BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti kita ketahui, bahwa fungsi hukum adalah untuk
mengatur hubungan antara manusia yang
satu dengan manusia lainnya dan hubungan antara
manusia dan negara agar segala sesuatunya berjalan dengan tertib. Oleh
karena itu, tujuan hukum adalah untuk
mencapai kedamaian dengan mewujudkan
kepastian hukum dan keadilan didalam masyarakat. Kepastian hukum menghendaki adanya perumusan kaedah-kaedah
dalam peraturan perundangundangan itu harus dilaksanakan dengan tegas.
Asas kepastian
hukum berfungsi agar warga masyarakat bebas dari tindakan pemerintah dan pejabatnya yang tidak
dapat diprediksi dan sewenangwenang. Implementasi asas ini menuntut dipenuhinya
: 1 1 - Syarat legalitas dan konstitusionalitas, tindakan pemerintah dan
pejabatnya bertumpu pada
perundang-undangan dalam kerangka konstitusi.
- Syarat
Undang-undang menetapkan berbagai perangkat aturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan
tindakan.
- Syarat perundang-undangan hanya mengikat
warga masyarakat setelah diundangkan dan tidak berlaku surut ( Non
Retroaktif).
- Asas peradilan
bebas terjaminnya objektifitas, adil dan manusiawi.
http://pa-cilacapkab.go.id/artikel/REFLEKSI-HUKUM.pdf,
terakhir diakses tanggal 5 Maret
2010 - Asas bahwa Hakim tidak boleh
menolak mengadili perkara dengan alasan
hukum tidak ada atau tidak jelas.
Oleh karena itu,
hukum mengatur kepentingan-kepentingan warga
masyarakat dan hukum ditetapkan untuk suatu persitiwa yang terjadi di
masa sekarang atau di masa yang akan datang,
maka pelaksanaannya harus dilaksanakan
dengan tegas sesuai dengan ketetapan yang ada di dalam undangundang untuk
mencapai suatu kepastian hukum dan ketertiban di dalam masyarakat.
Pelaksanaan
undang-undang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mempunyai arti yang sangat penting, karena
apa yang menjadi tujuan hukum justru
terletak pada pelaksanaan hukum itu sendiri. Ketertiban dan kenyamanan hanya dapat diwujudkan dalam kenyataan
apabila hukum itu dilaksanakan, karena
memang hukum diciptakan untuk dilaksanakan.
Kalau hukum
tersebut tidak terlaksana, maka hukum atau undang-undang itu hanya merupakan susunan kata-kata yang
tidak mempunyai makna dalam kehidupan
masyarakat. Peraturan hukum atau undang-undang yang demikian akan mati dengan sendirinya.
Secara tradisional
ada yang memusatkan tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan ketertiban. Kalau dikaji lebih
dalam, pada tingkat tertentu dua tujuan
itu tidak selalu seiring bahkan dapat bertentangan satu sama lain.
Tujuan mewujudkan keadilan berbeda
dengan tujuan mewujudkan ketertiban. Dalam
keadaan tertentu, tuntutan keadilan akan melonggarkan kepastian
hukum, sedangkan kepastian hukum justru
merupakan komponen utama mewujudkan
ketertiban. Tanpa kepastian hukum tidak akan ada ketertiban. Sebaliknya
pada tingkat tertentu, ketertiban dapat
menggerogoti keadilan. Selain mewujudkan
kepastian, ketertiban memerlukan persamaan (equality), sedangkan
keadilan harus memungkinkan keberagaman
atau perbedaan perlakuan. Uraian diatas sekedar
ingin menunjukkan bahwa permasalahan hukum tidaklah sesederhana seperti
acap kali didengung-dengungkan. Sekedar
konsep, sangat mudah mengucapkan
keadilan dan ketertiban, tetapi pada tatanan operasional didapati
bermacammacam masalah yang dihadapi. Bahkan seperti disebutkan diatas, dapat
terjadi pertentangan satu sama lain Rasa
keadilan serta keinginan untuk hidup lebih sejahtera merupakan keinginan dari seluruh rakyat dimanapun dia
berada. Namun apabila rakyat tidak
mendapatkan sesuai dengan apa yang telah dijanjikan oleh Penguasa
ataupun Pemerintah untuk hidup lebih
baik, rakyat akan melakukan unjuk rasa atau
demonstrasi.
Tragedi Tiananmen
di Cina, Revolusi Prancis, Revolusi Amerika Serikat, perjuangan-perjuangan kemerdekaan di seantero
dunia, Peristiwa People Power di
Filipina, revolusi di Rusia, hingga Peristiwa 1966 dan 1998 di Indonesia
telah menjadi contoh nyata bagi kita
bahwa demonstrasi dan aksi rakyat telah menjadi
bagian dari sejarah penting bagi negara maju dan berkembang. Semua
menjadi bukti bahwa demonstrasi adalah
proses yang wajar dan bahkan kontributif bagi
perkembangan dan perbaikan suatu bangsa.
2 Tetapi aksi unjuk
rasa atau demonstrasi yang mulai marak akhir-akhir ini terkadang disertai juga dengan tindakan yang
tidak bertanggungjawab yaitu dengan
melakukan pengerusakan fasilitas umum, yang tentunya bertentangan dengan tujuan dari unjuk rasa atau
demonstrasi itu sendiri. Aksi demonstrasi yang
tidak bertanggungjawab tersebut tentunya melanggar ketentuan yang
terdapat Demonstrasi adalah tindakan
untuk menyampaikan penolakan, kritik,
ketidakberpihakan, mengajari hal-hal yang dianggap sebuah penyimpangan.
Maka dalam hal ini, sebenarnya secara
bahasa demonstrasi tidak sesempit, melakukan
long-march, berteriak-teriak, membakar ban, aksi teatrikal, merusak
pagar, atau tindakan-tindakan yang
selama ini melekat pada kata demonstrasi. Seharusnya demonstrasi juga “mendemonstrasikan” apa yang
seharusnya dilakukan oleh pihak yang
menjadi objek protes.
Unjuk rasa atau
demonstrasi merupakan salah satu bagian dari kehidupan demokrasi di suatu negara karena demonstrasi
merupakan salah satu cara untuk
mengungkapkan pendapat dimuka umum. Demonstrasi yang terjadi belakangan ini pada dasarnya semakin marak sejak
jatuhnya rezim Orde Baru, dalam kaitan
ini masyarakat Indonesia sudah mulai banyak yang melihat, mendengar
bahkan terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam kegiatan demonstrasi.
2
http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx, terakhir diakses tanggal 5
Maret 2010 dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum.
Sepuluh tahun pula
reformasi bergulir, demonstrasi masih menjadi pilihan beberapa pihak untuk menyuarakan kepentingan,
ide, dan kritiknya. Demonstrasi sengketa
hasil Pilkada, demonstrasi mahasiswa, aksi jahit mulut, hingga demonstrasi buruh terus mewarnai kehidupan
demokrasi di negara ini. Cita-cita mulia
reformasi, yang konon masyarakat adil dan makmur, tampaknya belum juga tercapai. Demonstrasi pun telah menjadi
semakin tak berarah, dan merugikan
masyarakat apabila terjadi tindak pidana misalnya dengan pengerusakan
serta penganiayaan atau anarkisme.
Seperti terlihat
dari akibat aksi anarki para pengunjuk rasa pendukung Propinsi Tapanuli di Gedung DPRD Sumatera
Utara pada tanggal 3 Februari 2009.
Anarkisme tersebut menimbulkan kerusakan fasilitas DPRD Sumatera Utara dan fasilitas umum, dan yang sangat
disesalkan adalah meninggalnya Ketua
DPRD Sumatera Utara, H. Abdul Aziz Angkat.
Dampak dari aksi anarki
tersebut, tidak hanya terhadap fasilitas negara, namun juga dirasakan oleh orang-orang yang
tidak terlibat dalam politis, seperti
kutipan dari Harian Kompas: 3 “Demonstrasi yang berakhir anarkis ini
juga melukai Edward Tampubolon (27)
seorang penjual rokok. Edward pingsan setelah terkena lemparan batu di kepalanya hingga berdarah. Edward yang
tidak sadar diri lalu dibawa petugas
keamanan DPRD Sumut ke RS Malahayati, Medan. Edward membayar sendiri pengobatannya. ”Uang yang
tersisa Rp 52.000 di kantong saya habis.
Lima bungkus rokok saya juga hilang,” katanya.” 3
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/04/00180640/Polisi.Periksa.13.Saksi, terakhir diakses tanggal 25 Februari 2010 B. Permasalahan 1. Faktor-faktor apakah yang
menyebabkan tindakan anarki pada saat
demonstrasi? 2. Bagaimanakah
Pertanggungjawaban Penanggung Jawab Demonstrasi (Studi Putusan Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn)? C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut: a. Untuk
mengetahui faktor-faktor apakah yang menyebabkan tindakan anarki pada saat demonstrasi.
b. Untuk mengetahui
bagaimanakah pertanggungjawaban penanggung jawab unjuk rasa/ demonstrasi, dalam hal ini dengan
mengambil studi Putusan Nomor:
2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn.
D. Manfaat
Penelitian Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai
berikut: a. Sebagai bahan kajian lebih lanjut terhadap
persoalan dibidang pidana, khususnya
tentang pertanggungjawaban pidana pelaku unjuk rasa.
b. Sebagai bahan bagi masyarakat dan akademisi
untuk mendapatkan kajian yuridis
terhadap kasus demonstrasi Propinsi
Tapanuli yang berakhir anarki.
c.
Sebagai bahan kajian bagi pemerintah dalam melakukan social
engineering terhadap masyarakat yang menyalurkan aspirasinya
melalui demonstrasi agar tidak melakukan
tindakan anarki.
E. Keaslian
Penulisan Sepanjang yang diketahui dan ditelusuri oleh penulis di
lingkungan Fakultas Hukum bahwa penulisan mengenai Analisis Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Unjuk Rasa
yang Bersifat Anarki (Studi Putusan
Nomor: 2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn), belum pernah dilakukan sebelumnya.
Hal ini sejalan
dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Depertemen Hukum Pidana mengenai tidak adanya judul yang
sama.
Dengan demikian,
dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini; maka dapat
dikatakan bahwa skripsi ini adalah karya
penulis yang asli.
F. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Tindak Pidana Istilah ”Peristiwa Pidana” atau ”Tindak Pidana”
adalah sebagai terjemahan dari istilah
bahasa Belanda ”strafbaar feit”. Dalam bahasa Indonesia disamping istilah ”peristiwa pidana” untuk terjemahan
strafbaar feit atau delict dikenal juga
beberapa terjemahan lain tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang
boleh dihukum dan perbuatan yang dapat
dihukum.
4 Perumusan
peristiwa pidana menurut Prof. Simons
adalah ”Een strafbaargelesetelde,
onrechtmatige, met schuld in verband standee handeling van een teorekeningvatbar person”. Adapun maksud
dari perumusan tersebut adalah salah dan
melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Perumusan Simons
tersebut menunjukkan unsurunsur peristiwa pidana diantaranya handeling (perbuatan manusia) dimana perbuatan manusia tidak hanya een doen
(perbuatan) akan tetapi juga een natalen atau niet doen (melakukan atau tidak
terbuat).
Beberapa sarjana
telah berusaha untuk memberikan perumusan tentang pengertian dari peristiwa pidana,
diantaranya: 1. VOS VOS hanya memberikan perumusan yang sangat singkat
mengenai tindakan/perbuatan pidana.
Menurut beliau bahwa strafbaar feit ialah kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan
perundang-undangan diberikan pidana.
2. D. Simons 5 Unsur-unsur yang lain adalah perbuatan
manusia itu harus melawan hukum
(wederechtelijk), perbuatan itu diancam dengan pidana (strafbaargestelde) oleh undang-undang, harus dilakukan oleh
seseorang yang mampu 4 C.S.T. Kansil dan
Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana , cetakan ke-1, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal.37 5
Ibid bertanggungjawab
(toerekeningsvarbaar), dan pada perbuatan itu harus terdapat kesalahan (schuld) si pelaku).
3. Van Hamel
Perumusan perbuatan pidana atau tindak pidana yang dikemukakan oleh Van Hamel sebenarnya sama dengan yang
dikemukakan oleh Simons. Van Hamel menguraikan
bahwa makna kesalahan (schuld) lebih tegas lagi. Menurutnya kesalahan meliputi juga kesengajaan,
kealpaan, serta kelalaian dan kemampuan
bertanggungjawab. Van Hamel juga menyatakan bahwa istilah strafbaar feit
tidak tepat, tetapi dia menggunakan
istilah strafwaardig feit (peristiwa yang bernilai atau patut dipidana).
6 Moeljatno
cenderung lebih suka menggunakan kata ”perbuatan pidana” daripada kata ”tindak pidana”. Menurut beliau
kata ”tindak pidana” dikenal karena
banyak digunakan dalam perundang-undangan untuk menyebut suatu ”perbuatan pidana” 4. Moeljatno 7 Wujud dari
perbuatan ini pertama-tama harus dilihat pada perumusan tindak pidana dalam Pasal-pasal tertentu dari
peraturan pidana. Perumusan ini dalam
bahasa Belanda dinamakan delicts-omschrijving. Misalnya dalam tindak .
Moeljatno
berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan
huku m, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
6 Ibid 7 Moeljatno.
Asas-Asas Hukum Pidana, 1993 Jakarta :PT Rineka Cipta, hal. 56 pidana pencurian, permumusan secara formil,
yaitu benar-benar disebutkan wujud suatu
gerakan tertentu dari badan seorang manusia.
Sebaliknya
perumusan secara materil memuat penyebutan suatu akibat yang disebabkan oleh perbuatannya, seperti
misalnya tindak pidana pembunuhan, yang
dalam Pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai ”mengakibatkan matinya orang lain”.
Perbedaan perumusan
formil dan materil ini tidak berarti bahwa dalam perumusan formil tidak ada suatu akibat
sebagai unsur tindak pidana. Juga dalam
tindak pidana dengan perumusan formil selalu ada akibat yang merupakan
alasan diancamkannya hukuman pidana.
Akibat ini adalah selalu suatu kerugian pada
kepentingan orang lain atau kepentingan negara.
”Perbuatan”
biasanya bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat negatif, yaitu terjadi apabila orang tidak melakukan
suatu perbuatan tertentu yang ia wajib
melakukan sehingga suatu peristiwa terjadi yang tidak akan terjadi
apabila perbuatan tertentu itu
dilakukan. Sebagai contoh dapat dikemukakan seorang ibu yang tidak memberi makan kepada anaknya yang
masih bayi sehingga anak itu meninggal
dunia 8 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”tanggung jawab” adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu
(kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut,
.
2.
Pertanggungjawaban Pidana 8 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana, 2003.
Bandung: Eresco., hal. 61 dipersalahkan,
diperkarakan dan sebagainya) 9 . Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, dsb) 10 Alf Ross
mengemukakan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud dengan seseorang yang bertanggungjawab atas
perbuatannya. Pertanggung jawaban pidana
dinyatakan dengan adanya suatu hubungan antara kenyataankenyataan yang menjadi
syarat akibat dan akibat hukum yang
diisyaratkan.
Perbuatan pidana
hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari
persoalan, apakah dalam melakukan
perbuatan itu dia mempunyai kesalahan, sebab asas dalam
pertanggungjawaban dalam hukum pidana
ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum mens rea)
.
11 Untuk dapat
dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang
telah ditentukan dalam Undangundang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan
yang dilarang, seseorang akan
dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan
tersebut melawan hukum serta tidak ada
alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan
hukum untuk pidana yang dilakukannya.
.
Pertanggung jawaban
pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa
atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
9 Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1991, hal. 1006 10 Ibid, hal. 766 11 Moeljatno,
Hukum Pidana II.1995. Jakarta: Bina Aksara, hal. 153 Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung
jawab maka hanya seseorang yang mampu
bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak
ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung
jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang
telah diancamkan, ini tergantung dari
soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.
12 Kemampuan untuk
membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan
yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelectual factor) yaitu dapat
membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan
kemampuan untuk menentukan kehendaknya
menurut keinsyafan tentang baik buruknya
perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor)
yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung
jawaban pidana atau kesalahan menurut
hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu : 1. Kemampuan bertanggung jawab
atau dapat dipertanggung jawabkan dari si
pembuat.
2. Adanya perbuatan
melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu : a.
Disengaja b. Sikap kurang hati-hati atau lalai 3. Tidak ada alasan pembenar
atau alasan yang menghapuskan pertanggung
jawaban pidana bagi si pembuat.
12 Moeljatno,
Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,1983.
Jakarta: Bina
Aksara, hlm. 153 diperbolehkan dan mana
yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan
kehendaknya menurut keinsyafan tentang
baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau
melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Oleh karena
kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur
tadi harus dibuktikan lagi.
Mengingat hal ini
sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab
dianggap diam-diam selalu ada karena
pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang
menunjukkan bahwa terdakwa mungkin
jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa
sekalipun tidak diminta oleh pihak
terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa
kemampuan bertanggung jawab tidak
berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan 13 Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung
jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1
yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena cacat, tidak dipidana.” Kalau tidak dipertanggung jawabkan itu disebabkan hal
lain, misalnya jiwanya tidak normal
dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat
dikenakan.apabila .
13 Moeljatno,
Op.cit, hlm. 167 hakim akan menjalankan
Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus
memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat sebagai berikut : 1.
Syarat Psychiartris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan
kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak
kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus
menerus.
2. Syarat
Psychologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku
melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang
timbul sesudah peristiwa tersebut,
dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.
Untuk menentukan
adanya pertanggung jawaban, seseorang pembuat
dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan hukum”
dari tindak pidana itu, yang merupakan
sifat terpenting dari tindak pidana. Tentang
sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa)
pembuat terhadap tindak pidana yang
dilakukannya dapat berupa “kesengajaan” (opzet)
atau karena “kelalaian” (culpa). Akan tetapi kebanyakan tindak
pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan
unsur kelalaian. Hal ini layak karena
biasanya, yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Dalam teori hukum
pidana Indonesia kesengajaan itu ada
tiga macam, yaitu 14 Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku
dapat dipertanggung jawabkan dan mudah
dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si
pelaku pantas dikenakan hukuman : 1. Kesengajaan yang bersifat tujuan 14 Pipin
Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, 2000. Bandung Pustaka Setia, hal. 93 pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang
bersifat tujuan ini, berarti si pelaku
benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
2. Kesengajaan
secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan
perbuatannya tidak bertujuan untuk
mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa
akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatan itu.
3. Kesengajaan
secara keinsyafan kemungkinan.
Kesengajaan ini
yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan
hanya dibayangkan suatu kemungkinan
belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang
menghasilkan dapat dimintai pertanggung
jawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya, seperti yang
tercantum dalam Pasal 359 KUHP yang
menyatakan sebagai berikut : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurangan paling lama satu tahun.” Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu
: 15 Dari ketentuan diatas, dapat diikuti dua jalan, yaitu pertama memperhatikan syarat tidak mengadakan
penduga-duga menurut semestinya.
Yang kedua
memperhatikan syarat tidak mengadakan penghati-hati guna a. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana
diharuskan hukum b. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum
15 Moeljatno, op.cit. hlm. 127
menentukan adanya kealpaan. Siapa saja yang melakukan perbuatan
tidak mengadakan penghati-hati yang
semestinya, ia juga tidak mengadakan mendugaduga akan terjadi akibat dari
kelakuannya. Selanjutnya ada kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Dengan
demikian tidak mengadakan pendugaduga yang perlu menurut hukum terdiri atas dua
kemungkinan yaitu: a. Terdakwa tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang
dilarang mungkin timbul karena
perbuatannya.
b. Terdakwa
berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi ternyata tidak benar.
Kemudian syarat
yang ketiga dari pertanggung jawaban pidana yaitu tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan
pertanggung jawaban pidana bagi si
pembuat. Dalam masalah dasar penghapusan pidana, ada pembagian antara “dasar pembenar” (permisibilry) dan “dasar
pemaaf” (ilegal execuse). Dengan adanya
salah satu dasar penghapusan pidana berupa dasar pembenar maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya,
sehingga menjadi legal/boleh,
pembuatanya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Namun jika
yang ada adalah dasar penghapus berupa
dasar pemaaf maka suatu tindakan tetap
melawan hukum, namun si pembuat dimaafkan, jadi tidak dijatuhi pidana.
Dasar penghapus
pidana atau juga bisa disebut alasan-alasan
menghilangkan sifat tindak pidana ini termuat di dalam Buku I KUHP,
selain itu ada pula dasar penghapus
diluar KUHP yaitu 16 2. Hak jabatan atau pekerjaan : 1. Hak mendidik orang tua wali terhadap
anaknya/guru terhadap muridnya.
16 Edi Setiadi,
Hukum Pidana dan Perkembangannya, 1999. Bandung, Fakultas Hukum Unisba, hal. 48 Yang termasuk dasar Pembenar Bela paksa Pasal
49 ayat 1 KUHP, keadaan darurat,
pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pasal 50, pemerintah jabatanjabatan
Pasal 51 ayat 1 Dalam dasar pemaaf atau fait d’excuse ini semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan hukum
dari suatu tindak pidana tetap ada,
tetapi hal-hal khusus yang menjadikan si pelaku tidak dapat
dipertanggung jawabkan, atau dengan kata
lain menghapuskan kesalahannya. Yang termasuk
dasar pemaaf adalah: kekurangan atau penyakit dalam daya berpikir, daya
paksa (overmacht), bela paksa, lampau
batas (noodweerexes), perintah jabatan yang
tidak sah.
Seseorang yang
melakukan tindak pidana dapat dihukum apabila si pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Masalah pertanggungjawaban tersebut
sangat berkaitan erat dengan adanya kesalahan.
3. Pengertian Unjuk
Rasa atau Demonstrasi Didalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum, pada Pasal 1 ayat (2) dinyatakan
bahwa: ” Unjuk Rasa atau Demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan
oleh seorang atau lebih untuk
mengeluarkan pikiran”. Dari pengertian demonstrasi menurut Undang-undang ini, demonstrasi juga
berarti unjuk rasa.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, ”Demonstrasi” berarti pernyataan protes yang dikemukakan secara massal (unjuk
rasa). ”Mendemonstrasi” berarti
menentang suatu pihak atau seseorang dengan cara berdemonstrasi.
17 17 Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Edisi ke-3. 2005. Jakarta:Balai Pustaka.hal. 250 Demonstrasi adalah sebuah gerakan protes yang
dilakukan sekumpulan orang dihadapan
umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau menentang
kebijakan yang dilaksanakan suatu pihak.
Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menentang kebijakan pemerintah atau para
buruh yang tidak puas dengan perlakukan
majikannya. Namun unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompokkelompok lainnya
dengan tujuan lain. Unjuk rasa kadang dapat menyebabkan pengerusakan terhadap benda-benda. Hal ini
dapat terjadi akibat keinginan
menunjukkan pendapat para pengunjuk rasa yang berlebihan.
Demonstrasi merupakan
elemen komunikasi yang sangat penting dalam
advokasi dan umumnya digunakan untuk mengangkat suatu isu supaya
menjadi perhatian publik. Biasanya
demonstrasi juga bertujuan untuk menekan pembuat keputusan untuk melakukan sesuatu, menunda
ataupun menolak kebijakan yang akan
dilakkan pembuat keputusan. Suatu demonstrasi haruslah bisa mengkomunikasikan pesannya melalui tema yang
telah dibatasi secara jelas.
Dalam menyampaikan
pendapat dimuka umum yang dilakukan dengan
berdemonstrasi merupakan salah satu cara dalam menyampaikan
keinginan kepada pemerintah. Tapi
kadangkala pendapat yang disampaikan ini tidak
didengar ataupun tidak sesuai dengan harapan. Keadaan seperti ini ditambah dengan faktor-faktor lain seperti adanya
hasutan dari pihak-pihak tertentu untuk
melakukan tindakan anarki, ataupun karena adanya perasaan frustrasi
akibat suatu keadaan, maka timbullah
anarki.
4. Pengertian Anarki Didalam Kamus Besar
Bahasai Indonesia, kata ”Anarki” berarti hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, peraturan,
atau ketertiban dan kekacauan (dalam
suatu negara). Sedangkan ”anarkis” artinya penganjur (penganut) paham anarkisme atau orang yang melakukan tindakan
anarki.
18 Anarki berkaitan
erat dengan istilah kekerasan. Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik
yang secara terbuka (overt) atau
tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerah (offensive) atau
bertahan (diffensive), yang disertai
penggunaan kekuatan kepada orang lain.
Anarki terjadi
ketika sekelompok orang berkumpul bersama untuk
melakukan tindak kekerasan, biasanya sebagai tindakan pembalasan
terhadap perlakukan yang dianggap tidak
adil ataupun sebagai upaya penentangan terhadap
sesuatu. Alasan yang sering menjadi penyebab anarki misalnya
kesejahteraan masyarakat yang tidak
terpenuhi, kebijakan pemerintah yang merugikan
masyarakat, dan lain sebagainya.
19 18 Ibid.. hal.
44 19 Thomas Santoso. Teori-Teori Kekerasan. 2002. Jakarta: Ghalia.. hal.11
Anarki adalah kekacauan (chaos) fisik
yang menimpa masyarakat sipil berupa bentrokan
antar manusia, perkelahian massal, sampai pembunuhan, penjarahan,
dan perusakan sarana dan prasarana umum,
maupun fasilitas pribadi ataupun tindak
pidana lainnya. Karena itu, anarki tidak menghasilkan suatu perubahan
positif dalam tatanan masyarakat dan
hanya menimbulkan kerusakan fisik dan trauma
sosial (ketakutan yang mencekam masyarakat).
Anarkisme 20 Tokoh utama kaum anarkisme adalah
Mikhail Bakunin, seorang bangsawan Rusia
yang kemudian sebagian besar hidupnya tinggal di Eropa Barat.
Ia memimpin
kelompok anarkis dalam konverensi besar kaum Sosialis sedunia dan terlibat pertengkaran dan perdebatan
besar dengan Marx. Bakunin akhirnya
dikeluarkan dari kelompok Marxis mainstream dan perjuangan kaum
anarkis dianggap bukan sebagai
perjuangan kaum sosialis.
sebagai suatu paham
atau pendirian filosofis maupun politik
yang percaya bahwa manusia sebagai anggota masyarakat akan membawa
pada manfaat yang terbaik bagi semua
jika tanpa diperintah maupun otoritas, boleh jadi merupakan suatu keniscayaan. Pandangan dan
pemikiran anarkis yang demikian itu pada
dasarnya menyuarakan suatu keyakinan bahwa manusia pada hakekatnya adalah mahluk yang secara alamiah mampu hidup
secara harmoni dan bebas tanpa
intervensi kekuasaan juga tidaklah sesuatu keyakinan yang sangat salah.
21 Mikhail Bakunin
merupakan seorang tokoh anarkis yang mempunyai energi revolusi yang dahsyat. Bakunin merupakan
‘penganut’ ajaran Proudhon, tetapi Sejak
Bakunin, anarkisme identik dengan tindakan yang mengutamakan kekerasan dan pembunuhan sebagai basis
perjuangan mereka. Pembunuhan kepala
negara, pemboman atas gedung-gedung milik negara, dan perbuatan
teroris lainnya dibenarkan oleh anarkisme
sebagai cara untuk menggerakkan massa untuk
memberontak.
20 Anarkisme adalah
suatu ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara, ataupun dapat diartikan suatu teori politik
yang tidak menyukai adanya pemerintahan dan
undang-undang.
21
http://id.wikipedia.org/wiki/Anarkisme#Anarkisme_dan_kekerasan, terakhir
diakses tanggal 25 Februari 2010 mengembanginya ke bidang ekonomi ketika dia
dan sayap kolektivisme dalam First
International mengakui hak milik kolektif atas tanah dan alat-alat produksi dan ingin membatasi kekayaan pribadi kepada
hasil kerja seseorang. Bakunin juga
merupakan anti komunis yang pada saat itu mempunyai karakter yang
sangat otoritar.
22 Pada salah satu
pidatonya dalam kongres ‘Perhimpunan Perdamaian dan Kebebasan’ di Bern (1868), dia berkata: 23
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu prosedur penelitan ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan
hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum “Saya bukanlah seorang komunis karena
komunisme mempersatukan masyarakat dalam
negara dan terserap di dalamnya; karena komunisme akan mengakibatkan konsentrasi kekayaan dalam
negara, sedangkan saya ingin memusnahkan
negara --pemusnahan semua prinsip
otoritas dan kenegaraan, yang dalam
kemunafikannya ingin membuat manusia bermoral
dan berbudaya, tetapi yang sampai sekarang selalu memperbudak, mengeksploitasi dan menghancurkan mereka.” G.
Metode Penelitian Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini meliputi: 1. Jenis
Penelitian 22 Ibid.
23 Ibid.
normatif berdasarkan disiplin ilmiah dan
cara-cara kerja ilmu hukum normatif
yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri 24 24 Jhonny Ibrahim,
Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, 2001. Jakarta: Bayumedia, hal. 47 .
Dalam metode penelitian
hukum normatif, peneltian difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum.
Penelitian ini lebih mengutamakan data
sekunder dan teknik pengumpulan data dalam
bentuk studi pustaka.
2. Data dan Sumber
Data Data yang digunakan didalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder.
Data sekunder
meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah, sumber internet, dan bahan lainnya yang
berhubungan dengan penulisan skripsi
ini.
3. Metode
Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data
secara library research (Penelitian kepustakaan), yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai
sumber bacaan seperti buku-buku, pendapat para sarjana, surat kabar, artikel, kamus, dan juga data-data
penulis yang diperoleh dari internet.
4. Analisis Data
Dalam penulisan ini, analisis data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini adalah dengan
analisa kualitatif.
G. Sistematika
Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi
kedalam 4 (empat) bab, dimana masing-masing
bab dibagi atas beberapa bagian sub bab.
Urutan bab-bab
tersebut tersusun secara sistematik dan saling berkaitan satu dengan yang lain. Uraian singkat bab dan sub
bab tersebut adalah sebagai berikut: BAB I:
Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Faktor-faktor penyebab anarkisme saat unjuk
rasa/ demonstrasi, yang menguraikan
bahwa unjuk rasa atau demonstrasi merupakan
hak asasi manusia dan adanya azas serta tujuan dalam unjuk rasa.
Uraian mengenai
faktor-faktor penyebab anarkisme tersebut
ditinjau dari berbagai sudut.
BAB III: Tanggung jawab penanggung jawab demonstrasi,
yang menguraikan bagaimana bentuk-bentuk
penyampaian pendapat dimuka umum, tata
cara berunjuk rasa yang disertai dengan
ketentuan pidana bagi pihak yang melanggar peraturan yang berlaku dan analisis terhadap putusan
Pengadilan Negeri Medan Nomor:
2.156/Pid.B/2009/PN.Mdn dengan terdakwa
Ir. GM Chandra Panggabean.
BAB IV: Penutup, yang merupakan Bab berisikan
Kesimpulan dan Saran.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi