Selasa, 22 April 2014

Skripsi Hukum: ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA PERUSAHAAN PT. KARYA TANAH SUBUR

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan instrumen yang  memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari  bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak azasi yang  wajib dipenuhi oleh perusahaan. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) bertujuan mencegah, mengurangi,  bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini  tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit  akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus  dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang  berlimpah pada masa yang akan datang.

Bagaimana K3 dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3  yaitu norma keselamatan, kesehatan kerja, dan kerja nyata. Norma keselamatan  kerja merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja  yang tidak diduga yang disebabkan oleh kelalaian kerja serta lingkungan kerja  yang tidak kondusif.
Konsep ini diharapkan mampu menihilkan kecelakaan kerja sehingga  mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap pekerja, kemudian mencegah  terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja. Konsep ini juga mencegah  pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar tempat kerja.
 Norma kesehatan kerja diharapkan menjadi instrumen yang mampu  menciptakan dan memelihara derajat kesehatan setinggi-tingginya. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dapat melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit  akibat kerja misalnya kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara  dan lain-lainnya yang dapat mengakibatkan kerusakan pada alat pendengaran,  gangguan pernapasan, kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan tubuh  akibat sinar matahari (ultraviolet), kanker kulit, kemandulan, dan lain-lainnya.
Norma kerja berkaitan dengan manejemen perusahaan, keselamatan dan  kesehatan kerja dalam konteks ini berkaitan dengan masalah pengaturan jam  kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda, pengaturan jam lembur,  analisis dan pengolahan lingkungan hidup, dan lain-lain. Dan hal-hal tersebut  mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan Revolusi Industri  di Eropa, terutama Inggris, Jerman dan Prancis serta Revolusi Industri di Amerika  Serikat. Era ini ditandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan  mesin-mesin produksi menggantikan tenaga kerja manusia pekerja hanya berperan  sebagai operator.
1) Penggunaan mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah  berlipat ganda dibandingkan dengan yang dikerjakan pekerja sebelum Revolusi Industri, namun dampak penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran  serta risiko kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik  1) Abdul Hakim, Op.Cit, hal. 65.
 dan kematian bagi pekerja, juga dapat menimbulkan kerugian material yang besar  bagi perusahaan revolusi industri juga ditandai oleh semakin banyak ditemukan  senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan  fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta masyarakat dan lingkungan  hidup.
2) Pada  awal  Revolusi  Industri,  K3  belum  menjadi  bagian  integral  dalam perusahaan. Pada era ini kecelakaan kerja  hanya  dianggap  kecelakaan  atau resiko  kerja (personal  risk), bukan tanggung  jawab  perusahaan.
Pandangan ini diperkuat dengan konsep Common Law Defence  (CLD) yang  terdiri atas contributing  negligence  (kontribusi kelalaian), fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption(asumsi resiko).
3) Kemudian konsep ini berkembang menjadi employers liability yaitu K3  menjadi tanggung jawab pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang  berada di luar lingkungan kerja. Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3  sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada tahun  1908 parlemen Belanda mendesak pemerintah Belanda memberlakukan K3 di  Hindia Belanda yang ditandai dengan penerbitan Veiligheids Reglement,  Staatsblad No. 406 tahun 1910 selanjutnya, pemerintah  Kolonial Belanda  menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan bagi  keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah berdasarkan masing-masing sektor ekonomi.
2) www.depkes .go.id.
index.ph diakses pada tanggal 20 April 2010.
3) Abdul Rachmat Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 1997, hal. 42.
 Beberapa diantaranya yang menyangkut sektor perhubungan yang  mengatur lalu lintas perkeretaapian seperti tertuang dalam  Algemene  Regelen  Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen Bestmend  voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan  Umum  tentang  Pendirian  dan Perusahaan Kereta Api dan Trem Untuk Lalu Lintas Umum Indonesia)  dan Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 19 (Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya  kepedulian tinggi pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu  strategis dan menjadi bagian dari masalah kemanusiaan dan keadilan.
Hal ini dapat dipahami karena pemerintahan Indonesia masih dalam  masa transisi penataan kehidupan politik dan keamanan nasional. Sementara itu,  pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah dan swasta  nasional. K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan  semakin ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional  (manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi  dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang  dalam UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Sedangkan Peraturan Perundangan-Undangan Ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang  Ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja tidak menyatakan secara  eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma kerja. Setiap tempat kerja   atau perusahaan harus melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud  berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam  tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan  sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No. 13 tahun 1992 tentang perkerataapian,  UU  No.  14  Tahun  1992  tentang  Lalu  Lintas  dan  Angkutan  Jalan  (LLAJ),  UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Beserta peraturan-peraturan  pelaksanaan lainnya selain sektor perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan  dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti Pertambangan,  Konstruksi, Pertanian, Industri Manufaktur (pabrik), Perikanan, dan lain-lain.
Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional sangat erat dengan  perkembangan isu-isu global seperti Hak-hak  Asasi  manusia  (HAM),  lingkungan  hidup,  kemiskinan,  dan  buruh.  Persaingan  global  tidak  hanya  sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup  kualitas  pelayanan  dan  jasa.
Banyak perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di suatu Negara jika  Negara bersangkutan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup  juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan  mustahil jika ada perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada  urutan pertama sebagai syarat investasi.
Tidak satupun peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia  tidak bersumber dari hukum dasar tertinggi yaitu Undang-undang Dasar 1945  sebagai sumber hukum tertinggi. Sumber hukum peraturan perundang-undangan  K3 yang berlandaskan pada Pasal 27  ayat  2  UUD  1945  yang  berbunyi  bahwa   “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak“.
Pasal  ini menegaskan bahwa disamping mendapat warga berhak mendapat  pekerjaan juga harus berhak mendapat perlindungan terhadap aspek keselamatan  dan kesehatan kerja agar dalam melaksanakan pekerjaannya dapat tercipta kondisi  yang nyaman, sehat, dan aman serta dapat mengembangkan kemampuan dan  ketrampilan agar dapat hidup layak sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
4) 1.  setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :  Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan yang dilaksanakan tersebut  maka disusunlah Undang-Undang No. 14 Tahun 1969 tentang pokok-pokok  tenaga kerja yang kemudian diubah menjadi Undang- Undang No. 13 Tahun 2003  tentang Ketenagakerjaan dan ketentuan tentang K3 juga diatur dalam Pasal 86  UU No. 13 Tahun 2003 :  a.  keselamatan dan kesehatan kerja b.  moral dan kesusilaan c.  perlakuan  yang  sesuai  dengan  harkat  dan  martabat  manusia  serta  nilai-nilai agama 2.  untuk melindungi keselamatan pekerja guna mewujudkan produktivitas kerja  yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
3.  perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dilaksanakan  sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
5) 4) Abdul Rachmat Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 1997, hal. 1-2.

5) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 86 ayat 1-3.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi