BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pembangunan
ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya
mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara
pemerintah daerah dengan sector swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja
baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam
wilayah tersebut (Mudrajat, 2004:120). Tolak ukur dari keberhasilan pembangunan
daerah dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, stuktur ekonomi dan dan semakin
kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sector.
Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial
tidak selalu merata. Kesenjangan antar daerah seringkali menjadi permasalahan
serius. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan ekonomi yang cepat, sementara
beberapa daerah mencapai pertumbuhan yang lambat. Pertumbuhan ekonomi yang
cepat dan tinggi adalah dambaan setiap daerah. Dengan tercapainya pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan berarti akan secara langsung
dapat mengurangi kemiskinan. Salah satu indikasi dari kemajuan perekonomian
suatu negara atau daerah adalah melalui pencapaian tingkat Produk Domestic
Bruto ( PDB ) atau Produk Domestic Regional Bruto ( PDRB ), dimana PDRB di
defenisikan sebagai angka yang secara agregatif menunjukkan kemampuan suatu
daerah dalam menghasilkan pendapatan atau balas jasa kepada factor-faktor
produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi dalam daerah tersebut.
(BPS, 1992:3 ).
Sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, pada
hakekatnya pembangunan daerah merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan
daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dalam melaksanakan
pemerintahan dan memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat.
Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam melaksanakan
pembangunan daerah yaitu pendekatan sentralis dan pendekatan desentralisasi.
Dimana pendekatan sentralisasi mengandung arti pelaksanaan pembangunan daerah
sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan dilaksanakan oleh para pemerintah
pusat. Sedangkan pendekatan Desentralisasi adalah pembangunan daerah yang sebagian
besar merupakan wewenang daerah dan dilaksanakan sendiri oleh daerah atau
pemerintah daerah secara otonom, dimana pembangunan daerah melalui
desentralisasi atau otonomi daerah memberi peluang dan kesempatan bagi
terwujudnya pemerintah yang bersih dan baik. Dan pembangunan daerah melalui
desentralisasi juga mendorong pemberdayaan masyarakat local (setempat) sehingga
memungkinkan masyarakat local untuk dapat menikmati kualitas kehidupan yang
lebih baik, maju, tenteram dan sekaligus memperluas pilihan-pilihan yang dapat
dilakukan masyarakat.
Dengan demikian maka desentralisasi atau otonomi daerah
adalah strategi yang cepat dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan daerah
sesuai dengan perkembangan dan kondisi Indonesia saat ini. Otonomi daerah atau
desentralisasi merupakan dua hal yang saling melengkapi dan multidimensi.
Otonomi daerah biasanya diikuti dengan kebijakan desentralisasi fiscal
sebagai instrument di dalam mendukung daerah dalam pelayanan public dengan
transfer dana ke daerah.
Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 januari
2001 melalui UU no. 22 tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 walaupun ada
sebagian kecil daerah yang sudah melaksanakanya pada tahun 2000, berbagai
kebijakan menyangkut keuangan daerah dan APBD mengalami perubahan. Dalam hal
sumber pendapatan daerah misalnya sebelum otonomi daerah digulirkan sumber
pendapatan daerah relative terbatas yakni hanya mengandalkan Penadapatan Asli
Daerah ( PAD ) dan relative sedikit dana dari bantuan pusat.
Seperti telah disebutkan bahwa lahirnya kebijakan dana
perimbangan merupakan konsekuensi dari strategi desentralisasi fiskal. Namun
dalam proses implementasi desentralisasi fiskal belum menjadi salah satu faktor
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, jika Pemda tidak siap dalam mengelola
dan memanfaatkan keuangan daerah secara efektif dan efisien untuk peningkatan kesejahteraan
rakyat. Persoalan yang dihadapi Pemda di era otonomi daerah tidak hanya
berkutat pada persoalan pendapatan asli daerah ( PAD ), dana perimbangan, khususnya
Dana Alokasi Khusus ( DAU ), pajak daerah, dan retribusi daerah dan sebagainya,
namun lebih dari itu sesuai dengan konsep otonomi daerah yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab. Persoalan-persoalan seperti ini merupakan hal yang dapat
muncul dalam proses pelaksanaan otonomi daerah khususnya dalam desentralisasi
fiscal yang juga mampu memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
Pengelolaan pemerintah daerah, baik
ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan
dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang
mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam
perkembangannya kebijakan ini diperbaharui dengan dikeluarkannya UU No. 32
tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004. Kedua UU ini mengatur tentang Pemerintahan
Daerah dan Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kebijakan ini merupakan tantangan dan
peluang bagi pemerintah daerah (pemda) dikarenakan pemda memiliki kewenangan
lebih besar untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan
efektif.
Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan
kemandirian daerah.
Pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar
aspirasi masyarakat (UU No. 32 tahun 2004). Inti hakekat otonomi adalah adanya kewenangan
daerah, bukan pendelegasian (Saragih, 2003).
Sebelum dikeluarkan UU otonomi daerah tahun 1999, sumber
keuangan daerah baik Provinsi, Kabupaten maupun Kotamadya menurut UU no. 5
tahun 1974 adalah sebagai berikut: 1. Penerimaan Asli Daerah ( PAD ) 2. Bagi
Hasil pajak dan non pajak 3. Bantuan Pusat ( APBN ) untuk daerah tingkat I dan
tingkat II 4. Pinjaman Daerah 5. Sisa lebih anggaran tahun lalu 6.
Lain-lain penerimaan daerah yanng sah Sedangkan sesuai dengan pasal 79 UU nomor
22 tahun 1999 dan pasal 3, 4, 5 dan pasal 6 UU nomor 25 tahun 1999, sumber
pendapatan daerah terdiri dari : 1. Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari:
pajak daerah, retribusi daerah, bagian pemda dari hasil keuntungan perusahaan
milik daerah ( BUMD ), hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan.
2. Dana perimbangan yang terdiri daerah dana bagi hasil,
DAU, DAK.
3. Pinjaman Daerah.
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Menurut UU no. 33 tahun 2004 menyatakan bahwa sumber
penerimaan daaerah adalah sebagai berikut: 1. Penerimaan daerah dalam
pelaksanaan dsentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan.
2. Pendapatan daerah sebagaimana dimadsud di atas bersumber
dari: Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari Pajak daerah, Retribusi daerah, Hasil
pengelolaan daerah yang dipisahkan, lainlain pendapatan daerah yang sah.
Dana Perimbangan yang terdiri dari Bagi
hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus.
Lain-lain pendapatan.
3. Pembiayaan sebagaimana dimadsud
diatas bersumber dari: Sisa lebih perhitungan anggaran daerah.
Penerimaan pinjaman daerah.
Dana cadangan daerah.
Hasil penjualan daerah yang dipisahkan Dari
tahun ke tahun kebijakan mengenai pendapatan aslli daerah ( PAD ) setiap daerah
provinsi, kabupaten, kota relatif tidak banyak berubah. Setelah desentralisasi
fiskal digulirkan oleh pemerintah pusat, maka pemerintah daerah berlomba-lomba
menciptakan kreatifitas baru untuk meningkatkan jumlah PAD masing-masing
daerah, karena PAD merupakan salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan
pemerintah dan pembangunan yang berdaya guna serta upaya yang sungguh-sungguh
dari pemda untuk meminimalkan ketergantungan kepada pusat.
Sebaliknya jika PAD justru berdampak terhadap perekonomian
daerah yang tidak berkembang atau semakin buruk maka belum dapat dikatakan
bahwa peningkatan PAD merupakan andalan utama daerah untuk mendukung
penyelenggaraan pemerintahan dan pembiayaan pembangunan namun nilai dan peran
PAD selama ini masih relatif, PAD banyak tergantung kepada besar kecilnya nilai
investasi di suatu daerah.
Umumnya daerah yang dengan intensitas kegiatan ekonomi yang
tinggi, dengan peningkatan nilai investasi yang tinggi setiap tahun akan
memberikan kontribusi cukup besar terhadap pajak atau PDRB. Jika dibandingkan
dengan daerah perkotaan dengan kabupaten, maka kegiatan perekonomian jauh
lebih berkembang di kota dibandingkan dengan daerah kabupaten oleh sebab itu,
PAD daerah perkotaan cenderung lebih besar dari pada PAD daerah kabupaten.
Seperti diketahui sebagian besar daerah Indonesia merupakan kabupaten dan wajar
apabila sebagian besar Kabupaten di Indonesia berupaya untuk meningkatkan
PAD-nya agar tidak jauh berbeda dengan daerah perkotaan. Namun daerah Kabupaten
dengan potensi SDA yang cukup besar cenderung mampu untuk meningkatkan PAD nya.
Kabupaten Dairi merupakan salah satu Kabupaten yang ada di
Sumut yang perekonomianya lebih didukung oleh sektor pertanian.Berdasarkan PDRB
tahun dasar 2000, struktur perekonomian Dairi tidak mengalami perubahan yang
mendasar dengan dominasi yang mendasar dari sektor pertanian.Tahun 2000 peranan
sektor pertanian sebesar 72,76 % dari tahun ke tahun cenderunng menurun dimana
hingga pada tahun 2005 menurun menjadi 67,81 % dimana kontribusi terbesar
sektor pertanian diberikan oleh subsektor tanaman bahan makanan utamanya
tanaman padi dan palawija yang menjadi komoditi unggulan Dairi.
Pertumbuhan ekonomi Kab Dairi pada tahun 2005 yang
ditunjukkan oleh PDRB atas dasar harga konstan 2000 menunjukkan adanya
penurunan yaitu sekitar 5,83 %, tahun 2004 dan menjadi 5,34 % pada tahun 2005.
Pertumbuhan tersebut didukung oleh hampir semua sektor perekonomian Kab Dairi.
Sedangkan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) Kabupaten Dairi pada tahun 2004 adalah
sebesar Rp 4.489.018.000 mengalami peningkatan jika dilihat dari tahun 2003
yang jumlahnya sebesar Rp. 3.365.644.349, tetapi bila dibandingkan dengan tahun
2002 mengalami penurunan dimana jumlahnya sebesar Rp. 4.995.021.985. Untuk
melihat hubungan antara PDRB Kab. Dairi dengan Pendapatan Asli Daerah ( PAD ),
maka penulis tertarik untuk membuat penelitian ini dengan judul”Analisis
Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten Dairi”.
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut yaitu : 1. Bagaimana pengaruh Pajak daerah
terhadap Produk Domestik Regional Bruto.
2. Bagaimana pengaruh Retribusi daerah terhadap Produk
Domestik Regional Bruto.
3. Bagaimana pengaruh Hasil perusahaan milik daerah (laba
BUMD) terhadap Produk Domestik Regional Bruto.
4. Bagaimana pengaruh Lain-lain penerimaan daerah yang sah
terhadap Produk Domestik Regional Bruto.
C.HIPOTESA Hipotesa merupakan jawaban sementara
dari permasalahan yang menjadi objek penelitian, maka tingkat kebenaranya masih
perlu diuji. Berdasarkan permasalahan diatas maka hipotesa yang diajukan dalam
penelitian ini adalah antara PAD dengan PDRB terdapat pengaruh yang
positif. Jika PAD meningkat maka PDRB juga akan meningkat demikian juga
sebaliknya, Ceteris Paribus.
D. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui hubungan antara PAD dan PDRB di Kabupaten Dairi.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh PAD terhadap
PDRB Kabupaten Dairi.
E. MANFAAT PENELITIAN.
Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Untuk menambah
pengetahuan penulis khususnya dalam bidang ini.
2. Untuk menambah dan melengkapi sekaligus sebagai
pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada menyangkut topic yang sama.
3. Sebagai referensi dan informasi bagi
penelitian-penelitian selanjutnya.
4. Sebagai salah satu bahan pertimbangan bagi pemerintah
Kabupaten Dairi dalam mengambil kebijaksanaan khususnya tentang komponen PAD.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi