Jumat, 28 Februari 2014

Skrippsi Ekonomi Pembangunan: DAMPAK KEBIJAKAN LOAN TO VALUE TERHADAP PERMINTAAN PROPERTI


 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas sehingga tercipta kepuasaan yang maksimal. Sehingga biasanya manusia membuat pengelompokan berdasarkan skala prioritas terhadap alat alat pemuas kebutuhan yang tidak terbatas tersebut. Yang menjadi kebutuhan paling esensial bagi kehidupan manusia atau yang dikenal sebagai kebutuhan pokok adalah seperti kebutuhan makanan dan minuman (pangan), pakaian (sandang), dan tempat tinggal (papan) wajib didahulukan kepentingannya dibandingkan dengan kebutuhan lainnya.

Dalam realita yang terjadi di masyarakat, walaupun kebutuhan akan perumahan (papan) adalah termasuk kebutuhan yang wajib dipenuhi dan didahulukan kepentingannya namun tidak semua orang mampu merealisasikannya dengan mudah. Ada kelompok masyarakat tertentu yang tidak memiliki cukup dana untuk mendapatkan tempat tinggal yang sehat dan nyaman. Di lain pihak ada juga kelompok yang memiliki dana yang besar untuk dapat memiliki fasilitas perumahan yang mewah dan jumlahnya pun lebih dari satu. Ini jelas menggambarkan ketimpangan yang terjadi di tengah tengah masyarakat. Untuk mengatasi hal inilah pada awalnya pemerintah harus ikut campur tangan. Tugas pemerintah dalam hal ini bukan hanya untuk mendirikan bangunan atau perumahan bagi masyarakat kurang mampu saja tetapi turut mengawasi
Universitas Sumatera Utara
pembangunan perumahan yang dilakukan oleh pihak swasta ataupun individu yang punya dana cukup untuk mendirikan bangunan.
Setiap orang atau individu bebas untuk menentukan dimana lokasi yang disukainya untuk membangun rumah atau tempat tinggal sendiri. Namun tentu pembangunan ini tidak dapat dibiarkan begitu saja karena pembangunan yang dilakukan secara sembarangan akan menimbulkan dampak negatif seperti tidak teraturnya tata ruang atau ancaman kerusakan lingkungan akibat tidak dapat dikendalikannya pembangunan tersebut. Perlu adanya pengawasan yang serius dari pemerintah untuk mengawasi hal ini. Pengawasan yang dimaksud adalah dengan lebih berhati hati dalam mengeluarkan Surat Izin Mendirikan Bangunan kepada setiap individu atau kelompok yang hendak mendirikan bangunan. Tentu saja izin yang diberikan dengan pertimbangan yang matang dan memperhatikan aspek aspek penting seperti aspek lingkungan dan tata ruang.
Seiiring perkembangan zaman dan sebagai negara yang terus berkembang, Indonesia tentunya membutuhkan fasilitas perumahan yang jauh lebih nyaman bagi setiap penggunanya. Jumlah penduduk yang terus bertambah dari tahun ke tahun akan meningkatkan pula permintaan akan perumahan yang lebih baik dan nyaman. Untuk mengatasi masalah perumahan di Indonesia, maka pemerintah ikut ambil bagian dengan upayanya memenuhi kebutuhan dasar berupa perumahan terutama bagi masyarakat golongan tidak mampu. Pada mulanya di negara Indonesia perencanaan dan kebijakan pembangunan perumahan diserahkan dibawah kendali Departemen Pekerjaan Umum, namun saat ini kebijakan diserahkan kepada Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat yang kemudian
Universitas Sumatera Utara
diubah menjadi Menteri Negara Perumahan dan Permukiman. Program yang telah ditempuh oleh pemerintah adalah dengan melakukan pembangunan RS (Rumah sederhana) dan RSS (Rumah sangat sederhana) dengan ukuran dibawah 36 meter persegi. Hal ini ditujukan supaya mampu memenuhi kebutuhan papan masyarakat golongan bawah. Hal ini dipermudah lagi dengan pemberian Kredit Perumahan Rakyat (KPR) kepada para konsumen yang ingin memiliki perumahan tersebut. Namun permintaan properti yang akan terus meningkat akan membuat peran pemerintah saja tidak akan mampu untuk memenuhinya. Peran swasta lewat para pengembang diharapkan mampu menyediakan fasilitas perumahaan yang nyaman bagi para penggunanya. Peran swasta dalam hal ini bukan hanya sebagai mitra pemerintah dalam penyediaan kebutuhan papan bagi masyarakat, namun diyakini pembangunan di sektor perumahan ini juga sangat membantu perekonomian suatu negara.
Pengembang juga telah menjadi mitra pemerintah dalam hal pembangunan “kota baru” di setiap wilayah yang dikembangkannya. Kota baru merupakan suatu kawasan baru yang direncanakan dan dikembangkan diwilayah yang belum terdapat konsentrasi penduduknya yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah daerah kota sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Adapun tujuan pengembangan kota baru adalah untuk mengatasi masalah yang biasa terjadi di daerah perkotaan seperti adanya pemukiman kumuh. Seperti contoh pengembang yang ada di kota Pematangsiantar yang membangun perumahan di daerah yang dulunya dianggap sebagian besar masyarakat tidak layak untuk ditempati. Namun, pengembang mampu menjadikannya menjadi wilayah perumahan yang nyaman
Universitas Sumatera Utara
dan layak untuk ditempati. Menciptakan sarana jalan baru menuju perumahan, tersedianya aliran listrik dan air bersih ke lokasi perumahan setidaknya sudah menggambarkan peran serta pengembang dalam mengembangkan suatu wilayah. Sehingga pembangunan tidak lagi hanya diarahkan ke daerah perkotaaan saja. Selain itu menurut Suparmoko (2001:122) pembangunan perumahan mempunyai kaitan kebelakang (backward linkages) dan kaitan kedepan (forward linkages) yang sangat panjang. Untuk membangun suatu perumahan dengan kualitas permanen tentu membutuhkan tenaga kerja, membutuhkan alat alat bangunan, dan lain sebagainya. Sehingga pembangunan perumahan akan dapat mendorong berkembangnya kegiatan lain yang mendukung kegiatan pembangunan perumahan tersebut. Sehingga terbukti bahwa pembangunan sektor perumahan sangat penting dalam menggerakkan perekonomian suatu negara
Pada tanggal 18 Januari 2012 Lembaga pemeringkat Moodys mengumumkan bahwa Indonesia telah digolongkan ke dalam negara yang layak investasi. Atau dengan kata lain untuk berinvestasi di Indonesia kondisinya sudah dianggap nyaman. Hal ini tentu saja mendorong suku bunga di masa yang akan datang semakin menurun sementara permintaan kredit akan semakin meningkat. Kondisi seperti ini tentu akan menjadi keuntungan tersendiri bagi pihak pihak yang hendak memanfaatkan situasi dengan melakukan spekulasi. Para spekulan tidak lagi membeli rumah dengan tujuan menempatinya (tempat berlindung sebagai tujuan utama) namun sengaja dibeli dan dikosongkan sebagai sarana spekulasi apabila dikemudian hari terjadi peningkatan harga perumahan tersebut. Properti ini sangat memungkinkan untuk dijadikan alat spekulasi karena Rumah dan Tanah adalah
Universitas Sumatera Utara
dua jenis aset yang nilainya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dan permintaan akan perumahan dan tanah juga akan selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Menurut Suparmoko (2001:123) rumah merupakan produk unik yang menunjukkan 6 sifat yang berbeda dengan produk lainnya antara lain:
a. Rumah merupakan produk yang heterogen baik ditinjau dari ukuran, lokasi, umur, interior dan lain sebagainya
b. Rumah tidak mobile sifatnya artinya tidak mudah bagi seseorang untuk memutuskan pindah dan meninggalkan tempat tinggalnya
c. Rumah bersifat tahan lama dan dapat digunakan selama puluhan tahun
d. Biaya untuk pindah rumah sangat mahal, bukan hanya menyangkut biaya secara finansial tetapi juga biaya sosialnya (tetangga, tempat sekolah, pusat pelayanan, dan sebagainya)
e. Rumah pada umumnya cukup mahal, sehingga hampir setiap orang membutuhkan fasilitas kredit untuk melakukan pembelian rumah.
f. Kondisi georafis dan lingkungan perumahan yang selalu menjadi pertimbangan pertimbangan bagi pemakainya. Sebagai contoh mempertimbangkan latar belakang ras ataupun suku dimana penggunanya akan tinggal.

Berkembangnya usaha dibidang properti (perumahan) ini mendorong sektor swasta ikut ambil bagian dalam investasi ini. Permintaan akan properti (tanah dan bangunan) yang terus meningkat tentu akan menjadi keuntungan besar bagi para pengembang atau pengusaha properti ini. Seperti yang telah dipaparkan oleh
Universitas Sumatera Utara
Suparmoko tentang karakteristik rumah diatas, bahwa harga rumah sangat mahal, sehingga hampir setiap orang yang hendak memiliki rumah setidaknya membutuhkan fasilitas kredit. Sehingga dengan demikian semakin meningkatnya permintaan akan perumahan tentu saja turut meningkatkan permintaan Kredit terkhusus Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Hal tersebut tentu saja membuat bisnis properti ini menjadi perhatian serius Bank Indonesia sebagai penguasa moneter di Indonesia. Menurut Bank Indonesia permintaan atas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) akhir akhir ini terlalu tinggi sehingga berpotensi menimbulkan berbagai resiko. Menurut survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia besarnya Kredit Pemilikan Rumah pada tahun 2011 cukup tinggi yakni sebesar 33.12% jauh diatas pertumbuhan kredit secara aggregat yang hanya sebesar 24.4% (Kajian Stabilitas Keuangan, No. 19, edisi September 2012). Selanjutnya berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Bank Indonesia periode 2001-2010, terlihat bahwa ada keterkaitan yang berbanding lurus antara kredit yang tersedia di sektor properti dengan indeks harga properti. Dengan kata lain bahwa pertumbuhan KPR yang tinggi akan mendorong kenaikan harga properti tersebut. Pada umumnya kenaikan harga yang tinggi terdapat pada tipe rumah menengah dan besar yaitu tipe diatas 70 m2. Hal ini juga dikhawatirkan akan berdampak pada tipe rumah yang lebih kecil.
Sehingga pada tanggal 15 Maret 2012 bank Indonesia mengeluarkan kebijakan Loan to Value dalam rangka meningkatkan kehatihatian bagi bank yang memberikan jasa pembayaran atau jasa pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor. Bank Indonesia mengatur batasan pemberian kredit
Universitas Sumatera Utara
oleh Bank sebesar 70% dari nilai Properti tersebut sehingga, penerima KPR harus membayarkan setidaknya 30% dari nilai KPR tersebut.Namun pembatasan nilai atau Rasio Loan to Value ini tidak diperuntukkan bagi semua jenis dan tipe perumahan yang ada. Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/ 10/DPNP perihal penerapan manajemen resiko pada bank jelas diterangkan bahwa kebijakan loan to value diperuntukkan bagi konsumsi kepemilikan rumah tinggal, rumah susun, atau apartemen dengan tipe tujuh puluh meter persegi (70 m2) ke atas. Dan kebijakan ini juga tidak diperuntukkkan bagi rumah kantor dan rumah toko. Ada beberapa pertimbangan yang membuat Bank Indonesia melakukan pembatasan terhadap rumah yang ukurannya lebih besar dari 70m2 , pertimbangan yang dimaksudkan didasarkan pada riset yang telah dilakukan Bank Indonesia sebelum memutuskan mengeluarkan kebijakan loan to value ini.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia tahun 2006 diperoleh Informasi bahwa ternyata dari seluruh pembelian perumahan 77,23 % menggunakan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), kemudian 14,13% dilakukan dengan tunai bertahap dan sisanya sebesar 8,64% dilakukan dengan pembayaran tunai. Hal ini membuktikan pendapat Suparmoko sebelumnya mengenai karakteristik unik rumah yang harganya sangat mahal sehingga didominasi oleh pembelian secara kredit. Kemudian data yang didapat BI dari hasil survei juga menunjukkan bahwa semakin besar tipe rumah yang ditawarkan maka semakin kecil kemungkinan konsumen melakukan pembayaran melalui fasilitas kredit perumahan. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata perumahan yang dibangun dengan tipe yang berbeda beda telah sesuai dengan target pasarnya. Sebagai
Universitas Sumatera Utara

contoh untuk rumah tipe diatas 70 m2 merupakan jenis rumah besar yang biasanya diperuntukkan bagi masyarakat golongan atas. Tentu golongan ini sebagian besar mempunyai cukup dana untuk dapat melakukan pembayaran secara tunai, sehingga peluang untuk melakukan pembayaran lewat kredit semakin kecil. Demikian sebaliknya, tipe rumah sederhana yang diperuntukkan bagi masyarakat golongan bawah yang mungkin saja tidak mempunyai dana yang besar akan lebih memanfaatkan fasilitas kredit pemilikan rumah. 
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi