BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Krisis
ekonomi yang telah melanda Tanah air kita selama hampir satu tahun yaitu tahun
1998 ditandai dengan terdepresiasinya nilai tukar rupiah dari Rp. 3000/US$
menjadi Rp. 10.538/US$. Selanjutnya krisis nilai tukar, krisis likuiditas, dan
krisis kepercayaan itu juga membawa dampak pada kinerja pasar modal. Anjloknya
nilai tukar mata uang lokal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan bagi
struktur ekonomi yang didominasi impor. Tingginya tingkat bunga menyebabkan
ekonomi kekurangan likuiditas yang akibatnya kegiatan dunia usaha menjadi
stagnan, sehingga berakibat meningkatnya jumlah pengangguran.
Gejolak
yang terjadi ini merupakan konsekuensi logis dari lepasnya keterkaitan sektor
moneter dengan sektor riil. Sektor moneter telah berkembang sedemikian cepatnya
melampaui batas-batas Negara, sedangkan sektor riil selalu tertinggal di
belakang karena production time requirement dari input menjadi output.
Uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar melainkan telah menjadi barang
komoditas, sebagai akibat adanya motif spekulasi dari pemegang uang.
Hal
ini berbeda dengan konsep yang mendasari sistem keuangan syariah yang
menganggap uang sebagai alat tukar. Sebagai alat tukar, uang tidak tidak
menghasilkan nilai tambah apapun kecuali apabila uang dikonversi menjadi barang
atau jasa. Dengan demikian, setiap transaksi keuangan didasari atau
dilatarbelakangi oleh transaksi sektor rill. Berdirinya pebankan dengan system
bagi hasil didasarkan pada dua alasan utama yaitu (1) adanya pandangan bahwa
bunga (interest) pada bank konvensional hukumnya haram karena termasuk
dalam
katagori riba yang dilarang dalam agama, bukan saja
dalam agama Islam tetapi oleh agama samawi lainnya, (2) dari aspek ekonomi,
penyerahan resiko usaha terhadap salah satu pihak dinilai melanggar norma
keadilan. Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan sebuah
karakteristik dari suatu perbankan syariah dan dasar bagi operasional bank
syariah secara keseluruhan. Secara syariah prinsip ini didasarkan pada kaidah al-mudharabah,
dengan hal ini bank syariah akan bertindak sebagai mitra antara orang yang
memiliki kelebihan dana dan orang yang kekurangan dana, dengan bank akan
bertindak sebagai pengelola dana (mudharib), sementara penabung akan
bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal). Antara keduanya diadakan
akad mudharabah, yang menyatakan pembagian keuntungan masing-masing
pihak yang terkait. Dalam jangka panjang sistem perbankan konvensioanl akan
menyebabkan penumpukan kekayaan pada segelintir orang yang memiliki modal besar
(Sjahdeini, S. Remmy, 1999).
Faktor
utama yang membedakan bank kovensioanl dengan bank syariah adalah suku bunga (interest)
sebagai balas jasa atas penyertaan modal yang diterapkan pada bank
konvensional, sementara pada bank syariah balas jasa atas penyertaan modal
diperhitungkan berdasarkan keuntungan atau kerugian yang diperoleh yang
didasarkan pada “akad”. Prinsip utama dari “akad” ini adalah keadilan antara
pemilik modal (shohibul maal) dan pengelola modal (mudharib).
Prinsip ini berlaku baik bagi debitur maupun kreditur.
Kelahiran
perbankan syariah di Indonesia didorong oleh keinginan masyarakat Indonesia
(terutama masyarakat Islam) yang berpandangan bunga merupakan riba, sehingga
dilarang oleh agama. Dari aspek hukum, yang mendasari perkembangan bank syariah
di Indonesia adalah UU No. 7 Tahun
1992. Dalam undang-undang tersebut prinsip syariah
masih samar, yang dinyatakan sebagai prinsip bagi hasil. Prinsip perbankan
syariah secara tegas dinyatakan dalm UU No. 10 Tahun 1998, yang kemudian
diperbaharui dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan UU No. 3
Tahun 2004. Dengan demikian, perkembangan lembaga keuangan yang menggunakan
prinsip syariah dimulai pada tahun 1992, yang diawali dengan berdirinya Bank
Muamalat (BMI) sebagai bank yang menggunakan prinsip syariah pertama di
Indonesia. Bank syariah adalah salah satu alternatif bank yang dianggap aman
oleh masyarakat untuk menyimpan dananya. Hal itu ditunjukkan dengan hasil
survey Bank Indonesia. Hasil survey di daerah-daerah menggambarkan 1/3 dari 180
juta umat Islam tidak mau menabung di bank konvensional. Dengan perincian 60
juta orang tidak mempermasalahkan, 60 juta orang ragu-ragu, 60 juta orang tidak
mau sama sekali. (media Indonesia, 29 Juli1999).
Kota
Lhokseumawe merupakan bagian sebelah Utara dari propinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD) memiliki luas wilayah 253,87 Km2 dan memiliki 153.147 jiwa sangat
strategis dan berpotensi untuk pengembangan bisnis perbankan khususnya
perbankan syariah. Perkembanagn perbankan syariah di Kota Lhokseumawe baru
muncul pada tahun 2007, keterlambatan perkembangan perbankan syariah di Kota
Lhokseumawe disebabkan terjadinya konflik politik yang terjadi sehingga
mengakibatkan kondisi aktivitas perekonomian khususnya perbankan secara umum
tidak kondusif. Pasca konflik Perkembangan perbankan syariah terjadi di Kota
Lhokseumwe dengan baik, dimana sejak tahun 2007 perbankan syariah mulai tumbuh
di Kota Lhokseumawe perkembangan
perbankan syariah semakin semarak hingga sekarang
tahun 2011 jumlah perbankan syariah di Kota Lhokseumawe sudah terdapat 6 (enam)
bank syariah.
Basri
(2003) dan Rahmansyah (2002) menyatakan menabung di bank syariah karena
menjalankan syariah dan sunnatullah maka memperoleh bagi hasil lebih
menguintungkan dibanding bank konvensional dan yang namanya bunga bank sudah
jelas haram. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan masyarakat untuk menabung
dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari prilaku konsumen yang mempengaruhi
sikap dalam diri individual sampai kepada nilai-nilai yang diberikan pihak bank
kepada nasabahnya, seperti faktor ekonomi yaitu keuntungan, efisiensi
pelayanan, pendapatan konsumen, kredibilitas dan kesan yang mempengaruhi
masyarakat untuk menyimpan dananya di bank syariah.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Minat Menabung di Perbankan Syariah Kota Lhokseumawe.
1.2.
Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, maka perumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar dalam
penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana perkembangan perbankan syariah di Kota Lhokseumawe di tinjau dari
jumlah nasabah, jumlah simpanan dan jumlah pinjaman?
2. Faktor-faktor apakah yang mendorong keputusan
masyarakat menabung di Bank Syariah di Kota Lhokseumawe?
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan perbankan Syariah di Kota Lhokseumawe.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang apa yang
mendorong keputusan masyarakat menabung di perbankan Syariah di Kota
Lhokseumawe. 1.4. Manfaat Penelitian
Adapun
manfaat penelitian yang penulis harapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.
Bagi perusahaan, memberikan informasi bagi perbankan Syariah di Kota
Lhokseumawe di dalam pengambilan keputusan pemasaran untuk meningkatkan jumlah
nasabah.
2.
Bagi peneliti, untuk dapat mengaplikasikan antara teori yang diperoleh dalam
perkuliahan dan membandingkannya dengan kondisi rill di dunia usaha sehingga
melatih kemampuan menganilisis dengan sistematis.
3.
Bagi pihak lain, dapat menjadi rujukan bagi peneliti lain yang menfokuskan
studi penelitian pada bidang yang sama dengan penulis.
4. Bagi akademisi, sebagai informasi dan masukan untuk
lembaga akademis sehingga dapat dijadikan bahan referensi untuk menambah
khazanah ilmu pengetahuan.
1.5.
Batasan Penelitian
Untuk
menghindari meluasnya rumusan masalah, penelitian hanya dilakukan dengan
membatasi faktor-faktor yang mendorong keputusan masyarakat untuk menabung di
perbankan Syariah di Kota Lhokseumawe yaitu sebatas variabel:
1.
Pelayanan
2.
Bagi hasil
3.
Keyakinan
4. Lokasi
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi