BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Skripsi Hukum: Tinjauan Yuridis Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian
Tanah merupakan
suatu kebutuhan yang
mendasar bagi manusia.
Tanah jika dilihat
secara kosmologis merupakan
tempat tinggal, tempat
dari mana mereka berasal, dan akan kemana mereka pergi.
Dalam hal ini, tanah mempunyai dimensi
ekonomi, sosial, kultural dan politik (Bernhard Limbong, 2011: 1). Tanah dinilai sebagai suatu harta bersifat tetap
yang dicadangkan untuk kehidupan yang akan datang.
Dilihat dari faktanya,
tanah merupakan sarana
tempat tinggal bagi persekutuan
hukum dan seluruh anggotanya sekaligus
memberikan penghidupan kepada pemiliknya
(I Gede A.B. Wiranata, 2005: 244).
Berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal
33 ayat (3)
menyatakan bahwa “Bumi
air dan kekayaan
yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Sesuai dengan amanat
dalm pasal tersebut
bahwa pemanfaatan dan
penggunaan tanah harus dapat memberikan kesejahteraan yang
sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ruang lingkup
agraria, tanah merupakan
bagian dari bumi,
yang disebut permukaan
bumi. Tanah yang
dimaksudkan disini bukan
mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut
hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Pokok Agraria yang
disebut sebagai UUPA,
yaitu “Atas dasar
hak menguasai dari
Negara sebagai yang dimaksud Pasal
2 ditentukan adanya
macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain
serta badan-badan hukum.”
Dengan demikian, jelaslah
tanah dalam pengertian
yuridis adalah permukaan
bumi, sedangkan hak
atas tanah adalah
hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi, yang
terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Atas dasar ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA,
kepada pemegang hak atas tanah diberi
wewenang untuk menggunakan
tanah yang bersangkutan,
demikian pula tubuh
bumi dan air
serta ruang yang
diatasnya sekadar diperlukan
untuk kepentingan langsung
yang berhubungan dengan
penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut UUPA
dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi (Urip Santoso, 2012:10).
Objek hukum
tanah adalah hak
penguasaan atas tanah.
Yang dimaksud dengan
hak penguasaan tanah
adalah hak yang
berisi serangkaian wewenang, kewajiban
dan/atau larangan bagi
pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu mengenai
tanah yang dihaki.
Sesuatu yang boleh,
wajib atau dilarang
untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang
menjadi kriteria atau tolok ukur pembeda
di antara hak-hak penguasaan atas tanah
yang diatur dalam hukum tanah (
Urip Santoso, 2012:11).
Dewasa ini
sering kali para
pemegang hak penguasaan
tanah melakukan alih
fungsi lahan terhadap
tanah yang dikuasainya.
Sehingga tanah yang seharusnya untuk
pertanian dialih fungsikan
ke dalam pendirian
bangunan.
Ancaman rawan pangan di Indonesia
terjadi begitu kuatnya. Hal ini terjadi karena degradasi lahan pertanian yang luar biasa,
sementara rehabilitasi lambat. Konversi lahan pertanian
ke non pertanian
mencapai 158.000 hektar
per tahun sementara pencetakan
lahan pertanian tidak
sampai 5.000 hektar
per tahun. Kondisi
ini diperparah dengan adanya
kerusakan infrastruktur karena telah dimakan usia baik dari
irigasi, jalan-jalan di
pedesaan dan yang
lainnya. Selain itu
penuaan usia petani Indonesia (Taufiq Yuhry, 2011:1).
Menurut Frank Ramsey dalam jurnal
conversion of prime agricultural land to
non agricultural Uses in one area of the sunbelt menyatakan bahwa : “In
general, people are aware of the rapid growth of urban areas, the spread of suburban developments, urban sprawl,
strip developments, and extensive
highway systems, but
they are seldom
aware of the extent to
which prime agricultural
land has been,
and is being, diverted to these and other nonagricultural
uses. By definition, prime agricultural land
is land of the high-est
quality for food
and fiber production. In this article, the terms prime
land, prime farmland, and prime
agricultural land are used interchangeably”
Proses alih fungsi lahan sudah dipandang
sebagai pemandangan yang fisik yang
biasa di dalam kehidupan kita sehari-hari. Aktifitas penggunaan lahan adalah bentuk
fisik dari aktifitas
sosial-ekonomi masyarakat di
suatu wilayah. Dalam skala
nasional, dalam kurun waktu tiga dekade terakhir, setidaknya terdapat dua trend utama proses alih fungsi lahan yang
menonjol, yakni proses penggundulan hutan
dan urbanisasi-suburbanisasi (Ernan Rustiadi, 2001: 1).
Proses penggundulan
hutan terutama sebagai
akibat dari aktifitas
loging, pengembangan areal
pertanian dan pemukiman baru (transmigrasi). Penggundulan hutan di luar
Pulau Jawa terutama
dilakukan oleh konsesi-konsesi HPH, perkebunan serta
program-program
transmigrasi, dengan demikian
pihak-pihak swasta dan
pemerintah merupakan pelaku-pelaku
utama yang dominan.
Di beberapa wilayah di Pulau Jawa
dan sebagian wilayah lainnya di luar Pulau Jawa, tekanan
penduduk lokal, proses
perambahan hutan merupakan
fenomena yang cukup
umum. Di lain
pihak, pada daerah-daerah
seputar perkotaan ekspansi aktifitas
urban (suburbanisasi) merupakan
faktor utama terjadinya
alih fungsi lahan-lahan
pertanian ke aktifitas
urban. Dengan demikian
sebagian besar kepentingan
proses alihfungsi lahan
berlangsung di kawasan
perdesaan, khususnya pada
kawasan-kawasan perbatasan kota-desa dan perbatasan kawasan budidaya-non budidaya (Ernan Rustiadi, 2001:
1).
Permasalahan proses
alih fungsi lahan
dalam konteks kepentingannya merupakan
permasalahan berskala global
dan regional (antar negara).
Dalam konstelasi nasional,
permasalahan-permasalahan
alih fungsi lahan,
terlepas dari skala magnitudenya, baik alih fungsi lahan
berskala luas maupun kecil seringkali memiliki
permasalahan klasik berupa : 1.
Efisiensi alokasi dan distribusi sumber daya dari sudut pandang ekonomi;
2. Keterkaitannya dengan
masalah pemerataan dan
keadilan penguasaa sumber daya; 3.
Keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Ketiga masalah di atas
memiliki keterkaitan yang
sangat erat antara satu dengan yang lainnya, sehingga
permasalahan-permasalahan tersebut tidak bersifat independen
dan tidak dapat
dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan yang parsial namun
memerlukan
pendekatan-pendekatan yang integratif
(Ernan Rustiadi, 2001: 1).
Dini Purbani,
2003 (Dikutip Retno,
2001: 2) Bahwa
beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi lahan terbangun saat
ini banyak disebabkan oleh tekanan penduduk yang
selalu menuntut ruang
dalam aktivitasnya. Aktivitas
tersebut antara lain
berupa pembangunan industri
dan perluasan urban
yang berwujud pembangunan permukiman dan sarana umum.
Pemanfaatan lahan yang berlebihan dengan tidak
memperhatikan norma kelestarian
lahan akan menyebabkan gangguan keseimbangan sumberdaya alam termasuk
air.
Dalam Undang-Undang
Nomor. 41 Tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan
Pasal 44 ayat
(1) menyebutkan bahwa lahan yang
sudah ditetapkan sebagai
lahan pertanian pangan
berkelanjutan dilindungi dan
dilarang dialihfungsikan. Di
sini Pemerintah sudah
membuat regulasi yang
dimana tanah pertanian
dilarang untuk dialihfungsikan menjadi suatu
bangunan atau untuk
kepentingan yang lain,
Di Kabupaten Sukoharjo termasuk
daerah pengembangan SUBOSUKA
(Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, dan Karanganyar). Kabupaten ini telah
mendapatkan limpahan pembangunan fisik secara cepat.
Hal ini sebagai
konsekuensi wilayah yang
saling berdekatan.
Indikasi dari
limpahan pembangunan itu
salah satunya dapat
dilihat dari perkembangan jumlah penduduk yang pada
akhirnya menuntut adanya perubahan penggunaan
lahan. Pertumbuhan penduduk Kabupaten Sukoharjo rata-rata sebesar 1,3 %. Perubahan penggunaan lahan Kabupaten
Sukoharjo umumnya dari tegalan dan sawah
mengarah ke 2
permukiman sekitar 81
%, diikuti tegalan
menjadi industri dengan
7,3%, dan lainnya
(sarana transportasi dan
olah raga) 1,15% (Retno,
2002:1).
Dalam Peraturan Daerah Nomor. 14
Tahun 2011 Pasal 50 ayat 11 huruf C tentang
perwujudan rencana pola ruang mengatakan bahwa adanya pengendalian pertumbuhan
pembangunan perumahan baru.
Disini dimaksudkan bahwa
agar supaya pemerintah
mengendalikan perumahan baru guna pengendalian alih fungsi lahan yang sedang marak di Kabupaten Sukoharjo
yang sebetulnya lahan terse but difungsikan
untuk tanah pertanian.
Dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
menjadi persoalan yang mendapat
perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, Pasalnya
Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) menjadi
isu strategis yang menjadi prioritas, kesenjangan wilayah di Sukoharjo
ini masih cukup tinggi, juga konflik di
daerah industri sementara
pengendalian pemanfaatan ruang
masih lemah
(http://www.edisicetak.joglosemar.co/berita/kontrol-pemanfaatan-lahan-disukoharjo-lemah-30405.html
diakses 6-04-2013. 21.41 WIB) Angka jumlah lahan pertanian yang mengalami alih
fungsi sejak tiga tahun terakhir mengalami
peningkatan. Pada 2010 lalu
jumlah lahan pertanian
yang mengalami alih fungsi hanya
1,2 %, maka pada 2013 ini naik menjadi 2 % dari total
luas lahan pertanian
di Sukoharjo diperkirakan
sebanyak 27.000 –
28.000 hektar. Dengan
adanya kenaikan jumlah
lahan pertanian yang
mengalami alih fungsi, maka membuat Dinas Pertanian (Dispertan) mencari cara.
Salah satunya dengan
mengandalkan Peraturan Daerah
(Perda) RT/RW yang
mengatur mengenai lahan hijau
untuk pertanian. Serta cara lain dengan mengubah lahan non produktif
menjadi lahan produktif
untuk tanaman pangan.
Di Kabupaten Sukoharjo sendiri yang total memiliki luas
lahan sebanyak 46.666 hektar sebesar 27.000 –
28.000 hektar diantaranya
merupakan lahan pertanian.
Tapi dalam perjalanannya
sebesar 2 %
diantaranya saat ini
sudah beralihfungsi dari
lahan pertanian menjadi
kawasan industri pemukiman.
Lokasi paling banyak
yang mengalami alihfungsi
lahan pertanian tersebar
di lima kecamatan.
Pertama di Kecamatan
Mojolaban, Kartasura, Baki,
Polokarto dan Sukoharjo
Kota. Lahan yang sebelumnya digunakan untuk tanaman padi
sekarang sudah berganti menjadi berbagai jenis
bangunan
(http://krjogja.com/read/165558/alihfungsi-lahanpertanian-di sukoharjomeningkat.kr
diakses 7-4-2013. 21:33 WIB).
Berdasarkan uraian
di atas, penulis
tertarik untuk membahas
mengetahui bagaimana prosedur
dalam alih fungsi lahan di Kabupaten Sukoharjo tulisan yang berjudul
“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN DI KABUPATEN
SUKOHARJO”.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar
belakang yang telah
dipaparkan sebelumnya, agar permasalahan yang
diteliti menjadi lebih
jelas dan penulisan
hukum mencapai tujuan yang diinginkan, maka permasalahan yang
akan dibahas dalam penelitian ini:.
1. Bagaimana Prosedur alih fungsi
lahan pertanian ke non pertanian di Kabupaten Sukoharjo?.
2. Kendala-kendala apa
yang terjadi dalam
alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian
di Kabupaten Sukoharjo?.
C. Tujuan Penelitian.
Suatu penelitian
harus memiliki tujuan
yang jelas sehingga
dapat memberikan arah
dan mendapatkan hasil
yang sesuai dalam
pelaksanaan penelitian. Dalam
penelitian terdapat dua jenis tujuan,
yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif,
tujuan obyektif yaitu
tujuan yang berasal
dari penelitian itu.
Sedangkan tujuan subyektif adalah
tujuan yang berasal dari penulis. Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian itu adalah :.
1. Tujuan Obyektif.
a. Untuk mengetahui prosedur
alih fungsi lahan pertanian ke
non pertanian di Kabupaten Sukoharjo.
b. Untuk
mengetahui kendala-kendala yang
terjadi dalam alih
fungsi lahan pertanian ke non
pertanian di Kabupaten Sukoharjo.
2. Tujuan Subyektif.
a. Untuk
memperoleh data maupun
informasi sebagai bahan
utama dalam menyusun karya ilmiah guna memenuhi
persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar
sarjana di bidang
Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b.
Untuk menambah, memperluas,
mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis
serta pemahaman aspek
hukum di dalam
teori dan pelaksanaan di lapangan hukum.
D. Manfaat Penelitian.
Di dalam
setiap penelitian sangat
diharapkan adanya manfaat
dan kegunaan yang
dapat diambil dari
penelitian tersebut. Manfaat
yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah:.
1. Manfaat Teoritis.
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan
penulis pribadi di bidang ilmu hukum
khususnya Hukum Administrasi Negara (HAN).
b. Memberikan
masukan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan hukum khususnya
hukum pertanahan dalam hal alih fungsi lahan.
c. Untuk
mendalami teori-teori yang
telah penulis peroleh
selama menjalani kuliah
strata satu di
Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta serta memberikan bahan acuan untuk penelitian
lainnya yang sejenis.
2. Manfaat Praktis.
a. Mengembangkan daya penalaran dan membentuk
pola pikir dinamis penulis yang berhubungan
dengan masalah alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian
di kabupaten Sukoharjo.
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu
dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan
bagi para pihak
yang terkait dengan
masalah yang diteliti,
dan berguna bagi para pihak
yang berminat pada
masalah yang sama, serta mampu menjawab masalah yang
diteliti.
Skripsi Hukum: Tinjauan Yuridis Terhadap Alih Fungsi Lahan Pertanian Ke Non Pertanian
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi