BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Kemiskinan merupakan masalah
besar bagi bangsa Indonesia. Kemiskinan ini sudah ada sejak lama dan telah
menjadi kenyataan dalam kehidupan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak
tahun 1997 telah melipatgandakan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan data BPS,
pada tahun 2002 (Februari) jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 38,4
juta jiwa (18,2%) yang terdistribusi 14,5% di perkotaan dan 21,1% di pedesaan.
Indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan meningkat dari 2,55 pada 1996 (sebelum
krisis) menjadi 4,35 pada 1998 (saat krisis), dan di pedesaan meningkat dari
3,55 menjadi 0,51. Sementara itu indeks keparahan kemiskinan di perkotaan
meningkat dari 0,71 menjadi 1,27 dan di pedesaan meningkat dari 0,96 menjadi
1,48. Peningkatan kedua indeks kemiskinan tersebut mengindikasikan bahwa krisis
ekonomi yang terjadi telah memperdalam dan memperparah kemiskinan di Indonesia.
(Sumber : www.bps.go.id)
Dengan adanya data tersebut tidak
dapat dibantah lagi bahwa kemiskinan merupakan masalah besar bagi umat manusia,
begitu juga bangsa Indonesia. Kemiskinan dari waktu yang lama telah menyebabkan
Bangsa Indonesia menjadi sangat terpuruk terlebih pasca krisis moneter tahun
1997, sehingga untuk menanggulangi masalah yang sangat serius ini harus ada
langkah-langkah yang sistematis secara terpadu.
Pemerintah saat ini masih
terlihat belum siap dalam upaya mengentaskan kemiskinan walaupun berbagai
langkah pernah ditempuh namun itu hanya bersifat tambal sulam. Di satu sisi,
pemerintah belum siap melepaskan diri dari utang luar negeri berbasis bunga
sehingga utang menjadi salah satu sumber utama pembiayaan APBN. Namun di sisi
lain, utang luar negeri yang belum terserap jumlahnya juga tidak sedikit.
Berdasarkan
fakta dan kenyataan di atas jelas
bahwa hanya mengandalkan APBN tidak akan pernah bisa mengentaskan kemiskinan
yang ada, untuk itu perlu ada suatu upaya dalam bentuk penggalangan dana yang
bersumber dari dalam negeri melalui bentuk-bentuk instrument seperti
zakat,infaq dan shoddaqoh (Mohammad, 2010 : 311-312).
Perkembangan ekonomi syariah di
tanah air semakin tumbuh dan berkembang. Hal ini ditandai dengan semakin
tingginya kesadaran masyarakat tentang perlunya melaksanakan kegiatan ekonomi
yang sesuai dengan syariah. Terlepas dari success story di industri
perbankan dan keuangan syariah sejauh ini ada sebuah kritikan yang sering
dilontarkan yaitu bahwa ekonomi syariah bukan hanya terbatas pada industri
perbankan dan keuangan saja. Masih banyak sisi-sisi ekonomi syariah lainnya
yang juga perlu mendapat perhatian, seperti bisnis yang berlandaskan syariah,
perilaku konsumsi yang islami,termasuk perilaku memberi (giving behavior)
atau filantropi (kedermawanan).
Syari’at Islam tidak hanya
berdimensi ibadah, tetapi juga mengandung dimensi sosial kemanusiaan. Zakat,
infaq dan shoddaqoh adalah ibadah yang bermuatan dua dimensi sekaligus, ibadah
kepada Allah dan hubungan kemanusiaan. Pada perkembangan pengamalan zakat tidak
hanya memenuhi kewajiban semata,
tetapi mengarah kepada
perkembangan perekonomian Islam. Menurut istilah syara’, zakat itu adalah nama
bagi pengambilan tertentu dari harta tertentu menurut sifat-sifat tertentu dan
untuk diberikan kepada golongan tertentu. Jadi, dalam zakat terdapat
aturan-aturan khusus yang ada ketentuan-ketentuannya. Selain zakat, dikenal
pula istilah infaq dan shoddaqoh. Infaq dan shoddaqoh tidak ditentukan
jumlahnya (bisa besar atau kecil) dan tidak ditentukan pula nishabnya dan
sasaran penggunaannya. Dari sini terlihat bahwa zakat bersifat khusus,
sedangkan infaq dan sedeqah bersifat lebih umum. Meskipun kata zakat,infaq dan
shoddaqoh memiliki perbedaan, tetapi Alquran dan sunnah seringkali menggunakan
kata infaq, shoddaqoh dan haq untuk makna zakat. Dan dalam konteks
Indonesia, berbicara tentang
ekonomi Islam, akan mengarah kepada pelaksanaan zakat,infaq dan shoddaqoh
(Agustianto, 2002).
Islam merupakan agama yang
rahmatan lil’alamin, yaitu memberikan rahmat bagi semua mahluk, sehingga dari
makna tersebut dapat di artikan bahwa Islam sangat peduli terhadap kaum dhuafa.
Sebagai bentuk kepedulian islam terhadap kaum tidak berpunya, Islam
menghadirkan lembaga zakat, infaq dan shoddaqoh yang berfungsi mengumpulkan dan
mendistribusikan kepada masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Islam sangat concern kepada pembangunan sosioekonomi rakyat
(umat). Lembaga-lembaga zakat,infaq dan shoddaqoh ini lebih dikenal dengan nama
filantropi (Mohammad, 2010: 312).
Islam mempunyai perhatian yang
tinggi untuk melepaskan orang miskin dan kaum dhu’afa dari kemiskinan dan
keterbelakangan. Tak dapat dipungkiri bahwa zakat sangat berpotensi sebagai
sebuah sarana yang efektif untuk memberdayakan ekonomi umat. Potensi itu bila
digali secara optimal dari seluruh masyarakat Islam dan dikelola dengan baik
dengan manajemen amanah dan profesionalisme tinggi, akan mewujudkan sejumlah
dana yang besar yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan dan
memberdayakan ekonomi umat( Agustianto, 2002 : 210).
Fakta membuktikan bahwa Indonesia
merupakan negara terbesar di dunia yang berpenduduk muslim. Karena itu, negeri ini
sangat potensial dalam perolehan zakat. Andaikan 25% saja dari 180 juta
penduduk muslim Indonesia (sekitar 45 juta) membayar zakat harta yang jumlahnya
rata-rata Rp 100.000, akan terhimpun dana sekitar 4,5 trilyun. Jumlah ini cukup
signifikan bagi pemberdayaan kaum dhu’afa yang masih banyak di Indonesia
(sekitar 40 juta). Sementara zakat yang baru terkumpul sekitar Rp 217 milyar
untuk seluruh Indonesia. Sungguh ironis, Indonesia sebagai negara mayoritas
muslim terbesar di dunia, dalam soal pengelolaan zakat, jauh tertinggal
dibandingkan Singapura
saja misalnya. Di negara yang
jumlah penduduk muslimnya hanya 15% (kurang lebihnya 450.000), perolehan ZISnya
pada tahun 1997 mencapai 14,5 juta dollar Singapura atau sekitar Rp 58 milyar
(kurs Rp 4000). Kalau dibandingkan dengan Singapura, setidaknya umat Islam
Indonesia dapat mengumpulkan dana zakat setahun Rp 17 trilyun, tapi nyatanya
baru Rp 217 milyar. Menurut perhitungan di Indonesia pertahun baru terkumpul
sekitar Rp 200-300 milyar. Padahal masih banyak sumber zakat yang belum tergali
seperti zakat perusahaan,zakat profesi, zakat saham, dsb ( Agustianto, 2002:
210).
Zakat sebagai bagian integral
dari sistem hukum Islam, dimungkinkan untuk diaplikasikan secara totalitas di
Indonesia. Sebab bagaimanapun juga eksistensi hukum Islam diakui sebagai bagian
dari hukum nasional, sebab mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim. Jumlahnya
kurang lebih 87,21% dari keseluruhan rakyat Indonesia. Kondisi objektif ini
menyebabkan setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam berbagai
aspek, tidak terkecuali aspek ekonomi, akan langsung dirasakan dampaknya oleh
umat Islam, sebagai penduduk mayoritas di negeri ini. Dan ini terbukti dengan
munculnya undang-undang zakat Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat yang
disahkan Presiden Habibie ( Zulfahmi, 2007: 567).
Pada tahun 1984, Menteri Agama
mengeluarkan instruksi No. 2/1984, tanggal 3 Maret 1984 tentang Infak Seribu
Rupiah yang diadakan khusus selama bulan Ramadhan. Operasional dari instruksi
ini diatur dalam keputusan Dirjen Dimas Islam dan Urusan Haji No. 19/1984,
tanggal 30 April 1984 kemudian penggunaan dananya diatur dalam Radio Gram
Menteri Agama No. 16/1986 tanggal 13 Juni 1986. Selanjutnya pada tahun 1989,
Menteri Agama menerbitkan Instruksi No. 16/1989 tanggal 12 Desember 1989,
tentang Pembinaan Zakat, Infaq dan Shoddaqoh dalam instruksi Menteri Agama
tersebut ditetapkan semua jajaran Departemen Agama, mulai dari Propinsi (Kantor
Wilayah) Kabupaten, Kotamadya (Kantor Departemen Agama), hingga tingkat Kecamatan
(Kantor Urusan Agama) agar membantu Lembaga-Lembaga Keagamaan yang
menyelenggarakan
Pengelolaan zakat, infaq dan
shoddaqoh agar mendayagunakan hasil pengelolaannya untuk kepentingan
kelangsungan pendidikan Islam, dan hal-hal lain yang mendukung pengembangan da’wah
Islam. Ketentuan terakhir yang dikeluarkan Pemerintah mengenai zakat adalah
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama RI dan Menteri Dalam Negeri RI.
Surat Keputusan Bersama tersebut bernomor 29 dan 47 tahun 1991, tanggal 19
Maret 1991. Mengenai petunjuk teknis operasionalnya diatur dalam Instruksi
Menteri Agama No. 5 tahun 1991, yang isinya membahas tentang Pedoman Pembinaan
Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan Shoddaqoh (Zulfahmi, 2007: 567-573).
Islam
menyediakan seperangkat ajaran yang komprehensif untuk memecahkan masalah
kemiskinan, di antaranya melalui lembaga zakat,infaq dan shoddaqoh (ZIS)
tersebut. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan zakat,infaq dan shoddaqoh tersebut
dibutuhkan sebuah lembaga Amil yang bekerja secara professional. Satu hal yang
perlu disadari bersama bahwa pelaksanaan ZIS bukanlah semata-mata diserahkan
kepada muzzaki saja, akan tetapi tanggung jawab memungut dan
mendistribusikannya dilakukan oleh amilin. Zakat bukan pula memberikan bantuan
yang bersifat konsumtif kepada para mustahiq, akan tetapi lebih jauh dari itu,
untuk meningkatkan kualitas hidup para mustahik ,terutama fakir miskin atau
kualitas sumberdaya muslim,misalnya untuk pendidikan. Karena itu amil zakat
harus meningkatkan profesionalisme kerjanya hingga menjadi amil yang amanah,
jujur, sungguh-sungguh mengerti masalah amil zakat dan kapabel dalam
melaksanakan tugas keamilan. Hal yang mengembirakan adalah kesadaran berzakat
dikalangan kaum muslimin di Indonesia telah mengalami kemajuan. Ini dapat
dilihat dengan munculnya lembaga-lembaga atau badan amil zakat, baik yang
dikelola oleh Pemerintah maupun swasta. Namun perkembangan yang mengembirakan
ini belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat kaum muslimin.
Badan amil zakat
tidak hanya harus berfokus pada pengelolaannya saja tetapi juga bagaimana agar
pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh itu sendiri berjalan dengan lancar.
Untuk itu penulis meneliti apakah yang menjadi faktor pengumpulan zakat.
Pengumpulan zakat itu sendiri menurut penulis dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain pendapatan, usia dan moment bulan keagamaan. Dengan pendapatan yang
tinggi dari seorang muzakki maka zakat harta yang diberikannya menurut penulis
juga akan lebih tinggi dari muzakki yang berpendapatan rendah.
Faktor usia juga
ikut menjadi faktor penentu pengumpulan zakat. Apabila usia dari muzakki berada
pada usia produktif maka zakat, infaq dan shoddaqoh yang diberikan muzakki itu
juga tinggi. Begitu juga dengan moment bulan keagamaan yang menjadi faktor
ketiga yang mempengaruhi pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh. Moment bulan
keagamaan menjadi penting dimana muzakki memberikan sebagian hartanya yaitu
zakat, infaq dan shoddaqoh pada bulan-bulan tertentu yang menurut para muzakki
pada bulan yang di pilih untuk membayar zakat adalah waktu yang tepat untuk
beramal. Pakar zakat, infaq dan shoddaqoh banyak mengeluhkan bahwa dana “ZIS”
tersebut belum secara optimal terealisasi dan terjadi sebagaimana harapan kita
sebagai kaum muslimin. Dari sekian banyak lembaga amil zakat jika diperhatikan
baru beberapa di antara saja yang sudah dikelola dengan baik dan optimal.
Sedangkan keberadaan lembaga ZIS masih dipandang sebagai cara yang paling
efektif untuk mendapatkan surga sehingga orientasi ZIS sebagi sarana untuk
mensejahterakan umat belum terwujud. Dan apabila zakat dikelola dengan benar
secara professional, amanah dan transparan, maka ia merupakan sumber pendapatan
negara yang cukup besar. Dan bagi Daerah zakat sangat potensial menjadi sumber
PAD (Pendapatan Asli Daerah) (Agustianto, 2002 : 174).
Penulis memilih Badan Amil Zakat
Sumatera Utara karena
sebagai lembaga pengumpul dan penyaluran zakat, infaq dan sedeqah lembaga ini
menurut penulis lebih terprogram,terencana, terukur, transparan, amanah,
obyektif, berdasarkan skala prioritas dan sangat potensial sebagai salah satu
lembaga zakat yang dikelola oleh pihak pemerintah. Badan Amil Zakat
berbeda dengan lembaga amil zakat yang lainnya. Dengan misi untuk membangun
kemandirian dan pelayanan masyarakat, Badan Amil Zakat kini ada pada tingkat yang
lebih tinggi, yakni sebagai organisasi sosial keagamaan di bawah pengawasan
pemerintah.
Menghadapi
kenyataan ketidaksuksesan pengumpulan zakat di kalangan umat islam dan juga
pendayagunaannya untuk pemberdayaan umat dan juga mengurangi masalah kemiskinan,
maka menjadi penting kini untuk mengetahui faktor-faktor apa yang memotivasi
masyarakat untuk membayar zakat,infaq dan sedeqah kepada lembaga zakat yang
dikelola oleh pihak pemerintah dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi besarnya dana zakat,infaq dan shoddaqoh itu terkumpul khususnya
zakat di Badan Amil Zakat . Untuk ini, para ulama terpercaya harus dilibatkan
dalam struktur BAZ bersama pemerintah dan ahli manajemen keuangan. Bila BAZ
telah berdiri, namun belum berhasil menghimpun zakat secara optimal, maka harus
diteliti faktor penyebab kegagalan pengumpulan dana BAZ dari para muzakki
selama ini.
Dilatarbelakangi
oleh kondisi tersebut, penulis mencoba menganalisis berbagai variabel yang
menentukan pengumpulan zakat,infaq dan shoddaqoh di Indonesia, untuk itu
penulis mengambil judul: “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh pada Badan Amil Zakat Daerah Sumatera
Utara”.
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian yang
telah dikemukakan pada latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perkembangan
pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh pada Badan Amil Zakat Sumatera Utara?
2. Faktor-faktor apakah yang
mempengaruhi pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh pada Badan Amil Zakat
Sumatera Utara?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan
yang telah dikemukakan diatas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana
perkembangan pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh pada Badan Amil Zakat
Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh pada Badan Amil Zakat
Sumatera Utara.
1.4.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan
dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan studi litelatur
tambahan terhadap penelitian yang sudah ada sebelumnya.
2. Sebagai bahan studi dan
litelatur bagi mahasiswa/mahasiswi ataupun peneliti yang ingin melakukan
penelitian sejenis selanjutnya.
3. Sebagai salah satu syarat bagi
penulis untuk menyelesaikan pendidikan jejang sarjana.
4.
Sebagai masukan yang bermanfaat bagi pemerintah atau instansi-instansi yang
terkait.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi