BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sejalan
dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat, dimana kebutuhan
ekonomi antar negara juga semakin saling terkait, telah meningkatkan arus
perdagangan barang, uang, serta modal antar negara-negara sedang berkembang,
Kondisi ini antara lain didorong oleh adanya peningkatan kapitalisasi pasar
keuangan, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, dan suku bunga tinggi
(terutama di negara berkembang karena suku bunga di negara maju umumnya relatif
lebih rendah).
Pesatnya
kapitalisasi dan mobilisasi modal antar negara tersebut juga merupakan wahana
untuk melakukan diversifikasi resiko oleh investor. Hal ini dilakukan sebagai
upaya menghadapi ketidakpastian dari adanya gejolak ekonomi, sosial, dan
politik di berbagai negara, sehingga para investor dapat terhindar atau
meminimalkan resiko dalam menginvestasikan dananya.
Bagi
negara berkembang, pesatnya aliran modal merupakan kesempatan guna memperoleh
pembiayaan pembangunan ekonomi. Bagaimanapun, penanaman modal (domestik maupun
asing) ini merupakan langkah awal kegiatan
pembangunan ekonomi. Dinamika
penanaman modal (sumber pembiayaan modal) mempengaruhi tinggi rendahnya
pertumbuhan ekonomi, yang mencerminkan marak-lesunya pembangunan. Sehingga,
dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara berusaha menciptakan iklim
yang dapat menggairahkan investasi. Sasaran yang dituju bukan hanya masyarakat
atau kalangan swasta dalam negeri, tapi juga investor asing
Krisis moneter yang dimulai dengan merosotnya nilai rupiah terhadap
dolar Amerika Serikat telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian, termasuk
perbankan. Inflasi merupakan salah satu dampak dari terjadinya krisis ekonomi
berkepanjangan yang melanda suatu negara. Inflasi adalah suatu keadaan dimana
terjadi kenaikan harga-harga secara tajam (absolute) yang berlangsung secara
terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama yang diikuti dengan semakin
merosotnya nilai riil (intrinsik) mata uang suatu negara (Tajul Kahalwaty, 2000
: 5).
Menurut Lepi T. Tarmidi (EKI : 1999) secara umum penyebab
terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah bukan disebabkan karena lemahnya
fundamental ekonomi, tetapi karena merosotnya nilai tukar rupiah terhadap US$.
Utang luar negeri swasta jangka pendek sejak awal 1990-an telah terakumulasi
sangat besar yang sebagian besar tidak di-hedging (dilindungi nilainya terhadap
mata uang asing). Hal inilah yang kemudian menambah tekanan terhadap nilai
tukar rupiah, karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar hutang jatuh
tempo beserta bunganya.
Pada sekitar pertengahan tahun 1997, permasalahan inflasi dan
krisis nilai tukar semakin mencuat karena tingkat inflasi sudah mencapai angka
dua digit
yaitu sekitar 11,05 persen dan
menyebabkan nilai mata uang rupiah merosot tajam. Krisis yang demikian ini akan
mengakibatkan beban hutang perusahaan terutama hutang-hutang dalam mata uang
asing yang pembiayaannya tergantung dari bank menjadi besar karena bank sendiri
mengalami kesulitan menyediakan likuiditas operasional sehari-hari. Akibat
lebih lanjut, timbul Non Performing Loans (NPL) atau kredit macet yang secara
langsung dan tidak langsung akan mengganggu (dalam jumlah yang besar bahkan
akan menghentikan) operasional bank.
Tingginya angka NPL secara langsung akan menyebabkan turunnya
kualitas aset pada neraca perbankan, disamping bertambahnya beban perbankan
untuk menyisihkan dananya sebagai dana cadangan penghapusan kredit macet
(allowance fordoubtfull account). Dampak selanjutnya adalah rendahnya Capital
Adequacy Ratio (Ratio kecukupan modal sebagai hasil bagi antara aset dan
modal). Dengan semakin kecilnya CAR, sebagian perbankan tidak bisa lagi
menjalankan kegiatan operasionalnya. Rendahnya CAR secara langsung akan
menyebabkan corporate value dari perbankan menurun di pasar bursa. Agregasi
dari hal ini akan menyebabkan sentimen yang kurang baik pada pasar yang secara
umum akan membawa perekonomian kearah resesi
Sangat wajar jika kemudian para investor lebih memilih untuk
memegang mata uang US$ dibandingkan rupiah karena disamping memiliki risiko
yang relatif kecil juga terdapat sejumlah return yang menguntungkan. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa para investor begitu apresiatif dengan perbedaan
tingkat bunga bank yang begitu besar di dalam negeri dengan bunga luar negeri.
Hal ini terkait dengan persepsi mereka yang melihat bahwa perbedaaan tingkat
suku bunga yang cukup besar yang terjadi pada periode setelah
krisis, dipandang sebagai tempat penanaman investasi yang menguntungkan dan memiliki
corporate value yang baik karena menawarkan tingkat keuntungan yang besar bagi
mereka.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi