Selasa, 04 Maret 2014

Skripsi Ekonomi Pembangunan: ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUMPULAN ZAKAT, INFAQ DAN SHODDAQOH PADA BADAN AMIL ZAKAT

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan masalah besar bagi bangsa Indonesia. Kemiskinan ini sudah ada sejak lama dan telah menjadi kenyataan dalam kehidupan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 1997 telah melipatgandakan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2002 (Februari) jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 38,4 juta jiwa (18,2%) yang terdistribusi 14,5% di perkotaan dan 21,1% di pedesaan. Indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan meningkat dari 2,55 pada 1996 (sebelum
krisis) menjadi 4,35 pada 1998 (saat krisis), dan di pedesaan meningkat dari 3,55 menjadi 0,51. Sementara itu indeks keparahan kemiskinan di perkotaan meningkat dari 0,71 menjadi 1,27 dan di pedesaan meningkat dari 0,96 menjadi 1,48. Peningkatan kedua indeks kemiskinan tersebut mengindikasikan bahwa krisis ekonomi yang terjadi telah memperdalam dan memperparah kemiskinan di Indonesia. (Sumber : www.bps.go.id)
Dengan adanya data tersebut tidak dapat dibantah lagi bahwa kemiskinan merupakan masalah besar bagi umat manusia, begitu juga bangsa Indonesia. Kemiskinan dari waktu yang lama telah menyebabkan Bangsa Indonesia menjadi sangat terpuruk terlebih pasca krisis moneter tahun 1997, sehingga untuk menanggulangi masalah yang sangat serius ini harus ada langkah-langkah yang sistematis secara terpadu.
Pemerintah saat ini masih terlihat belum siap dalam upaya mengentaskan kemiskinan walaupun berbagai langkah pernah ditempuh namun itu hanya bersifat tambal sulam. Di satu sisi, pemerintah belum siap melepaskan diri dari utang luar negeri berbasis bunga sehingga utang menjadi salah satu sumber utama pembiayaan APBN. Namun di sisi lain, utang luar negeri yang belum terserap jumlahnya juga tidak sedikit. Berdasarkan
fakta dan kenyataan di atas jelas bahwa hanya mengandalkan APBN tidak akan pernah bisa mengentaskan kemiskinan yang ada, untuk itu perlu ada suatu upaya dalam bentuk penggalangan dana yang bersumber dari dalam negeri melalui bentuk-bentuk instrument seperti zakat,infaq dan shoddaqoh (Mohammad, 2010 : 311-312).
Perkembangan ekonomi syariah di tanah air semakin tumbuh dan berkembang. Hal ini ditandai dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat tentang perlunya melaksanakan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan syariah. Terlepas dari success story di industri perbankan dan keuangan syariah sejauh ini ada sebuah kritikan yang sering dilontarkan yaitu bahwa ekonomi syariah bukan hanya terbatas pada industri perbankan dan keuangan saja. Masih banyak sisi-sisi ekonomi syariah lainnya yang juga perlu mendapat perhatian, seperti bisnis yang berlandaskan syariah, perilaku konsumsi yang islami,termasuk perilaku memberi (giving behavior) atau filantropi (kedermawanan).
Syari’at Islam tidak hanya berdimensi ibadah, tetapi juga mengandung dimensi sosial kemanusiaan. Zakat, infaq dan shoddaqoh adalah ibadah yang bermuatan dua dimensi sekaligus, ibadah kepada Allah dan hubungan kemanusiaan. Pada perkembangan pengamalan zakat tidak hanya memenuhi kewajiban semata,
tetapi mengarah kepada perkembangan perekonomian Islam. Menurut istilah syara’, zakat itu adalah nama bagi pengambilan tertentu dari harta tertentu menurut sifat-sifat tertentu dan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Jadi, dalam zakat terdapat aturan-aturan khusus yang ada ketentuan-ketentuannya. Selain zakat, dikenal pula istilah infaq dan shoddaqoh. Infaq dan shoddaqoh tidak ditentukan jumlahnya (bisa besar atau kecil) dan tidak ditentukan pula nishabnya dan sasaran penggunaannya. Dari sini terlihat bahwa zakat bersifat khusus, sedangkan infaq dan sedeqah bersifat lebih umum. Meskipun kata zakat,infaq dan shoddaqoh memiliki perbedaan, tetapi Alquran dan sunnah seringkali menggunakan kata infaq, shoddaqoh dan haq untuk makna zakat. Dan dalam konteks
Indonesia, berbicara tentang ekonomi Islam, akan mengarah kepada pelaksanaan zakat,infaq dan shoddaqoh (Agustianto, 2002).
Islam merupakan agama yang rahmatan lil’alamin, yaitu memberikan rahmat bagi semua mahluk, sehingga dari makna tersebut dapat di artikan bahwa Islam sangat peduli terhadap kaum dhuafa. Sebagai bentuk kepedulian islam terhadap kaum tidak berpunya, Islam menghadirkan lembaga zakat, infaq dan shoddaqoh yang berfungsi mengumpulkan dan mendistribusikan kepada masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Islam sangat concern kepada pembangunan sosioekonomi rakyat (umat). Lembaga-lembaga zakat,infaq dan shoddaqoh ini lebih dikenal dengan nama filantropi (Mohammad, 2010: 312).
Islam mempunyai perhatian yang tinggi untuk melepaskan orang miskin dan kaum dhu’afa dari kemiskinan dan keterbelakangan. Tak dapat dipungkiri bahwa zakat sangat berpotensi sebagai sebuah sarana yang efektif untuk memberdayakan ekonomi umat. Potensi itu bila digali secara optimal dari seluruh masyarakat Islam dan dikelola dengan baik dengan manajemen amanah dan profesionalisme tinggi, akan mewujudkan sejumlah dana yang besar yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan dan memberdayakan ekonomi umat( Agustianto, 2002 : 210).
Fakta membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara terbesar di dunia yang berpenduduk muslim. Karena itu, negeri ini sangat potensial dalam perolehan zakat. Andaikan 25% saja dari 180 juta penduduk muslim Indonesia (sekitar 45 juta) membayar zakat harta yang jumlahnya rata-rata Rp 100.000, akan terhimpun dana sekitar 4,5 trilyun. Jumlah ini cukup signifikan bagi pemberdayaan kaum dhu’afa yang masih banyak di Indonesia (sekitar 40 juta). Sementara zakat yang baru terkumpul sekitar Rp 217 milyar untuk seluruh Indonesia. Sungguh ironis, Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia, dalam soal pengelolaan zakat, jauh tertinggal dibandingkan Singapura
saja misalnya. Di negara yang jumlah penduduk muslimnya hanya 15% (kurang lebihnya 450.000), perolehan ZISnya pada tahun 1997 mencapai 14,5 juta dollar Singapura atau sekitar Rp 58 milyar (kurs Rp 4000). Kalau dibandingkan dengan Singapura, setidaknya umat Islam Indonesia dapat mengumpulkan dana zakat setahun Rp 17 trilyun, tapi nyatanya baru Rp 217 milyar. Menurut perhitungan di Indonesia pertahun baru terkumpul sekitar Rp 200-300 milyar. Padahal masih banyak sumber zakat yang belum tergali seperti zakat perusahaan,zakat profesi, zakat saham, dsb ( Agustianto, 2002: 210).
Zakat sebagai bagian integral dari sistem hukum Islam, dimungkinkan untuk diaplikasikan secara totalitas di Indonesia. Sebab bagaimanapun juga eksistensi hukum Islam diakui sebagai bagian dari hukum nasional, sebab mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim. Jumlahnya kurang lebih 87,21% dari keseluruhan rakyat Indonesia. Kondisi objektif ini menyebabkan setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam berbagai aspek, tidak terkecuali aspek ekonomi, akan langsung dirasakan dampaknya oleh umat Islam, sebagai penduduk mayoritas di negeri ini. Dan ini terbukti dengan munculnya undang-undang zakat Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat yang disahkan Presiden Habibie ( Zulfahmi, 2007: 567).
Pada tahun 1984, Menteri Agama mengeluarkan instruksi No. 2/1984, tanggal 3 Maret 1984 tentang Infak Seribu Rupiah yang diadakan khusus selama bulan Ramadhan. Operasional dari instruksi ini diatur dalam keputusan Dirjen Dimas Islam dan Urusan Haji No. 19/1984, tanggal 30 April 1984 kemudian penggunaan dananya diatur dalam Radio Gram Menteri Agama No. 16/1986 tanggal 13 Juni 1986. Selanjutnya pada tahun 1989, Menteri Agama menerbitkan Instruksi No. 16/1989 tanggal 12 Desember 1989, tentang Pembinaan Zakat, Infaq dan Shoddaqoh dalam instruksi Menteri Agama tersebut ditetapkan semua jajaran Departemen Agama, mulai dari Propinsi (Kantor Wilayah) Kabupaten, Kotamadya (Kantor Departemen Agama), hingga tingkat Kecamatan (Kantor Urusan Agama) agar membantu Lembaga-Lembaga Keagamaan yang menyelenggarakan
Pengelolaan zakat, infaq dan shoddaqoh agar mendayagunakan hasil pengelolaannya untuk kepentingan kelangsungan pendidikan Islam, dan hal-hal lain yang mendukung pengembangan da’wah Islam. Ketentuan terakhir yang dikeluarkan Pemerintah mengenai zakat adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama RI dan Menteri Dalam Negeri RI. Surat Keputusan Bersama tersebut bernomor 29 dan 47 tahun 1991, tanggal 19 Maret 1991. Mengenai petunjuk teknis operasionalnya diatur dalam Instruksi Menteri Agama No. 5 tahun 1991, yang isinya membahas tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan Shoddaqoh (Zulfahmi, 2007: 567-573).
Islam menyediakan seperangkat ajaran yang komprehensif untuk memecahkan masalah kemiskinan, di antaranya melalui lembaga zakat,infaq dan shoddaqoh (ZIS) tersebut. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan zakat,infaq dan shoddaqoh tersebut dibutuhkan sebuah lembaga Amil yang bekerja secara professional. Satu hal yang perlu disadari bersama bahwa pelaksanaan ZIS bukanlah semata-mata diserahkan kepada muzzaki saja, akan tetapi tanggung jawab memungut dan mendistribusikannya dilakukan oleh amilin. Zakat bukan pula memberikan bantuan yang bersifat konsumtif kepada para mustahiq, akan tetapi lebih jauh dari itu, untuk meningkatkan kualitas hidup para mustahik ,terutama fakir miskin atau kualitas sumberdaya muslim,misalnya untuk pendidikan. Karena itu amil zakat harus meningkatkan profesionalisme kerjanya hingga menjadi amil yang amanah, jujur, sungguh-sungguh mengerti masalah amil zakat dan kapabel dalam melaksanakan tugas keamilan. Hal yang mengembirakan adalah kesadaran berzakat dikalangan kaum muslimin di Indonesia telah mengalami kemajuan. Ini dapat dilihat dengan munculnya lembaga-lembaga atau badan amil zakat, baik yang dikelola oleh Pemerintah maupun swasta. Namun perkembangan yang mengembirakan ini belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat kaum muslimin.
Badan amil zakat tidak hanya harus berfokus pada pengelolaannya saja tetapi juga bagaimana agar pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh itu sendiri berjalan dengan lancar. Untuk itu penulis meneliti apakah yang menjadi faktor pengumpulan zakat. Pengumpulan zakat itu sendiri menurut penulis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pendapatan, usia dan moment bulan keagamaan. Dengan pendapatan yang tinggi dari seorang muzakki maka zakat harta yang diberikannya menurut penulis juga akan lebih tinggi dari muzakki yang berpendapatan rendah.
Faktor usia juga ikut menjadi faktor penentu pengumpulan zakat. Apabila usia dari muzakki berada pada usia produktif maka zakat, infaq dan shoddaqoh yang diberikan muzakki itu juga tinggi. Begitu juga dengan moment bulan keagamaan yang menjadi faktor ketiga yang mempengaruhi pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh. Moment bulan keagamaan menjadi penting dimana muzakki memberikan sebagian hartanya yaitu zakat, infaq dan shoddaqoh pada bulan-bulan tertentu yang menurut para muzakki pada bulan yang di pilih untuk membayar zakat adalah waktu yang tepat untuk beramal. Pakar zakat, infaq dan shoddaqoh banyak mengeluhkan bahwa dana “ZIS” tersebut belum secara optimal terealisasi dan terjadi sebagaimana harapan kita sebagai kaum muslimin. Dari sekian banyak lembaga amil zakat jika diperhatikan baru beberapa di antara saja yang sudah dikelola dengan baik dan optimal. Sedangkan keberadaan lembaga ZIS masih dipandang sebagai cara yang paling efektif untuk mendapatkan surga sehingga orientasi ZIS sebagi sarana untuk mensejahterakan umat belum terwujud. Dan apabila zakat dikelola dengan benar secara professional, amanah dan transparan, maka ia merupakan sumber pendapatan negara yang cukup besar. Dan bagi Daerah zakat sangat potensial menjadi sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) (Agustianto, 2002 : 174).
Penulis memilih Badan Amil Zakat Sumatera Utara karena sebagai lembaga pengumpul dan penyaluran zakat, infaq dan sedeqah lembaga ini menurut penulis lebih terprogram,terencana, terukur, transparan, amanah, obyektif, berdasarkan skala prioritas dan sangat potensial sebagai salah satu lembaga zakat yang dikelola oleh pihak pemerintah. Badan Amil Zakat berbeda dengan lembaga amil zakat yang lainnya. Dengan misi untuk membangun kemandirian dan pelayanan masyarakat, Badan Amil Zakat kini ada pada tingkat yang lebih tinggi, yakni sebagai organisasi sosial keagamaan di bawah pengawasan pemerintah.
Menghadapi kenyataan ketidaksuksesan pengumpulan zakat di kalangan umat islam dan juga pendayagunaannya untuk pemberdayaan umat dan juga mengurangi masalah kemiskinan, maka menjadi penting kini untuk mengetahui faktor-faktor apa yang memotivasi masyarakat untuk membayar zakat,infaq dan sedeqah kepada lembaga zakat yang dikelola oleh pihak pemerintah dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya dana zakat,infaq dan shoddaqoh itu terkumpul khususnya zakat di Badan Amil Zakat . Untuk ini, para ulama terpercaya harus dilibatkan dalam struktur BAZ bersama pemerintah dan ahli manajemen keuangan. Bila BAZ telah berdiri, namun belum berhasil menghimpun zakat secara optimal, maka harus diteliti faktor penyebab kegagalan pengumpulan dana BAZ dari para muzakki selama ini.
Dilatarbelakangi oleh kondisi tersebut, penulis mencoba menganalisis berbagai variabel yang menentukan pengumpulan zakat,infaq dan shoddaqoh di Indonesia, untuk itu penulis mengambil judul: “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh pada Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara”.
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perkembangan pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh pada Badan Amil Zakat Sumatera Utara?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh pada Badan Amil Zakat Sumatera Utara?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh pada Badan Amil Zakat Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengumpulan zakat, infaq dan shoddaqoh pada Badan Amil Zakat Sumatera Utara.
1.4.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan studi litelatur tambahan terhadap penelitian yang sudah ada sebelumnya.
2. Sebagai bahan studi dan litelatur bagi mahasiswa/mahasiswi ataupun peneliti yang ingin melakukan penelitian sejenis selanjutnya.
3. Sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan jejang sarjana.

4. Sebagai masukan yang bermanfaat bagi pemerintah atau instansi-instansi yang terkait.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi