Sabtu, 01 Maret 2014

Skripsi Ekonomi Pembangunan: ANALISIS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN/KOTA


 BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Penyelenggaraan pemerintahan negara didasarkan pada Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, sehingga tujuan mencapai masyarakat yang adil dan makmur merupakan kewajiban Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya, dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen mengatur bahwa Negara Indonesia terbagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi tersebut dibagi atas Kabupaten/Kota, dan tiap-tiap Provinsi, Kabupaten/Kota tersebut mempunyai Pemerintahan Daerah yang kewenangan dan tanggung jawab pemerintahan dilaksanakan secara hirarkis dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Dengan demikian, pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional. (Soekarwo, 2003)

Kualitas kinerja lembaga dalam pemerintahan berkorelasi positif dengan daya dukung pembiayaan yang ada. Dukungan sumber daya keuangan yang memadai mempengaruhi optimalisasi kinerja lembaga pemerintahan dalam menjalankan tugas-tugasnya melayani masyarakat. Dengan demikian, pelimpahan kewenangan pemerintahan dari pusat ke daerah harus juga disertai dengan pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerah supaya daerah memiliki kemandirian dalam membiayai belanja pemerintahan dan

kegiatan pembangunan di daerah tanpa tergantung kepada pusat. Oleh karena itu, desentralisasi pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah daerah merupakan aspek terpenting bagi kerja pemerintahan dan pembangunan. (Chalid, 2005)
Di Indonesia, dorongan desentralisasi telah melahirkan dua Undang-Undang (UU), yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah direvisi menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004. Kedua undang-undang ini mengamanatkan berbagai perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan dan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selain itu, kedua UU tersebut merupakan respon atas berbagai aspirasi masyarakat dan daerah di Indonesia, yang sebenarnya telah cukup lama menginginkan kemandirian dalam mengelola kewenangan dan tanggung jawabnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah. Hal ini mengandung arti bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kepada daerah diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan yang secara nyata ada dan diperlukan, termasuk segala kewajiban yang ada di dalamnya.
Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah

dalam jumlah besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN, namun daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PAD-nya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBD-nya (Sidik, 2002). Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manausia maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat lepasnya campur tangan pemerintah akan memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk meningkatkan kesejahteraannya (Adi, 2005). Akan tetapi bagi daerah yang tidak memiliki potensi yang memadai, kebijakan tersebut sangat memberatkan. Karena bagi daerah yang tidak mempunyai sumber dana yang melimpah akan kesulitan dalam membiayai belanja mereka (Bappenas, 2003).
Adanya kewenangan yang lebih besar memberikan peluang kepada daerah menggali berbagai potensi daerah dan mengoptimalisasi berbagai sumber daya yang dimiliki yang pada gilirannya dapat mendorong tercapainya kemampuan keuangan yang lebih baik. Dalam jurnal Bappenas (2003) yang membahas tentang peta kemampuan keuangan menyatakan bahwa:

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang luas oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Disadari bahwa sumber-sumber penerimaan antara satu daerah dengan daerah lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki.
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan Pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah adalah sebagai berikut : “Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Sutedi (2009) menyebutkan bahwa berbicara tentang otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan dari tiap-tiap daerah. Artinya, kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dari kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri. Sedangkan Munir et al (2004) menyebutkan kemampuan keuangan daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerahnya.
Menurut Halim dalam (Sutedi, 2009) menyebutkan ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber



keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan.
2. Ketergantungan pada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.
Menurut Musgrave (1991) dalam megukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah dapat dipergunakan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah. Semakin sedikit sumbangan dari pusat, semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah yang menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan derajat kemandirian daerah (mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah) dengan derajat desentralisasi fiskal (digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan) maka akan terlihat kemampuan keuangan daerah secara utuh. Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri maka akan menunjukkan kemampuan keuangan yang positif. Dalam hal ini, kemampuan keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandiran keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.
Adapun kemampuan keuangan daerah dicerminkan melalui formula anggaran daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran disusun dengan memperhatikan semua potensi daerah yang ada sehingga formulasi anggaran benar-benar mencerminkan kebutuhan obyektif daerah. (Chalid, 2005)

APBD memiliki posisi strategis bagi kemampuan keuangan pemerintah daerah, seperti halnya portofolio suatu perusahan yang mencerminkan performance kinerja perusahan. Oleh karena itu penyusunan arah dan kebijakan umum APBD merupakan bagian dari upaya pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam Renstrada (Rencana Strategi Daerah). (Kuntadi, 2002)
Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang turut dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dan banyak mengalami pemekaran daerah yang juga melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal. Pada awal Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal dilaksanakan yaitu 1 Januari 2001, Sumatera Utara hanya terdiri atas 13 (tiga belas) Kabupaten dan 6 (enam) Kota. Hingga tahun 2010, Sumatera Utara memiliki 25 (dua puluh lima) Kabupaten dan 8 (delapan) Kota (BPS Sumatera Utara). Semua daerah Kabupaten/Kota telah melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Untuk lebih jelasnya data perkembangan pemekaran daerah di Sumatera Utara dapat dilihat pada Lampiran 1.
Kreativias dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah itu sendiri. Di satu sisi, mobilisasi sumber daya keuangan untuk membiayai berbagai aktivitas daerah ini dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya. Seperti yang telah disebutkan pada uraian di atas, bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus didukung oleh kemampuan keuangan daerah. Kemampuan keuangan daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerahnya.


Otonomi daerah telah dilaksanakan kurang lebih selama sebelas tahun (2001-2011), yang mana dalam kurun waktu tersebut pastinya telah banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh masing-masing pemerintah daerah kabupaten/kota dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah dari sumber Pendapatan Asli Daerah. 
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi