Jumat, 04 April 2014

Skripsi Hukum: ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM KEPAILITAN



BAB I PENDAHULUAN 
A.  Latar Belakang 
Gejolak  krisis moneter dan perekonomian yang terjadi pada pertengahan  bulan Juli  tahun 1997 dan tahun 1998 yang lalu, mengakibatkan dampak yang  sangat luas terhadap perkembangan bisnis di Indonesia. Naiknya nilai tukar dolar  terhadap rupiah dengan sangat tinggi menyebabkan banyak perusahaan di  Indonesia tidak mampu membayar utangnya yang umumnya dilakukan dalam  bentuk dolar. Akibatnya banyak perusahaan di Indonesia mengalami  kebangkrutan.

1 Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan menghasilkan keuntungan sehingga seringkali keadaan keuangannya sudah  sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar  Dari segi hukum diperlukan suatu peraturan perundang-undangan  yang mengatur masalah penyelesaian utang piutang tersebut secara cepat, efektif,  efisien dan adil untuk memenuhi kebutuhan para pelaku bisnis untuk  menyelesaikan masalah utang piutang mereka. Namun disisi lain juga diperlukan  adanya instrumen hukum yang khusus mengatur agar para debitur tetap harus  melunasi kewajiban hutang-hutang mereka dan tidak berniat “nakal” untuk  menghindari kewajiban baik dengan cara berpura-pura pailit maupun selalu  menghindari penagihan.
1 Sunarmi, Hukum Kepailitan (Medan: Sofmedia, 2010), hal. 2.
1  hutang-hutangnya. Hal demikian dapat pula terjadi terhadap perorangan yang  melakukan suatu usaha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu  perusahaan dapat saja dalam kondisi untung atau keadaan rugi. Kalau keadaan  untung, perusahaan berkembang dan berkembang terus, sehingga menjadi  perusahaan raksasa. Sebaliknya, apabila kondisi perusahaan menderita rugi, maka  garis hidupnya menurun.
Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang  sering sangat ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya.
Karena dengan kepailitan perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal  dalam berbisnis atau setidak-tidaknya telah gagal dalam membayar hutang (atau  hutang-hutangnya).
Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah bangkrut  manakala perusahaan (atau orang pribadi) tersebut tidak sanggup atau tidak mau  membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, untuk mencegah pihak kreditur  ramai-ramai menagih debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut maka  hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat  dibayar secara tertib dan adil. Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh  kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu dilakukan beserta semua  kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan pernyataan pailit, debitur  pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya  yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Pasal 23  Undang-Undang  Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan  Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan   dan PKPU) menegaskan bahwa semua perikatan debitur pailit yang dilakukan  sesudah pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali bila  perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu,  sementara Abdul R. Sulaiman mengatakan pailit adalah suatu usaha bersama  untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditur secara adil dan tertib, agar  semua kreditur mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang  masing-masing dengan tidak berebutan.
2 Pemberlakuan lembaga paksa badandibentuk sebagai upaya pembaharuan  dari lembaga penyanderaan (gijzeling) yang pernah berlaku di Indonesia dengan  tujuan untuk menjamin dan mencegah debitur melarikan diri maupun melakukan  perbuatan dengan tujuan untuk mengalihkan harta kekayaannya. Lembaga paksa  badan tersebut juga bertujuan sebagai pendorong motivasi debitur untuk melunasi  Proses maupun pembagian harta kepailitan bukan merupakan satu hal yang  mudah. Adakalanya dalam proses kepailitan terdapat debitur yang memiliki itikad  yang tidak baik seperti enggan melunasi hutang-hutangnya, berusaha  menyembuyikan harta kekayaan maupun melarikan diri. Maka perlu adanya suatu  pranata hukum untuk mencegah debitur tidak memenuhi kewajibannya sekaligus  memastikan pelaksanaan pembagian harta kepailitan berjalan secara adil bagi  semua pihak. Pemerintah kemudian menindaklanjuti dengan menerbitkan  Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2000 Tentang  Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 2000) 2 Abdul R. Sulaiman,  Esensi Hukum Bisnis Indonesia  Teori dan Praktek, (Jakarta  :Prenada Media 2004), hal.1.
 kewajibannya sehingga hak-hak kemerdekaannya tidak dirampas dan  keseimbangan hukum dapat tercapai.
3 Pada dasarnya bahwa menurut Perma No. 1 Tahun 2000 penerjemahan  istilah gijzeling dengan kata "penyanderaan" dan kemudian seiring perkembangan  waktu diubah menjadi "paksa badan". Namun keberadaan lembaga ini  Sebagai perbandingan, selain terhadap debitur yang memiliki keengganan  dalam melunasi hutangnya, ketentuan lembaga paksa badan nantinya juga akan  ditetapkan kepada wajib pajak yang memiliki kesengajaan atau keengganan untuk  membayar pajak. Sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena  banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu  tantangan tersendiri. Pemerintah mencoba menciptakan suatu mekanisme yang  dapat memberikan sanksi bagi wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu  mekanisme tersebut adalah gijzeling  atau lembaga paksa badan, namun  keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan,  pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang  potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal. Hal ini mendorong  pemerintah untuk menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya  pemaksa bagi para wajib pajak yang memenuhi kewajibannya, dan mekanisme  tersebut adalah gijzeling ataulembaga paksa badan.
3 Tanpa nama,  Penyelesaian Hutang Piutang dengan Paksa Badan,  http://  advokatku.blogspot.com/ 2008 /04/ penyelesaian-hutang-piutang-dengan.html., akses tanggal 30  Juni 2011.
 mengundang kontroversial, terdapat beberapa kalangan yang beranggapan bahwa  pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan.
4 Pendapat lainnya mengatakan bahwa lembaga  ini diperlukan untuk  memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang  berusaha untuk melalaikan kewajibannya. Pemungutan pajak didasarkan kepada  Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun1945 (UUD 1945), yang kemudian dalam  Amandemen Keempat diganti menjadi Pasal 23a UUD 1945, dalam pasal tersebut  dinyatakan bahwa segala pajak dan pungutan untuk negara itu harus didasarkan  kepada Undang-Undang.
Hal yang perlu diketahui bahwa paksa badan ini sesungguhnya tidak hanya  berlaku bagi perkara yang menyangkut keuangan negara saja tapi juga dapat  diperlakukan dalam ranah hukum perdata secara umum, sepanjang terdapat  kewajiban yang tidak dilaksanakan dan kewajiban tersebut bernilai Rp.
1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), dapat mengajukan permohonan penetapan  paksa badan.
5 4 Kemal Fasya,  Lembaga Paksa Badan Dalam Perkara Pajak, Penelitian ini dilandasi oleh keadaan sering adanya debitur yang beritikad  tidak baik dalam pemenuhan kewajibannya atau debitur tersebut tidak kooperatif  dalam melaksanakanpembayaran utang kepada kreditur.
Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis  dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Keberadaan  Lembaga Paksa Badan Dalam Kepailitan” http://kemalfasya.blogspot.com/2011/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html., akses  tanggal 1 Juli 2011.
5 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Bab VIII Pasal 23.
 B.  Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, selanjutnya  permasalahan dalam  skripsi ini dirumuskan sebagai berikut:  1.  Bagaimana pengaturan lembaga paksa badan di Indonesia?  2.  Bagaimana keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan ?  3.  Bagaimana pelaksanaan dan efektifitas lembaga paksa badan dalam    pemenuhan kewajiban debitur pailit ?  C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dan  dilakukan dengan metode ilmiah serta bertujuan untuk mendapatkan data baru.
Pengertian dari penelitian itu sendiri adalah suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan  oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf  ilmiah yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat  ditelaah dan dicari hubungan sebab akibatnya atau kecenderungan yang timbul.
6 6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 6.
Tujuan penelitian lainnya secara praktis merupakan usaha untuk menjawab  berbagai pertanyaan ilmiah seputar permasalahan hukum.
Tujuan penulisan skripsi ini pada khususnya adalah untuk memenuhi  persyaratan agar  memperoleh gelar sarjana hukum pada  Fakultas  Hukum  . Namun secara umum pembahasan mengenai aspek  hukum lembaga paksa badan dalam kepailitan seperti yang dibahas dalam skripsi  ini mempunyai tujuan yaitu :  1.  Untuk memberikan gambaran yang lebih luas tentang aspek hukum termasuk  dasar hukum pelaksanaan lembaga paksa badan dalam hukum kepailitan di  Indonesia 2.  Untuk menguraikan dan membahas lebih lanjut mengenai  eksistensi/keberadaan lembaga paksa badan dalam hukum kepailitan di  Indonesia di Indonesia.
3.  Untuk memberikan gambaran yang lebih lanjut mengenai sejauh mana  efektifitas lembaga paksa badan sebagai upaya untuk penagihan dan  pelunasan pembayaran utang oleh debitur di Indonesia.
Suatu penelitian pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk mencari  jawaban secara ilmiah terhadap persoalan-persolan yang timbul. Calire setz 7 1. Manfaat Teoritis dalam bukunya menyatakan bahwa titik tolak dari suatu penulisan/karya ilmiah  adalah “….to discover answers to questions through the application of scientific  procedures…”  yang berarti untuk menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaanpertanyaan tentang prosedur penerapan ilmu. Sehingga melalui penulisan suatu  karya ilmiah diharapkan dapat menjawab setiap pertanyaan yang ada atas suatu  permasalahan.
Adapun dalam penulisan skripsi ini nantinya dapat memberikan beberapa  manfaat yaitu : 7 Ibid, hal .9.
 a.  Memberikan pengertian dan pendalaman lebih luas kepada masyarakat  tentang pengertian dari  lembaga paksa badan dan hukum kepailitan  termasuk aspek-aspek hukumnya b.  Memberikan gambaran umum dalam kaitan dengan manfaatnya secara  praktis tentang keberadaan, tata cara pengajuan dan pelaksanaan lembaga  paksa badan di Indonesia c.  Menumbuhkan sikap kritis dari masyarakat akan keberadaan lembaga  paksa badan dan efektifitas lembaga paksa badan dalam penyelesaian  masalah kepailitan di Indonesia.
2. Manfaat Praktis Manfaat penelitian lainnya secara praktis diharapkan dapat menjadi  rujukan ataupun referensi bagi para praktisi hukum maupun praktisi perbankan  dalam hal menjadi rujukan dalam proses penyelesaian kewajiban pembayaran  utang melalui lembaga paksa badan. Manfaat praktis lainnya juga dapat sebagai  informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui tentang syarat-syarat pengajuan  lembaga paksa badan di Indonesia termasuk penyelesaian masalah kepailitan.
D.  Keaslian Penulisan Adapun penulisan skripsi ini adalah murni hasil karya ilmiah penulis  sendiri yang belum pernah dipublikasikan dimanapun juga, meskipun terdapat  beberapa karya tulisan lain yang hampir serupa memuat permasalahan kepailitan.
Oleh karena itu skripsi ini adalah asli dan apabila ditemukan karya ilmiah lainnya   yang memiliki kesamaan satu sama lainnya maka penulis akan bertanggung jawab  sepenuhnya.
E. Tinjauan Kepustakaan Tinjauan Kepustakaan atau kepustakaan studi adalah suatu studi terdahulu  yang berkenaan atau memiliki hubungan dengan topik yang ada secara relevan  dengan menggunakan berbagai literatur atau bacaan dalam studinya. Adapun  tinjauan kepustakaan ini mempunyai beberapa tujuan yaitu: 8 1.  Memberitahu khalayak/pembaca tentang studi-studi atau penelitian terkait  berkenaan dengan studi/ topik yang sedang dilaporkan.
2.  Menghubungkan suatu studi dengan dialog yang lebih luas dan  berkesinambungan tentang suatu topik dalam pustaka yang diperuntukkan  untuk mengisi kekurangan dan memperluas studi-studi sebelumnya.
3.  Memberikan kerangka bagi suatu studi dalam pembahasan ataupun  penjelasannya secara ilmiah.
4.  Sebagai landasan untuk membandingkan suatu studi dengan temuan-temuan  lain.
Adapun kini yang menjadi kerangka studi atau tinjauan kepustakaan  tentang karya ilmiah Analisis Yuridis Keberadaan Lembaga Paksa Badan dalam  Kepailitan ini terbagi dalam 2 sub bagian yaitu: 1. Pengertian Lembaga Paksa Badan 8 Achmad Djunaedi dalam karya ilmiah Penulisan,  http://www.mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a05-metlit-tinjauanpustaka.pdf , akses tangal 06 Mei 2011.
 Pengertian lembaga paksa badan dalam peraturan perundang-undangan  dijumpai dalam Pasal 1 huruf a Perma No. 1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa  Paksa Badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seseorang  debitur yang beritikad baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan  oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhikewajibannya.
Paksa badan (Lifsdwang) adalah upaya penagihan dalam rangka  penyelamatan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara  waktu disuatu tempat tertentu terhadap debitur yang tergolong mampu namun  tidak beritikad baik.
9 Lembaga paksa badan oleh berbagai  peraturan perundang-undangan  diartikan  bermacam-macam. Undang-Undang No. 19  Tahun 2000 tentang  Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa mengartikan paksa badan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan  penanggung pajak dengan  menempatkannya ditempat tertentu, undang-undang ini.
10 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336/KMK/01/2000 Tentang Paksa  Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara mengartikan paksa badan  (lifsdwang) sebagai upaya penagihan dalam rangka menyelamatkan uang negara  dengan cara pengekangan  kebebasan untuk sementara waktu di suatu  tempat  tertentu, terhadap debitur yang  tergolong mampu namun beritikad tidak baik (Pasal 1 angka 9 Keputusan Menteri Keuangan No. 336/KMK/01/2000 Tentang  Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara) jelas dalamkeputusan  9 Andryawal Simanjuntak,  Gizeling/Lembaga Paksa Badan,  http://andryawal.blogspot.com/2010/07/gizeling-lembaga-paksa-badan.html, akses tanggal 28 Juli  2011.
10 Republik Indonesia, Udang-Undang No.19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak  dengan Surat Paksa, Pasal 1 angka 21.
 menteri ini penyanderaan dikaitkan dengan upaya untuk memperoleh pemenuhan  utang pajak  oleh wajib  pajak  atau penanggung pajak.  Penyanderaan menurut  keputusan menteri ini merupakan salah satu upaya paksa dan merupakan upaya  terakhir dalam penagihan dengan surat paksa agar wajib pajak atau penanggung  pajak melunasi utang pajaknya.
Penyanderaan ini merupakan salah satu penagihan pajak yang wujudnya  berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya pada tempat tertentu penyanderaan tidak dilaksanakan  sewenang-wenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama.
maka diberikan syarat-syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif yakni  harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun syarat yang bersifat  kualitatif, yakni diragukan itikad baik penanggung pajak. Indikasi itikad tidak  baik tersebut antara lain penanggung pajak diduga menyembunyikan harta  kekayaannya sehingga tidak ada atau tidak cukup barang yang disita untuk  jaminan pelunasan utang- utang pajak, atau terdapat dugaan yang kuat bahwa  penanggung pajak akan melarikan diri (Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah  Nomor 5 Tahun  1998 tentang Penyanderaan Dalam Rangka Penagihan Pajak  Dengan Surat Paksa).
2. Pengertian Kepailitan Kata pailit berasal dari bahasa Prancis failite  yang berarti kemacetan  pembayaran. Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang  berhubungan dengan pailit. Menurut Imran Nating, kepailitan diartikan sebagai  suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuanganuntuk   membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan  niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.
11 Harta  debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang  dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan  dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah diperuntukkan  untuk membayar hutang-hutangnya.
12 Dalam hal terjadi kepailitan, yaitu debitur tidak dapat membayar utangnya,  maka jika debitur tersebut hanya memiliki satu orang kreditur dan debitur tidak  mau membayar utangnya secara sukarela, maka kreditur dapat menggugat debitur  ke Pengadilan Negeri dan seluruh harta debitur menjadi sumber pelunasan  utangnya kepada kreditur. Namun, dalam hal debitur memiliki lebih dari satu  kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi semua utang  kepada para kreditur, maka akan timbul persoalan dimana para kreditur akan  berlomba-lomba dengan segala macam cara untuk mendapatkan pelunasan  piutangnya terlebih dahulu. Kreditur yang belakangan datang kemungkinan sudah  tidak mendapatkan lagi pembayaran karena harta debitur sudah habis. Kondisi ini  tentu sangat tidak adil dan merugikan kreditur yang tidak menerima pelunasan.
Karena alasan itulah, muncul lembaga kepailitan dalam hukum 13 11 Imran Nating, Peranan Kurator dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan  Pemberesan Harta Pailit,(Jakarta: Raja Grafindo. 2004), hal. 2.
12 Tanpa Nama, Hukum Kepailitan, http:// clickgtg. wordpress.com /2008/07/02/hukumkepailitan-di-indonesia/ , akses tanggal 2 Juli 2011.
13 Dadang Sukandar, Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang,  http://dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/80/, akses tanggal 12 Agustus 2011.
.
 Lembaga hukum kepailitan muncul untuk mengatur tata cara yang adil  mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditur dengan berpedoman pada  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata),  terutama Pasal 1131 dan 1132  tentang piutang-piutang yang diistimewakan,  maupun Undang-undang Kepailitan dan PKPU.
Pasal 1131 KUHPerdata: “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang  sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan  perorangan debitur itu.” Pasal 1132 KUHPerdata: “Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur  terhadapnya; hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut  perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur  itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”  Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU, mengatur bahwa: “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar  lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,  dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya  sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.
Sebelum dibentuknya Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, undangundang yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Namun ternyata  Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan  juga ada kelemahan   sehingga perlu dibentuk undang-undang baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan  dan perkembangan hukum masyarakat maka diundangkanlah Undang-Undang  No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran  Utang (Undang-Undang Kepailitan dan PKPU) yang pada tanggal 18 Oktober  2004, dengan didasarkan pada pasal 307 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU  tersebut maka Undang-Undang Kepailitan yang lama dicabut dan dinyatakan tidak  berlaku: Pada saat undang-undang tersebut mulai berlaku, Undang-Undang tentang  Kepailitan (Faillissementsverordening  Staatsblad 1905:217 juncto  Staatsblad  1906:348) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang  Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang  (Lembaran  Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan  Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778), dicabut dan dinyatakan tidak  berlaku.
14 Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dan PKPU di atas,  supaya pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata berlaku sebagai jaminan pelunasan  utang kreditur, maka pernyataan pailit tersebut harus dilakukan dengan putusan  pengadilan yang terlebih dahulu dimohonkan kepada Pengadilan Niaga. Menurut  Gunawan Widjaja, maksud dari permohonan dan putusan pailit tersebut kepada  14 Disriani, Hukum Kepailitan,  http://disriani.multiply.com/journal, akses tanggal 20 Juli  2011.
 pengadilan adalah untuk memenuhi asas publisitas dari keadaan tidak mampu  membayar debitur.
15 a.  Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur Asas tersebut dimaksudkan untuk memberitahukan kepada khalayak  umum bahwa debitur dalam keadaan tidak mampu membayar, dan hal tersebut  memberi kesempatan kepada kreditur lain yang berkepentingan untuk melakukan  tindakan. Dengan demikian, dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa  dikabulkannya suatu pernyataan pailit jika dapat terpenuhinya persyaratan  kepailitan sebagai berikut: Untuk melaksanakan Pasal 1132 KUHPerdata yang merupakan jaminan  pemenuhan pelunasan utang kepada para kreditur, maka Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Kepailitan dan PKPU mensyaratkan adanya dua atau lebih kreditur.
Syarat ini ditujukan agar harta kekayaan debitur pailit dapat diajukan sebagai  jaminan pelunasan piutang semua kreditur, sehingga semua kreditur memperoleh  pelunasannya secara adil. Adil berarti harta kekayaan tersebut harus dibagi secara  Pari passu dan Prorata 16 15 Dadang Sukandar,  Hukum Kepailitan,  http://  dadangsukandar.wordpress.com/2010/08/02/80/, akses tanggal 15Juli 2011.
16 Prinsip ini terdiri dari istilah pari passu yaitu bersama-sama memperoleh pelunasan  tanpa ada yang didahulukan, dan pro rata parte (proporsional) yaitu dihitung berdasarkan pada  besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan  terhadap seluruh harta kekayaan debitor.  http://diaz_fhuns.staff.uns.ac.id/files/2010/07/prinsipprinsip-hukum-kepailitan.pdf.,  akses tanggal 30 Juli 2011.
. Pari Passu berarti harta kekayaan debitur dibagikan  secara bersama-sama diantara para kreditur, sedangkan Prorata berarti pembagian  tersebut besarnya sesuai dengan imbangan piutang masing-masing kreditur  terhadap utang debitur secara keseluruhan.
 Dengan dinyatakannya pailit seorang debitur, sesuai Pasal 24 ayat (1)  Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, debitur pailit demi hukum kehilangan hak  untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan ke dalam  kepailitan. Terhitung sejak tanggal putusan pengadilan, pengadilan melakukan  penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitur \pailit, yang selanjutnya akan  dilakukan pengurusan oleh kurator yang diawasi Hakim Pengawas. Dan bila  dikaitkan dengan pasal 1381 KUHPerdata tentang hapusnya perikatan, maka  hubungan hukum utang-piutang antara debitur dan kreditur itu hapus dengan  dilakukannya “pembayaran” utang melalui lembaga kepailitan.
b.  Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu  dan dapat ditagih.
Gugatan pailit dapat diajukan apabila debitur tidak melunasi utangnya  kepada minimal satu orang kreditur yang telah jatuh tempo, yaitu pada waktu  yang telah ditentukan sesuai dalam perikatannya. Dalam perjanjian, umumnya  disebutkan perihal kapan suatu kewajiban itu harus dilaksanakan. Namun dalam  hal tidak disebutkannya suatu waktu pelaksanaan kewajiban, maka hal tersebut  bukan berarti tidak dapat ditentukannya suatu waktu tertentu. Pasal 1238  KUHPerdata  tentang perikatan-perikatan untuk memberikan sesuatu mengatur  sebagai berikut: “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis  itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan  ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu  yang ditentukan.”  Berdasarkan pasal tersebut, mengenai utang yang jatuh waktu dan dapat  ditagih adalah ketika debitur melakukan kelalaian dalam perjanjian, dan  berdasarkan ketepatan waktu kelalaian tersebut dapat dibedakan atas: 1) Dalam hal terdapat ketetapan waktu dalam perjanjian Jika dalam perjanjian telah ditetapkan suatu waktu tertentu tentang kapan  debitur harus melaksanakan kewajibannya melunasi utang, maka dengan lewatnya  jangka waktu tersebut dan debitur tidak melaksanakan kewajiban utangnya,  debitur sudah dapat dianggap lalai. Mulai sejak saat itu debitur dianggap lalai  karena tidak melaksanakan kewajibannya, dan sejak saat itu pula muncul hak  kreditur untuk melakukan penagihan pelunasan utang melalui lembaga kepailitan.
2) Dalam hal tidak terdapat ketetapan waktu dalam perjanjian Kepailitan, pada mulanya diatur dalam Failliessement Verordening,  Staatsblad 1905-217 juncto 1906-348, namun peraturan tersebut sudah tidak  mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di bidang  perekonomian terutama dalam menyelesaikan masalah utang-piutang dikarenakan  memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan yang terdapat dalam  Failliessement verordening tersebut adalah.
17 17 Sunarmi, Op Cit,hal. 11.
:  a) Tidak jelasnya batasan waktu (time frame)  yang  diberikan  dalam  menyelesaikan kasus kepailitan sehingga akibatnya untuk menyelesaikan  sebuah kasus kepailitan dibutuhkan waktu yang sangat lama  b)  Jangka waktu untuk menyelesaikan utang melalui mekanisme Penundaan  Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) juga butuh waktu yang sangat  lama yaitu sekitar 18 bulan c) Apabila pengadilan menolak PKPU, pengadilan tersebut tidak diwajibkan  untuk menetapkan debitur dalam keadaan pailit d)  Kedudukan kreditor masih dianggap lemah.
Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap  peraturan Faillissement Verordening tersebut dengan ditetapkannya Perpu No. 1  Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan pada tanggal 22  April 1998 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998  tentang Undang-Undang Kepailitan pada tanggal 9 September 1998, dengan berlakunya ini berarti pemerintah telah memenuhi salah satu persyaratan yang  diminta oleh kreditur-kreditur luar negeri (Dana Moneter Internasional/ International Monetary Fund),  agar para kreditur luar negeri memperoleh  jaminan kepastian hukum.
18 18 Martiman Prodojhamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah  Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang  Tentang Kepailitan, (Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999), hal.1.
Dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau bankrupt adalah “the state or condition of a person (individual, partnership, corporation,  municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”.
The term includes a person againt whom an involuntary petition has been  filed, or who has filed a voluntaru petition, or who has been adjudged a  bankrupt.
 "Kondisi atau status seseorang ( individu, persekutuan, korporasi,  kotamadya) yang tidak mampu untuk membayar hutang nya sebagaimana  adanya, atau jatuh tempo. Istilah meliputi seseorang againt yang suatu  petisi tanpa disengaja telah disimpan, atau yang telah menyimpan suatu  petisi, atau yang telah divonis bangkrut.” 19 Pengertian kepailitan lain yang dikemukakan oleh para sarjana diantaranya  adalah seperti yang dikatakan oleh Siti Soemarti Hartono bahwa kepailitan adalah  mogok dalam melakukan pembayaran, Dari pengertian tersebut maka pengertian pailit dihubungkan dengan  ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitur atas utang-utangnya yang  telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata  untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri,  maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari  pengajuan permohonan  tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu  membayar.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU  menyatakan  bahwa yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan  debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di  bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang  ini.
20 19 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT. Raja  Grafindo Perkasa, 2002), hal. 11.
20 Siti Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan, (Yogyakarta:Seksi Hukum  Dagang FH UGM,1981), hal. 1.
adapun Kartono mengemukakan bahwa   kepailitan adalah suatu sitaan umum dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur  untuk kepentingan semua krediturnya.
21 Sementara R Subekti menyatakan bahwa pailit berarti keadaan seorang  debitur apabila ia telah menghentikan pembayaran hutang-hutangnya, suatu  keadaan yang menghendaki campur tangan hakim guna menjamin kepentingan  bersama dari para krediturnya.
22 Sebagaimana diketahui, bahwasanya tujuan diaturnya kepailitan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU  adalah : 23 a.  Menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada  beberapa kreditur yang menagih piutangnya.
b.  Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan  yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa  memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.
c.  Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat  merugikan kepentingan para kreditur, atau debitur hanya menguntungkan  kreditur tertentu.
d.  Memberikan perlindungan kepada para kreditur konkuren untuk  memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan e.  Memberikan kesempatan kepada debitur dan kreditur untuk berunding  membuat kesepakatan restrukturisasi hutang.
21 Sentosa  Sembiring,  Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-undangan yang  terkait dengan Kepailitan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006), hal. 13.
22 R Subekti dan R Tjitrosudibyo, Kamus Hukum (Jakarta:Pradnya Paramita, 1973),  hal.40.
23 Tanpa nama,  Permohonan Gizeling dalam perkara-perkara Kepailitan,  http://www.redgage.com/blogs/advokatku/permohonan-gijzeling-dalam-perkara-kepailitan.html,  akses tanggal 27 Juli 2011.
 Adapun menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of  Bankruptcy, sebagaimana dikutip oleh Jordan, tujuan semua Undang-undang  Kepailitan (bankruptcy laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif  untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai  penagih terhadap aset seorang  debitur yang tidak cukup nilainya ( "debt collection system").  Maka dari itu  tujuan-tujuan dari hukum kepailitan adalah:  24 a.  Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka  sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “semua harta  kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik  yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitur” , yaitu dengan cara memberikan fasilitas  dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan – tagihannya terhadap  debitur. Menurut hukum Indonesia, asas jaminan tersebut dijamin oleh  Pasal 1131 KUHPerdata. Hukum kepailitan menghindarkan terjadinya  saling rebut di antara para kreditur terhadap harta debitur berkenaan  dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya undang – undang kepailitan,  maka akan terjadi kreditur yang lebih kuat akan mendapatkan bagan yang  lebih banyak daripada kreditur yang lemah.
b.  Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para kreditur  sesuai dengan asas pari passu  (membagi secara pro-porsional harta  kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren atau unsecured creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masing-masing kreditur  24 Ibid,.
 tersebut). Di dalam hukum Indonesia, asas pari passu dijamin oleh Pasal  1132 KUHPerdata.
c.  Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat  merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan seorang debitur  pailit, maka debitur menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk  mengurus dan memindahtangankan harta kekayaannya yang dengan  putusan pailit itu status hukum dari harta kekayaan debitur menjadi harta  pailit.
d.  Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan  perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya,  dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan  Amerika Serikat, seorang debitur perorangan (individual debitor) akan  dibebaskan dari utang-utangnya setelah selesainya tindakan pemberesan  atau likuidasi terhadap harta kekayaannya. Sekalipun nilai harta  kekayaannya setelah dilikuidasi atau dijual oleh Likuidator tidak cukup  untuk melunasi seluruh utang-utangnya kepada para krediturnya, tetapi  debitur tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut.
Kepada debitur tersebut diberi kesempatan untuk memperoleh financial  fresh start. Debitur tersebut dapat memulai kembali melakukan bisnis  tanpa dibebani dengan utang-utang yang menggantung dari masa lampau  sebelum putusan pailit. menurut US Bankruptcy Code, financial fresh start  hanya diberikan bagi debitur pailit perorangan saja, sedangkan bagi  debitur badan hukum financial fresh start tidak diberikan. Jalan keluar   yang dapat ditempuh oleh perusahaan yang pailit ialah membubarkan  perusahaan debitur yang pailit itu setelah likuidasi berakhir.
e.  Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan  perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga  perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit  oleh pengadilan. Dalam undang-undang kepailitan Indonesia yang berlaku  pada saat ini, sanksi perdata maupun pidana tidak diatur di dalamnya, tetapi diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang  Perseroan Terbatas dan KUHPidana. Di beberapa negara lain, sanksisanksi itu di muat di dalam undang-undang kepailitan (Bankruptcy Law)  negara yang bersangkutan. Di Inggris sanksi-sanksi pidana berkenaan  dengan kepailitan ditentukan dalam Companies Act 1985 dan Insolvency  Act1986.
f.   Memberikan kesempatan kepada debitur dan para krediturnya untuk  berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrukturisasi utang-utang  debitur. Dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat, hal ini diatur di dalam  Chapter 11 mengenai Reorganization. Di dalam undang-undang kepailitan  Indonesia  kesempatan bagi debitur untuk mencapai kesepakatan  restrukturisasi utang-utangnya dengan para krediturnya diatur dalam BAB  II tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
F.  Metode Penelitian  Menurut pendapat Koentjaraningrat, yang dinamakan metode penelitian  adalah dalam arti katanya yang sesungguhnya, maka metode (Yunani : "methods")  adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode  menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami obyek dari sasaran yang  bersangkutan.
25 Untuk memenuhi kriteria penulisan yang bersifat ilmiah, maka  harus didukung dengan metode yang bersifat ilmiah pula, yaitu berpikir yang  obyektif, dan hasilnya harus dapat dibuktikan dan di uji secara benar.
26 Metodologi penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah.
Penelitian ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu  alur berpikir yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah  karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Metode yang  digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Metode penelitian  normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research)  yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik hukum yang  tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan oleh Hakim  melalui putusan pengadilan (law is decided by the judge through the judicial  process).
27 Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan  masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan,  mengembangkan dan menguji kebenaran dan dilaksanakan untuk mengumpulkan  data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas  25 Danang Ari. Study Tentang Perlindungan Dagang, (Surakarta:UMM,2008) , hal. 9.
26 Ibid,.
27 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:Gratifi  Press,2006), hal.118.
 pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I Pendahuluan, sehingga  diperlukan rencana yang sistematis. Metodologi merupakan suatu logika yang  menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan  penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi  induknya.
28 Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu hukum  sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya, oleh karena itu maka penelitian  yang digunakan adalah penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang  dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada  metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari  satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.
29 1.  Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analis yang bertujuan untuk  menggambarkan secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok  tertentu. Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu  peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta  menganalisis fakta secara cermat tentang keberadaan dan efektifitas pelaksanaan  lembaga paksa badan di Indonesia. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam  penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif  merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan hukum sebagai norma, kaidah  maupun azas dengan tahapan berupa studi kepustakaan dengan pendekatan dari  berbagai literatur 28 Ronny Hanintijo Soemitro  Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri,  (Jakarta:  Ghalia Indonesia, 1998), hal. 9.
29 Soerjono Soekanto, Op Cit, hal. 43.
 Metode penelitian  juga  menggabungkan dengan studi kepustakaan  (libraly research ) dengan menggunakan media literatur yang ada maupun jurnal  ilmiah elektronik lainnya seperti internet dan tinjauan yuridis.
2.  Sumber Data Sumber data penelitian dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer  maupun bahan hukum sekunder juga bahan hukum tertier.
a.  Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai  sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas. Bahan hukum ini terdiri dari  peraturan perundang-undangan diantaranya adalah, catatan-catatan resmi maupun  risalah dalam pembuatan undang-undang.
b.  Bahan Hukum Sekunder Yaitu berupa bahan hukum yang merupakan publikasi hukum yang bukan  merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, dan jurnal. Bahan  hukum sekunder yang paling utama adalah buku teks karena berisi mengenai  prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana yang  memiliki kualitas keilmuan.
c.  Bahan hukum tersier  Bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup pertama, bahan-bahan  yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum  sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan  rujukan bidang hukum. Contohnya, adalah misalnya, abstrak perundang undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks   majalah hukum, kamus hukum dan seterusnya, dan kedua bahan-bahan primer,  sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum, misalnya, yang berasal  dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat dan lain sebagainya, yang  oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang  data penelitiannya.
3.  Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah studi  kepustakaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data  sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur,  tulisan, maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.
Pengumpulan data-data tersebut dilakukan dengan penelitian kepustakaan.
4.  Analisa Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat  dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian  konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategorikategori atas pengertian dasar dari system hukum tersebut.Data yang berasal dari  studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan  melakukan:  a.  Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi  terhadap bahan hukum tersebut.
 b.  Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis,  dalam hal ini ialah yang berhubungan dengan pelaksanaan lembaga paksa  badan.
c.  Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan  kemudian diolah  d.  Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau  peraturan perundang-undangan kemudian dianalisis secara deskriptif  kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta  kesimpulan atas permasalahan.
G.  Sistematika Penulisan Dalam usaha untuk menguraikan dan mendeskripsikan isi dan sajian  dalam karya ilmiah ini secara teratur, maka karya tulisan ilmiah ini dibagi  kedalam susunan yang terdiri atas lima bab dan beberapa sub bab tersendiri dalam  setiap bab dengan ruang lingkup pertanggungjawaban sebagai berikut : BAB I  : PENDAHULUAN Didalam bab pertama yang berisi pendahuluan ini, dipaparkan  pengantar untuk dapat memberikan penjelasan singkat dan  pengertian tentang ruang lingkup dan jangkauan daripada  pembahasan karya ilmiah ini. Meliputi latar belakang permasalahan,  keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauankepustakaan, metode penulisan dan pengumpulan data yang  digunakan serta sistematika penulisannya sendiri.
 BAB II : KEBERADAAN LEMBAGA PAKSA BADAN DI INDONESIA Didalam bab kedua ini akan dibahas mengenai ketentuan-ketentuan  hukum dalam pelaksanaan lembaga paksa badan di Indonesia yang  mencakup pengertian dan dasar yuridis keberadaan lembaga paksa  badan, lembaga paksa badan berdasarkan peraturan HIR maupun  RBG dan perbedaan lembaga paksa badan dan lembaga  penyanderaan.
BAB III : LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM KEPAILITAN  Didalam  bab ketiga ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai  bagaimanakah keberadaan lembaga paksa badan dalam kepailitan,  mencakup syarat-syarat kepailitan, proses dan akibat hukum dalam  kepailitan, lembaga paksa badan dalam kepailitan, syarat-syarat  pelaksanaan lembaga paksa badan dan para pihak dalam lembaga  paksa badan.
BAB  IV  :PELAKSANAAN  DAN  EFEKTIFITAS  LEMBAGA  PAKSA  BADAN DALAM PEMENUHAN KEWAJIBAN DEBITUR  PAILIT Pembahasan dalam bab yang keempat ini adalah merupakan  pembahasan yang bersumber dari penelitian ( research ). Aspek yang  akan dibahas dalam bab ini adalah mengenai proses dan pelaksanaan  lembaga paksa badan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun  2004 dan Perma No. 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan,  pelaksanaan lembaga paksa badan dipandang dari segi hak azasi   manusia, perpanjangan dalam pelaksanaan lembaga paksa badan dan  efektifitas pelaksanaan lembaga paksa badan dalam penagihan  kewajiban debitur pailit.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab terakhir ini akan memberikan beberapa intisari kesimpulan  berdasarkan hasil pembasan setiap bab dalam permasalahan tersebut.
Bab ini juga akan memaparkan beberapa saran yang dapat diberikan  sehubungan dengan pemaparan kesimpulan tersebut.
  

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi