BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penyelenggaraan
pemerintahan negara didasarkan pada Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang
menetapkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik, sehingga tujuan mencapai masyarakat yang adil dan makmur merupakan
kewajiban Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selanjutnya, dalam Pasal
18 Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen mengatur bahwa Negara
Indonesia terbagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi tersebut
dibagi atas Kabupaten/Kota, dan tiap-tiap Provinsi, Kabupaten/Kota tersebut
mempunyai Pemerintahan Daerah yang kewenangan dan tanggung jawab pemerintahan
dilaksanakan secara hirarkis dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Dengan
demikian, pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional yang dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan
sumber daya nasional. (Soekarwo, 2003)
Kualitas
kinerja lembaga dalam pemerintahan berkorelasi positif dengan daya dukung
pembiayaan yang ada. Dukungan sumber daya keuangan yang memadai mempengaruhi
optimalisasi kinerja lembaga pemerintahan dalam menjalankan tugas-tugasnya
melayani masyarakat. Dengan demikian, pelimpahan kewenangan pemerintahan dari
pusat ke daerah harus juga disertai dengan pelimpahan kewenangan pengelolaan keuangan
kepada pemerintah daerah supaya daerah memiliki kemandirian dalam membiayai
belanja pemerintahan dan
kegiatan pembangunan di daerah tanpa
tergantung kepada pusat. Oleh karena itu, desentralisasi pengelolaan keuangan
daerah oleh pemerintah daerah merupakan aspek terpenting bagi kerja
pemerintahan dan pembangunan. (Chalid, 2005)
Di Indonesia, dorongan desentralisasi telah melahirkan dua
Undang-Undang (UU), yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang telah direvisi menadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang telah
direvisi menjadi UU Nomor 33 Tahun 2004. Kedua undang-undang ini mengamanatkan
berbagai perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan
dan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Selain itu, kedua UU tersebut merupakan respon atas berbagai
aspirasi masyarakat dan daerah di Indonesia, yang sebenarnya telah cukup lama
menginginkan kemandirian dalam mengelola kewenangan dan tanggung jawabnya untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah. Hal ini
mengandung arti bahwa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
kepada daerah diberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan yang
secara nyata ada dan diperlukan, termasuk segala kewajiban yang ada di
dalamnya.
Tuntutan peningkatan PAD semakin besar seiring dengan semakin
banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai
pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah
dalam jumlah besar. Sementara, sejauh
ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah
dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif
memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri
dalam APBN, namun daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan PAD-nya untuk
meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan APBD-nya (Sidik,
2002). Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara
maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, bagi daerah-daerah
yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya
manausia maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat
lepasnya campur tangan pemerintah akan memberikan kesempatan yang lebih cepat
untuk meningkatkan kesejahteraannya (Adi, 2005). Akan tetapi bagi daerah yang
tidak memiliki potensi yang memadai, kebijakan tersebut sangat memberatkan.
Karena bagi daerah yang tidak mempunyai sumber dana yang melimpah akan kesulitan
dalam membiayai belanja mereka (Bappenas, 2003).
Adanya kewenangan yang lebih besar memberikan peluang kepada
daerah menggali berbagai potensi daerah dan mengoptimalisasi berbagai sumber
daya yang dimiliki yang pada gilirannya dapat mendorong tercapainya kemampuan
keuangan yang lebih baik. Dalam jurnal Bappenas (2003) yang membahas tentang
peta kemampuan keuangan menyatakan bahwa:
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan
yang luas oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung oleh sumber pembiayaan
yang memadai. Disadari bahwa sumber-sumber penerimaan antara satu daerah dengan
daerah lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang
dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup
kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam
menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang
dimiliki.
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam
penjelasan Pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentangPemerintahan Daerah adalah sebagai berikut : “Keuangan daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala
sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Sutedi (2009) menyebutkan bahwa berbicara tentang otonomi
daerah tidak dapat dilepaskan dari isu kapasitas keuangan dari tiap-tiap daerah.
Artinya, kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dari
kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri. Sedangkan Munir et
al (2004) menyebutkan kemampuan keuangan daerah pada dasarnya adalah
kemampuan dari pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan pendapatan asli
daerahnya.
Menurut Halim dalam (Sutedi, 2009) menyebutkan ciri utama
suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut
memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber
keuangan, mengelola dan menggunakan
keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan.
2. Ketergantungan pada bantuan pusat harus seminimal mungkin,
oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh
kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam
menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan
daerah.
Menurut Musgrave (1991) dalam megukur kinerja keuangan daerah
dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan
daerah. Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah dapat dipergunakan
derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal
dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah. Semakin sedikit sumbangan dari
pusat, semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah yang menunjukkan bahwa
daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan
dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan derajat kemandirian daerah (mengukur
seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan
daerah) dengan derajat desentralisasi fiskal (digunakan untuk melihat
kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara
keseluruhan) maka akan terlihat kemampuan keuangan daerah secara utuh. Secara
umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi
kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri maka akan menunjukkan
kemampuan keuangan yang positif. Dalam hal ini, kemampuan keuangan positif
dapat diartikan sebagai kemandiran keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan
daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.
Adapun kemampuan keuangan daerah dicerminkan melalui formula
anggaran daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran
disusun dengan memperhatikan semua potensi daerah yang ada sehingga formulasi
anggaran benar-benar mencerminkan kebutuhan obyektif daerah. (Chalid, 2005)
APBD memiliki posisi strategis bagi
kemampuan keuangan pemerintah daerah, seperti halnya portofolio suatu perusahan
yang mencerminkan performance kinerja perusahan. Oleh karena itu
penyusunan arah dan kebijakan umum APBD merupakan bagian dari upaya pencapaian
visi, misi, tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam Renstrada (Rencana
Strategi Daerah). (Kuntadi, 2002)
Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang turut dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah dan banyak mengalami pemekaran daerah yang juga
melaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal. Pada awal Otonomi Daerah dan
Desentralisasi Fiskal dilaksanakan yaitu 1 Januari 2001, Sumatera Utara hanya
terdiri atas 13 (tiga belas) Kabupaten dan 6 (enam) Kota. Hingga tahun 2010,
Sumatera Utara memiliki 25 (dua puluh lima) Kabupaten dan 8 (delapan) Kota (BPS
Sumatera Utara). Semua daerah Kabupaten/Kota telah melaksanakan otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal. Untuk lebih jelasnya data perkembangan pemekaran
daerah di Sumatera Utara dapat dilihat pada Lampiran 1.
Kreativias dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber
keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah
daerah itu sendiri. Di satu sisi, mobilisasi sumber daya keuangan untuk
membiayai berbagai aktivitas daerah ini dapat meningkatkan kinerja pemerintah
daerah dalam menjalankan fungsinya. Seperti yang telah disebutkan pada uraian
di atas, bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus didukung oleh kemampuan
keuangan daerah. Kemampuan keuangan daerah pada dasarnya adalah kemampuan dari
pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan pendapatan asli daerahnya.
Otonomi daerah telah dilaksanakan
kurang lebih selama sebelas tahun (2001-2011), yang mana dalam kurun waktu
tersebut pastinya telah banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh masing-masing
pemerintah daerah kabupaten/kota dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerah
dari sumber Pendapatan Asli Daerah.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi