PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Mengingat perannya sebagai komoditas pangan utama masyarakat
Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai
salah satu faktor yang mempengaruhi terwujudnya ketahanan pangan nasional.
Menurut Suryana dkk (2001) beras sebagai bahan makanan pokok tampaknya tetap
mendominasi pola makan orang Indonesia. Hal ini terlihat dari tingkat
partisipasi konsumsi di Indonesia yang masih diatas 95%. Bahkan Surono (2001)
memperkirakan tingkat partisipasi konsumsi beras baik di kota
maupun di desa,
di jawa maupun di luar jawa sekitar 97% hingga 100%. Ini berarti hanya sekitar
3% dari total RT di Indonesia yang tidak mengkonsumsi beras. Yang cukup menarik
dari dari hasil studinya tersebut bahwa penduduk di provinsi Maluku yang semula
konsumsi pokoknya adalah sagu, tingkat partisipasi konsumsi berasnya mencapai
100%. Alasan mengapa beras tetap dominan adalah karena beras lebih baik sebagai
sumber energi maupun nutrisi dibandingkan dengan jenis makanan pokok lainnya.
Selain itu, beras juga menjadi sumber protein utama, yaitu mencapai 40%.
Dibandingkan dengan Negara-negara penghasil beras utama
dunia, luas panen padi Indonesia berada pada posisi ketiga terluas setelah
India dan Cina. Hingga akhir tahun 2006, luas panen padi di India mencapai
28.9% (44 juta Ha), Cina 19,1% dan Indonesia sendiri sebesar 7,8% dari total
luas panen padi di dunia (152,5 juta Ha). Dan berdasarkan jumlah beras yang
diproduksi, Indonesia juga termasuk sebagai produsen beras dunia ke-3
terbesar setelah Cina dan India. Hingga tahun 2006 volume
yang dihasilkan oleh Cina mencapai 128 juta MT atau 31% dari total produksi
beras dunia yang sebesar 415,23 juta MT . India dan Indonesia masing-masing
memberikan kontribusi 22% ( 91 juta MT ) dan 8% ( 35 juta MT) (BPS: 2008).
Di Indonesia sendiri, provinsi dengan jumlah produksi padi
tertinggi adalah Jawa Barat, kemudian diikuti oleh Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Provinsi lainnya dengan jumlah produksi padi diatas satu juta ton per tahun
adalah Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, NAD, NTB, Banten, Kalimantan Selatan.
Pada volume konsumsi beras, Indonesia juga berada pada peringkat tiga konsumen
beras terbesar di dunia setelah Cina dan India, yaitu berkisar antara 110-139
kg per tahun.
Memang sejak akhir 1960an sampai dengan pertengahan 1980an
kebijakan perberasan nasional bertujuan untuk mencapai swasembada beras.
Pemerintah pada saat itu berupaya meningkatkan produksi beras melalui
pengenalan benih IR dan lokal yang sangat responsif terhadap pupuk kimia dan
untuk mendukung upaya tersebut maka pemerintah memberikan kemudahan atau
insentif kepada petani agar dapat menerapkan teknologi tersebut. Dukungan yang
diberikan pemerintah pada saat itu antara lain adalah memberikan subsidi input,
investasi pada irigasi dan kelembagaan sampai di tingkat petani. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan tersebut memberikan hasil dengan
tercapainya tingkat swasembada beras pada tahun 1984 dan membawa Indonesia
menjadi net
exporting country (Suryana, 2001).
Namun demikian, tingkat swasembada tersebut tidak dapat
dipertahankan karena terjadinya hal-hal yang merugikan seperti tidak
berkembangnya penemuan varietas baru yang berproduksi tinggi, faktor politik
dan ekonomi Negara dan perubahan faktor lingkungan fisik dimana beras yang
dihasilkan berbeda jumlahnya baik saat musim panen raya maupun pada musim
paceklik. Apalagi dengan terjadinya badai El Nino pada kurun waktu 1998 sampai
dengan 1999. Hal ini diperburuk lagi dengan pergeseran kebijakan ekonomi
pemerintah ke arah industri sehingga pembangunan pertanian menjadi lebih
tertinggal yang berdampak semakin menurunnya tingkat pertumbuhan produksi padi
pada khususnya. Dampak yang lebih bersifat nasional ditunjukkan dengan
bergesernya Indonesia sebagai Negara pengimpor beras lagi sejak akhir 1980an
dan meningkat terus hingga tahun 1995 dan semakin parah lagi terjadi pada saat
krisis (1997-1998) yaitu dengan larangan monopoli impor oleh Bulog dan
diizinkannya pihak swasta untuk impor beras. Pada periode ini ternyata impor
beras mencapai jumlah fantastik yaitu mencapai 5,8 juta ton sehingga mempunyai
dampak pada rendahnya harga beras di pasar internasional pada saat itu (
BPS:2008 ).
Pada 30 tahun terakhir, baru pada tahun 1998 inilah
Indonesia mengalami krisis beras yang paling parah. Harga beras di pasaran
semakin meningkat di satu pihak, sedangkan di pihak lain pendapatan riil
masyarakat semakin berkurang dan jumlah orang miskin terus bertambah karena
krisis moneter dan ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan 1997, sehingga
sebagian besar masyarakat sulit menjangkau beras yang tersedia di pasar
dan harganya tidak stabil. Harga pasar yang pada Juli 1998
mencapai sekitar Rp 2.200 per kg atau 2,2 kali lipat dari harga pertengahan
tahun 1997. Besarnya keterkaitan antara konsumsi beras dengan pendapatan
diperkuat juga dengan data konsumsi tahun 1996 dan 1999. Pada tahun 1996
konsumsi beras di kota dan di desa masing-masing adalah 108,89 kg dan 120,97
per kapita. Setelah adanya krisis ekonomi, yang diperkirakan menyebabkan
turunnya pendapatan rumah tangga, konsumsi beras di kota dan di desa pada tahun
1999 telah berkurang menjadi 96 kg dan 111,78 kg per kapita (BPS : 2008).
Berbagai kebijakan konvensional dan kebijakan baru
diterapkan namun demikian belum mampu sepenuhnya meredam kenaikan harga beras
dalam negeri dan memperbaiki daya beli ataupun permintaan masyarakat terhadap
beras dalam negeri. Sebaliknya pada tahun 2000, harga beras dalam negeri terus
tertekan dan rendah, mengikuti harga beras di pasar dunia, sehingga telah
berpengaruh buruk terhadap pendapatan petani padi, berkurangnya insentif untuk
menggunakan teknologi baru akan berakibat serius terhadap produktivitas dan
efisiensi di usaha tani padi. Pemerintah hanya meresponnya dengan memperbaiki
insentif melalui penetapan harga dasar yang lebih tinggi lagi pada Januari
2001. Padahal harga dasar yang ditetapkan pada saat krisis akhir 1998 dianggap
terlalu tinggi manakala harga beras di pasar dunia terus menurun, nilai tukar
rupiah semakin menguat dan inflasi semakin terkendali.
Namun setelah tahun 2000, jumlah impor beras Indonesia
mengalami tren penurunan. Selama tahun 2003-2006 tingkat impor beras Indonesia
menurun dengan rata-rata 33,6 persen per tahun. Hal tersebut
merupakan kondisi yang cukup menggembirakan karena terdapat kecenderungan bahwa
ketergantungan Indonesia terhadap beras impor mulai berkurang. Pada periode
Januari-September volume impor beras meningkat sekitar 64,2 persen dari tahun
2005 pada periode bulan yang sama, namun hal tersebut disebabkan oleh bencana
yang mengakibatkan tingginya tingkat kegagalan panen padi (BPS : 2008).
Dengan kondisi diatas dapat disimpulkan bahwa FAO Indonesia
masih sering dikategorikan sebagai Negara berketahanan pangan rendah, dalam
arti rentan terhadap gejolak sosial dan kenaikan harga pangan global. Dalam
keadaan harus melakukan impor, jumlah impor beras Indonesia berkisar antara
lima hingga sepuluh persen dari total kebutuhan beras nasional. Dana yang besar
diperlukan untuk membiayai penyediaan beras impor, dimana setiap tahunnya
jumlah permintaan beras dalam negeri atau lokal terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk.
Untuk Sumatera Utara sendiri, pemerintah telah menetapkan
bahwa provinsi ini sebagai salah satu lumbung berasnya Indonesia dari 14
provinsi sentra produksi padi di Indonesia yang diharapkan akan mampu untuk
meningkatkan produksi pertaniannya. Dari beberapa daerah yang menghasilkan
beras, kabupaten Simalungun, langkat, Deli Serdang dan Serdang Bedagai
merupakan daerah penyuplai beras terbesar di Sumatera Utara. Pada periode 1997
sampai 1999 harga rata-rata beras lokal di pasaran juga ikut naik dua kali
lipat dari kisaran seribu rupiah menjadi dua ribuan. Pada saat itu tingkat
pendapatan perkapita masyarakat juga
menurun dan secara langsung ini akan berpengaruh terhadap
permintaan beras produksi lokal. Tingkat permintaan beras turun setelah krisis
yaitu pada tahun 2000 dengan jumlah 1.611.956 ton dari tahun 1999 yang
berjumlah sekitar 1.659.665 ton. Tentu ini merupakan dampak dari keadaan
ekonomi dan pertanian yang semakin memburuk yang melanda Indonesia pada masa
itu. Sehingga dari peristiwa-peristiwa diatas kita dapat melihat bagaimana
pengaruh dan dampaknya terhadap permintaan beras lokal di provinsi Sumatera
Utara.
Dengan latar belakang inilah dilakukan analisis lebih lanjut
dalam bentuk tugas akhir skripsi yang berjudul “Analisis Pengaruh Harga Beras
Lokal dan Jumlah Penduduk Terhadap Permintaan Beras Lokal di Provinsi Sumatera
Utara”.
1.2 Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka
perlu dibuat rumusan masalah agar pelaksanaan penelitian ini dapat terlaksana
secara terarah. Adapun yang menjadi perumusan masalah yang dimaksud adalah :
1.
Bagaimana pengaruh harga beras lokal terhadap permintaan
beras lokal di provinsi Sumatera utara?
2.
Bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap permintaan beras
lokal di provinsi Sumatera Utara?
1.3. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan
yang kebenarannya harus diuji secara empiris dalam penelitian. Berdasarkan
perumusan masalah diatas, maka hipotesis yang diperoleh adalah :
1.
Harga beras lokal memiliki pengaruh yang negatif terhadap
permintaan beras lokal di provinsi Sumatera Utara, ceteris paribus.
2.
Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap permintaan
beras lokal di provinsi Sumatera Utara, ceteris paribus.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk melihat seberapa besar pengaruh harga beras lokal
terhadap permintaan beras lokal di provinsi Sumatera Utara.
2.
Untuk melihat seberapa besar pengaruh jumlah penduduk
terhadap permintaan beras lokal di provinsi Sumatera Utara.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh variabel harga
dan jumlah penduduk terhadap permintaan beras lokal di provinsi Sumatera Utara
yang bisa dijadikan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperbanyak dan
menambah sumbangan terhadap ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu
ekonomi.
3.
Sebagai sumber informasi bagi masyarakat untuk mengetahui
permasalahan serta bagi penelitian yang akan datang.
4.
Sebagai penambah wawasan bagi penulis dalam kaitannya dengan
disiplin ilmu yang ditekuni.
5.
Sebagai bahan masukan bagi para pengambil keputusan di masa
yang akan datang.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi