Selasa, 22 April 2014

Skripsi Hukum: PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN PRODUK PANGAN HASIL TEKNOLOGI REKAYASA GENETIKA

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia antara lain disebabkan karena  korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), manipulasi dan praktek-praktek ekonomi yang  tidak beretika atau tidak bermoral. Kondisi itu lalu menghadirkan moral hazard di  berbagai sektor ekonomi dan politik yang harus dipikul dan ditanggung bersama  semua elemen bangsa.

 Permasalahan moral hazard  sudah cukup luas dan  mendalam, bahkan menjadi beban moral yang sangat memberatkan. Dalam skala  yang luas, faktor moral dan etika harus dimasukkan sebagai variabel ekonomi  yang penting, khususnya dalam pola tingkah laku berekonomi dan berbisnis.
 Tingkah laku para pelaku bisnis pada era globalisasi dan perdagangan bebas yang  didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informatika, menyebabkan  ruang gerak arus transaksi barang dan jasa melintasi batas-batas wilayah suatu  Negara semakin cepat dan meluas, sehingga barang yang ditawarkan bervariasi,  baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri, tentunya dengan berbagai  resiko, bisa menguntungkan juga bisa merugikan.
 Pengertian moral hazard dalam hal ini adalah resiko yang harus ditanggung secara  moral.
 Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Di Indonesia: Menjaga Persatuan, Memulihkan  Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, (Jakarta: Makalah disampaikan dalam rangka  Dies Natalies dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia, 5 Februari 2000), Hal. 6.
 Apabila tidak ingin distigma anti World Trade Organization (WTO), maka  di era perdagangan bebas saat ini semua pihak dituntut untuk berpikir realistik dan  bersikap responsif, bahwa semua barang dan jasa yang berasal dari negara lain  harus bisa masuk ke Indonesia. Masuknya barang dan jasa impor ke Indonesia  bukannya tanpa permasalahan. Permasalahannya muncul, jika ada pengaduan  konsumen atas barang dan jasa impor tersebut, misalnya permasalahan bagaimana  mekanisme penyelesaiannya yang sederhana, cepat dan biayanya ringan.
 Selain  itu masih banyak makanan impor, atau bahkan lokal yang tidak diketahui dengan  jelas siapa distributornya di Indonesia. Ketidakjelasan ini menyulitkan konsumen  bila mengalami kerugian akibat menggunakan produk barang atau jasa tersebut,  apalagi konsumen adalah sesorang yang melakukan pembelian dengan atau tanpa  pengaruh dari pihak lain.
  Adi Nugroho, Perilaku Konsumen, Cetakan Pertama, (Jakarta : Stuudia Press, 2002),  hal. 3.
 Ibid.,Hal  Secara yuridis, muncul pula masalah benturan sistem hukum antara  Indonesia dengan negara-negara lain. Apabila perundang-undangan Indonesia  bertentangan dengan ketentuan atau kesepakatan WTO, maka diperlukan  harmonisasi ketentuan-ketentuan hukum nasional terhadap ketentuan atau  kesepakatan yang ditetapkan oleh WTO. Secara teoritis, hal ini dapat saja  diselesaikan, tetapi pada tataran praktek dan kenyataan tidak mudah dilakukan  karena berbagai sebab, baik yang bersifat yuridis, politis maupun sosiologis.
 Paling tidak, ada tiga penyebab yang dapat dikategorikan sebagai hambatanhambatan dalam perdagangan bebas, yaitu :  1.  Karena tidak konsistennya badan peradilan Indonesia atas putusanputusannya. Sering terjadi perbedaan-perbedaan putusan-putusan  pengadilan dalam kasus serupa. Dalam kasus yang berskala nasional saja  pengadilan belum mampu bersikap konsisten, bagaimana dengan kasus  konsumen pada era perdagangan bebas yang bersuasana internasional.
2.  Sebagian besar konsumen Indonesia enggan berpekara ke pengadilan,  padahal telah sangat dirugikan oleh pengusaha. Keengganan ini akan sangat  berbeda jika dibandingkan dengan konsumen-konsumen di negara-negara  peserta perdangan bebas lainnya, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan lainlain. Mereka telah terbiasa mempertanyakan produk-produk yang  dikonsumsinya, kalau perlu penyelesaian melalui jalur hukum.Keengganan  konsumen Indonsia ini, disamping disebabkan ketidakkritisan mereka, juga  lebih banyak didasarkan pada : a.  Belum dapat diterapkannya norma-norma perlindungan di Indonesia ;  dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan  Konsumen, yang relatif masih belum dipahami oleh sebagian besar  masyarakat sebagai konsumen.
b.  Praktek peradilan di Indonesia yang tidak sederhana, kurang cepat dan  biaya yang tidak ringan.
 Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Cetakan  kesatu, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 249.
 c.  Sikap menghindari konflik, meskipun hak-haknya sebagai konsumen  dilanggar pengusaha atau perusahaan.
3.  Tarik-menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku ekonomi yang  memiliki akses kuat di berbagai bidang, termasuk akses pada pengambil  keputusan. Secara sosiologis, hal ini berada diluar jangkauan hukum.
Walaupun hukum digunakan untuk menjangkaunya, itu pun hanya sebatas  kepada mereka yang menjadi tumbal space-goat tarik menarik kepentingan  tersebut.
Dalam era perdagangan bebas tersebut di atas, perlu segera disiapkan  perangkat hukum yang mengaturnya. Kegiatan bisnis perusahaan di berbagai  Negara telah diantisipasi dengan diterbitkannya peraturan-peraturan perundangundangan yang pada umumnya ditujukan pada pengaturan masalah perilaku bisnis.
Kebijakan ini dimaksud untuk menjaga agar persaingan antara kalangan usaha  dilakukan secara jujur (fair competition) dengan syarat-syarat yang diperlukan  agar perilaku bisnis tidak merugikan konsumen serta ketentuan-ketentuan tentang  perlindungan konsumen dapat ditaati oleh pihak-pihak terkait. Dalam menjaga  kelangsungan roda perekonomian, konsumen menduduki posisi cukup penting,  namun ironisnya sebagai salah satu pelaku ekonomi, kedudukan konsumen sangat  lemah dalam hal perlindungan hukum.
 Di Indonesia, konsumen yang selama ini berada pada posisi yang lemah  terkesan hanya menjadi objek pelaku usaha melalui kiat promosi, maupun cara   Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Penerbit  (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal.12.
 penjualan yang sangat ekspansif. Lemahnya posisi konsumen disebabkan antara  lain masih rendahnya kesadaran dan pendidikan konsumen di Indonesia.
 Lemahnya posisi konsumen di Indonesia tidak telepas dari sejarah tentang  perlindungan konsumen. Sejarah tentang perlindungan konsumen di Indonesia  baru benar-benar dipopulerkan sekitar dua puluh tahun yang lalu, yakni dengan  berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat (non governmental organization)  yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Berdirinya YLKI  kemudian diikuti oleh beberapa organisasi serupa antara lain Lembaga Pembinaan  dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari  1988 dan pada 1990 bergabung sebagai anggota Consumers International (CI).
 Lemahnya posisi konsumen menyebabkan posisi hukum konsumen ikut  menjadi lemah. Sebelum diterbitkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen,  penegakan hukum untuk mengawasi produsen sangat sulit dilakukan, terutama  dalam kaitannya dengan pengajuan gugatan atas kerugian yang diderita oleh  konsumen. Kesulitan-kesulitan dalam melakukan gugatan terhadap pelaku usaha  yang telah merugikan konsumen adalah dimana setiap pengugat haruslah dapat  membuktikan, bahwa pihak pelaku usaha sebagai tergugat telah melakukan  kesalahan. Dengan demikian setiap pihak yang mendalilkan adanya suatu  kesalahan, maka pihak yang mendalilkan tersebut haruslah dapat membuktikan   A.Z Nasution, Perlindungan Konsumen dan Peradilan Di Indonesia, (Jakarta: Badan  Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman R.I, 1993-1994), hal.10.
 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal.40-43.
 kesalahannya. Hal ini tentu menyulitkan konsumen untuk membuktikan kesalahan  produsen sebagai pihak yang bertindak sebagai pelaku usaha.
  Ibid., Hal. 45.

Berbagai larangan telah dikenakan bagi para pelaku usaha, baik itu pelaku  usaha pabrikan dan atau distributornya, pelaku usaha periklanan, maupun kegiatan  yang terkait dengan kehumasan. Pada prinsipnya konsumen berada pada posisi  yang secara ekonomis kurang diuntungkan. Konsumen semata-mata tergantung  pada informasi yang diberikan dan disediakan oleh pelaku usaha. Akan tetapi  informasi yang diberikan tanpa disertai dengan edukasi akan kurang dirasakan  manfaatnya. Hal ini antara lain dilakukan melalui pemasangan label atau  standarisasi mutu. Adanya pemasangan label atau pelabelan ataupun standarisasi  mutu produk dirasakan sangat penting, khususnya terhadap produk makanan,  karena hal ini sangat berhubungan dengan nyawa manusia. Label berfungsi  sebagai tanda pengenal suatu produk yang didalamnya memuat informasi  mengenai produk yang bersangkutan, antara lain seperti nama produk, berat/isi  bersih, bahan yang digunakan, nama dan alamat produsen, tanggal kadaluarsa dan  harga. Label merupakan sumber informasi yang esensial bagi konsumen sehingga  konsumen memiliki kontrol dan pilihan yang efektif terhadap apa yang mereka  konsumsi berhubungan dengan alasan-alasan kesehatan, keamanan, dan  kepercayaan yang diyakini konsumen (misalnya label halal).  Oleh karena itu  keterangan atau informasi pada label harus jujur, benar, dan tidak menyesatkan.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi