Rabu, 05 Maret 2014

Skripsi Ekonomi Pembangunan: ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN 25 KABUPATEN / KOTA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otonomi daerah sebagai salah satu proses desentralisasi di Indonesia mengemukakan kabupaten / kota dan desa sebagai wilayah – wilayah otonom. Pada negara yang sangat luas dan terdiri atas pulau – pulau dalam lautan yang lebar, desentralisasi menjadi konsekuensi yang logis. Diharapkan desentralisasi mampu menumbuhkan wilayah – wilayah yang semula tertinggal, sehingga dapat mengejar ketertinggalannya dan dapat mengimbangi daerah – daerah yang telah terlebih dahulu berkembang.

Ketika otonomi daerah ( otda ) dicanangkan oleh Pemerintah Pusat tanggal 1 Januari 2001, banyak yang mempertanyakan apakah otomatis akan terjadi perubahan paradigma yang mendasar dan bersifat struktural. Pasalnya, lagu yang berkumandang di seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia adalah sentralisasi atau control dari pusat yang dominant dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia ( Kuncoro dalam Mudrajad Kuncoro, 2004 )
Bersamaan dengan itu, dikeluarkan pula UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat-Daerah. Yang dimaksud dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam UU No.25 Tahun 1999 adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional, demokrartis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata acara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya (dalam Saragih,2003).
Perimbangan keuangan tersebut tercermin dengan adanya dana perimbangan. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dengan adanya hak otonomi daerah yang disertai perimbangan keuangan pusat-daerah, diharapkan tiap daerah mampu mengelola sumber daya yang dimilikinya untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya. Penerapan otonomi daerah yang luas saat ini bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi ekonomi yang ada sehingga dapat memacu peningkatan aktivitas per-ekonomian di daerah yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian nasional.
Selain itu, pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah kabupaten dan daerah kota ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewewenangan (urusan). Terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah, terjadi melalui proses penyerahan sejumlah kekuasaan / kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di mana implementasi kebijakan desentralisasi memerlukan banyak faktor pendukung. Salah satu faktor pendukung yang secara signifikan menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan daerah untuk membiayai pelaksanaan kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya, di samping faktor-faktor lain seperti kemampuan personalia didaerah dan kelembagaan pemerintah daerah.
Tujuan utama penyelenggaran Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Kebijakan pemberian otonomi daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan

pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.
Adanya pemekaran wilayah kabupaten / kota di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2004 telah menambah jumlah kabupaten / kota menjadi 25 yang terdiri dari 18 kabupaten dan 7 kota, 316 kecamatan dan 5616 desa / kelurahan dengan ibukota propinsinya Medan. Secara otomatis pemekaran wilayah ini juga telah menimbulkan sistem pemerintahan daerah yang lebih leluasa dibandingkan sebelumnya karena masing – masing pemerintah daerah telah dapat menetapkan segala kebijakan yang paling efisien dan efektif bagi keadaan ekonomi / politik karena tidak perlu lagi terlalu bergantung pada kebijakan dari pusat. Pemerintah daerah dapat memutuskan kebijakan yang dianggap paling mewakili kebutuhan masyarakat secara umum. Hubungan eksekutif dan legislatif juga berjalan dengan baik hal ini terlihat dari pemilihan kepala derah yang berlangsung secara demokratis.
Dalam perkembangan perekonomian Sumatera Utara sejak masa krisis sejak tahun 1998 terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari 4,81 persen tahun 2003 5,48 persen tahun 2005 dan 6,90 persen pada tahun 2007. Hal ini cukup membuktikan bahwa otonomi daerah yang diberlakukan oleh Sumatera Utara memberikan hasil yang positif karena dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara dari tahun ke tahun dan tentunya hal ini akan berimbas terhadap sector – sector lainnya dan diharapakan kondisi yang seperti ini akan terus berlangsung dalam jangka yang panjang serta diikuti dengan perkembangan – perkembangan yang lain yang akan semakin memperbaiki keadaan ekonomi maupun politik.

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional-pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan serta memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Pembangunan daerah juga berarti memampukan daerah untuk mengelola sumber daya ekonominya secara berdaya guna dan berhasil guna untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Pada umunya pembangunan ekonomi diartikan sebagai rangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi, teknologi semakin meningkat. Sebagai implikasi dari perkembangan ini diharapkan kesempatan kerja akan bertambah, tingkat pendapatan meningkat, dan kemakmuran masyarakat menjadi sangat tinggi
( Sukirno S, 2007).
Tujuan utama dari usaha – usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setingi – tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan ( disparitas ) pendapatan, dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ( Todaro, 2000 ). Sejalan dengan hal tersebut, maka pembangunan ekonomi daerah menghendaki adanya kerjasama diantara pemerintah, privat sektor dan masyarakat dalam mengelola sumber daya yang dimiliki oleh wilayah tersebut dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja seluas-luasnya. Indikator keberhasilan pembangunan ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya ketimpangan baik di dalam distribusi pendapatan penduduk maupun antar wilayah. Perekonomian daerah merupakan

ekonomi yang lebih terbuka dibandingkan dengan perekonomian negara, dimana pertumbuhan ekonomi daerah memungkinkan peningkatan mobilitas tenaga kerja maupun modal adalah menjadi bagian penting bagi terjadinya perbedaan tingkat pertumbuhan daerah.
Ketimpangan pembangunan pada prinsipnya merupakan ketimpangan ekonomi yang mengandung makna kemiskinan dan kesenjangan. Agar ketimpangan dan perkembangan antar suatu daerah dengan daerah lain tidak menciptakan jurang yang semakin lebar, maka implikasi kebijaksanaan terhadap daur perkembangan dari pembangunan haruslah dirumuskan secara tepat (Suryana, 2000).
Secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antarwilayah mula – mula dimunculkan oleh Douglas C North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo – Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antarwilayah. Hipotesa ini kemudian lazim dikenal sebagai Hipotesa Neo – Klasik yang menarik perhatian para ekonom dan perencana pembangunan daerah.
Menurut Hipotesa Neo – Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antarwilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut maka secara berangsur – angsur ketimpangan pembangunan antarwilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa pada negara – negara berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antarwilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih rendah. Dengan kata lain,
kurva ketimpangan pembangunan antarwilayah adalah berbentuk huruf U terbalik ( Reserve U-Shape Curve ).
Tetapi berbicara mengenai masalah ketimpangan, negara ini sesungguhnya sedang mengalami proses ketertinggalan. Hal ini antara lain disebabkan oleh semakin banyaknya ketimpangan, baik itu ketimpangan pendapatan, pendidikan, maupun ketimpangan kualitas institusi birokrasi di negara ini. Salah satu hasil studi William Easterly (2006) mengungkapkan bahwa tingkat ketimpangan (disparities) yang tinggi merupakan penghambat dari kemakmuran, tumbuhnya institusi yang berkualitas, dan berkembangnya pendidikan yang bermutu tinggi.
Ketimpangan antarwilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing – masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang. Terjadinya ketimpangan anatarwilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antarwilayah. Karena itu, aspek ketimpangan antarwilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah oleh Pemerintah Daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah mempunyai konsekuensi selain sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi juga berpotensi memunculkan kesenjangan intra maupun antar daerah dalam satu kawasan. Dasar pemikiran sederhana berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dibangun oleh Elly Hecksher dan Bertil Ohlin.
Atas dasar teori itu kalau suatu daerah sudah memiliki SDA yang berlebihan berarti daerah tersebut memiliki peluang untuk menciptakan produksi yang lebih

banyak dibandingkan dengan daerah lain yang memilki SDA lebih sedikit. Dengan asumsi belum ada kemitraan antardaerah maka peluang – peluang pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berada pada daerah – daerah yang memiliki SDA yang banyak sehingga konsep otonomi daerah yang digulirkan akan memperbanyak kesempatan daerah – daerah yang bersangkutan untuk membangun dan mengatur dirinya sendiri. Atas dasar itu maka terjadinya perbedaan besar kecilnya pendapatan perkapita masing – masing daerah diakibatkan oleh tersedianya SDA yang tidak merata di setiap daerah.
Walaupun Indonesia terkenal sebagai daerah yang kaya akan SDA tetapi persebarannya tidak merata di seluruh daerah. Masyarakat menginginkan adanya keadilan dalam alokasi pembangunan di daerahnya. Sebagai daerah yang kaya akan SDA, seharusnya mereka memperoleh dana bagi hasil yang relatif besar jika dibandingkan daerah lain yang memiliki SDA yang relatif sedikit. Namun pada kenyataannya tidaklah demikian, pemerintah memberikan dana bagi hasil yang lebih besar kepada kota – kota besar. Oleh sebab itu pusat bisnis hanya terkonsentrasi pada kota – kota besar tersebut walaupun SDA yang dimilikinya terbatas. Fenomena seperti ini akan berdampak terhadap peningkatan ketimpangan fiskal antar daerah, yang pada akhirnya melalui kebijakan ekspansi pengeluaran pemerintah daerah dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan antardaerah dan wilayah (Joko, 2007).
Pembangunan dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu merata. Kesenjangan antarderah seringkali menjadi permasalahan serius. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah – daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan oleh karena kurangnya sumber – sumber yang dimiliki ; adanya kecenderungan peranan modal ( investor ) memilih daerah perkotaan atau daerah yang
telah memilki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi, juga tenaga kerja yang terampil; di samping itu adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari Pemerintah Pusat kepada daerah.
Pemerataan pembangunan antardaerah di Sumatera Utara diupayakan dengan lebih menyerasikan pertumbuhan dan mengurangi kesenjangan, baik dalam tingkat kemajuan antardaerah, maupun antara perkotaan dan pedesaan. Pembangunan desa dan masyarakat desa ditingkatkan melalui koordinasi dan keterpaduan yang makin serasi dalam pembangunan sektoral, pengembangan kemampuan sumber daya manusia, pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup, serta penumbuhan iklim yang mendorong tumbuh prakarsa dan swadaya masyarakat Di perkotaan, penataan penggunaan tanah ditingkatkan dengan lebih memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum pemilikan tanah, serta pencegahan penelantaran tanah termasuk upaya mencegah pemusatan penguasaan tanah yang merugikan kepentingan rakyat.
Demikian juga halnya dengan Sumatera Utara, persebaran SDA yang tidak merata yang berdampak terhadap ketimpangan fiscal antarkabupaten / kota telah menyebabkan disparitas pendapatan antarkabupaten / kota di Sumatera Utara.
Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan perkapita merupakan masalah yang berbeda dari masalah distribusi pendapatan. Apabila terjadi distribusi pendapatan yang sempurna, maka tiap orang akan menerima pendapatan yang sama besarnya. Angka pendapatan perkapita yang ada selama ini merupakan angka rata-rata yang tidak mencerminkan pendapatan sebenarnya yang diterima oleh tiap-tiap penduduk.
Seberapa yang diterima oleh tiap penduduk sebenarnya sangat berkaitan dengan masalah merata atau tidak meratanya distribusi pendapatan tersebut. Oleh karenanya pemerataan pendapatan adalah masalah yang penting dalam pembangunan, karena akan langsung berdampak terhadap kesejahteraan penduduk.
Pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara relative tinggi, tetapi pertumbuhan tersebut diiringi dengan ketimpangan antarwilayah yang semakin besar. Model pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara bukan mengacu pada pemerataan pembangunan ekonomi yang semakin baik ( Sirojuzilam, 2008 ). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata seringkali menyebabkan bertambah lebarnya ketimpangan antargolongan masyarakat (yang kaya dan yang miskin) dan kesenjangan atau ketimpangan antardaerah (yang maju dan yang tertinggal). Ketimpangan yang makin tinggi antargolongan dan antarwilayah ini dapat memunculkan masalah kecemburuan sosial, kerawanan disitegrasi wilayah dan disparitas ekonomi yang makin lebar dan tajam.
Ketimpangan secara alami disebabkan karena proses pembangunan, dan ketidakseimbangan kebijakan, seperti investasi pemerintah yakni dalam bentuk pengeluaran pemerintah daerah. Anaman (dalam Noogroho. Y.S dan Soelistianingsih. 2007) menyatakan bahwa semakin besar pengeluaran pemerintah daearah yang tidak produktif, semakin kecil tingkat pertumbuhan perekonomian daerah, tetapi pada umumnya pengeluaran pemerintah membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi.
Menurut Sarjono HW ( 2006 ) pada konteks mikro, yang menjadi penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antardaerah antara lain:
a. Keterbatasan informasi pasar dan informasi teknologi untuk pengembangan produk unggulan.

b. Belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah.
c. Belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani dan pelaku swasta.
d. Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah.
e. Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas dan kerja sama diantara pelaku – pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah dan petani serta antara pusat, propinsi dan kabupaten / kota dalam upaya peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
f. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi dan jaringan pemasaran dalam upaya pengembangan peluang usaha dan kerja sama investasi.
g. Keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi daerah dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah.
h. Belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerja sama antardaerah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
Sementara pada aspek makro, Dumairy ( 1996 ), menyatakan bahwa terdapat ada dua faktor yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa ketimpangan pembangunan dan hasil – hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama ialah karena ketidaksetaraan anugerah awal ( initial endowment )diantara pelaku – pelaku ekonomi . Sedangkan faktor kedua karena strategi pembangunan yang tidak tepat cenderung berorientasi pada pertumbuhan. Ketidaksetaraan anugerah awal yang dimaksud adalah

adanya kesenjangan antara bekal resources yang dimilki oleh para pelaku ekonomi. Yang meliputi, sumberdaya alam, kapital, keahlian / keterampilan, bakat / potensi atau sarana dan prasarana. Sedangkan pelaku ekonomi adalah perorangan, sektor ekonomi, sektor wilayah. Sumber daya alam yang dimilki tidak sama antardaerah, (pra) sarana ekonomi yang tersedia tidak sama antardaerah, begitu pula yang lain – lainnya seperti kapital, keahlian / keterampilan serta bakat atau potensi. Secara objektif, ketimpangan pembangunan yang selama ini berlangsung dan khususnya pada negara berkembang adalah dalam berbagai bentuk , aspek atau dimensi. Bukan saja ketimpangan hasil – hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan perkapita tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata – mata berupa ketimpangan spasial atau antardaerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah pekotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan regional, misalnya dapat dilihat berdasarkan perbedaan mencolok dalam aspek – aspek seperti penyerapan tenaga kerja, alokasi dana perbankan, investasi dan pertumbuhan.
Secara makro ketimpangan pembangunan yang terjadi di berbagai daerah, tentunya karena lebih disebabkan oleh aspek strategi pembangunan yang kurang tepat. Strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan misalnya, ternyata tidak mampu mengatasi persoalan – persoalan yang terjadi di daerah, malah sebaliknya hanya memperkaya pelaku – pelaku ekonomi tertentu yang dekat dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis.
Oleh karena itu, untuk dapat menghasilkan pembangunan ekonomi yang sebenar – benarnya dapat dirasakan oleh semua masyarakat, harus ada keberanian dari pemerintah daerah untuk mengubah cara pandang dan strategi pembangunan ekonominya ke arah yang lebih sehat dan kompetitif. Kue – kue pembangunan harus dapat dinikmati dan dirasakan oleh semua masyarakat yang menjadi tanggung jawab

pemerintah daerah, jangan sampai hanya dinikmati oleh segelintir kelompok atau golongan tertentu saja yang dekat dengan kekuasaan dan mudah mendapatkan akses pembangunan secara gratis.
Terkonsentrasinya kegiatan ekonomi hanya di suatu daerah tertentu, secara langsung berdampak terhadap disparitas pendapatan daerah yang sangat bervariasi. Daerah yang satu mampu memberikan pendapatan yang tinggi sementara daerah lain memberikan pendapatan yang relative rendah. Pada gilirannya, semua itu akan berimbas terhadap kemampuan regional untuk tumbuh dan berkembang di masa yang akan datang.
Ketimpangan memiliki peran yang sangat besar dalam hubungan antara kemiskinan dan pertumbuhan karena ketimpangan mempengaruhi baik pertumbuhan maupun kemiskinan.
Tingkat disparitas pendapatan antarwilayah dapat diukur dengan berbagai macam pendekatan, seperti Indeks Theil, Koefisien Gini, Kurva Lorents dan Indeks Williamson. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Indeks Williamson dengan alasan indeks ini cukup mampu menjelaskan sejauh apa ketimpangan yang terjadi anatardaerah, cukup mudah menginterpretasikan angka ketimpangan yang diperoleh, praktis dan cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antarwilayah. Jika semakin kecil indeksnya maka ketimpangan daerah tersebut juga semakin kecil dan sebaliknya apabila indeksnya semakin besar maka ketimpangan antardaerah yang terjadi semakin besar.
Dasar perhitungan Indeks Williamson ini menggunakan PDRB per kapita dalam kaitannya dengan jumlah penduduk per daerah. Pada dasarnya Indeks Williamson merupakan koefisien persebaran (coefficient of variation) dari rata-rata nilai sebaran dihitung berdasarkan estimasi dari nilai-nilai PDRB dan penduduk di
daerah-daerah yang berada pada ruang lingkup wilayah yang di kaji dan dianalisis, dalam hal ini adalah wilayah kabupaten / kota di Sumatera Utara.
Dalam usaha menekan laju ketimpangan ini, maka harus ditentukan kebijakan yang tepat. Pemilihan kebijakan yang tepat akan menciptakan stabilitas pertumbuhan ekonomi yang cukup baik sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu keterlibatan semua pelaku ekonomi dalam pembangunan daerah harus dilaksanakan dengan sebaik – baiknya.
Dalam penelitian ini, perbedaan pendapatan perkapita antarkabupaten / kota juga mempengeruhi disparitas pendapatan antarwilayah. Diperlukan berbagai usaha agar pendapatan perkapita masing – masing daerah dapat meningkat sehingga dapat memperkecil disparitas antardaerah. Selain itu, jumlah penduduk juga salah satu factor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan. Manusia yang berkualitas merupakan salah satu factor penting dalam proses pertumbuhan ekonomi. Tingkat pembangunan manusia yang tinggi akan mempengaruhi perekonomian melelui produktifitas dan kreativitas. Oleh sebab itu, pembangunan manusia perlu dilakukan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi disparitas pendapatan antarkabupaten / kota. Selain itu, pengeluaran pemerintah juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi disparitas pendapatan antarkabupaten / kota di Sumatera Utara. Semakin besar pengeluaran pemerintah untuk membiayai program pembangunan, berarti semakin tinggi tingkat pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Semakin besar pembangunan wilayah berati semakin besar pula kegiatan ekonominya. Hal ini akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui lebih lanjut sejauh mana ketimpangan yang terjadi khususnya disparitas pendapatan antarkabupaten / kota di Sumatera Utara, sehingga penelitian ini diberi judul :
“ Analisis Disparitas Pendapatan 25 Kabupaten / Kota Di Sumatera Utara “.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana disparitas pendapatan antarkabupaten / kota di Sumatera Utara?
2. Bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten / kota di Sumatera Utara?
3. Bagaimana pengaruh PDRB perkapita terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten / kota di Sumatera Utara?
4. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten/ kota di Sumatera Utara.
1.3 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara atau kesimpulan sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji atau dibuktikan secara empiris. Dari rumusan masalah di atas, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut:
1. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten / kota di Sumatera Utara.
2. Jumlah PDRB perkapita berpengaruh positif terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten / kota di Sumatera Utara.

3. Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif terhadap disparitas pendapatan antar kabupaten / kota di Sumatera Utara.
1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap disparitas pendapatan antarkabupaten / kota di Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh PDRB perkapita terhadap disparitas pendapatan antarkabupaten / kota di Sumatera Utara.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap disparitas pendapatan antarkabupaten / kota di Sumatera Utara.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Menambah, melengkapi sekaligus sebagai pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada yang menyangkut topik yang sama.
2. Sebagai informasi dan bahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya dengan topik yang sama.
3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi mahasiswa fakultas ekonomi, khususnya mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan.
4. Sebagai tambahan wawasan bagi penulis untuk mengetahui bagaimana disparitas pendapatanantar kabupaten / kota di Sumatera Utara.


Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi