BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai dengan bulan Maret 1995, Indonesia masih
menggunakan WvK (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847-23)
atau Kitab Undangundang Hukum Dagang (KUHD) dalam pengaturan Perseroan Terbatas
(PT) seperti yang diatur dalam Buku
Kesatu Titel Ketiga Bagian Ketiga Pasal 36
sampai dengan 56 dan perubahannya dilakukan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971. Pada tanggal 7 Maret 1995
diundangkan Undangundang Nomor 1 Tahun 1995, tentang Perseroan Terbatas
Lembaran Negara Republik Indonesia
(LNRI) Nomor 13 Tahun 1995 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 3678.
Setelah berusia kurang lebih 12 tahun,
pada tanggal 16 Agustus 2007 diberlakukan Undang-undang Perseroan Terbatas yang baru untuk
menggantikan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1995, yaitu dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tentang Perseroan Terbatas, LNRI Nomor 106
Tahun 2007 dan TLNRI Nomor 4756.
1 a. Bahwa perekonomian nasional yang
diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu Alasan dilakukan penggantian UUPT tersebut
sebagaimana tersebut dalam Konsiderans
Menimbang UUPT Nomor 40 Tahun 2007, yaitu: 1 Habib Adjie, Status Badan Hukum,
Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2008),
hal 1.
didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
b. Bahwa dalam rangka lebih meningkatkan
pembangunan perekonomian nasional dan
sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam mengahadapi perkembangan perekonomian
dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang
mengatur tentang perseroan terbatas yang
dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia
usaha yang kondusif.
c. Bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu
pilar pembangunan perekonomian nasional
perlu diberikan landasan hukum untuk lebih
memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
d. Bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti
dengan undang-undang yang lain.
Selanjutnya dalam
Penjelasan UUPT tersebut ditegaskan bahwa : a.
Dalam perkembangannya ketentuan
dalam undang-undang tersebut (UUPT Nomor
1 Tahun 1995) dipandang tidak lagi memenuhi
perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan informasi sudah berkembang begitu
pesat, khususnya pada era globalisasi.
b. Meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan
yang cepat, kepastian hukum.
c. Tuntutan akan perkembangan dunia usaha yang
sesuai dengan prinsip pengelolaan
perusahaan yang baik (good corporate governance).
2 Dengan perspektif seperti tersebut di atas,
diharapakan UUPT ini bersifat
akomodatif, fasilitatif dan antisipatif serta preskriftif untuk mendorong berbagai bentuk kegiatan ekonomi dan dapat
menumbuhkan kegiatan usaha yang saling
terkait dengan bidang lainnya. Fungsi hukum saat ini haruslah akomodatif, fasilitatif dan antisipatif serta
preskriftif yang maksudnya : a)
akomodatif, yang berarti hukum dapat mengakomodasikan semua kepentingan masyarakat, jangan sampai terjadi
hukum membelenggu dan 2 Penjelasan Umum
UUPT Nomor 40 Tahun 2007.
memasung kreativitas masyarakat, dalam segala
aspek hidup dan kehidupan.
b) fasilitatif, yang berarti hukum dapat
memfasilitasi semua kepentingan atau
kebutuhan masyarakat, dan selalu ada jalan bagi masyarakat ketika mengalami kebuntuan dalam rangka memenuhi
segala kepentingan dan kebutuhannya.
c) antisipatif,
yang berarti hukum dapat mengantisipasi kejadian-kejadian yang mungkin timbul di kemudian hari, yang
pada saat ini belum tentu terjadi.
d) preskriftif, yang berarti hukum dapat
meramalkan dan mengatur suatu kejadian
yang mungkin terjadi, dan hukum akan memberikan arah ke sesuatu yang akan terjadi tersebut.
3 Apabila dibuatkan
kategorisasi, maka dalam UUPT Nomor 40 Tahun
2007 ini mengandung ketentuan-ketentuan yang sama sekali baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UUPT Nomor 1
Tahun 1995, misalnya : a) Pasal 30
mengenai pengumuman perseroan dalam Tambahan Negara Republik Indonesia menjadi tugas Menteri.
b) Pasal 74, menegaskan bahwa perseroan terbatas
dalam menjalankan kegiatan usahanya
untuk bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
c) Pasal 77, penyelenggaraan RUPS selain dapat
dilakukan di tempat kedudukan perseroan
atau di tempat perseroan melakukan kegiatan
usahanya, RUPS dapat juga dilakukan melalui telekonfrensi, video 3 Habib
Adjie, Op.cit. Hal 3.
konfrensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan
mendengar secara langsung serta
berpartisipasi dalam rapat.
d) Pasal 126, di samping mengatur mengenai
Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, dikenal juga Pemisahan Perusahaan (perseroan).
e) Kemudian dalam pasal 156 dalam rangka
pelaksanaan dan perkembangan UUPT akan
dibentuk tim ahli hukum perseroan, yang tugasnya memberikan masukan kepada Menteri berkenaan
dengan perseroan.
4 Berdasarkan hal
di atas dapat dilihat bahwa UUPT yang baru yaitu UUPT Nomor 40 Tahun 2007 mewajibkan bahwa
perseroan terbatas yang dalam
menjalankan kegiatan usahanya untuk bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam, wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
Hal ini diatur dalam Pasal 74 UUPT yang berbunyi : Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Pasal 74 1) Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan.
2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
5 4 Ibid, hal 4-6.
5 UUPT Nomor 40
Tahun 2007 Pasal 74.
Sebenarnya, secara keseluruhan kalangan dunia
usaha menanggapi dengan baik lahirnya UUPT
yang baru ini yaitu UU Nomor 40 Tahun 2007,
hanya saja kalangan pengusaha masih mempermasalahkan satu pasal
dalam UU ini yaitu Pasal 74. Tatkala
kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) yang diwajibkan dalam Pasal 74
UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, sontak menuai protes. Pasalnya, aktivitas CSR diasumsikan sebagai aktivitas berdasarkan
kerelaan dan bukannya “paksaan”.
Sehingga banyak
kalangan pengusaha menganggap Pasal 74 ini seharusnya tidak perlu ada dalam UU Nomor 40 Tahun 2007
dan pasal ini dianggap menodai UUPT yang
baru ini.
Sejak DPR
memasukkan konsep mengenai CSR ini dalam pembahasan Rancangan UUPT, muncul sikap pro dan kontra
dari masyarakat khususnya kalangan dunia
usaha. Kontroversi ini muncul karena
adanya kewajiban pelaksanaan CSR.
Pendapat dari beberapa pihak yang kontra di antaranya : 1. CSR seharusnya bersifat sukarela. Mereka yang
melaksanakan CSR dalam pengelolaan
perusahaannya akan merasakan sendiri manfaat dari tanggung jawab sosial yang dilakukannya, sehinga tidak
perlu diwajibkan.
2. Diwajibkannya CSR dalam UUPT dianggap akan
memberatkan perusahaan, karena dapat
menambah biaya operasional. Dalam bukunya,
Gunawan Widjaja menyatakan pendapat dari Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat yang
mengatakan : “Kami dari dunia usaha keberatan secara prinsipil kalau CSR menjadi sesuatu yang wajib seperti membayar
pajak. Itu (CSR) sama saja dengan pajak
tambahan. Akan menggangu iklim usaha dan
investasi di Indonesia”.
3. UUPT hanya mewajibkan CSR bagi perusahaan
yang kegiatan usahanya di bidang dan /
atau bersangkutan dengan sumber daya alam. Ketentuan kegiatan usaha di bidang dan / atau
bersangkutan dengan sumber daya alam ini
oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro dinilai sebagai kebijakan yang
tidak adil.
6 Sebaliknya,
mereka yang mendukung, beragumen kalau
tidak diatur maka perusahaan
cenderung abai menjalankan tanggung
jawab sosialnya.
Pihak pro-CSR
mengharapkan korporasi dapat ikut serta
dalam proses pembangunan berkelanjutan.
Korporasi bukanlah entitas terpisah dari sebuah
masyarakat dan lingkungan di mana dia berada, tetapi korporasi merupakan bagian integral yang hanya dapat eksis jika
memiliki legitimasi sosial yang kuat.
7 Untuk memiliki
legitimasi yang kuat, sebuah korporasi mesti memiliki banyak manfaat dan peduli lingkungan
sosialnya atau menjadi good corporate
citizenship.
8 Memang
bibit-bibit CSR berawal dari semangat filantropis perusahaan.
Namun tekanan dari
komunitas yang keras, terutama di tengah masyarakat yang kritis macam masyarakat Eropa,
menjadikan CSR menjadi semacam social
license to operation. Dan ini akan dilakukan oleh komunitas, bukan oleh negara.
6 Gunawan Widjaja
& Yeremia Ardi Pratama, Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR, (Jakarta : PT. Percetakan Penebar
Swadaya, Desember 2008), hal 3-4.
7 Ibid, hal 5.
8 Good Corporate
Citizenship dapat dirumuskan sebagai suatu pemahaman dan pengelolaan atas pengaruh perusahaan secara luas terhadap
masyarakat untuk kebaikan perusahaan dan
masyarakat secara keseluruhan.
Jika diperhatikan, masyarakat sekarang hidup
dalam kondisi yang dipenuhi beragam
informasi dari berbagai bidang, serta dibekali kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pola seperti
ini mendorong terbentuknya cara pikir,
gaya hidup dan tuntutan masyarakat yang lebih tajam. Seiring dengan perkembangan ini, tumbuh suatu gerakan
konsumen yang kita kenal sebagai
vigilante consumerism 9 yang kemudian berkembang menjadi ethical
consumerism.
10 Riset yang
dilakukan oleh Roper Search Worldwide menunjukkan 75% responden memberi nilai lebih kepada produk barang dan
jasa yang dipasarkan oleh perusahaan yang memberi
kontribusi nyata kepada komunitas
melalui program pengembangan. Sekitar 66% responden juga
menunjukkan mereka siap berganti merek
kepada merek perusahaan yang memiliki citra
sosial yang positif. Hal ini
membuktikan terjadinya perluasan ‘minat’
konsumen dari ‘produk’ menuju korporat.
11 Konsumen semacam
ini tidak hanya peduli pada faktor pemenuhan
kebutuhan pribadi sesaat saja, tetapi juga peduli pada penciptaan
kesejahteraan Konsumen menaruh
perhatiannya terhadap tanggung jawab sosial
perusahaan yang lebih luas, yang menyangkut etika bisnis dan tanggung
jawab sosialnya. Kepedulian konsumen
telah meluas dari sekedar kepada suatu
produk menjadi kepada korporatnya.
9 Vigilante
Consumerism dapat diartikan sebagai konsumen yang hanya menaruh minatnya kepada produk.
10 Ethical
Consumerism dapat diartikan sebagai konsumen yang pantas atau konsumen
yang beretika yaitu kepedulian konsumen
telah meluas tidak hanya terhadap tanggung jawab sosial saja tetapi juga menyangkut terhadap etika bisnis.
11 A.B.Susanto, A
Strategic Management Approach Corporate
Social Responsibility, (Jakarta: The
Jakarta Consulting Group, November 2007), hal 3 dan 5.
jangka panjang. Meningkatnya tingkat
kepedulian akan kualitas kehidupan,
harmonisasi dan lingkungan ini juga mempengaruhi aktivitas dunia bisnis.
Maka lahirlah
gugatan terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggung jawab sosial. Di sinilah salah satu manfaat
yang dapat dipetik perusahaan dari
kegiatan CSR. Dalam konteks inilah aktivitas CSR menjadi menu wajib bagi perusahaan, di luar kewajiban yang digariskan
undang-undang.
12 Gambar 1 : Ilustrasi
Evolusi Hubungan Perusahaan dengan
Komunitas (Sumber : A.B. Susanto,
A Strategic Management Approach Corporate Social Responsibility, Jakarta : The Jakarta
Consulting Group, November 2007, hal 7).
Hubungan antara
komunitas dengan perusahaan telah mengalami
pergeseran. Awalnya perusahaan
meluncurkan program Community Development (CD) 13 12 Ibid, hal 6.
13 Community
Development adalah kegiatan pembangunan komunitas yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk
memperbesar akses komunitas guna mencapai kondisi sosial, ekonomi, kehidupan
dan kualitas yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya.
dalam upayanya
membina hubungan dengan komunitas.
Kemudian dengan
aktivitas CSR sebagai lisensi sosial untuk beroperasi. Dan terakhir, perusahaan dituntut untuk mempunyai
peran kepemimpinan dalam komunitasnya.
Community
Development Corporate Social Responsibility Corporate Social Leadership
Relationship with community Mutual
partnership, sustainable program Social
license to operation Namun ternyata hanya sekedar menjalankan
aktivitas CSR tidak lagi mencukupi.
Dalam pelaksanaannya CSR masih memiliki kekurangan.
Program-program CSR
yang banyak dijalankan oleh perusahaan banyak yang hanya memiliki pengaruh jangka pendek dengan
skala yang terbatas. Programprogram CSR yang dilaksanakan sering kali kurang
menyentuh akar permasalahan komunitas
yang sesunguhnya. Sering kali pihak perusahaan
masih menganggap dirinya sebagai pihak yang paling memahami kebutuhan komunitas, sementara komunitas dianggap
sebagai kelompok pinggiran yang
menderita sehingga memerlukan bantuan perusahaan. Di samping itu,
aktivitas CSR dianggap hanya semata-mata
dilakukan demi terciptanya reputasi
perusahaan yang positif, bukan demi perbaikan kualitas hidup
komunitas dalam jangka panjang.
Kritik lain dari
pelaksanaan CSR adalah karena seringkali
diselenggarakan dengan jumlah biaya yang tidak sedikit, maka CSR
identik dengan perusahaan besar yang
ternama. Yang menjadi permasalahan adalah
dengan kekuatan sumber daya yang dimilikinya, perusahaan-perusahaan
besar dan ternama ini mampu membentuk
opini publik yang 14 14 Ibid, hal 7-8.
mampu
mengesankan seolah-olah mereka telah
melaksanakan CSR, padahal yang dilakukannya
hanya semata-mata aktivitas filantropis, bahkan boleh jadi dilakukan
untuk menutupi perilaku-perilaku yang
tidak etis serta perbuatan melangar hukum.
Diidentikkannya CSR
dengan perusahaan besar dan ternama membawa
aplikasi lain. Bila perusahaan besar dan ternama tersebut melakukan
perbuatan yang tidak etis bahkan
melanggar hukum, maka sorotan tajam publik akan mengarah kepada mereka. Namun bila yang
melakukannya perusahaan kecil atau
menengah yang kurang ternama, maka publik cenderung untuk kurang peduli, atau kalaupun publik menaruh perhatian, perhatian yang
diberikan tidak sebesar bila yang
melakukannya adalah perusahaan besar yang ternama.
Padahal
perilaku-perilaku yang tidak etis serta perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh siapa pun tidak dapat
diterima.
Sekali lagi, ini
bukan berarti CSR kehilangan relevansinya. CSR tetap penting dan harus dijalankan. Namun di
samping CSR, perusahaan perlu mengambil
inisiatif kepemimpinan sosial. Inilah yang diistilahkan oleh Hills dan Gibbon dengan Corporate Social Leadership
(CSL) 15 Dalam CSL, program-program yang dilaksanakan harus mampu benarbenar
memberdayakan masyarakat, artinya masyarakat yang memiliki daya . Dalam CSL,
perusahaan bukan hanya dituntut untuk menjalankan tangung jawab
sosialnya, namun juga harus menjadi
sebuah institusi yang memimpin, memberikan
inspirasi bagi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga
kualitas hidup masyarakat secara umum
meningkat dalam jangka panjang.
Dalam CSL,
perusahaan harus menyadari bahwa dirinya adalah bagian yang tak terpisahakan dari masyarakat yang
lebih luas, sehingga hal buruk yang
menimpa dan merugikan masyarakat pada gilirannya akan berdampak pada mereka juga. Oleh karena perusahaan
harus memperlakukan komunitasnya sebagai
mitra.
15 Corporate Social
Leadership adalah perusahaan juga harus menjadi institusi memimpin, memberikan inspirasi bagi terjadinya
perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga kualitas hidup masyarakat secara umum meningkat dalam jangka
panjang.
tahan yang tinggi serta mampu memecahkan
setiap persoalan yang dihadapi dengan
kekuatan sendiri dalam jangka panjang.
16 B. Perumusan Masalah Melihat adanya kontroversi
mengenai masalah CSR seperti yang
dipaparkan di atas, di mana
banyak kalangan pengusaha yang
merasa berkeberatan terhadap adanya
kewajiban bagi perusahaan yang kegiatan
usahanya berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
(CSR), maka mendorong penulis untuk
membuat skripsi yang mengkaji tentang Risiko Hukum dan Bisnis
Perusahaan Tanpa CSR. Dalam skripsi ini akan dibahas mengapa
perusahaan harus bertanggung jawab
terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan hidup, apa keuntungan dari pelaksanaan CSR tersebut, dan
bagaimana risiko hukum dari suatu
perusahaan yang tidak melaksanakan CSR itu.
Dari
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan CSR seperti banyak
kalangan pengusaha yang beranggapan bahwa aktivitas CSR diasumsikan sebagai aktivitas berdasarkan
kerelaan bukannya paksaan, maka penulis
melalui skripsi yang berjudul “Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR” mengangkat rumusan-rumusan masalah
sebagai berikut: 1. Bagaimana cara
pandang suatu perusahaan terhadap CSR? 2.
Bagaimana konteks pelaksanaan CSR di Indonesia? 3. Bagaimana risiko hukum dari suatu perusahaan
yang tidak melaksanakan CSR? 16 Ibid,
hal 9-10.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Secara umum yang menjadi
tujuan penulis membahas skripsi ini
adalah guna melengkapi dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum , di samping itu untuk membiasakan penulis dalam
menyusun suatu karya ilmiah.
Beberapa tujuan
khusus yang ingin penulis sampaikan dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui cara suatu perusahaan di dalam memandang CSR 2.
Untuk mengetahui konteks pelaksanaan CSR di Indonesia 3. Untuk mengetahui risiko hukum dari suatu
perusahaan yang tidak melaksanakan
CSR 2.
Manfaat Penulisan Manfaat penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Secara Teoritis Secara teoritis yakni mengadakan penelitian lebih lanjut
serta untuk kepentingan ilmu pengetahuan
dalam rangka pembinaan dan pembangunan
nasional pada umumnya serta memberikan pemahaman dan pandangan baru terhadap pelaksanaan CSR
di Indonesia. Seperti kita ketahui bahwa
CSR baru pertama kalinya diatur di Indonesia pada tahun 2007 yaitu yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 yaitu
UU Investasi dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 yaitu UU Peseroan Terbatas.
2. Secara Praktis Pembahasan ini diharapkan
dapat menjadi bahan masukan bagi pembaca
juga sebagai bahan untuk kajian bagi para akademisi dalam menambah wawasan pengetahuan terutama di
bidang pelaksanaan CSR.
D. Keaslian
Penulisan Dalam penulisan skripsi ini berjudul “Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR” ada beberapa mahasiswa Fakultas Hukum yang telah menulis skripsi tentang CSR,
antara lain : 1. Revondy Khisty / 030200095 dengan judul
skripsi : “CSR yang Dilakukan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. terhadap
Masyarakat Sekitar Toba Samosir”.
2. Aimi Solidei Manalu / 040200015 dengan judul
skripsi : “CSR yang Dilakukan Bank Sumut Kepada Masyarakat (Studi pada PT.
Bank Sumut, Kantor
Pusat Jl. Imam Bonjol No. 18 Medan).
3. Duma Natalia Saragih / 040200014 dengan judul
skripsi : “Pelaksanaan Prinsip CSR Pada PT. Telekomunikasi Indonesia
(Studi pada PT. Telkom Kandatel, Medan
Jl. Prof. H.M.Yamin, SH No. 13
Medan).” 4. Muhammad Iqbal / 050200076 dengan judul
skripsi : “Pengawasan Implementasi CSR PT. Inalum terhadap Masyarakat dan Lingkungan Sekitar Perusahaan.” Meskipun
demikian skripsi-skripsi tersebut berbeda substansi yang dibahas dalam skripsi ini. Dengan demikian
keaslian penulisan skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulis menyusun skripsi ini melalui pemikiran, referensi dari buku-buku,
internet, media massa, dan bantuan dari
berbagai pihak.
E. Tinjauan Pustaka Di dalam membahas arti
perusahaan atau badan usaha (firm) bukan
hanya suatu usaha atau kegiatan ekonomi yang dilakukan secara
berkelompok (asosiasi modal) tapi juga
suatu usaha yang dilakukan secara perorangan yang menghasilkan barang dan jasa. Hal ini perlu
ditafsirkan luas karena masalah tanggung
jawab sosial perusahaan harus dilakukan oleh setiap pelaku kegiatan ekonomi, baik berbentuk persekutuan
(partnership) atau perseroan
(corporation) ataupun usaha perorangan (sale proprietorship atau
individual proprietorship) dengan tujuan
untuk mencari untung.
Meskipun tidak ada
arti yang tegas, tapi kemudian para ahli
memberikan arti atau pengertian perusahaan. Seperti menurut
Molenggraaff, menurutnya perusahaan
adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk
mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan
barang-barang, menyerahkan barang-barang
atau mengadakan perjanjian-perjanjian
perdagangan. Sedangkan menurut Polak, bahwa baru ada perusahaan, bila diperlukan
adanya perhitungan tentang laba-rugi yang dapat diperkirakan, dan segala sesuatu
itu dicatat dalam pembukuan.
17 Walaupun telah
menjadi isu global, sampai saat ini belum ada suatu definisi tunggal dari CSR yang diterima
secara global. Secara etimologis CSR dapat diartikan sebagai Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan atau Korporasi.
Menurut pasal 1
butir 3 UUPT yang dimaksud dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan
untuk berperan serta dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan
sendiri, komunitas setempat, maupun pada
masyarakat pada umumnya.
18 Dalam bukunya,
Yusuf Wibisono mengemukakan pendapat The World
Business Council for Sustainable Development (WBSCD) yaitu lembaga
internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari
120 multinasional company yang berasal lebih dari 30 negara itu,
dalam publikasinya Making Good Business Sense mendefinisikan CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan sebagai
komitmen dunia usaha untuk terus menerus
bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan
peningkatan kualitas hidup dari karyawan
dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat yang lebih luas.
19 17 Habib Adjie,
Op.cit. Hal 55-56.
18 UUPT Nomor 40
Tahun 2007 Pasal 1 butir 3.
19 Yusuf Wibisono,
Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, (Gresik : Fascho Publishing, November 2007), hal 7.
Sedangkan A.B. Susanto mengemukakan pendapat
komisi Eropa yang membuat definisi yang
lebih praktis, yang pada galibnya bagaimana
perusahaan secara sukarela memberi kontribusi bagi terbentuknya
masyarakat yang lebih baik dan
lingkungan yang lebih bersih.
20 Menurut definisi
yang dikemukakan oleh The Jakarta Consulting
Group, tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal)
maupun ke luar (eksternal) perusahaan.
Ke dalam, tangung jawab ini diarahkan kepada
pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Ke
luar, tanggung jawab sosial ini
berkaitan dengan peran perusahaan sebagai
pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan
dan kompetensi masyarakat, serta
memelihara lingkungan bagi kepentingan
generasi mendatang.
Sedangkan menurut
Elkington bahwa sebuah perusahaan
yang menunjukkan tanggung jawab
sosialnya akan memberikan perhatian kepada
peningkatan kualitas perusahaan (profit); masyarakat, khususnya
komunitas sekitar (people); serta
lingkungan hidup (planet bumi).
21 F. Metode Penulisan Untuk melengkapi penulisan
skripsi ini agar tulisan lebih terarah dan
dapat dipertanggungjawabkan,
penulis menggunakan metode penelitian
hukum normatif dengan pengumpulan data secara Studi Pustaka
(Library Research) yang : 20 A.B.
Susanto, Op.cit. Hal 21.
21 Ibid, hal 22.
1)
Jenis dan Sifat Penelitian Dalam menyusun skripsi ini, digunakan jenis
penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum doktrinal adalah
penelitian dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data skunder.
22 2) Data Penelitian Sifat dari penelitian ini
ialah bersifat deskriptif di mana penulis berusaha menjelaskan mengapa perusahaan harus
bertanggung jawab terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan hidup, apa
keuntungan dengan dilaksanakannya CSR
dalam suatu perusahaan, dan risiko hukum dari
suatu perusahaan yang mengabaikan CSR.
Penulis melakukan
suatu penelitian kepustakaan (Library Research).
Penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan yang disebut juga dengan penelitian normatif,
yaitu penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder biasa.
Pengumpulan data
dalam penelitian hukum normatif dengan menggunakan data skunder dapat dibagi atas 3 kelompok
besar yaitu : 1. Bahan Hukum Primer
yaitu bahan hukum yang mengikat
masyarakat yang terdiri dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas 22
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta
: RajaGrafindo Persada, 2004), Hal 118.
2.
Bahan Hukum Skunder yaitu seluruh keterangan, kajian, analisis tentang hukum positif seperti buku /
literatur, makalah, seminar, skripsi,
dan thesis.
3. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan-bahan yang
mendukung untuk memberi penjelasan dalam
penyusunan skripsi ini yang diperoleh
oleh penulis dari internet.
3) Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan
Data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti
bahan-bahan pustaka yang disebut dengan data skunder berupa
perundangundangan, karya ilmiah para ahli, sejumlah buku-buku, artikel-artikel,
baik dari surat kabar, majalah, maupun
media elektronik, yang semuanya itu dimaksudkan
untuk memperoleh data-data atau bahan-bahan yang bersifat teoritis yang
dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian.
4) Analisis Data Data skunder yang telah disusun
secara sistematis kemudian dianalisa
secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
Metode deduktif
dilakukan dengan membaca, menafsirkan, dan
membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang
berhubungan dengan topik dalam skripsi
ini sehingga diperleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan
dalam penulisan skripsi ini mempunyai kaitan
dan hubungan yang erat satu sama lainnya. Karena pada dasarnya isi
dari penulisan ini adalah merupakan satu
kesatuan. Gambaran dari skripsi ini
terdiri dari 5 (lima) bab dan beberapa sub bab sebagai berikut : BAB I
: Pendahuluan Bagian ini merupakan
pendahuluan dari konsep materi yang akan
dibahas. Bagian pendahuluan ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan, keaslian penulisan,
tinjauan pustaka, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.
BAB II : Gambaran Umum Mengenai CSR Bab ini akan
menjabarkan hal-hal umum berkaitan dengan
CSR menyangkut bagaimana latar belakang atau sejarah CSR, pengertian dan manfaat CSR, konsep CSR,
kategori perusahaan menurut implementasi
CSR dan faktor yang mempengaruhi
implementasi CSR, dan beberapa
produk hukum yang mengatur mengenai CSR.
BAB III : Stakeholders dalam Perusahaan Bab ini akan
menjabarkan tentang eksistensi, arti, dan
tujuan perusahaan, pengertian stakeholders dan lahirnya kepentingan dalam perusahaan, pembagian
stakeholders perusahaan, manajemen
stakeholders, dan hubungan perusahaan
dengan stakeholders.
BAB IV : Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR
Bab ini akan menjabarkan tentang cara pandang perusahaan terhadap
CSR, keuntungan pelaksanaan CSR,
konteks pelaksanaan CSR di
Indonesia, dan risiko hukum dari suatu
perusahaan yang tidak melaksanakan CSR .
BAB V : Kesimpulan dan Saran Bagian penutup dalam
skripsi ini merupakan bab terakhir, di
mana dikemukakan mengenai kesimpulan dan saran
yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan sebelumnya dalam skripsi ini.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi