BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sejarah
perekonomian mencatat desentralisasi telah muncul ke permukaan sebagai paradigma
baru dalam kebijakan dan administrasi pembangunan sejak dasawarsa 1970-an. Ide
desentralisasi ini tidak hanya didorong untuk mengurangi kekuasaan sentralitas
pusat, namun juga oleh adanya tuntutan dari daerah-daerah yang mempunyai
variasi sifat, potensi, identitas, dan kelokalan yang berbeda-beda untuk
memperoleh kewenangan yang lebih besar. Makna desentralisasi kekuasaan ini
tidak hanya berkisar pada adanya
kewenangan untuk melakukan pemerintahannya
sendiri namun telah bergeser kepada dorongan untuk memperoleh perlakuan yang
lebih adil dan baik dari Pemerintahan Pusat. Kenyataannya, di masa Orde Baru,
pemerintah menerapkan sistem sentralisasi pemerintahan. Sehingga surplus
produksi daerah yang kaya dan sumber alam ditarik dan dibagi-bagi untuk kepentingan
pusat bukan diinvestasikan untuk pembangunan daerah tersebut. Daerah pusat
menikmati kekayaan daerah sementara daerah sangat lamban berkembang. Akibatnya,
terjadi ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat.
Setelah
tahun 1998 dan keluarnya Undang-undang Otonomi daerah, beberapa daerah ingin
memisahkan diri dari pemerintahan Republik Indonesia seperti Aceh, Papua, Riau,
dan Timor Timur. Selain itu muncul banyak aspirasi dan tuntutan daerah yang
ingin membentuk provinsi atau kabupaten baru. Dalam upaya pembentukan provinsi
dan kabupaten baru, terjadi tarik-menarik antara kelompok yang pro dan yang
kontra. Akibatnya, rencana pemekaran wilayah, berkaitan dengan pelaksanaan
otonomi daerah, meningkatkan suhu politik lokal seperti yang terjadi di beberapa
daerah. Suhu politik lokal yang memanas di berbagai tempat tercermin pada
mencuatnya saling ancam diantara kelompok-kelompok itu, baik pihak yang pro dan
yang kontra terhadap pembentukan
provinsi
dan kabupaten baru, pemblokiran tempat-tempat strategis, mobilisasi massa atau
penggalangan sentimen-sentimen kesukuan sampai ancaman pembunuhan (Pradjarta,
2004).
Gagasan
otonomi daerah memiliki kaitan sangat erat dengan demokratisasi kehidupan
politik dan pemerintahan di tingkat lokal. Pada dasarnya, agar demokrasi dapat
terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya sebagai suatu sistem negara kesatuan. Wilayah negara
yang terbagi ke provinsi, dan provinsi terbagi dalam kabupaten/kota, yang
kemudian dibagi wilayah kecamatan adalah satu totalitas.
Selanjutnya,
pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 tentang pemerintahan daerah oleh Presiden Republik Indonesia. Sejak
saat itu pula keinginan masyarakat di daerah untuk melakukan pemekaran
meningkat tajam. Dimana sejak tahun 1999 hingga Desember 2009 telah terbentuk
sebanyak 215 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 173 kabupaten dan
35 kota. Dengan demikian, total daerah otonom di Indonesia adalah 33 provinsi,
398 kabupaten dan 93 kota. Data pemekaran tersebut diklasifikasikan pada 3
(tiga) fase yaitu :
-
Fase berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, dimekarkan 11 (sebelas)
kabupaten/kota (masa 1974-1998).
-
Fase berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 (1999-2003), telah dibentuk
149 (seratus empat puluh sembilan) daerah otonom baru, terdiri dari 7 (tujuh)
provinsi baru, dan 142 kabupaten/kota baru.
-
Fase berlakunya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, telah dibentuk 53 (lima
puluh tiga) kabupaten/kota baru (hingga akhir desember 2009)
(sumber
: org/wiki/pem.daerah di Indonesia).
Upaya
pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat
pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan
publik bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya
untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang
kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah
dan pengelolaan pembangunan.
Bangsa
Indonesia melakukan reformasi tata pemerintahan semenjak diberlakukannya
Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Sejak saat itu
berbagai pemikiran inovatif dan uji coba terus dilakukan sebagai upaya untuk
menyempurnakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam rangka peningkatan
pelayanan publik dan penanggulangan kemiskinan secara efektif. Pemekaran
wilayah merupakan implikasi berlakunya paket Undang-undang otonomi tahun 1999
yang telah direvisi menjadi Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah.
Salah
satu implikasi dari perubahan paradigma penyelenggaraan pembangunan tersebut,
daerah yang merasa diperlakukan kurang “adil” yang tercermin dari distribusi
pendapatan dan tingkat pengembalian kekayaan yang dimiliki ke wilayah
daerahnya, berusaha untuk mengembangkan daerah baru dan memisahkan diri dari
induknya. Sudah barang tentu, implikasi dari terjadinya pemekaran daerah
tersebut dirasakan dalam semua dimensi kehidupan penyelenggaraan pembangunan,
karena potensi yang dimiliki oleh kedua daerah hasil pemekaran tersebut tidak
homogen. Adakalanya, pemekaran wilayah menyebabkan kegiatan pembangunan
didaerah lama menurun drastis kegiatan ekonominya, karena sebagian besar
potensi daerah kebetulan berada pada daerah pemekaran baru (www.geocities.com).
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam
rencana dan usulan pemekaran wilayah yakni syarat administratif, teknis
dan
kewilayahan. Secara administratif antara lain adalah persetujuan dari DPRD,
Bupati/Walikota dan Gubernur serta Rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Sementara
syarat teknis antara lain ialah kemampuan ekonomi, sosial budaya, sosial
politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, dan keamanan. Sedangkan
persyaratan kewilayahan antara lain ialah minimal 4 (empat) kecamatan untuk
pembentukan kabupaten/kota, dan minimal 5 (lima) kabupaten/kota untuk
pembentukan provinsi, serta didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana
pemerintahan.
Pembangunan
pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika
kesejahteraan masyarakat merupakan sasaran utama pembangunan daerah maka
tekanan utama pembangunan akan lebih banyak diarahkan pada peningkatan kualitas
sumber daya manusia dalam bentuk pengembangan pendidikan, peningkatan pelayanan
kesehatan masyarakat, dan peningkatan penerapan teknologi tepat guna. Disamping
itu, perhatian juga lebih diarahkan untuk meningkatkan kegiatan produksi
masyarakat setempat dalam bentuk pengembangan kegiatan pertanian yang meliputi
tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, serta kegiatan ekonomi
kerakyatan lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut berbagai strategi dan
kebijakan dilaksanakan (www.geocities.com).
Dengan
bergulirnya reformasi politik sebagai dampak dari krisis moneter yang muncul
pada pertengahan tahun 1997, tuntutan terhadap pemekaran di lingkungan propinsi
Sumatera Utara juga demikian marak sebagaimana propinsi-propinsi lain di
Indonesia. Tuntutan-tuntutan pemekaran yang dilakukan masyarakat ternyata
membuahkan pemekaran yang relatif pesat. Sampai dengan tahun 2009, proses
pemekaran wilayah kabupaten di Sumatera utara telah membuahkan peningkatan
jumlah kabupaten dan kota menjadi 33 buah yang terdiri dari 26 kabupaten dan 7
kota. Salah satu daerah yang menuntut pelaksanaan pemekaran wilayah adalah
kabupaten Samosir
yang
dimekarkan dari kabupaten Toba Samosir bersamaan dengan kabupaten Serdang
Bedagai yang dimekarkan dari kabupaten Deli Serdang. Selanjutnya, Kabupaten
Serdang Bedagai, diatur sesuai dengan Undang-undang RI nomor 36 tahun 2003 pada
tanggal 18 Desember 2003 pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno
Putri. Proses lahirnya undang-undang tentang pembentukan Serdang Bedagai
sebagai kabupaten pemekaran merujuk pada usulan yang disampaikan melalui
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor
18/K/2002 tanggal 21 Agustus 2002 tentang Persetujuan Pemekaran Kabupaten Deli
Serdang. Kemudian Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli
Serdang Nomor 26/K/DPRD/2003 tanggal 10 Maret 2003 tentang Persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang Atas Usul Rencana Pemekaran
Kabupaten Deli Serdang menjadi dua kabupaten Kabupaten Deli Serdang (Induk),
dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kabupaten yang luasnya mencapai 1.900,22
kilometer persegi ini, terdiri atas 243 desa/kelurahan yang berada dalam 17
kecamatan. Dengan pemekaran ini, pemerintah kabupaten Serdang Bedagai harus
menyesuaikan diri dan berlatih untuk mandiri dalam mengatur dan mengelola
daerahnya sendiri dan untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya
(www.bappeda.sumutprov.go.id).
Kesejahteraan
masyarakat pada dasarnya adalah buah dari pelayanan publik yang dilakukan
pemerintah. Dengan pelayanan publik yang baik maka kesejahteraan masyarakat
juga berpeluang besar untuk membaik. Kesejahteraan masyarakat sendiri dapat
dilihat dari berbagai indikator. Salah satu indikator yang dapat dipakai adalah
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang dikembangkan sejak tahun 1990 oleh UNDP
yang meliputi:
1.
Tingkat harapan hidup
2.
Tingkat melek huruf masyarakat, dan
3.
Tingkat pendapatan riil perkapita masyarakat berdasarkan daya beli
masing-masing negara (www.mpra.ub.uni-muenchen.de).
Pada
tahun 2007, IPM kabupaten Serdang Bedagai berkisar antara 71,9 , tahun 2008
berkisar 72,59 dan pada tahun 2009 menjadi 72,9. Dengan demikian dapat dilihat
bahwa IPM kabupaten Serdang Bedagai mengalami peningkatan sebesar 0,69 dan 0,31
sejak terpisah dari kabupaten induk. Meningkatnya IPM tersebut akibat dari
meningkatnya seluruh komponen pembentuk IPM seperti tingkat harapan hidup,
melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pendapatan riil perkapita. Kondisi
masing-masing indikator IPM kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2009 adalah
harapan hidup 68,89 tahun, melek huruf 97,44%, rata-rata lama sekolah 8,63
tahun, dan daya beli 626,30 ribu (BPS Kabupaten Serdang Bedagai).
Pelaksanaan
pemekaran wilayah telah berjalan beberapa tahun dan diharapkan dapat memperbaiki
kualitas hidup rakyat sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat yang lebih
baik. Lantas apakah pemekaran wilayah ini membawa perbaikan kesejahteraan
rakyat khususnya di wilayah kabupaten Serdang Bedagai? Untuk itu penulis
tertarik untuk mengambil judul “Dampak Pemekaran Wilayah Kabupaten Serdang
Bedagai Terhadap Kesejahteraan Masyarakat”.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan
apa yang telah dikemukakan dalam latar belakang diatas, maka ada rumusan
masalah yang dapat diambil sebagai kajian dalam penelitian yang akan dilakukan.
Hal ini bertujuan untuk mempermudah penulisan skripsi ini. Selain itu, rumusan
masalah ini diperlukan sebagai cara untuk mengambil keputusan dari akhir
penulisan skripsi. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah “Apakah
terdapat
perbedaan
pada kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah adanya pemekaran wilayah
khususnya di Kabupaten Serdang Bedagai?”
1.3
Hipotesis
Hipotesis
merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian yang kebenarannya
harus diuji secara empiris. Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penulis
membuat hipotesis sebagai berikut “Terdapat perbedaan yang nyata pada
kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah adanya pemekaran wilayah di
Kabupaten Serdang Bedagai.”
1.4
Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perbedaan nyata pada
kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah pemekaran wilayah.
Sedangkan
manfaat dari penelitian ini adalah:
1.
Sebagai bahan masukan atau kajian untuk melakukan penelitian selanjutnya dan
sebagai bahan perbandingan bagi pengambilan keputusan oleh pihak yang
berwenang.
2.
Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahsiswa/i Fakultas
Ekonomi , khususnya mahasiswa/i Departemen Ekonomi Pembangunan.
3.
Sebagai tambahan wawasan dan ilmu pengetahuan penulis, serta sebagai salah satu
syarat bagi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi