Senin, 07 April 2014

Skripsi Hukum: ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU UNJUK RASA YANG BERSIFAT ANARKI



BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
Seperti kita ketahui, bahwa fungsi hukum adalah untuk mengatur  hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dan hubungan antara  manusia dan negara agar segala sesuatunya berjalan dengan tertib. Oleh karena  itu, tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian dengan mewujudkan  kepastian hukum dan keadilan didalam masyarakat. Kepastian hukum  menghendaki adanya perumusan kaedah-kaedah dalam peraturan perundangundangan itu harus dilaksanakan dengan tegas.

Asas kepastian hukum berfungsi agar warga masyarakat bebas dari  tindakan pemerintah dan pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dan sewenangwenang. Implementasi asas ini menuntut dipenuhinya : 1 1 - Syarat legalitas dan konstitusionalitas, tindakan pemerintah dan pejabatnya  bertumpu pada perundang-undangan dalam kerangka konstitusi.
- Syarat Undang-undang menetapkan berbagai perangkat aturan tentang cara  pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan.
-  Syarat perundang-undangan hanya mengikat warga  masyarakat setelah  diundangkan dan tidak berlaku surut ( Non Retroaktif).
- Asas peradilan bebas terjaminnya objektifitas, adil dan manusiawi.
http://pa-cilacapkab.go.id/artikel/REFLEKSI-HUKUM.pdf, terakhir diakses tanggal 5  Maret 2010  - Asas bahwa Hakim tidak boleh menolak mengadili perkara dengan alasan  hukum tidak ada atau tidak jelas.
Oleh karena itu, hukum mengatur kepentingan-kepentingan warga  masyarakat dan hukum ditetapkan untuk suatu persitiwa yang terjadi di masa  sekarang atau di masa yang akan datang, maka pelaksanaannya harus  dilaksanakan dengan tegas sesuai dengan ketetapan yang ada di dalam undangundang untuk mencapai suatu kepastian hukum dan ketertiban di dalam  masyarakat.
Pelaksanaan undang-undang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari  mempunyai arti yang sangat penting, karena apa yang menjadi tujuan hukum  justru terletak pada pelaksanaan hukum itu sendiri. Ketertiban dan kenyamanan  hanya dapat diwujudkan dalam kenyataan apabila hukum itu dilaksanakan, karena  memang hukum diciptakan untuk dilaksanakan.
Kalau hukum tersebut tidak terlaksana, maka hukum atau undang-undang  itu hanya merupakan susunan kata-kata yang tidak mempunyai makna dalam  kehidupan masyarakat. Peraturan hukum atau undang-undang yang demikian akan  mati dengan sendirinya.
Secara tradisional ada yang memusatkan tujuan hukum untuk mewujudkan  keadilan dan ketertiban. Kalau dikaji lebih dalam, pada tingkat tertentu dua tujuan  itu tidak selalu seiring bahkan dapat bertentangan satu sama lain. Tujuan  mewujudkan keadilan berbeda dengan tujuan mewujudkan ketertiban. Dalam  keadaan tertentu, tuntutan keadilan akan melonggarkan kepastian hukum,  sedangkan kepastian hukum justru merupakan komponen utama mewujudkan   ketertiban. Tanpa kepastian hukum tidak akan ada ketertiban. Sebaliknya pada  tingkat tertentu, ketertiban dapat menggerogoti keadilan. Selain mewujudkan  kepastian, ketertiban memerlukan persamaan (equality), sedangkan keadilan harus  memungkinkan keberagaman atau perbedaan perlakuan. Uraian diatas sekedar  ingin menunjukkan bahwa permasalahan hukum tidaklah sesederhana seperti acap  kali didengung-dengungkan. Sekedar konsep, sangat mudah mengucapkan  keadilan dan ketertiban, tetapi pada tatanan operasional didapati bermacammacam masalah yang dihadapi. Bahkan seperti disebutkan diatas, dapat terjadi  pertentangan satu sama lain Rasa keadilan serta keinginan untuk hidup lebih sejahtera merupakan  keinginan dari seluruh rakyat dimanapun dia berada. Namun apabila rakyat tidak  mendapatkan sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh Penguasa ataupun  Pemerintah untuk hidup lebih baik, rakyat akan melakukan unjuk rasa atau  demonstrasi.
Tragedi Tiananmen di Cina, Revolusi Prancis, Revolusi Amerika Serikat,  perjuangan-perjuangan kemerdekaan di seantero dunia, Peristiwa People Power di  Filipina, revolusi di Rusia, hingga Peristiwa 1966 dan 1998 di Indonesia telah  menjadi contoh nyata bagi kita bahwa demonstrasi dan aksi rakyat telah menjadi  bagian dari sejarah penting bagi negara maju dan berkembang. Semua menjadi   bukti bahwa demonstrasi adalah proses yang wajar dan bahkan kontributif bagi  perkembangan dan perbaikan suatu bangsa.
2 Tetapi aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang mulai marak akhir-akhir ini  terkadang disertai juga dengan tindakan yang tidak bertanggungjawab yaitu  dengan melakukan pengerusakan fasilitas umum, yang tentunya bertentangan  dengan tujuan dari unjuk rasa atau demonstrasi itu sendiri. Aksi demonstrasi yang  tidak bertanggungjawab tersebut tentunya melanggar ketentuan yang terdapat  Demonstrasi adalah tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik,  ketidakberpihakan, mengajari hal-hal yang dianggap sebuah penyimpangan. Maka  dalam hal ini, sebenarnya secara bahasa demonstrasi tidak sesempit, melakukan  long-march, berteriak-teriak, membakar ban, aksi teatrikal, merusak pagar, atau  tindakan-tindakan yang selama ini melekat pada kata demonstrasi. Seharusnya  demonstrasi juga “mendemonstrasikan” apa yang seharusnya dilakukan oleh  pihak yang menjadi objek protes.
Unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bagian dari kehidupan  demokrasi di suatu negara karena demonstrasi merupakan salah satu cara untuk  mengungkapkan pendapat dimuka umum. Demonstrasi yang terjadi belakangan  ini pada dasarnya semakin marak sejak jatuhnya rezim Orde Baru, dalam kaitan  ini masyarakat Indonesia sudah mulai banyak yang melihat, mendengar bahkan  terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan demonstrasi.
2 http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx, terakhir diakses tanggal 5 Maret  2010   dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan  Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Sepuluh tahun pula reformasi bergulir, demonstrasi masih menjadi pilihan  beberapa pihak untuk menyuarakan kepentingan, ide, dan kritiknya. Demonstrasi  sengketa hasil Pilkada, demonstrasi mahasiswa, aksi jahit mulut, hingga  demonstrasi buruh terus mewarnai kehidupan demokrasi di negara ini. Cita-cita  mulia reformasi, yang konon masyarakat adil dan makmur, tampaknya belum juga  tercapai. Demonstrasi pun telah menjadi semakin tak berarah, dan merugikan  masyarakat apabila terjadi tindak pidana misalnya dengan pengerusakan serta  penganiayaan atau anarkisme.
Seperti terlihat dari akibat aksi anarki para pengunjuk rasa pendukung  Propinsi Tapanuli di Gedung DPRD Sumatera Utara pada tanggal 3 Februari  2009. Anarkisme tersebut menimbulkan kerusakan fasilitas DPRD Sumatera  Utara dan fasilitas umum, dan yang sangat disesalkan adalah meninggalnya Ketua  DPRD Sumatera Utara, H. Abdul Aziz Angkat.
Dampak dari aksi anarki tersebut, tidak hanya terhadap fasilitas negara,  namun juga dirasakan oleh orang-orang yang tidak terlibat dalam politis, seperti  kutipan dari Harian Kompas: 3 “Demonstrasi yang berakhir anarkis ini juga melukai Edward Tampubolon  (27) seorang penjual rokok. Edward pingsan setelah terkena lemparan batu  di kepalanya hingga berdarah. Edward yang tidak sadar diri lalu dibawa  petugas keamanan DPRD Sumut ke RS Malahayati, Medan. Edward  membayar sendiri pengobatannya. ”Uang yang tersisa Rp 52.000 di  kantong saya habis. Lima bungkus rokok saya juga hilang,” katanya.” 3 http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/04/00180640/Polisi.Periksa.13.Saksi,  terakhir diakses tanggal 25 Februari 2010  B. Permasalahan 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan tindakan anarki pada saat  demonstrasi?  2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Penanggung Jawab Demonstrasi (Studi  Putusan Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn)? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menyebabkan tindakan anarki  pada saat demonstrasi.
b. Untuk mengetahui bagaimanakah pertanggungjawaban penanggung jawab  unjuk rasa/ demonstrasi, dalam hal ini dengan mengambil studi Putusan  Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn.
D. Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:  a.  Sebagai bahan kajian lebih lanjut terhadap persoalan dibidang pidana,  khususnya tentang pertanggungjawaban pidana pelaku unjuk rasa.
b.  Sebagai bahan bagi masyarakat dan akademisi untuk mendapatkan kajian  yuridis terhadap kasus demonstrasi Propinsi  Tapanuli yang berakhir  anarki.
 c.  Sebagai bahan kajian bagi pemerintah dalam melakukan  social  engineering terhadap masyarakat yang menyalurkan aspirasinya melalui  demonstrasi agar tidak melakukan tindakan anarki.
E. Keaslian Penulisan Sepanjang yang diketahui dan ditelusuri oleh penulis di lingkungan  Fakultas Hukum  bahwa penulisan mengenai Analisis  Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Unjuk Rasa yang Bersifat Anarki (Studi  Putusan Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn), belum pernah dilakukan  sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Depertemen  Hukum Pidana mengenai tidak adanya judul yang sama.
Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin  dicapai dalam penulisan ini; maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah karya  penulis yang asli.
F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah ”Peristiwa Pidana” atau ”Tindak Pidana” adalah sebagai terjemahan  dari istilah bahasa Belanda ”strafbaar feit”. Dalam bahasa Indonesia disamping  istilah ”peristiwa pidana” untuk terjemahan strafbaar feit atau delict dikenal juga   beberapa terjemahan lain tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh  dihukum dan perbuatan yang dapat dihukum.
4 Perumusan peristiwa  pidana menurut Prof. Simons adalah ”Een  strafbaargelesetelde, onrechtmatige, met schuld in verband standee handeling van  een teorekeningvatbar person”. Adapun maksud dari perumusan tersebut adalah  salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang  yang mampu bertanggungjawab. Perumusan Simons tersebut menunjukkan unsurunsur peristiwa pidana diantaranya handeling  (perbuatan manusia) dimana  perbuatan manusia tidak hanya een doen (perbuatan) akan tetapi juga een natalen atau niet doen (melakukan atau tidak terbuat).
Beberapa sarjana telah berusaha untuk memberikan perumusan tentang  pengertian dari peristiwa pidana, diantaranya: 1. VOS VOS hanya memberikan perumusan yang sangat singkat mengenai  tindakan/perbuatan pidana. Menurut beliau bahwa strafbaar feit ialah kelakuan  atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan  pidana.
2. D. Simons 5   Unsur-unsur yang lain adalah perbuatan manusia itu harus melawan  hukum (wederechtelijk), perbuatan itu diancam dengan pidana (strafbaargestelde)  oleh undang-undang, harus dilakukan oleh seseorang yang mampu  4 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana , cetakan ke-1,  Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal.37 5 Ibid  bertanggungjawab (toerekeningsvarbaar), dan pada perbuatan itu harus terdapat  kesalahan (schuld) si pelaku).
3. Van Hamel Perumusan perbuatan pidana atau tindak pidana yang dikemukakan oleh  Van Hamel sebenarnya sama dengan yang dikemukakan oleh Simons. Van Hamel  menguraikan bahwa makna kesalahan (schuld) lebih tegas lagi. Menurutnya  kesalahan meliputi juga kesengajaan, kealpaan, serta kelalaian dan kemampuan  bertanggungjawab. Van Hamel juga menyatakan bahwa istilah strafbaar feit tidak  tepat, tetapi dia menggunakan istilah strafwaardig feit (peristiwa yang bernilai  atau patut dipidana).
6 Moeljatno cenderung lebih suka menggunakan kata ”perbuatan pidana”  daripada kata ”tindak pidana”. Menurut beliau kata ”tindak pidana” dikenal  karena banyak digunakan dalam perundang-undangan untuk menyebut suatu  ”perbuatan pidana” 4. Moeljatno 7 Wujud dari perbuatan ini pertama-tama harus dilihat pada perumusan  tindak pidana dalam Pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana. Perumusan ini  dalam bahasa Belanda dinamakan delicts-omschrijving. Misalnya dalam tindak  .
Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan pidana  adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan huku m, larangan mana disertai  ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan  tersebut.
6 Ibid 7 Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, 1993 Jakarta :PT Rineka Cipta, hal. 56  pidana pencurian, permumusan secara formil, yaitu benar-benar disebutkan wujud  suatu gerakan tertentu dari badan seorang manusia.
Sebaliknya perumusan secara materil memuat penyebutan suatu akibat  yang disebabkan oleh perbuatannya, seperti misalnya tindak pidana pembunuhan,  yang dalam Pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai ”mengakibatkan matinya orang  lain”.
Perbedaan perumusan formil dan materil ini tidak berarti bahwa dalam  perumusan formil tidak ada suatu akibat sebagai unsur tindak pidana. Juga dalam  tindak pidana dengan perumusan formil selalu ada akibat yang merupakan alasan  diancamkannya hukuman pidana. Akibat ini adalah selalu suatu kerugian pada  kepentingan orang lain atau kepentingan negara.
”Perbuatan” biasanya bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat negatif,  yaitu terjadi apabila orang tidak melakukan suatu perbuatan tertentu yang ia wajib  melakukan sehingga suatu peristiwa terjadi yang tidak akan terjadi apabila  perbuatan tertentu itu dilakukan. Sebagai contoh dapat dikemukakan seorang ibu  yang tidak memberi makan kepada anaknya yang masih bayi sehingga anak itu  meninggal dunia 8 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah  keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut,  .
2. Pertanggungjawaban Pidana 8 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, 2003. Bandung: Eresco., hal. 61  dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya) 9 . Pidana adalah kejahatan (tentang  pembunuhan, perampokan, dsb) 10 Alf Ross mengemukakan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud  dengan seseorang yang bertanggungjawab atas perbuatannya. Pertanggung  jawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataankenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum  yang diisyaratkan.
Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya suatu  perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari persoalan, apakah dalam melakukan  perbuatan itu dia mempunyai kesalahan, sebab asas dalam pertanggungjawaban  dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf  zonder schuld; Actus non facit reum mens rea) .
11 Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang  dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undangundang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan  dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut  melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan  hukum untuk pidana yang dilakukannya.
.
Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan  teorekenbaardheid  atau  criminal responsibility  yang menjurus kepada  pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang  terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang  terjadi atau tidak.
9 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1991, hal. 1006 10 Ibid, hal. 766 11 Moeljatno, Hukum Pidana II.1995. Jakarta: Bina Aksara, hal. 153  Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya  seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan  atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas  pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang  yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung  dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.
12 Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan  yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelectual factor)  yaitu dapat  membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan  untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya  perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu  dapat menyesuaikan tingkah  lakunya dengan keinsyafan atas mana yang  Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau kesalahan  menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu : 1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si  pembuat.
2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang  berhubungan dengan kelakuannya yaitu : a. Disengaja b. Sikap kurang hati-hati atau lalai 3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung  jawaban pidana bagi si pembuat.
12 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,1983.
Jakarta: Bina Aksara, hlm. 153  diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka  tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan  tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan  kalau  melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggung  jawabkan.
Oleh karena kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan,  maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi.
Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup  lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada  karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung  jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa  mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan  yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak  terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan  bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak  dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan 13 Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam  Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak  dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam  pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.” Kalau tidak  dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal  dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila  .
13 Moeljatno, Op.cit, hlm. 167  hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus  memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut : 1. Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya  atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak  kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.
2. Syarat Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu  si pelaku  melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul  sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa  tidak dapat dikenai hukuman.
Untuk menentukan adanya pertanggung jawaban, seseorang pembuat  dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum” dari  tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang  sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat  terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa “kesengajaan” (opzet)  atau karena “kelalaian” (culpa). Akan tetapi kebanyakan tindak pidana  mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian. Hal ini layak karena  biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam teori hukum pidana  Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu 14 Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggung  jawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan  seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman  :  1. Kesengajaan yang bersifat tujuan 14 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, 2000. Bandung Pustaka Setia, hal. 93  pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si  pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok  alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk  mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat  itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan.
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan  terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu  kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena  merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggung  jawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya, seperti yang tercantum  dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan sebagai berikut : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain diancam  dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurangan paling lama satu  tahun.” Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu : 15 Dari ketentuan diatas, dapat diikuti dua jalan, yaitu pertama  memperhatikan syarat tidak mengadakan penduga-duga menurut semestinya.
Yang kedua memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati guna  a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum 15 Moeljatno, op.cit. hlm. 127  menentukan adanya kealpaan. Siapa saja yang melakukan perbuatan tidak  mengadakan penghati-hati yang semestinya, ia juga tidak mengadakan mendugaduga akan terjadi akibat dari kelakuannya. Selanjutnya ada kealpaan yang disadari  dan kealpaan yang tidak disadari. Dengan demikian tidak mengadakan pendugaduga yang perlu menurut hukum terdiri atas dua kemungkinan yaitu: a. Terdakwa tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin  timbul karena perbuatannya.
b. Terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi ternyata tidak benar.
Kemudian syarat yang ketiga dari pertanggung jawaban pidana yaitu tidak ada  alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana  bagi si pembuat. Dalam masalah dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara  “dasar pembenar” (permisibilry) dan “dasar pemaaf” (ilegal execuse). Dengan  adanya salah satu dasar penghapusan pidana berupa dasar pembenar maka suatu  perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga menjadi legal/boleh,  pembuatanya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Namun jika yang  ada adalah dasar penghapus berupa dasar pemaaf maka suatu tindakan tetap  melawan hukum, namun si pembuat dimaafkan, jadi tidak dijatuhi pidana.
Dasar penghapus pidana atau juga bisa disebut alasan-alasan  menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam Buku I KUHP, selain itu  ada pula dasar penghapus diluar KUHP yaitu 16 2. Hak jabatan atau pekerjaan :  1. Hak mendidik orang tua wali terhadap anaknya/guru terhadap muridnya.
16 Edi Setiadi, Hukum Pidana dan Perkembangannya, 1999. Bandung, Fakultas Hukum  Unisba, hal. 48  Yang termasuk dasar Pembenar Bela paksa Pasal 49 ayat 1 KUHP, keadaan  darurat, pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, pemerintah jabatanjabatan Pasal 51 ayat 1 Dalam dasar pemaaf atau fait d’excuse ini semua unsur  tindak pidana, termasuk sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana tetap ada,  tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat dipertanggung  jawabkan, atau dengan kata lain menghapuskan kesalahannya. Yang termasuk  dasar pemaaf adalah: kekurangan atau penyakit dalam daya berpikir, daya paksa  (overmacht), bela paksa, lampau batas (noodweerexes), perintah jabatan yang  tidak sah.
Seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila si pelaku  dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Masalah pertanggungjawaban  tersebut sangat berkaitan erat dengan adanya kesalahan.
3. Pengertian Unjuk Rasa atau Demonstrasi Didalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan  Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pada Pasal 1 ayat (2) dinyatakan  bahwa: ” Unjuk Rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh  seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran”. Dari pengertian demonstrasi  menurut Undang-undang ini, demonstrasi juga berarti unjuk rasa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”Demonstrasi” berarti pernyataan  protes yang dikemukakan secara massal (unjuk rasa). ”Mendemonstrasi” berarti  menentang suatu pihak atau seseorang dengan cara berdemonstrasi.
17 17 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3. 2005. Jakarta:Balai Pustaka.hal. 250  Demonstrasi adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan  orang dihadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan  pendapat kelompok tersebut atau menentang kebijakan yang dilaksanakan suatu  pihak. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang  menentang kebijakan pemerintah atau para buruh yang tidak puas dengan  perlakukan majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompokkelompok lainnya dengan tujuan lain. Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan  pengerusakan terhadap benda-benda. Hal ini dapat terjadi akibat keinginan  menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan.
Demonstrasi merupakan elemen komunikasi yang sangat penting dalam  advokasi dan umumnya digunakan untuk mengangkat suatu isu supaya menjadi  perhatian publik. Biasanya demonstrasi juga bertujuan untuk menekan pembuat  keputusan untuk melakukan sesuatu, menunda ataupun menolak kebijakan yang  akan dilakkan pembuat keputusan. Suatu demonstrasi haruslah bisa  mengkomunikasikan pesannya melalui tema yang telah dibatasi secara jelas.
Dalam menyampaikan pendapat dimuka umum yang dilakukan dengan  berdemonstrasi merupakan salah satu cara dalam menyampaikan keinginan  kepada pemerintah. Tapi kadangkala pendapat yang disampaikan ini tidak  didengar ataupun tidak sesuai dengan harapan. Keadaan seperti ini ditambah  dengan faktor-faktor lain seperti adanya hasutan dari pihak-pihak tertentu untuk  melakukan tindakan anarki, ataupun karena adanya perasaan frustrasi akibat suatu  keadaan, maka timbullah anarki.
 4. Pengertian Anarki Didalam Kamus Besar Bahasai Indonesia, kata ”Anarki” berarti hal tidak  adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan, atau ketertiban dan kekacauan  (dalam suatu negara). Sedangkan ”anarkis” artinya penganjur (penganut) paham  anarkisme atau orang yang melakukan tindakan anarki.
18 Anarki berkaitan erat dengan istilah kekerasan. Istilah kekerasan  digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang secara terbuka (overt) atau  tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerah (offensive) atau bertahan  (diffensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Anarki terjadi ketika sekelompok orang berkumpul bersama untuk  melakukan tindak kekerasan, biasanya sebagai tindakan pembalasan terhadap  perlakukan yang dianggap tidak adil ataupun sebagai upaya penentangan terhadap  sesuatu. Alasan yang sering menjadi penyebab anarki misalnya kesejahteraan  masyarakat yang tidak terpenuhi, kebijakan pemerintah yang merugikan  masyarakat, dan lain sebagainya.
19 18 Ibid.. hal. 44 19 Thomas Santoso. Teori-Teori Kekerasan. 2002. Jakarta: Ghalia.. hal.11 Anarki  adalah kekacauan (chaos) fisik yang menimpa masyarakat sipil berupa bentrokan  antar manusia, perkelahian massal, sampai pembunuhan, penjarahan, dan  perusakan sarana dan prasarana umum, maupun fasilitas pribadi ataupun tindak  pidana lainnya. Karena itu, anarki tidak menghasilkan suatu perubahan positif  dalam tatanan masyarakat dan hanya menimbulkan kerusakan fisik dan trauma  sosial (ketakutan yang mencekam masyarakat).
 Anarkisme 20 Tokoh utama kaum anarkisme adalah Mikhail Bakunin, seorang  bangsawan Rusia yang kemudian sebagian besar hidupnya tinggal di Eropa Barat.
Ia memimpin kelompok anarkis dalam konverensi besar kaum Sosialis sedunia  dan terlibat pertengkaran dan perdebatan besar dengan Marx. Bakunin akhirnya  dikeluarkan dari kelompok Marxis mainstream dan perjuangan kaum anarkis  dianggap bukan sebagai perjuangan kaum sosialis.
sebagai suatu paham atau pendirian filosofis maupun politik  yang percaya bahwa manusia sebagai anggota masyarakat akan membawa pada  manfaat yang terbaik bagi semua jika tanpa diperintah maupun otoritas, boleh jadi  merupakan suatu keniscayaan. Pandangan dan pemikiran anarkis yang demikian  itu pada dasarnya menyuarakan suatu keyakinan bahwa manusia pada hakekatnya  adalah mahluk yang secara alamiah mampu hidup secara harmoni dan bebas tanpa  intervensi kekuasaan juga tidaklah sesuatu keyakinan yang sangat salah.
21 Mikhail Bakunin merupakan seorang tokoh anarkis yang mempunyai energi  revolusi yang dahsyat. Bakunin merupakan ‘penganut’ ajaran Proudhon, tetapi  Sejak Bakunin, anarkisme identik dengan tindakan yang mengutamakan  kekerasan dan pembunuhan sebagai basis perjuangan mereka. Pembunuhan kepala  negara, pemboman atas gedung-gedung milik negara, dan perbuatan teroris  lainnya dibenarkan oleh anarkisme sebagai cara untuk menggerakkan massa untuk  memberontak.
20 Anarkisme adalah suatu ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara,  ataupun dapat diartikan suatu teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dan  undang-undang.
21 http://id.wikipedia.org/wiki/Anarkisme#Anarkisme_dan_kekerasan, terakhir diakses  tanggal 25 Februari 2010  mengembanginya ke bidang ekonomi ketika dia dan sayap kolektivisme dalam  First International mengakui hak milik kolektif atas tanah dan alat-alat produksi  dan ingin membatasi kekayaan pribadi kepada hasil kerja seseorang. Bakunin juga  merupakan anti komunis yang pada saat itu mempunyai karakter yang sangat  otoritar.
22 Pada salah satu pidatonya dalam kongres ‘Perhimpunan Perdamaian dan  Kebebasan’ di Bern (1868), dia berkata: 23 Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu  prosedur penelitan ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika  keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum  “Saya bukanlah seorang komunis karena komunisme mempersatukan  masyarakat dalam negara dan terserap di dalamnya; karena komunisme  akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam negara, sedangkan saya  ingin memusnahkan negara  --pemusnahan semua prinsip otoritas dan  kenegaraan, yang dalam kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral  dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak,  mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.” G. Metode Penelitian Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam  mengerjakan skripsi ini meliputi: 1. Jenis Penelitian 22 Ibid.
23 Ibid.
 normatif berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif  yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri 24 24 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, 2001. Jakarta:  Bayumedia, hal.  47 .
Dalam metode penelitian hukum normatif, peneltian difokuskan untuk  mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum. Penelitian  ini lebih mengutamakan data sekunder dan teknik pengumpulan data dalam  bentuk studi pustaka.
2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan didalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder.
Data sekunder meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah,  sumber internet, dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi  ini.
3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data secara  library research  (Penelitian kepustakaan), yaitu dengan melakukan penelitian  terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku, pendapat para sarjana, surat  kabar, artikel, kamus, dan juga data-data penulis yang diperoleh dari internet.
4. Analisis Data Dalam penulisan ini, analisis data yang digunakan untuk menjawab  permasalahan dalam skripsi ini adalah dengan analisa kualitatif.
G. Sistematika Penulisan  Penulisan skripsi ini dibagi kedalam 4 (empat) bab, dimana masing-masing  bab dibagi atas beberapa bagian sub bab.
Urutan bab-bab tersebut tersusun secara sistematik dan saling berkaitan satu  dengan yang lain. Uraian singkat bab dan sub bab tersebut adalah sebagai berikut: BAB I:  Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar  belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat  penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode  penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II:  Faktor-faktor penyebab anarkisme saat unjuk rasa/ demonstrasi,  yang menguraikan bahwa unjuk rasa atau demonstrasi merupakan  hak asasi manusia dan adanya azas serta tujuan dalam unjuk rasa.
Uraian mengenai faktor-faktor penyebab anarkisme tersebut  ditinjau dari berbagai sudut.
BAB III:  Tanggung jawab penanggung jawab demonstrasi, yang  menguraikan bagaimana bentuk-bentuk penyampaian pendapat  dimuka umum, tata cara berunjuk rasa yang disertai dengan  ketentuan pidana bagi pihak yang melanggar peraturan yang  berlaku dan analisis terhadap putusan Pengadilan Negeri Medan  Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn  dengan terdakwa Ir. GM  Chandra Panggabean.
BAB IV:  Penutup, yang merupakan Bab berisikan Kesimpulan dan Saran.
  

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi