BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berawal dari keprihatinan akan banyaknya kasus yang
merugikan konsumen serta diduku ng oleh
ketidakberdayaan konsumen dalam nenuntut hakhaknya, maka pemerintah menaruh
kepedulian akan hal tersebut dengan upaya
mewujudkan suatu peraturan yang mengatur dan terutama melindungi
konsumen dari berbagai hal yang dapat
menimbulkan kerugian bagi mereka . Hal ini dapat dilihat dengan keluarnya Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen bukan satu satunya hukum yang mengatur tentang
perlindungan konsumen di Indonesia.
Sebelum disahkannya
undang-undang perlindungan konsumen di
Indonesia, telah ada peraturan-peraturan perundang-undangan yang
materinya melindungi kepentingan
konsumen. Seperti Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang
menjadi undang-undang, UndangUndang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintah di
Daerah, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981
tentang Metrologi Legal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1984 tentang Ketenaga
Listrikan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang
dan Industri, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade
Organization), Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 yang sekarang telah direvisi menjadi
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Undangundang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang
Paten, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Penyiaran, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan
demikian, walaupun setelah lahirnya
undang-undang perlindungan konsumen masih terbuka kemungkinan terbentuknya peraturan
perundang-undangan yang membuat
ketentuaan yang melindungi konsumen, dimana hal ini semua sangat menguntungkan bagi pihak konsumen.
4 Perlindungan
terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan
dan teknologi yang merupakan motor
penggerak bagi produktivitas dan efisiensi
4 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta :
Diadit Media, 2002), hal. 295-296.
produsen atas barang atau jasa yang
dihasilkannya dalam rangka mencapai
sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut,
akhirnya baik langsung atau tidak
langsung, konsumenlah yang pada umumnya merasakan dampaknya.
5 Perlindungan
konsumen dilakukan dengan: Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan
perlindungan yang memadai terhadap
kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak dan segera dicari solusinya,
terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang
menyangkut perlindungan konsumen,
lebih-lebih menyangkut era perdagangan bebas yang akan datang.
6 1. Pemantapan
tertib usaha dan kepastian usaha perdagangan, termasuk penyempurnaan di bidang perundang-undangan dan
peraturan yang bergerak di bidang
perdagangan, penyederhanaan perizinan serta
peningkatan pelayanan.
2. Peningkatan
perlindungan konsumen melalui peraturan perundangundangan serta kemeteorologian
serta mendorong peran serta masyarakat
dalam perlindungan konsumen.
Konsumen yang
keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen
melakukan kegiatan pemasaran dan
distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar
dapat mencapai konsumen yang sangat
majemuk tersebut. Untuk itu semua cara
pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan
yang bersifat negatif bahkan tidak
terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lajim terjadi,
antara 5 Celina Tri Siwi Kristiyanti,
Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 5.
6 Ari Purwadi,”
Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen,” Yuridika, Majalah Fakultas
Hukum Universitas Airlangga,( Nomor 1 dan 2 Tahun VII, Januari-Februari), hal. 49.
lain menyangkut kualitas, atau mutu barang,
informasi yang tidak jelas bahkan
menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.
Oleh karena itu,
konsumen yang tertipu atau merasa hak-hak mereka tidak diterima sebagaimana mestinya, atau yang
merasa dirugikan dapat membuat surat
pengaduan kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat ini dapat meminta
pertanggungjawaban kepada pengusaha dan selanjutnya dapat juga membuat laporan kepada BPSK (Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen) untuk
dapat diadili atas persetujuan yang bersangkutan. Disinilah peranan
LPKSM dan BPSK jelas terlihat. Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM) Selain lembaga yang resmi dibentuk oleh pemerintah, menurut ketentuan dalam Bab VIII Undang-Undang
tentang Perlindungan Konsumen,
pemerintah dalam Bab IX, Pasal 44 memungkinkan dibentuknya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat tersebut diberikan kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
7 1. Menyebarkan informasi dalam rangka
meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Dalam rumusan Pasal
44 ayat (3) UUPK, dikatakan bahwa
LPKSM mempunyai tugas yang meliputi
kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 2.
Memberikaan nasihat kepada konsumen yang memerlukanya.
3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam
upaya mewujudkan perlindungan konsumen.
7 Gunawan Widjaja
& Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal.93-94.
4.
Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.
5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan
masyarakat terhadap pelaksanaan
perlindungan konsumen.
Meskipun tidak
banyak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mengenai LPKSM, namun mengingat akan posisi strategis
lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat tersebut dalam keanggotaan Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dan kepentingan dasar
konsumen akan organisasi yang akan
melindungi hak-haknya, maka suatu Peraturan
Pemerintah yang nantinya akan dibentuk sebagai pelaksanaan Pasal 44 ayat
(4) Undang-Undang tentang Perlindungan
Konsumen menjadi sangat penting artinya.
Peraturan
Pemerintah tersebut akan menjadi dasar dari pembentukan LPKSM, karena menurut Pasal 44 ayat (1) Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, hanya LPKSM yang memenuhi syaratlah
yang diakui oleh pemerintah. Demikian
juga halnya dengan Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) adalah organisasi konsumen yang merupakan lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak di
bidang perlindungan konsumen.
8 Dengan demikian
konsumen yang ditipu oleh pelaku usaha baik karena kualitas atau mutu barang, informasi yang
tidak jelas dan bahkan menyesatkan,
pemalsuan dan sebagainya akan merasa dirugikan sehingga konsumen
akan menuntut ganti kerugian. Apabila tidak
dipenuhi oleh produsen selaku pelaku
Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia bertindak dalam kapasitasnya selaku perwakilan konsumen (consumer representation) yang memiliki
tujuan yaitu melayani dan meningkatkan
martabat dan kepentingan konsumen.
8 Celina Tri Siwi
Kristiyanti. Op.cit. hal. 123.
usaha maka hal ini akan menimbulkan
perselisihan diantara kedua belah pihak
yaitu konsumen dan produsen.
Perselisihan yang
terjadi antara konsumen dan pelaku usaha dapat
menyangkut pemberian sesuatu, berbuat atau tidak berbuat sesuatu ( Pasal
1233 KUH Perdata).
9 Perselisihan
antara konsumen dan pelaku usaha ini selanjutnya disebut dengan sengkata konsumen. Sengketa
konsumen adalah sengketa yang terjadi
antara konsumen di satu pihak dengan pelaku usaha atau produsen di pihak lain, konsumen sebagai pengguna/pemakai
barang dan atau jasa dan pelaku usaha
atau produsen sebagai penyedia barang atau jasa.
10 Namun sebelum
Undang-undang Perlindungan Konsumen lahir, satusatunya lembaga yang disediakan
untuk menyelesaikan sengketa konsumen
adalah melalui gugatan di pengadilan, namun penyelesaian sengketa
melalui pengadilan tidak akomodatif dalam menampung sengketa konsumen,
karena mahal, lama dan terlalu
birokratis.
Adapun yang menjadi
Objek sengketa konsumen yang menyangkut
produk produsen yaitu barang dan jasa
produsen yang pada umumnya digunakan untuk keperluan memenuhi
kebutuhan konsumen pribadi, keluarga
atau rumah tangganya dan tidak untuk kebutuhan
komersial.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi