BAB I
PENDAHULUAN
Zakat
merupakan satu dari lima Rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap
muslim. Setiap muslim mempunyai kewajiban membayar zakat bila harta kekayaannya
telah mencapai nisab dan haulnya. Bahkan keimanan seorang muslim belum sempurna
sebelum ia membayar zakat. Bila dirincikan, zakat menempati urutan ketiga dari
lima rukun Islam, yaitu setelah mengucap dua syahadat dan kewajiban
melaksanakan shalat maka kewajiban muslim selanjutnya adalah membayar zakat.
Setelah ketiga hal tersebut, kewajiban selanjutnya adalah melaksanakan puasa
dan menunaikan ibadah haji.
Jika
dilihat dari makna yang terkandung didalam Rukun Islam, setelah seorang manusia
bersaksi/berjanji bahwa tuhan hanya ALLAH, kemudian orang tersebut akan
melaksanakan kewajibannya yaitu shalat 5 waktu maka kewajiban selanjutnya
adalah membayar zakat. Shalat dapat melatih kedisiplinan dan ketaatan seorang
muslim serta dapat menghindari pribadi dari perbuatan yang tercela. Namun,
dampaknya hanya dapat dirasakan oleh individu sendiri. Setelah kewajiban itu
seorang muslim akan melakukan ibadah yang bernama zakat. Kewajiban membayar
zakat mempunyai arti tersendiri, yaitu selain melakukan ibadah kepada ALLAH
juga dapat membantu masyarakat yang kurang mampu. Jika dipahami lebih mendalam,
zakat memberikan 2 hubungan sekaligus, pertama hubungan vertikal yaitu hubungan
individu dengan tuhannya (hablumminallah) 1.1. Latar Belakang
dan yang kedua hubungan horizontal
yaitu hubungannya dengan masyarakat umumnya dan para asnaf khususnya (hablumminannas).
Bila dilihat dari berbagai aspek, zakat sangat berkaitan
dalam aspek kehidupan manusia, seperti: aspek ketuhanan, aspek sosial, dan
aspek ekonomi. Dari aspek ketuhanan, zakat merupakan kewajiban seorang muslim
untuk melaksanakannya, bahkan banyak ayat-ayat Al-qur’an yang menyebut dan
membahas masalah zakat didalamnya. Setidaknya ada 27 ayat Al-qur’an yang
menyebut kewajiban zakat dan kewajiban zakat secara bersamaan, yang artinya
kewajiban zakat hampir mempunyai kesetaraan dengan kewajiban shalat (Hasmizar,
2009:1).
Dari aspek sosial, zakat dapat memperkecil jurang
strata-sosial antar si miskin dan si kaya serta tanggung jawab yang diberikan
oleh ALLAH kepada orang kaya untuk memperhatikan orang-orang yang tidak mampu.
Selain itu, zakat dapat juga sebagai jaminan sosial untuk para asnaf yang
diberikan oleh ALLAH (Ibid).
Dari aspek ekonomi, zakat dapat meningkatkan taraf hidup para
asnaf, meningkatkan perekonomian para asnaf, dan bisa juga menggerakkan roda
ekonomi suatu negara dalam jangka panjang dalam artian zakat tersebut didorong
untuk menjadi zakat produktif (Ibid). Namun pada umumnya zakat hanya diberikan
dalam bentuk yang konsumtif, tetapi hal tersebut juga dapat membantu para asnaf
yang menerimanya (Ibid).
Mannan (dalam Khoirun Nisa’, 2011:3) menyebut zakat sebagai
aktivitas ekonomi-religius dengan lima unsur penting. Pertama, unsur
kepercayaan
keagamaan. Artinya, seorang muslim
yang membayar zakat meyakini tindakannya sebagai manifestasi keamanan dan
ketaatan. Kedua, unsur pemerataan dan keadilan yang menunjukkan tujuan zakat
sebagai redistribusi kekayaan. Ketiga, unsur kematangan dan produktifitas yang
menekankan waktu pembayaran sampai lewat satu tahun-ukuran normal bagi manusia
untuk mengusahakan penghasilan. Keempat, unsur kebebasan dan nalar. Artinya,
kewajiban zakat hanya berlaku bagi manusia yang sehat jasmani dan rohani yang
merasa bertanggung jawab untuk membayarkannya demi diri dan umat. Kelima, unsur
etik dan kewajaran. Artinya, zakat ditarik secara wajar sesuai kemampuan, tanpa
meninggalkan beban yang justru menyulitkan sipembayar zakat.
Berkenaan dengan zakat harta yang selalu dinamis, sejak tahun
1980-an mengalami dinamika berarti, yakni berkembangnya pemikiran mengenai
“sumber” nya yang berasal dari pekerjaan/profesi atau keahlian khusus yang
mendatangkan penghasilan besar, seperti konsultan, dokter spesialis, notaris,
penasehat hukum, pegawai negeri, pilot, nahkoda, komisioner, dan lain-lain.
Inilah yang disebut zakat profesi, yakni zakat harta yang dapat diperoleh
sewaktu-waktu dari pekerjaan profesinya (Nukthoh Arfawie Kurde, 2005:22).
Demikian pula dengan pemanfaatan atau penyalurannya, dengan munculnya wacana
tentang pendayagunaan zakat harta dalam bentuk konsumtif dan produktif, seperti
bantuan modal usaha bagi para mustahik, koperasi, perbaikan jalan, madrasah,
rumah sakit, panti jompo, yatim piatu, dan lain-lain (Ibid).
Di Indonesia sendiri dalam
pelaksanaan pengeluaran zakat telah mendapat legalitas hukum yang mana telah
diatur di dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
Pada tahun 2003 Menteri Agama juga membuat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 373
yang mengatur tentang pelaksanaan undang-undang tersebut. Di dalam
undang-undang tersebut disebutkan jenis harta yang wajib di zakati, salah
satunya yaitu zakat hasil pendapatan dan jasa (Khoirun Nisa’, 2011:3).
Zakat profesi memang belum dikenal secara luas oleh
masyarakat, dan bahkan tidak kenal sama sekali, karena zakat profesi belum lama
diperkenalkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia, termasuk pegawai negeri.
Zakat profesi adalah kewajiban zakat yang dikenakan atas penghasilan tiap-tiap
pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik itu dikerjakan sendirian
ataupun dilakukan bersama-sama dengan orang / lembaga lain yang dapat
mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nisab (batas minimum harta untuk
bisa berzakat) (Nukthoh Arfawie Kurde, 2005:1-2).
Didaerah Sumatera Utara belum ada legalitas tentang zakat
profesi atau perda yang behubungan dengan zakat profesi. Beberapa tahun yang
lalu, tepatnya tahun 2010 Gubsu membuat suatu kebijakan yang berhubungan dengan
zakat, infaq, Shadaqah (ZIS) yaitu Surat Gubsu Nomor 451/10546 tanggal
29 Oktober 2010 yang menyatakan bahwa mulai Januari 2011 jajaran PNS pemerintah
provinsi Sumatera Utara akan dipungut infaq bulanan.
Melalui Surat Gubsu Nomor
451/10546 tanggal 29 Oktober 2010, Gubernur Sumatera Utara
membuat kebijakan yaitu setiap PNS muslim dijajaran pemerintah provinsi
Sumatera Utara mulai Januari 2011 akan dipungut infaq bulan. “Setiap PNS Muslim
akan dipungut Infaq bulanan yaitu golongan I Rp5.000, golongan II Rp10.000,
golongan III Rp15.000 dan golongan IV Rp20.000,” kata Wagubsu Gatot Pujonugroho
pada sosialisasi optimalisasi pengumpulan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) di
kalangan pegawai negeri sipil (PNS) Muslim Pemprovsu di Aula Martabe Kantor
Gubsu, Rabu (15/12/2010). Demikianlah yang diutarakan oleh Wagubsu Gatot
Pujonugroho, namun hal tersebut bukanlah zakat yang sebagaimana yang diwajibkan
oleh rukun Islam melainkan hanya sebagai infaq dengan ketentuan tertentu.
Bila berkaca dari Surat Gubsu Nomor 451/10546 tanggal
29 Oktober 2010, kebijakan tersebut bukanlah suatu yang berhubungan dengan
zakat profesi dikalangan para PNS pemerintah provinsi Sumatera Utara melainkan
hanya infaq. Sumatera Utara dalam ruang lingkup penerapan zakat profesi
belumlah terimplementasi secara nyata, demikian yang penulis dapat ungkapkan
sebab belum adanya peraturan atau surat yang secara nyata mewajibkan para PNS
untuk membayar zakat profesi. Namun, bila seorang PNS melakukannya hal tersebut
hanyalah sebuah kepatuhan PNS tersebut terhadap perintah rukun Islam yang wajib
ia kerjakan. Demikian juga dengan Kota Medan. Sejauh ini Kota Medan belum
mengeluarkan perda mengenai zakat profesi. Namun bila Kota Medan dijadikan
sebagai sebuah kota yang berada di dalam teritorial provinsi Sumatera
Utara maka PNS dijajaran pemerintah
Kota Medan dipungut infaq bulan sesuai dengan Surat Gubsu Nomor 451/10546 tanggal
29 Oktober 2010.
Terlepas dari permasalahan pro dan kontra zakat profesi, ada
permasalahan lain dari zakat tersebut, yaitu tentang pemahaman akan zakat itu
sendiri dari subjek zakat (muzakki), kesadaran akan berzakat, serta
permasalahan lainnya. Sasaran dari zakat profesi ini tentunya untuk para
pekerja baik pekerja yang bekerja untuk dirinya sendiri maupun yang bekerja
untuk orang lain, seperti dokter, pengacara, PNS, dan lain-lain. Untuk PNS
sendiri beberapa daerah pernah melakukan kewajiban zakat untuk profesi mereka
sebagai PNS.
Provinsi Aceh, Banten, Nusa Tenggara Barat, dan lain-lain
telah menerapkan kewajiban zakat profesi untuk para PNS dalam lingkungan
pemerintahan tersebut. Provinsi Aceh misalnya, melalui Qanun Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat Bab VIII pasal 26
telah mewajibkan masyarakat Aceh untuk membayar zakat penghasilan/profesi.
Kendala utama dalam penerapan Qanun tersebut adalah optimalisasi dari zakat
profesi itu karena tergarap hanya kalangan PNS semata, sementara masyarakat
lain yang mempunyai penghasilan yang telah sampai nisab dan haul untuk dikeluarkan
zakatnya tidak tergarap. Provinsi Banten dengan Peraturan Daerah Provinsi
Banten Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat Bab III pasal 5 mewajibkan
masyarakat untuk membayar zakat dari Penghasilannya sebagai PNS atau dari
profesi lainnya.
Kabupaten Bima mewajibkan zakat
profesi untuk PNS dengan diberlakukannya Perda Kab. Bima No. 9/2002 tentang
zakat. Berita terkini dari zakat profesi di Kota Bima adalah zakat profesi yang
terkumpul lebih dari 400 juta, hal tersebut sungguh suatu pencapaian yang
maksimal. Sebelumnya ketua BAZDA Kota Bima menyebutkan bahwa pada tahun 2011
zakat profesi di Kota Bima belumlah optimal disebabkab oleh masih dalam proses
pembelajaran. Walaupun demikian, hal tersebut layak mendapat apresiasi atas apa
yang telah dilakukan oleh Pemko Bima dengan menerapkan zakat profesi dikalangan
PNS khususnya dan masyarakat luas umumnya.
Kota Medan sendiri, hingga sekarang belum menerapkan
kewajiban zakat profesi untuk para PNS. Ya, untuk suatu perda atau legalitas
yang dapat diberi sanksi tegas bila seseorang tidak melakukannya atau tidak
mentaatinya belum ada dikeluarkan oleh pemerintah Kota Medan. Tentunya untuk
suatu ketaatan dalam melaksanakan Rukun Islam, suatu pengharapan yang nantinya
yang mungkin akan membuat pemerintah kota Medan memberlakukan zakat profesi
untuk para PNS. Namun, terlepas dari hal tersebut ada hal yang lebih penting
yaitu bagaimana pemahaman dari PNS sendiri akan zakat profesi itu. Hal tersebut
perlu adanya sosialisasi dari BAZ untuk para PNS nantinya.
Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Studi Tingkat Pemahaman
PNS Muslim Terhadap Zakat Profesi Di Kota Medan”.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka perumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Menurut latar belakang dan rumusan masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Bagaimana
tingkat pemahaman PNS muslim Kota Medan terhadap zakat profesi. 2. Langkah apa
yang dilakukan pemerintah Kota Medan untuk mengimplementasikan zakat profesi
bagi PNS muslim di Kota Medan. 3. Apa hambatan dan kendala yang dihadapi
pemerintah Kota Medan dalam menetapkan dan menerapkan zakat profesi terhadap
PNS di Kota Medan serta solusinya. 1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui tingkat pemahaman PNS muslim terhadap zakat
profesi di Kota Medan. 2. Mengetahui langkah-langkah yang dapat dilakukan
pemerintah Kota Medan untuk mengimplementasikan zakat profesi di Kota Medan. 3.
Mengetahui kendala dan hambatan yang dihadapi dalam menetapkan dan menerapkan
zakat profesi terhadap PNS di Kota Medan serta solusinya. 1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, khususnya
kementerian agama. 2. Sebagai bahan masukan kepada instansi terkait khususnya
LAZ Kota Medan 3. Sebagai bahan studi atau literatur tambahan terhadap
penelitian yang sudah ada sebelumnya. 4. Sebagai informasi dan masukan untuk
lembaga akademis sehingga dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk
menambah khazanah ilmu pengetahuan. 5. Sebagai tambahan wawasan dan ilmu
pengetahuan bagi penulis. 6. Sebagai bahan studi dan literatur bagi mahasiswa
atau mahasiswi ataupun peneliti yang ingin melakukan penelitian sejenis
selanjutnya.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi