BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kondisi perekonomian dunia sekarang ini sudah berubah dimana
kondisi perekonomian dunia semakin
mendunia sehingga memberikan kesempatan bagi negara yang satu dan negara yang lainnya untuk
melakukan peredaran barang dan jasa.
Dengan menurunkan biaya transportasi,
komunikasi, berkembangnya teknologi
dan informasi dan hilangnya hambatan bagi arus barang dan jasa antar negara menghilangkan batas antar negara yang
satu dan negara yang lain, sehingga
terbentuklah penyatuan ekonomi antar negara-negara. Indonesia juga melakukan kegiatan perdagangan internasional
mengikuti berbagai kerja sama ekonomi
khususnya di kawasan ASEAN baik regional maupun multilateral contohnya AFTA (ASEAN Free Trade Area), dan
yang diterapkan pada Januari 2010 ini
adalah ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum
pun tidak dapat dihindarkan sebab
globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut dalam arti substansi berbagai undang-undang
dan perjanjian melewati batas negara.
1 1 Erman
Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Tehnologi, Implikasi Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Di
Indonesia, Pidato pada Dies Natalis USU ke 44 Medan, 20 November 2001, hal.4 Masuknya
Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun
1984 tentang Pengesahan Agreement in
Establishing The World Trade Organization /WTO (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
membawa konsekuensi baik eksternal
maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO,
sementara konsekuensi internal Indonesia
harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-perundangan nasional sesuai dengan hasil kesepakatan WTO.
Keikutsertaan Indonesia dalam perdagangan
bebas mendorong industri dalam negeri untuk bersaing, baik di dalam negeri sendiri maupun di pasar ekspor.
Hal ini merupakan problem besar bagi
Indonesia karena kemampuan produk Indonesia dari segi kualitas maupun kuantitas masih lemah 2 Seiring dengan
penyatuan ekonomi antar negara itu terjadi ketergantungan dan integrasi ekonomi nasional kedalam ekonomi
global dan menciptakan mekanisme pasar
yang memiliki persaingan yang tinggi. Tindakan persaingan antara pelaku usaha tidak jarang mendorong
dilakukannya persaingan curang, baik
dalam bentuk harga maupun bukan harga (price or nor price) . Dalam bentuk harga misalnya terjadi diskriminasi harga
(price discrimination) yang dikenal dengan
istilah dumping .
3 Dumping merupakan
suatu hambatan perdagangan yang bersifat nontarif, berupa diskriminasi harga. Masalah dumping
merupakan substansi di bidang rules making yang akan semakin penting bagi Negara berkembang
yang akan meningkatkan ekspor nonmigas
terutama dibidang manufaktur. Praktik dumping .
2 Mohammad Sood,
“Regulasi Anti Dumping Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri”, www.unram.ac.id, 12
Oktober 2011, terakhir kali diakses tanggal 3 November 2011.
3 Praktik Dumping
dilakukan oleh negara pengekspor dengan menentukan harga dibawah atau lebih rendah dari nilai nominalnya atau
unit cost yang sebenarnya atau dapat juga dikatakan menjual dengan harga lebih murah di negara
pengimpor dari pada di negara produsennya sendiri, Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Global, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2002), hal. 132.
dianggap sebagai perbuatan yang tidak fair
(unfair), karena bagi negara pengimpor,
perdagangan dengan motif dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam
negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang
dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis
akan kalah bersaing. Praktek banting
harga itu pun dapat berakibat kerugian bagi perusahaan domestik yang menghasilkan produk sejenis. Tindakan tersebut
mengharuskan pemerintah suatu negara
mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu terhadap berbagai praktik bisnis. Pembatasan tersebut merupakan sebagai
suatu perbuatan yang dilarang dan dapat
dinyatakan juga sebagai suatu kejahatan.
4 Istilah dumping
didalam dunia bisnis sering dianggap sebagai praktek yang wajar untuk penjualan suatu barang oleh
suatu perusahaan industri, namun pada
kenyataannya dapar menimbulkan kerugian bagi usaha atau industri barang sejenis di
negeri lain (Negara pengimpor). Dumping juga tidak terlepas dari praktek subsidi, proteksi, dan aneka bentuk
tata negara yang semuanya menjadi satu
yaitu perdagangan bebas. Fakta global menunjukkan bahwa praktek dumping tidak menjadi hal yang baru, sekarang menjadi
penting karena terjadi perdagangan dunia.
Daya saing dari industri negara-negara maju telah diimbangi oleh produsen-produsen negara berkembang.
5 Terkait dengan
perdagangan bebas, kesepakatan ASEAN-China FTA juga dapat menimbulkan dampak baik positif maupun
negatif. Dampak positif dari 4 Sukarmi, Regulasi Antidumping Dibawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2002), hlm 7.
perjanjian ACFTA tersebut akan dinikmati
langsung oleh sektor yang produknya diekspor
ke China, sementara dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam negeri yang produknya dipasarkan di dalam
negeri dan memiliki tingkat daya saing
yang relatif kurang kompetitif yang harus bersaing dengan produk China.
Para kepala negara
anggota ASEAN dan China pada tanggal 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja telah
menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation
between The Association of Southeast Asian
Nations and The People’s Republic of China (ACFTA). Tujuan dari Framework Agreement AC-FTA tersebut adalah: a)
Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak; b) Meliberalisasikan perdagangan barang, jasa
dan investasi; c) Mencari area baru dan
mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak; d) Memfasilitasi intergrasi ekonomi yang lebih
efektif dengan negara anggota baru ASEAN
dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak 6 Selain itu kedua pihak juga
menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui: .
a. Penghapusan tarif dan hambatan non tariff
dalam perdagangan barang; b.
Liberalisasi secara progresif perdagangan jasa; c. Membangun regim investasi yang kompetitif dan
terbuka dalam kerangka ASEAN-China FTA 7
6 Ardian, “Dampak Asean China Free Trade
Agreement (ACFTA) bagi Perdagangan Indonesia”,
.
www.ardianlovenajlalita.wordpress.com , 14 Agustus 2011 terakhir kali diakses tanggal 28 September 2011.
Dalam lima tahun terakhir peningkatan impor
dari China pada umumnya diatas 20 %
pertahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk China berpotensi dan sudah menjadi ancaman terhadap
pasar domestic untuk produk yang
sejenis. Pada bulan Januari 2010, produk China praktis menguasai setiap lini di Indonesia. Dimana kualitas barangnya
seadanya, tetapi haraganya yang murah meriah
membuat produk China laku keras. Data perdagangan akhir 2010, neraca perdagangan Indonesia-China defisit di pihak
Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke
China 49,2 miliar dollar AS, sementara nilai impor dari China sebesar 52 miliar
dollar AS.
8 Pemberlakuan
ACFTA telah menuai dampak negatif juga dimana sekitar 20 persen sektor industri manufaktur beralih
ke sektor perdagangan, hal ini dapat dicontohkan
penyurutan manufaktur pada industri alas kaki. Dari sekitar 1,5 juta tenaga kerja pada tahun 2000 sebanyak 300.000
orang di antaranya terpaksa dikenai
pemutusan hubungan kerja (PHK), jumlah pengangguran pun kian bertambah.
9 Survey yang
dilakukan Kementerian Perindustrian
Republik Indonesia langsung ke
Shanghai dan Guangzhou, China, menemukan adanya praktik banting harga (dumping) untuk beberapa produk yang
diekspor ke Indonesia. Dari 190 barang
yang diekspor ke Indonesia, ditemukan 30 produk dengan harga lebih 7 Vanisterisa, “Polemik ACFTA”,
www.vanisterisa.blog.com, 1 September 2010 terakhir kali diakses tanggal 28 September 2011.
8 “Produk China di
Setiap Lini”, Kompas, 12 April 2011 9 Ibid , hal 17 murah dibandingkan dengan harga di pasar
lokal mereka. Artinya, China telah menerapkan
politik dumping.
10 Sebagai negara
yang turut ambil bagian dalam perdaganagn multilateral, Indonesia telah meratifikasi Agreement
Estabilihing the WTO melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994, sebagai
konsekuensinya Indonesia kemudian membuat
ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan dan ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun Indonesia sebagai salah satu negara yang telah
menyetujui GATT dan WTO dengan
Undang-Undang No 7 Tahun 1994, dimana ketentuan antidumping sudah tercantum sejak disepakatinya GATT pada
tahun 1947 secara simultan telah diadakan
beberapa perjanjian tambahan mengenai suatu pasal dalam GATT, dimana perjanjian tamabahan tersebut dikenal
dengan code. Hal ini ditindaklanjuti dengan
disepakatinya Tokyo Round yang menghasilkan Antidumping Code1979, kemudian digantikan dengan Uruguay Round
dengan nama Agreement on Implementation
of Article VI of GATT 1994 yang merupakan Multilateral Trade Agreement (MTA) dimana instrumen hukum itu
ditandatangi bersamaan dengan penandatanganan
Agreement Estabilishing the World Trade Organization di Marrakesh
(Maroko) pada tanggal 15 April 1994. Jadi dengan demikian Antidumping Code tahun 1994 suatu paket yang inklusif atau
integral dari Agreement Estabilihing the
WTO.
10 Ibid, hal 17 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea
Masuk Imbalan dan diikuti dengan
beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Ketentuan
Antidumping ini hanya dikenakan pada produk yang mengancam produk industri dalam negeri karena
menimbulkan persaingan usaha yang tidak
sehat. Dalam menghadapi China dalam perdagangan bebas ini seharusnya Indonesia sudah matang dalam
pembelaan industri dalam negeri karena
China juga terkenal sering melakukan politik dumping.
Tentu dalam
melaksanakan kebijakan ini tidaklah sembarangan, haruslah digunakan dengan analisis dan indikator yang
jelas. Bea masuk antidumping hanya akan
dikenakan apabila kriteria praktik dumping dapat dibuktikan dalam penyelidikan antidumping, dimana kriterianya
adalah adalah: 1. Adanya barang yang
sejenis yang diekspor ke suatu negara; 2.
Adanya penjualan dengan harga ekspor yang dibawah harga normal atau dengan kata lain adanya dumping; 3. Adanya kerugian terhadap industri dalam
negeri; 4. Adanya hubungan sebab akibat
antara penjualan dengan harga ekspor yang
di bawah nilai normal dengan terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri.
11 Jadi dengan
adanya ACFTA ini banyak peristiwa tentang perdagangan bilateral antara Indonesia dan China tidak
seimbang dan berdampak pada kerugian dan
kelesuan permintaan terhadap produk industri dalam negeri terutama industri kecil dan menengah. Industri dalam negeri
dalam menghadapi pasar bebas dan 11 Yulianto
Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003), hal. 68 persaingan global masih sangat rentan dan
lemah. Disinilah perlindungan dari pemerintah sangat dibutuhkan melalui perangkat
hukum internasional dan nasional
mengenai antidumping sebagai tindakan balasan terhadap politik dumping yang dilakukan negara lain dalam hal
ini khususnya China. Ditambah lagi dalam
keadaan yang menunjukkan indikasi kesulitan menghadapi produk China terkait ACFTA ini. Menurut pendapat M.S.
Hidayat dalam Koran Kompas mengatakan
bahwa Indonesia sebenarnya tidak memiliki grand design industri dalam peningkatan daya saing yang sangat
dibutuhkan sejak awal penerapan ACFTA
ini.
12 B.
RumusanPermasalahan Bagaimanapun
Indonesia harus dapat cakap dalam melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping dan juga
cakap mengantisipasi upaya apa yang akan
digunakan untuk menghadapi tuduhan praktik dumping dari negara lain dalam waktu yang tepat. Karena pengusaha
terutama pengusaha kecil dan menengah
tidak sanggup menyelesaikan tugas dan peran pemerintah dalam melindungi produk industri dalam negeri dari
persaingan yang curang atau praktik dumping
tersebut.
Dengan paparan
latar belakang dalam skripsi yang berjudul : “Hukum Antidumping Sebagai Pelindung Produk Industri dalam Negeri
dalam Rangka ACFTA” diatas maka penulis mengangkat beberapa permasalahan
diantaranya adalah: 12 “Indonesia-China:
Tidak Ada Desain Besar Hadapi ACFTA”,Kompas 15 April 2011 1.
Bagaimanakah pengaturan antidumping dalam perdagangan internasional? 2. Bagaimanakah ketentuan antidumping dalam
kerangka hukum nasional Indonesia? 3. Bagaimanakah penerapan hukum antidumping
sebagai pelindung industri dalam negeri
dalam rangka ACFTA? C. Kegunaan Penelitian Manfaat yang ingin dicapai dari
penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis Sebagai sumbangan pemikiran
pengembangan bidang ilmu hukum pada umumnya
dan ilmu hukum internasional dibidang hukum privat khususnya Hukum Perdagangan Internasional, mengenai perdagangan regional dikawasan asia tenggara.
2. Kegunaan Praktis Sebagai sumbangan dan acuan
bagi sistem hukum di Indonesia terutama dalam
menangani kasus-kasus yang terkait dengan perdagangan bebas Asean-China sehingga dapat dijadikan pedoman
dalam memberikan perlindungan terhadap
industri dalam negeri dalam pasar internasional, khususnya dikawasan regional Asia tenggara.
D. Keaslian
Penelitian Dalam rangka mengembangkan
ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis selama
mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum maka penulis menuangkannya dalam sebuah
skripsi yang berjudul : “Hukum Antidumping
sebagai Pelindung Produk
Industri dalam Negeri dalam Rangka ACFTA”.
Adapun judul yang
berkaitan dengan judul skripsi ini adalah skripsi yang lebih menekankan kepada tinjauan hukum dan
implementasi hukum anti dumping saja,
namun dalam skripsi ini lebih mengutamakan peran ketentuan anti dumping dalam melindungi industri dalam negeri dalam
pasar bebas di kawasan regional khusus
ASEAN-China yang mulai diberlakukan pada tahun 2010.
Karena dalam
pelaksanaan ketentuan antidumping diimplementasikan dengan bijaksana, karena tidak semua kebijakan
antidumping itu memberikan keuntungan
bagi produsen dalam negeri. Jadi dalam skripsi ini menekankan bagaimana menggunakan ketentuan hukum
antidumping tersebut sehingga dapat memberikan
perlindungan bagi industri dalam negeri dan juga dalam menghadapi tuduhan dumping dari negara lain sehingga
industri dalam negeri Indonesia tidak tergerus
dalam perdagangan bebas ASEAN-China.
Dengan demikian,
dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melaui penulisan skripsi ini, maka
dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan
karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain, dimana diperoleh melalui pemikiran para pakar
dan praktisi, referensi, buku-buku, bahan
seminar, makalah-makalah, media cetak seperti koran-koran, media elektronik seperti internet serta bantuan dari
berbagai pihak, berdasarkan kepada asas-asas
keilmuan yang jujur, rasional dan terbuka. Semua ini tidak lain adalah merupakan implikasi dari proses penemuan
kebenaran ilmiah, sehingga hasil penulisan
ini dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya secara ilmiah.
E. TinjuanPustaka Dengan
terintegrasinya perekonomian nasional menjadi internasional ini menimbulkan adanya hubungan dengan
perekonomian negara lain. Kondisi ini juga
akan memungkinkan pelaku usaha suatu negara akan bersaing dengan pelaku usaha yang lainnya dimana mereka memiliki
kondisi ekonomi dan system ekonomi yang
berbeda dan memiliki kebijakan ekonomi yang berbeda pula setiap negara.
Perdagangan
internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara
lain atas dasar kesepakatan bersama.
Pendudukan yang dimaksud dapat berupa antar perorangan, antar individu dengan pemerintah suatu negara dengan
pemerintah negara lain.
13 Dumping adalah
suatu keadaan dimana barang yang diekspor oleh suatu Negara ke Negara lain dengan harga yang lebih
rendah dari harga jual di dalam negerinya
sendiri atau nilai normal dari nilai barang tersebut.
14 Praktik dumping disini adalah suatu praktik yang dapat
menimbulkan kerugian bagi dunia usaha karena
eksportir menjual produknya dengan harga yang lebih murah di negara pengimpor daripada di negara produsennya
sendiri.
15 13 Matias
Djemana “Globalisasi Terhadap Perdagangan Internasional”, Dengan membanjirnya barang-barang dari negara pegekspor yang
harganya jauh lebih murah dari barang www.topandjemana.blogspot.com,
29 April 2011, terakhir kali diakses tanggal 27 September 2011.
14 Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, (Jakarta: Direktorat Jenderal
Perdagangan Internasional, 1998), hal 123 15 Yulianto Syahyu, Hukum Anti
Dumping di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003), hal. 68 dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis dalam negeri akan kalah bersaing. Pada saatnya hal ini akan mematikan
pasar barang sejenis dalam negeri dan
produsen atau eksportir dapat merebut pangsa pasar dalam negeri importir.
Salah satu upaya
untuk menyikapi dumping adalah dengan melakukan upaya antidumping sebagai tindakan balasan
seperti menetapkan Bea Masuk Anti Dumping
(BMAD). Bea Masuk Anti Dumping adalah pungutan yang dikenakan terhadap barang dumping yang menyebabkan
kerugian.
16 Sedangkan Bea
Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS)
adalah bea masuk anti dumping yang dikenakan untuk sementara waktu menunggu hasil
final investigasi. Jika hasil final
investigasi menunjukkan praktek dumping telah terbukti dan praktek tersebut telah merugikan industri dalam negeri, BMADS
akan diteruskan dan ditetapkan menjadi
BMAD, tetapi jika tidak terbukti maka BMADS dicabut. Pihak-pihak anggota GATT/WTO diberi wewenang untuk
mengenakan pajak atau perlindungan
tariff sebagai jawaban atas kerugian yang ditimbulkan dari impor barang yang disubsidi.
17 Dalam hal ini
terdapat tiga kemungkinan dimana subsidi dapat mendistorsi perdagangan, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Michael J.
Trebilcock & Robert
Howze 18 16 Christoporus Barutu, Ketentuan Anti Dumping, Subsidi, dan Tindakan
Pengamanan (Safeguard) Dalam GATT dan
WTO, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2007), hal 164.
17 Yulianto Syahyu,
Hukum Anti Dumping di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal 27.
18 Michael J.
Trebilcock dan Robert Howze, The Regulation of International Trade: Antidumping Law, USA Rontlege, 1999
dalam Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003),
hal 18.
berikut ini: 1.
Jika negara A mensubsidi ekspornya ke negara B, menyebabkan produsen domestic di negara B kehilangan daya saing,
Negara B dapa menjawab dengan mengenakan
tarif terhadap impor barang tersebut.
2. Jika negara A memberikan subsidi pada
produksi domestik, menurunkan daya saing
ekspor negara B ke negara A, satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan oleh negara B adalah
menjawabnya dengan subsidi setara atau
menyampaikan tentang pelanggaran kepada dewan resolusi sengketa GATT.
3. Jika negara A mensubsidi ekspor ke negara C,
sehingga terjadi penurunan daya saing
ekspor negara B ke negara C, kembali ada kemungkinan negara B dapat melakukan secara sepihak dengan
menjawab melalui subsidi yang setara.
Masalah subsidi
adalah dapat ditanggapi dengan alasan yang sama dengan dumping karena merupakan suatu hubungan kausal
dan menghasilkan harga dibawah normal.
Dalam paparan tersebut diatas memungkinkannya terjadi dua kasus yang harus dipilah.
19 Dengan adanya
hukum antidumping ini memberikan sarana perlindungan terhadap produk industri dalam negeri dari
persaingan usaha yang tidak adil dalam perdagangan
internasional. Karena hukum antidumping ini sangat ketat pengaturannya dan implementasinya perlu
digunakan secara tepat karena dalam masalah
praktik dumping ini sangat sensitif terhadap waktu. Waktu yang tidak efektif dalam pengajuan permohonan dan
investigasi praktik dumping ini juga 19 Ibid,
hal 28 seharusnya dapat dikontrol
penerapannya sehingga waktu untuk diterapkannya hukum antidumping ini tepat dan tidak
terlambat untuk melindungi produk industri
dalam negeri sehingga hukum antidumping tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya bagi masyarakat.
Ekspor adalah
proses transportasi barang atau komoditas dari suatu Negara ke Negara lain secara legal, umumnya dalam
proses perdagangan. Proses ekspor pada
umumnya adalah tindakan untuk mengeluarkan barang atau komoditas dari dalam negeri untuk memasukkanya ke Negara lain.
20 Impor adalah
proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain
secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor umumnya adalah tindakan memasukkan barang atau
komoditas dari negara lain ke dalam
negeri.
21 Industri dalam
negeri (industri domestik) adalah keseluruhan produsen dalam negeri yang menghasilkan barang sejenis
dengan barang terselidik dan atau barang
yang secara langsung merupakan saingan barang terselidik, yang produksinya secara kolektif merupakan bagian
dari total produksi barang sejenis dalam
negeri.
22 a. Keseluruhan produsen dalam negeri barang
sejenis, atau Yang dimaksud dengan industri dalam negeri dapat dilihat dari
pasal 1 angka 8 PP No. 34 Tahun 1996
yakni industri dalam negeri adalah: 20 Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, (Jakarta: Direktorat Jenderal
Perdagangan Internasional, 1998), hal 147 21 Ibid, hal 148 22 Ibid, hal 148 b.
Produsen dalam negeri barang sejenis yang produksinya mewakili sebagian besar (lebih dari 50%) dari
keseluruhan produksi barang yang
bersangkutan.
ASEAN-Cina Free
Trade Agreement (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara anggota ASEAN dengan Cina untuk
mewujudkan kawasan perdagangan bebas
dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non
tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan
dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian
para pihak ACFTA dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina.
23 Namun dalam
berjalannya ACFTA ini yang sebenarnya harapannya Indonesia dapat sebuah peluang untuk mendapat
keuntungan seperti yang diharapkan namun
hal itu tidak terjadi karena dalam beberapa penelitian ACFTA diawali pada tahun 2001 dalam pertemuan
ASEAN dan China di Bandar Sri Bengawan,
Brunei Darussalam, dimana China menawarkan proposal ACFTA untuk jangka waktu 10 tahun, dan
ditandatangani tahun 2002 dan kemudian
Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004.
Kemudian ACFTA aktif berlaku tanggal 1
januari 2010 dan Indonesia harus membuka diri dalam pasar bebas regional China dan ASEAN.
23 Nin Yasmin
Lisasih, “Implikasi ACFTA terhadap perekonomian Indonesia”, www.ninyasmin.wordpress.com, 19 Juli 2011,
terakhir kali diakses tanggal 24 September 2011
mengatakan neraca perdagangan Indonesia-China tidak seimbang dan
Indonesia mengalami defisit bahkan
sebelum ACFTA diberlakukan.
24 F. Metode
Penelitian Dalam skripsi ini untuk
membahas masalah sangat membutuhkan adanya data dan keterangan yang dapat dijadikan bahan
analitis. Untuk mendapatkan dan mengumpulkan
data dan keterangan tersebut penulis menggunakan metode sebagai berikut.
1. Spesifikasi Penelitian Tipe penelitian hukum
yang dilakukan adalah yuridis normative dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian
analisis terhadap peraturan perundang-undangan
antidumping baik dalam hukum internasional maupun dalam kerangka hukum nasional Indonesia
sendiri. Maka tipe penelitian yang
digunakan adalah penelitian juridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma
dalam hukum positif mengenai antidumping dalam melindungi produk industri dalam negeri. Hal
ini ditempuh dengan melakukan penelitian
kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normative maka
pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan perundang-undangan. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan Antidumping dan
perannya dalam melindungi produk industri dalam negeri terlebih dalam rangka ACFTA ini.
24 “Produk China di
Setiap Lini”, Kompas 12 April 2011 2. Bahan Penelitian Materi dalam skripsi ini
diambil dari data seperti dimaksud dibawah ini : a. Bahan Hukum Primer, yaitu : Berbagai dokumen
peraturan perundang-undangan yang tertulis yang ada dalam dunia Internasional mengenai
Antidumping dan Perjanjian Internasional
ACFTA. Mengenai antidumping yakni Pasal VI GATT pada Tahun 1947, diikuti dengan adanya putaran
Tokyo yang melahirkan Antidumping Code
(1979) dan digantikan dengan Antidumping
Code (1994) yang dilahirkan dalam Putaran Uruguay yang merupakan bagian integral dari Agreement
Establising the WTO tanggal 15 April 1994.
Dan ketentuan
peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia yakni Undang-undang Nomor
17 Tahun 2006 perubahan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dan diikuti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang
Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : Bahan-bahan
yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan
memahami bahan hukum primer yang ada.
Semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi
mengenai Antidumping dan Perjanjian
Internasional ACFTA, seperti hasil
seminar atau makalah dari pakar hukum, Koran, majalah, dan juga sumber-sumber lain yakni
internet yang memiliki kaitan erat
dengan permasalahan yang dibahas.
c. Bahan Hukum Tertier, yaitu : Mencakup kamus
bahasa untuk pembbenahan tata Bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa
beberapa istilah asing.
3. Data dan Teknik Pengumpulan Data Bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan penelitian kepustakaan atau yang
lebih dikenal dengan studi kepustakaan.
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam
buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan,
majalah, surat kabar, hasil seminar, dan sumbersumber lain yang terkait dengan
masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data Data yang diperoleh dari
penelusuran kepustakaan, dianalisis dengan deskriptif
kualitatif. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok
permasalahan. Kualitatif yaitu metode
analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan
kebenarannya kemudian dihubungkan dengan
teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang
diajukan.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari
V Bab yang masing-masing bab memiliki
sub-babnya tersendiri, yang secara garis besarnya dapat diuraikan sebagai berikut: BAB I Pendahuluan Dalam bab
ini diuraikan secara umum mengenai keadaan-keadaan yang berhubungan dengan objek penelitian
seperti latar belakang pemilihan judul,
rumusan masalah, kegunaan penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
HukumAntidumpingdalam Perdagangan Internasional Bab ini menguraikan konsep
dumping dan antidumping secara umumnya
dan juga memaparkan dampak praktik dumping terhadap negara importir dan eksportir, kemudian
memaparkan sejarah ketentuan mengenai
hukum anti dumping ini dibentuk. Dalam bab ini juga memaparkan ketentuan antidumping
menurut GATT dan WTO diantaranya ketentuan
barang sejenis, ketentuan barang dumping,
penentuan kerugian, industri dalam negeri, serta tindakan remedial sebagai tindakan terhadap
praktik dumping.
BAB III
HukumAntidumping diIndonesia Dalam bab ini menguraikan ketentuan antidumping di
Indonesia meliputi indikator dalam
analisis dumping, lembaga administrasi dan
pelaksana peraturan Antidumping serta proses penyelidikan Antidumping tersebut di Indonesia. Dalam bab
ini juga memaparkan pengenaan Bea Masuk
Anti Dumping yakni tindakan balasan dari
praktik dumping, pemberlakuan surut dalam hukum anti dumping, tenggat waktu yang dibutuhkan
dalam penyelesaian Kasus Antidumping
serta pelaksanaan pemungutan Bea Masuk Anti Dumping tersebut.
BAB IV Implementasi
Ketentuan Antidumping Indonesia dalam Rangka
ACFTA Dalam bab ini dijelaskan ulasan mengenai ACFTA meliputi proses, landasan, dan kesepakatan dan renegoisasi dan
revisi dalam ACFTA, memaparkan juga
dampak ACFTA terhadap perdagangan Indonesia
yang meliputi neraca perdagangan Indonesia-China dan langkah pemerintah terkait dampak ACFTA
tersebut. Dalam bab ini juga memaparkan
antidumping sebagai salah satu bentuk proteksi
industri dalam negeri dalam menghadapi ACFTA yakni penegakan hukum terhadap produk impor yang
berindikasi dumping dan kebijakan
Indonesia dalam menghadapi praktik dan tuduhan
dumping.
BAB V Kesimpulan dan Saran Bab terakhir ini berisi
kesimpulan yang diambil oleh penulis terhadap
bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dan yang ditutup dengan mencoba memberikan saran-saran
yang penulis anggap perlu dari
kesimpulan yang diuraikan tersebut.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi