Selasa, 04 Maret 2014

Skripsi Ekonomi Pembangunan: DETERMINAN CAPITAL FLIGHT (SEBELUM & SETELAH KRISIS) DI INDONESIA


 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejalan dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat, dimana kebutuhan ekonomi antar negara juga semakin saling terkait, telah meningkatkan arus perdagangan barang, uang, serta modal antar negara-negara sedang berkembang, Kondisi ini antara lain didorong oleh adanya peningkatan kapitalisasi pasar keuangan, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, dan suku bunga tinggi (terutama di negara berkembang karena suku bunga di negara maju umumnya relatif lebih rendah).

Pesatnya kapitalisasi dan mobilisasi modal antar negara tersebut juga merupakan wahana untuk melakukan diversifikasi resiko oleh investor. Hal ini dilakukan sebagai upaya menghadapi ketidakpastian dari adanya gejolak ekonomi, sosial, dan politik di berbagai negara, sehingga para investor dapat terhindar atau meminimalkan resiko dalam menginvestasikan dananya.
Bagi negara berkembang, pesatnya aliran modal merupakan kesempatan guna memperoleh pembiayaan pembangunan ekonomi. Bagaimanapun, penanaman modal (domestik maupun asing) ini merupakan langkah awal kegiatan

pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal (sumber pembiayaan modal) mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi, yang mencerminkan marak-lesunya pembangunan. Sehingga, dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara berusaha menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. Sasaran yang dituju bukan hanya masyarakat atau kalangan swasta dalam negeri, tapi juga investor asing
Krisis moneter yang dimulai dengan merosotnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian, termasuk perbankan. Inflasi merupakan salah satu dampak dari terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda suatu negara. Inflasi adalah suatu keadaan dimana terjadi kenaikan harga-harga secara tajam (absolute) yang berlangsung secara terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara (Tajul Kahalwaty, 2000 : 5).
Menurut Lepi T. Tarmidi (EKI : 1999) secara umum penyebab terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah bukan disebabkan karena lemahnya fundamental ekonomi, tetapi karena merosotnya nilai tukar rupiah terhadap US$. Utang luar negeri swasta jangka pendek sejak awal 1990-an telah terakumulasi sangat besar yang sebagian besar tidak di-hedging (dilindungi nilainya terhadap mata uang asing). Hal inilah yang kemudian menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah, karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar hutang jatuh tempo beserta bunganya.
Pada sekitar pertengahan tahun 1997, permasalahan inflasi dan krisis nilai tukar semakin mencuat karena tingkat inflasi sudah mencapai angka dua digit

yaitu sekitar 11,05 persen dan menyebabkan nilai mata uang rupiah merosot tajam. Krisis yang demikian ini akan mengakibatkan beban hutang perusahaan terutama hutang-hutang dalam mata uang asing yang pembiayaannya tergantung dari bank menjadi besar karena bank sendiri mengalami kesulitan menyediakan likuiditas operasional sehari-hari. Akibat lebih lanjut, timbul Non Performing Loans (NPL) atau kredit macet yang secara langsung dan tidak langsung akan mengganggu (dalam jumlah yang besar bahkan akan menghentikan) operasional bank.
Tingginya angka NPL secara langsung akan menyebabkan turunnya kualitas aset pada neraca perbankan, disamping bertambahnya beban perbankan untuk menyisihkan dananya sebagai dana cadangan penghapusan kredit macet (allowance fordoubtfull account). Dampak selanjutnya adalah rendahnya Capital Adequacy Ratio (Ratio kecukupan modal sebagai hasil bagi antara aset dan modal). Dengan semakin kecilnya CAR, sebagian perbankan tidak bisa lagi menjalankan kegiatan operasionalnya. Rendahnya CAR secara langsung akan menyebabkan corporate value dari perbankan menurun di pasar bursa. Agregasi dari hal ini akan menyebabkan sentimen yang kurang baik pada pasar yang secara umum akan membawa perekonomian kearah resesi
Sangat wajar jika kemudian para investor lebih memilih untuk memegang mata uang US$ dibandingkan rupiah karena disamping memiliki risiko yang relatif kecil juga terdapat sejumlah return yang menguntungkan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa para investor begitu apresiatif dengan perbedaan tingkat bunga bank yang begitu besar di dalam negeri dengan bunga luar negeri. Hal ini terkait dengan persepsi mereka yang melihat bahwa perbedaaan tingkat


suku bunga yang cukup besar yang terjadi pada periode setelah krisis, dipandang sebagai tempat penanaman investasi yang menguntungkan dan memiliki corporate value yang baik karena menawarkan tingkat keuntungan yang besar bagi mereka.  
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi