Senin, 03 Maret 2014

Skripsi Ekonomi Pembangunan: ”Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruh Lambatnya Pertumbuhan Jaringan Kantor Cabang Bank Umum


 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Sistem perbankan yang baik dalam suatu negara adalah salah satu indikator bahwa negara tersebut telah memiliki suatu manajemen tata kelola pemerintahan yang baik (Good Government Governance). Sebagaimana dapat dilihat bahwa hampir semua negara baik negara maju ataupun negara berkembang memberikan perhatian yang sangat besar untuk menciptakan sistem perbankan yang tangguh. Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa sistem perbankan suatu negara adalah sangat vital. Apabila sistem perbankan tidak berfungsi, maka bukan saja industri perbankan itu saja yang “collaps” tetapi juga akan memiliki multiflier
effect yang sangat negatif terhadap kinerja sistem - sistem ekonomi yang lain seperti terhambatnya pertumbuhan sektor riil, tingkat pengangguran yang tinggi, dan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Sektor perbankan sebagai sektor vital dalam perekonomian bertujuan untuk melakukan fungsi intermediasi keuangan, menjamin sistem pembayaran yang mendukung dalam proses pembangunan ekonomi. Dalam hal ini, sektor perbankan memiliki peran strategis dalam mengurangi biaya transaksi (transaction cost), melakukan pembagian resiko (risk sharing). Hal inilah yang diharapkan dari peran vital perbankan tersebut yaitu bahwa fungsi intermediasi keuangan bank dalam ekonomi dapat secara optimal di manfaatkan bagi kebutuhan masyarakat baik oleh surplus unit maupun deficit unit.

Dalam konteksnya secara nasional, globalisasi keuangan terutama untuk sektor perbankan didalam peranannya untuk kegiatan produksi, investasi dan perdagangan sebenarnya belum cukup berkembang khususnya untuk beberapa daerah tertentu. Dan oleh karena beberapa kelemahan mendasar yang ada dan karena kebijaksanaan yang kurang tepat, maka pada tahun 1997 terjadi krisis perbankan yang parah. Namun sektor perbankan di Indonesia pernah mengalami masa boom, baik dalam jumlahnya maupun dalam peranannya yang cukup signifikan hingga pertengan tahun 1997. Hal ini dapat dilihat pada 1 Juni 1983, pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi perbankan yang menandai era liberalisasi di sektor perbankan. Kebijakan ini dan serangkaian kebijakan deregulasi di bidang perbankan dan sektor keuangan lainnya dalam periode sesudahnya telah mendorong begitu pesatnya perkembangan sektor perbankan dan keuangan di Indonesia baik dari segi jumlah bank yang beroperasi dan juga besarnya dana masyarakat yang dapat di mobilisasi . Dalam perkembangan selanjutnya untuk mendorong kegiatan ekonomi dalam negeri, maka pada tahun 1988 pemerintah mengeluarkan kebijakan Paket Oktober. Paket Oktober tahun 1988 merupakan penyempurnaan kebijakan di bidang keuangan, moneter dan perbankan. Dalam hubungannya dengan upaya peningkatan efektivitas pengendalian moneter, maka langkah-langkah yang di tempuh antara lain adalah penurunan reserve requirment dari 15% menjadi 2%. Selain itu dilakukan penciptaan iklim persaingan yang lebih kondusif melalui kemudahan izin untuk pendirian bank-bank baru dan bank campuran.

Setelah itu beberapa tahun kemudian, sektor perbankan mulai mengalami krisis berkepanjangan bahkan hingga saat ini. Ada banyak faktor sebagai sumber penyebabnya, baik oleh karena persoalan intern maupun eksternal sektor perbankan itu sendiri. Namun karena disadari bahwa peranan sektor perbankan ini sangat penting dalam perekonomian negara, maka berbagai upaya untuk mengatasi persoalan-persoalan dilakukan pemerintah, Bank Indonesia dan juga oleh pelaksana-pelaksana perbankan sendiri. Dalam kondisi yang sulit seperti itu, sektor perbankan juga harus berhadapan dengan wacana baru yang tidak dapat ditolak yaitu besarnya tuntutan daerah untuk berotonomi dan semakin mendesaknya era pasar bebas (liberalisasi) atau globalisasi ekonomi. Dengan adanya implementasi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2001, maka timbul beberapa permasalahan mendasar yang timbul dari implementasi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut. Salah satu permasalahan utama dari penerapan otonomi daerah adalah keterbatasan pembiayaan pembangunan. Keterbatasan ini tidak saja terjadi di daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam, tetapi juga di daerah yang kaya akan sumber daya alam. Keterbatasan sumber-sumber pembangunan daerah selain disebabkan oleh belum optimalnya pemerintah daerah untuk menggali semua potensi penerimaan daerah, juga ketidakmampuan pemerintah pusat sepenuhnya untuk menjalankan pembagian dana baik dana alokasi umum maupun dana alokasi khusus.

Dengan keterbatasan sumber-sumber penerimaan, maka akan sulit untuk mengharapkan bahwa pemerintah daerah dapat memainkan peranannya sebagai pendorong utama pembangunan di daerah secara optimal . Oleh sebab itu, sangat wajar bila pemerintah daerah di era otonomi dan desentralisasi fiskal sangat mengharapkan sektor swasta dapat lebih berperan melaksanakan pembangunan daerah. Dalam kaitan itu, maka sumber-sumber pembiayaan bagi sektor swasta menjadi sangat perlu di kembangkan. Salah satu sumber pembiayaan bagi sektor swasta tersebut adalah perbankan . Dalam rangka untuk mengembangkan dan mempertahankan kegiatan usahanya, bank dapat memilih cara dengan melalui penambahan kantor cabang. Perkembangan penduduk atau kegiatan ekonomi dapat mengubah struktur nasabah sehingga suatu bank harus selalu mengikutinya, di antaranya melalui pendirian jaringan kantor baru agar dapat melayani pasar tertentu. Itulah sebabnya, penambahan jaringan kantor cabang baru dapat dipandang sebagai cara untuk mengembangkan daya cakup geografis agar dapat melayani lebih masyarakat . Namun terdapat pro dan kontra dalam pengembangan jaringan kantor cabang ( Julius, 1996 : 152 ). Bagi yang setuju memiliki argumentasi bahwa :
1. Jaringan kantor cabang yang luas memungkinkan suatu bank menjual lebih banyak jasa kepada masyarakat pada lokasi yang berbeda.
2. Jaringan cabang yang luas memungkinkan bank mendiversifikasikan sumber dan penggunaan dana .


Dan bagi yang tidak setuju memiliki beberapa alasan yakni :
1. Sarana bank koresponden memungkinkan suatu bank melayani nasabah pada daerah geografis yang berbeda melalui bank korespondennya.
2. Penambahan jaringan kantor cabang bank justru akan menambah biaya overhead (biaya tetap) yang belum jelas potensi usaha yang dapat diraihnya.


Dan mengacu kepada laporan Bank Indonesia, sampai dengan bulan Maret 2006, jumlah bank yang beroperasi di Indonesia tercatat sebanyak 131 bank umum dan 2066 BPR. Total aset perbankan nasional adalah Rp 1.465,3 triliun dengan total DPK yang di himpun perbankan telah mencapai Rp 1.270,6 triliun. Jumlah dana tersebut menunjukkan bahwa masyarakat masih menaruh kepercayaan terhadap perbankan sebagai alternatif investasi dan sebagai institusi penyimpanan dana. Oleh karena itu pertumbuhan sektor perbankan di Indonesia dapat dilihat dari tingkat DPK, jumlah kredit yang disalurkan dan juga jumlah kantornya . Demikian juga dengan propinsi Sumatera Utara yang menduduki posisi pertama di luar pulau Jawa yang memiliki 99 perusahaan bank umum dan 57 Bank Perkreditan Rakyat. Jika dihitung berdasarkan jumlah kantor, maka terdapat 422 kantor perbankan yang terdiri dari 337 unit kantor bank umum dan 85 kantor BPR. Namun kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi sektor perbankan yang terjadi di kabupaten Dairi . 
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi