesejahteraan, perawatan,
asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang
baik dalam keluarganya
maupun di dalam asuhan khusus.
Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya. Anak berhak
atas pemeliharaan dan perlindungan semasa
dikandungan maupun di
luar kandungan, anak berhak atas
lingkungan yang aman
dan kondusif untuk
pertumbuhannya dan pihak-pihak
yang berkewajiban mengusahakan
kesejahteraan anak Indonesia.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
Untuk menjamin
dan melindungi hak-hak
anak agar dapat
hidup, bertumbuh dan
berkembang secara optimal
serta mendapat perlindungan dari kekerasan maupun diskriminasi.
Kedua undang-undang ini
secara umum mengatur bagaimana
memberikan perlindungan kepada setiap
anak agar hidup sejahtera, serasi dan seimbang di tengah masyarakat dengan
memberikan harkat dan martabat sesuai dengan hak anak
yang seharusnya diperoleh.
Terlepas disadari atau
tidak, potret utuh tentang realitas anak yang ada di Indonesia sekarang
ini ternyata belum sesuai dengan peraturan dalam undang-undang, kenyataannya anak-anak masih
terus tereksploitasi.
Before the
spread of nongovernmental child-protection societies
beginning in 1875, intervention to protect children was sporadic, but
interven- tion occurred.
(John E.B. Myers, A Short History of Child Protection in America, 2009 : 451).
Intinya, intervensi untuk
melindungi anak-anak dilakukan secara sporadis,
tetapi intervensi terjadi.
Ada banyak kasus tentang
pelanggaran hak atas anak, misalnya pernikahan dini,
minimnya pendidikan, perdagangan
anak, penganiayaan anak
dan mempekerjakan anak
di bawah umur.
Contoh kasus pernikahan
dini adalah perkawinan
yang dilakukan oleh Syekh Puji
dengan Lutfiana Ulfa (12 tahun).
Seharusnya di umur 12
tahun adalah masa
untuk tumbuh, berkembang, bersosialisasi, belajar, menikmati masa anak-anak dan
bermain sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Contoh kasus
minimnya pendidikan adalah
wajib belajar bagi
anak-anak seharusnya 12 tahun
akan tetapi pada kenyataannya
hanya 6-9 tahun saja, karena tidak terdapat
bantuan dari pemerintah
yang dijanjikan. Contoh
kasus mempekerjakan anak di bawah
umur, salah satunya adalah lebih dari 10.000 anak
bekerja di Sumatera
Utara sebagai buruh
anak di pabrik
sebagai penyokong akumulasi
kapital, dan sebagai anak jalanan, yang
mana usia anakanak 10-15 tahun
seharusnya masih mengenyam
bangku sekolah sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002. Contoh kasus kekerasan
pada anak menurut data dari Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2001 terdapat 2.275
kasus kekerasan terhadap anak, tahun 2012
terdapat 3.871, tahun
2013 bulan Januari-Pebruari terdapat
919 kasus anak, yang kebanyakan
justru dilakukan oleh orang tua terhadap anak, dan guru terhadap siswa
(http://www.kabar24.com/index.php/kekerasan-padaanak-di-indonesia-cende
rung -meningkat/. Akses tanggal 21 Mei 2013).
Sebelumya berdasarkan
Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 1984
tentang Hari Anak Nasional, telah
menetapkan bahwa setiap tanggal 23
Juli diperingati sebagai
Hari Anak Nasional
(HAN). Sejak tahun 1986 sampai
sekarang peringatan Hari
Anak Nasional (HAN)
ini diselenggarakan tiap tahun.
Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) dimaknai sebagai
kepedulian seluruh bangsa
Indonesia terhadap perlindungan
dan pemenuhan hak-hak
anak untuk sehat,
tumbuh dan berkembang
secara sejahtera agar terbentuk
generasi penerus yang tangguh, kreatif, jujur, cerdas, berprestasi,
serta berakhlak mulia.
Hari Anak Nasional
(HAN) pada hakekatnya merupakan momentum yang penting
untuk menggugah kepedulian maupun partisipasi
seluruh rakyat Indonesia
dalam menghormati, menjamin dan memenuhi hak-hak anak yang menjadi bagian
Hak Asasi Manusia (HAM) (www.infodokterku.com/index.php?option=com_contenteandview=article&id
=134:peringatan-hari-anak-nasional-han-tahun2011&catid=28:healthnews& Itemid=28.
Akses tanggal 3 Pebruari 2013).
Sejak tahun
2005 Pemerintah Indonesia
melalui Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan telah mencanangkan
lima kota, yaitu
kota Surakarta, Jambi, Gorontalo, Sidoarjo, serta Kutai Kertanegara sebagai
Kota Layak Anak (KLA). Kota Layak
Anak (KLA) merupakan kota yang menjamin hak
setiap anak sebagai warga kota.
Kota-kota tersebut dipilih menjadi
Kota Layak Anak
(KLA) karena memiliki
aturan daerah yang
peduli terhadap kesejahteraan
anak serta tumbuh
kembangnya anak dengan
membebaskan biaya pembuatan
akta kelahiran dan
biaya pendidikan sekolah;
melindungi anak-anak dari
eksploitasi seksual dan ekonomi; serta perencanaan kota yang layak
anak dengan konsep
adanya penyediaan ruang
hijau untuk taman
dan hewan, hidup di lingkungan
bebas polusi, seperti taman, tempat
bermain, dan sebagainya (Rika Saraswati,
2009 : 155).
Dalam mewujudkan
Kota Layak Anak
(KLA), pemerintah daerah/kota berperan
penting dalam merealisasikan konvensi
hak anak dan
konsep kota layak
anak, yang dapat
diwujudkan melalui suatu
kemitraan yang seluasluasnya
dengan melibatkan sektor
swasta, tokoh masyarakat,
tokoh adat, pemerintah
kota dari masing-masing
departemen atau sektor,
lembaga non pemerintah, dan masyarakat sipil.
Selain itu hak
anak juga harus
diketahui, dipelajari, diterima
dan dihargai serta
dilaksanakan, diorganisasi, dimonitor yang akhirnya
ada pastisipasi dan
gerakan untuk perubahan.
Konsep Kota Layak
Anak (KLA) menurut
United Nations International
Children’s Emergency Fund
(UNICEF) adalah kota
yang menjamin hak
setiap anak sebagai warga kota dan keputusannya bisa ikut
mempengaruhi kebijakan yang diambil di kotanya
(Rika Saraswati, 2009 : 161-162).
Untuk meningkatkan
efektivitas penyelenggaraan perlindungan
anak di Indonesia terdapat lembaga independent yang
kedudukannya s etingkat dengan komisi negara yang dibentuk berdasarkan amanat
Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003
dan Pasal 74 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002
yaitu Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI).
Lembaga ini tidak
boleh dipengaruhi oleh siapa dan
dari mana serta kepentingan apapun,
kecuali satu yaitu “Demi Kepentingan
Terbaik bagi Anak”. Lembaga ini bertujuan untuk membantu
memantau, memajukan dan
melindungi hak anak
serta mencegah berbagai
kemungkinan pelanggaran hak
anak yang dilakukan
oleh negara, perorangan
atau lembaga.
(www.gugustugastrafficking.org/index.php?option =com_content&view=article&id=1491:kpai&catid=197:lemabaglayanan&Ite
mid=24. Diakses tanggal pada 3 Pebruari 2013).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak pada Bab II Pasal 2 mengatur hak-hak anak atas
kesejahteraan yang meliputi antara lain
hak-hak atas kesejahteraan, perawatan,
asuhan dan bimbingan
serta berbagai hak atas
perlindungan hukum yang kesemuanya
merupakan hak-hak yang dimiliki setiap
anak untuk hidup layak dan sejahtera. Sekalipun tidak ada undang-undang yang mengatur secara khusus
mengenai hak orang tua dalam memberikan
nasehat demi mencapai kesejahteraan anak-anak, orang tua tetap berperan penting dalam memberikan
kesejahteraan bagi anak (Jennifer Hoult,
J.D, 2006 : 1). Because young children under six years of age are especially vulnerable,
it is particularly
important to prevent
separation from their primary caretaker
and, in cases
of separation, to
trace their families
and reunify them
with their primary
caretaker or other
responsible adults (Michael
Wessells & Anne
Edgerton, “Concepts and
Practices to Support War-Affected
Children”, hal. 8).
Intinya, anak-anak di
bawah usia 6
tahun sangat penting
untuk dicegah terjadinya
pemisahan, dalam kasus
pemisahan harus dilacak keluarga
mereka dan menyatukannya
kembali untuk dapat bertanggung
jawab.
Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak mengatur hak-hak
anak untuk mendapatkan
perlindungan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi (Pasal
3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002).
Sesungguhnya hak-hak
anak yang telah
diatur dalam kedua
peraturan perundang-undangan
dan siapa saja
pihak-pihak yang harus
melaksanakan hak-hak anak
tersebut menjadi pertanyaan
besar, berdasarkan uraian
di atas, penulis
hendak mengkaji lebih
dalam tentang sinkronisasi
antara 2 (dua) peraturan
perundang-undangan, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dalam
sebuah penulisan hukum
(skripsi) yang berjudul
“ SINKRONISASI HAK-HAK
ANAK MENURUT UNDANGUNDANG
NOMOR 4 TAHUN
1979 TENTANG KESEJAHTERAAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK”.
B. Pembatasan Permasalahan.
Banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur
tentang anak, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak. Dalam
penulisan hukum (skripsi)
ini penulis membatasi permasalahan mengenai “hak-hak
anak” yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak
dan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, yang membahas hak-hak anak dan agar
pembahasan tidak meluas, tetap fokus pada
permasalahan serta agar
tidak menimbulkan penafsiran
lain.
Sedangkan menurut
Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dalam penulisan hukum
(skripsi) ini tidak
dibahas, karena lebih mengatur mengenai anak nakal, anak yang
melakukan tindak pidana dan proses
persidangan anak.
C. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang
tersebut di atas, penulis merumuskan masalah yang
diteliti secara lebih
rinci. Adapun permasalahan
yang dikaji dalam penulisan
hukum (skripsi) ini adalah :.
1. Apakah
hak-hak anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak sinkron dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 200tentang Perlindungan Anak?.
2. Siapa saja pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemenuhan hakhak anak
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak?.
Skripsi Hukum: Sinkronisasi Hak-Hak Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi