BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak masa orde lama, orde baru hingga era reformasi
sekarang ini, pemerintah selalu melaksanakan pembangunan di segala bidang
kehidupan guna meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia
seutuhnya yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karena pada
dasarnya pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan ini dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk
mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya.
Pembangunan
yang digalakkan ini diartikan sebagai proses multidimensional yang melibatkan
perubahan-perubahan besar, baik terhadap struktur ekonomi, perubahan sosial,
mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan
pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi (Todaro dalam Sirojuzilam,
2008). Oleh karena itu, pembangunan tersebut harus mampu mengakomodasi
berbagai aspek kehidupan manusia baik material maupun spiritual dan dilakukan
secara merata sehingga dapat dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat.
Wilayah Negara Indonesia yang sangat besar dengan
rentang geografis yang luas berupa kepulauan, kondisi sosial-budaya yang
beragam, jumlah penduduk yang besar, hal ini berpengaruh terhadap proses
pengalokasian pembangunan itu dan mekanisme pelaksanaan pemerintahan Negara
Indonesia. Dengan kondisi seperti ini menyebabkan pemerintah sulit
mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan
atau penataan
pemerintahan maka diperlukan adanya
suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi
tetap terawasi dari pusat.
Pada era reformasi sekarang ini sangat dibutuhkan
sistem pemerintahan yang memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat,
alokasi kewajiban negara kepada rakyat secara merata, namun tetap berada di
bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut diperlukan agar tidak terjadi
lagi ancaman- ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), seperti yang pernah munculnya gerakan-gerakan separatisme di daerah-
daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), antara lain GAM di Aceh dan RMS di Maluku.
Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak merata
juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang
memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah
sekaligus menjadi pendapatan nasional. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa
terdapat beberapa daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat daripada
daerah lain.
Disisi lain, dorongan yang kuat dari masyarakat
setempat (lokal) itu sendiri untuk melakukan perubahan ke arah pensejahteraan
juga merupakan suatu faktor yang semakin mendesak pemerintah untuk menciptakan
satu formula pemerintahan yang pada akhirnya mendukung pembangunan itu. Dari
uraian diatas, maka lahirlah sistem pemekaran wilayah yang merupakan implikasi
dari desentralisasi dan otonomi daerah yang sampai sekarang masing tetap
dilaksanakan.
Wacana tentang sistem pemekaran wilayah
ini, tentu saja tidak terlepas dari wacana desentralisasi politik. Jika
kita mencoba mengulang belajar tentang sejarah perkembangannya, pemekaran
wilayah di Indonesia sesungguhnya telah terjadi sejak lama ketika zaman
kerajaan- kerajaan di nusantara bermunculan. Pada zaman itu, wilayah kekuasaan
suatu kerajaan akan terpecah atau dimekarkan apabila terjadi perseteruan
ditubuh kerajaan atau yang biasa disebut konflik antar keluarga karajaan maupun
kalah peperangan. Pemekaran wilayah semakin marak tatkala penjajahan kolonial
mulai masuk ke Indonesia.
Pada masa pra-kemerdekaan, Belanda dan Jepang telah
membawa dan menanamkan “virus kolonialisme” ke Indonesia. Belanda
sebagai penjajah pada waktu itu telah menerapkan sistem desentralisasi yang
bersifat sentralistik, birokratis, dan feodalistis untuk kepentingan mereka.
Sistem desentralisasi ini mengarah kepada sisttem pemekaran. Penjajah Belanda
menyusun suatu hirearki Pangreh Praja Bumiputra dan Pangreh Praja
Eropa yang harus tunduk kepada Gubernur Jenderal. Dikeluarkannya
Decentralisatie Wet pada tahun 1903, yang ditindaklanjuti dengan Bestuurshervorming
Wet pada tahun 1922, menetapkan daerah untuk mengatur rumah tangganya
sendiri melalui pembentukan dan pembagian daerah-daerah menjadi daerah otonom
yang dikuasai Belanda menjadi gewest (identik dengan propinsi saat ini),
regentschap (kabupaaten saat ini) dan staatsgemeente (kotamadya
sekarang). Sedangkan pada Pemerintah pendudukan Jepang pada dasarnya melanjutkan
sistem pemerintahan daerah seperti zaman Belanda, dengan perubahan ke dalam
bahasa Jepang. Pembagian wilayah-wilayah tersebut umumnya terjadi di Jawa dan
sekitarnya yang ditujukan sebagai alat
kontrol kekuasaan sekaligus memperkecil
ruang gerak rakyat Indonesia dalam melakukan pemberontakan.
Pemekaran wilayah yang terjadi pada saat ini merupakan
implikasi berlakunya otonomi daerah, yakni UU No.5 Tahun 1999 tentang
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang ditetapkan pada masa Presiden B.J. Habibie yang
menggantikan Soeharto. Beliau membuat kebijakan politik baru yang mengubah
hubungan kekuasaan pusat dan daerah. Wilayah pusat tidak sepenuhnya lagi
mempunyai wewenang terhadap daerah, tetapi sebagian kekuasaan pemerintahan
diserahkan kepada daerah. UU tersebut kemudian melahirkan UU No.22 Tahun 1999
tentang Penerintahan Daerah dan seiring waktu berubah menjadi UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah.
Semangat
otonomi daerah dan desentralisasi diatas akhirnya bermuara kepada keinginan
daerah untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah
(PP) No.129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Namun dalam prakteknya, pemekaran daerah
jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan
daerah. Dalam PP tersebut, daerah berhak mengajukan usulan pemekaran terhadap
daerahnya selama telah memenuhi syarat teknis, administratif, dan fisik.
Desentralisasi
banyak dijadikan sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan dan menjadi
panduan utama akibat ketidakmungkinan sebuah negara seperti Indonesia yang
wilayah geografisnya luas dan jumlah penduduknya
yang besar untuk mengelola manajemen pemerintah secara
sentralistik. Di dalam desentralisasi juga terkandung semangat demokrasi untuk
mendekatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan pembangunan. Desentralisasi di Indonesia adalah sebuah peluang bagi
pemerintah daerah untuk mengembangkan wacana politik lokal. Selain memberikan
pengelolaan kewenangan pada bidang tertentu, desentralisasi telah memberikan
ruang bagi suatu daerah untuk pembentukan wilayah/ daerah baru.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi