BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan
Nasional bangsa di Indonesia senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat
fisik materil dan mental spiritual, antara lain melalui pembangunan di bidang
agama yang mencakup terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan
dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan akhlak yang mulia,
terwujudnya kerukunan hidup umat beragama yang dinamai sebagai landasan
persatuan dan kesatuan bangsa, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan Nasional (Kartika,2007).
Zakat, sebagai Rukun
Islam merupakan kewajiban setiap muslim yang mampu untuk membayarnya dan
diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik
zakat merupakan sumber dana potensial yang dimanfaatkan untuk memajukan
kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat. Secara sosiologi zakat adalah
refleksi dari rasa kemanusiaan, keadilan, keimanan, serta ketaqwaan yang
mendalam yang harus muncul dalam sikap orang kaya. Zakat adalah ibadah maaliyyah
ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan menentukan
baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan
umat. Sebagai suatu ibadah pokok zakat termasuk salah satu Rukun Islam yang
ketiga, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai hadist nabi, sehingga
keberadaannya dianggap sebagai ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau
diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian
mutlak dari keislaman seseorang. Di dalam AL-Qur’an terdapat dua puluh tujuh
ayat yang menyejajarkan kewajiban shalat dan kewajiban zakat dalam berbagai
bentuk kata (Kartika,2007).
Zakat sangat erat
kaitannya dengan masalah bidang sosial dan ekonomi dimana zakat mengikis sifat
ketamakan dan keserakahan. Masalah bidang sosial dimana zakat bertindak sebagai
alat yang diberikan Islam untuk menghapuskan kemiskinan dari masyarakat dengan
menyadarkan seseorang yang memiliki harta yang berlimpah akan tanggung jawab
sosial yang mereka miliki, sedangkan dalam bidang ekonomi zakat mencegah
penumpukan kekayaan dalam tangan seseorang.
Zakat sangat
berpengaruh dalam mewujudkan keseimbangan ekonomi. Zakat di ambil secara
vertikal jika telah mencapai nisab, yaitu sebagai ketetapan dengan batasan
minimal wajibnya zakat dikeluarkan. Begitu juga dengan ukuran barang yang wajib
dikeluarkan pada barang yang wajib dikeluarkan zakat. Kelebihan harta yang
dimiliki dikeluarkan sesuai ketetapan yang ditentukan oleh para ahli fiqih.
Sedangkan pembagian zakat dilakukan secara horizontal atau merata kepada kelompok
yang berhak menerima zakat, yaitu delapan kelompok yang disebutkan diayat zakat
(Asnaini, 2008).
Kebanyakan ahli tafsir
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan zakat dalam ayat adalah zakat maal atau
kekayaan meskipun ayat itu turun di Makkah.
Padahal, Zakat itu
sendiri diwajibkan di Madinah pada tahun ke-2 Hijriah. Fakta ini menunjukkan
bahwa kewajiban zakat pertama kali diturunkan saat Nabi SAW menetap di Makkah,
sedangkan ketentuan nisabnya mulai ditetapkan setelah Beliau hijrah ke Madinah.
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW menerima wahyu
berikut ini, ”Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat”. Dan apa-apa yang
kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya
disisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan” (QS
Al-Baqarah: 110).
Disahkannya
Undang-Undang (UU) No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat di Indonesia
pantas disyukuri. Undang-Undang ini banyak memberikan implikasi positif
perzakatan di Indonesia. Undang-Undang pengelolaan zakat secara yuridis
menetapkan adanya proses pengesahan dua lembaga pengelola zakat yakni lembaga
dibentuk pemerintah disebut Badan Amil Zakat (BAZ) dan lembaga dibentuk oleh
masyarakat dikukuhkan pemerintah disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dalam
perkembangannya terus dirasakan banyak kelemahan. Undang-Undang zakat dipandang
tidak mampu lagi memenuhi tuntutan zaman terutama dalam penggalian potensi
harta zakat yang begitu besar. Banyak kalangan menginginkan seharusnya
pengelolaan zakat menjadi bagian aktivitas negara otoritas kelembagaan
pengelolaan zakat Negara sebagai regulator, pengawas dan operator sebagaimana
halnya pajak. Banyak pula kalangan menginginkan pengelolaan zakat di urus pihak
swasta lebih akuntabilitas dan dipercayai masyarakat (Zulfahmi, 2007).
Peran pemerintah
(regulator, operator, pengawas) dalam mengurus zakat justru dirasakan sebagai
kebutuhan hukum dalam masyarakat. Paling tidak ada berbagai pertimbangan logis
dan realistis pentingnya negara mengintervensi dalam pengelolaan zakat. Zakat
membawa kekuatan imperatif pemungutannya dapat dipaksakan (Qs. at-Taubah; 9
dan 103). Negara yang mempunyai otoritas untuk
melakukan pemaksaaan seperti halnya pajak, karena negara mempunyai kekuatan
dengan perangkat pemerintahannya, dan didukung regulasi yang mengikat dana
zakat akan mudah terkumpulkan, kemudian dapat menjadi bagian pendapatan negara
seperti halnya pajak. Besarnya jumlah potensi harta zakat yang belum
tergali secara maksimal mengharuskan menjadi perhatian. Berdasarkan informasi
Kementerian Agama Kantor Wilayah Provinsi Sumatera Utara menyampaikan potensi
zakat Indonesia saat ini berkisar Rp. 19 trilyun per tahun.
Sedangkan penerimaan
zakat harta dan zakat fitrah secara nasional pada tahun 2009 baru mencapai Rp.
1,2 trilyun. Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari
masyarakat jauh dari potensi yang sebenarnya. Potensi yang besar itu akan dapat
dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan oleh negara melalui
departemen teknis pelaksana. Jumlah penduduk miskin/penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan di Indonesia pada bulan Maret 2009 sebesar Rp. 32,53
juta atau 14,15%. Berdasarkan data dari Kementerian Pemda dari keseluruhan
kab/kota termasuk daerah tertinggal masih ada sekitar 183 kab/kota dalam
kategori daerah tertinggal. Pengentasan kemiskinan ataupun program kesejahteraan
umat tidak cukup dilakukan dengan program APBN/APBD. Potensi dana zakat yang
cukup besar tersebut sebuah alternatif untuk itu dan akan turut membantu
pencapaian sasaran pembangunan nasional. Keadilan menjadi bagian prinsip dasar
kenegaraan. Persoalan keadilan dan kesejahteraan umum adalah persoalan
struktural yang tidak mungkin terjangkau secara merata tanpa melibatkan negara
(indirect giving), Pengelolaan zakat oleh negara, dapat membangun
jaringan kerja (net working) lebih terarah, semakin mudah berkoordinasi,
komunikasi dan informasi dengan unit pengumpul zakat (LAZ), sehingga
pengentasan kemiskinan semakin terarah, tepat guna dan tidak overlapping dalam
penyaluran dana zakat, kepastian dan mendisipilinkan muzakki membayar zakat ke
lembaga semakin terjamin, sekaligus terbangun konsistensi lembaga pengelola
zakat bisa terjaga terus menerus karena sudah ada sistem yang mengatur.
Pengelolaan zakat yang dilakukan negara dapat bersinergi dengan semangat
Otonomi Daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.
Dana zakat yang
terkumpul dari daerah didistribusikan kembali kepada daerahnya masing-masing.
Salah satu rancangan undang-undang yang masuk dalam Prolegnas 2010 dan kini
sedang intensif dibahas adalah RUU Pengelolaan zakat, yang merupakan amendemen
terhadap Undang-Undang No. 38 Tahun 1999.
Dalam konteks
masyarakat madani Indonesia yang demokratis, RUU Zakat akan mengukuhkan peran
negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang menjadi pembayar zakat
(muzakki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat,
memfasilitasi sektor amal untuk perubahan sosial, dan memberi insentif bagi
perkembangan sektor amal (Juwaini, 2009).
Di bawah rezim UU No.
38/1999, dunia Zakat Nasional berjalan tanpa tata kelola yang memadai. Hal ini
secara jelas rawan memunculkan penyimpangan dana zakat masyarakat oleh
pengelola yang tidak amanah. Kebangkitan dunia zakat nasional ditangan
masyarakat sipil era 1990-an, yang telah mentransformasikan zakat dari ranah
amal-sosial individual ke ranah ekonomi pembangunan keumatan yang terancam.
Perkembangan dunia zakat nasional juga berjalan lambat karena tidak ada upaya
koordinasi dan sinergi antara organisasi pengelola
zakat yang berjalan dengan agenda masing-masing. Hasilnya, kinerja dunia zakat
nasional, khususnya dalam pengentasan masyarakat dari kemiskinan, terasa jauh
dari optimal. Maka, agenda terbesar dunia zakat nasional saat ini adalah
mendorong tata kelola yang baik dengan mendirikan otoritas zakat yang kuat dan
kredibel, yang akan memiliki kewenangan regulasi dan pengawasan ditiga aspek
utama, yaitu kepatuhan syariah, transparansi dan akuntabilitas keuangan, serta
efektivitas ekonomi dari pendayagunaan dana zakat. Badan Zakat Indonesia
dibentuk di tingkat pusat dan dapat membuka perwakilan di tingkat provinsi jika
dibutuhkan. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak
ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh
sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat justru meningkat setelah
dikelola oleh masyarakat sipil. Kegiatan operasional organisasi nirlaba yang
transparan dan akuntabel lebih disukai dan menumbuhkan kepercayaan muzakki.
Kepercayaan ini menjadi kata kunci. Kepercayaan masyarakat inilah yang dibangun
melalui tata kelola yang baik, yaitu operator zakat (OPZ) mendapat regulasi dan
pengawasan yang memadai dari otoritas zakat (BZI). Di bawah rezim UU No.
38/1999, jumlah OPZ melonjak sangat pesat. Hal ini secara jelas mengindikasikan
inefisiensi dunia zakat nasional dalam kaitan dengan penghimpunan dana zakat
yang relatif masih kecil. Hingga kini setidaknya terdapat BAZNAS dan 18 LAZ
nasional, 33 BAZ provinsi, dan 429 BAZ kabupaten/kota, belum termasuk 4.771 BAZ
kecamatan, ribuan LAZ provinsi, kabupaten, kota dan puluhan ribu amil
tradisional berbasis masjid serta pesantren, pengelolaan zakat nasional menjadi
tidak efisien. Terdapat beberapa keuntungan bagi
pemerintah bila melakukan pola pendayagunaan dana pengentasan masyarakat miskin
melalui kemitraan dengan OPZ. Yakni, meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas program pengentasan masyarakat miskin, menurunkan tingkat
penyalahgunaan dana pengentasan masyarakat miskin dan meningkatkan
efektivitasnya (Choir, 2010).
Dalam perspektif
Nasional, Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat diharapkan tidak hanya
terpaku pada memikirkan kebutuhan sendiri, melainkan juga mau terlibat dan
melibatkan diri untuk memberi kepedulian terhadap warga masyarakat guna
mengatasi kemiskinan dan kemelaratan. Dengan demikian, kehadiran Badan Amil
Zakat disamping bersifat keagamaan, juga ditempatkan dalam konteks cita-cita
bangsa, yaitu membangun masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Oleh
karena itu peningkatan daya guna Badan Amil Zakat, khususnya dalam melakukan
pembangunan ekonomi masyarakat mesti dilakukan.
Sementara itu, terjadi
perkembangan yang menarik di Indonesia bahwa pengelolaan zakat, kini memasuki
era baru. Yang menyiratkan tentang perlunya BAZ dan LAZ meningkatkan kinerja sehingga
menjadi amil zakat yang profesional, amanah, terpercaya dan memiliki program
kerja yang jelas dan terencana, sehingga mampu mengelola zakat, baik
pengambilannya maupun pendistribusiannya dengan terarah yang kesemuanya itu
dapat meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan para mustahik.
Dimana penulis sangat
tertarik ingin meneliti lebih jauh tentang masyarakat yang menyalurkan
zakatnya, khusus nya yang menggunakan lembaga Badan Amil Zakat. Oleh karena itu
peneliti mengambil penelitian yang berjudul: “Analisis
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Menggunakan Jasa Bazis Dalam
Penyaluran Zakatnya Di Kota Medan “.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan
latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang dapat diambil sebagai dasar
dalam penelitian ini adalah : 1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi
keputusan masyarakat untuk menggunakan jasa Badan amil zakat daerah Sumatera
Utara? 2. Faktor manakah yang paling berpengaruh terhadap keputusan masyarakat untuk
menggunakan jasa Badan amil zakat daerah Sumatera Utara?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai
dengan pokok permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat untuk menggunakan jasa
Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui
seberapa besar minat masyarakat untuk menggunakan jasa bazda di kota Medan.
Manfaat
dari penelitian ini yaitu :
1. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu
pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi , terutama bagi mahasiswa departemen
Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
2. Sebagai masukan yang
bermanfaat bagi masyarakat maupun lembaga pengelola zakat.
3. Menambah sumbangan
pengetahuan ilmu zakat khususnya.
4. Sebagai salah satu
syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan jejang sarjana.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi