Kamis, 24 April 2014

Skripsi Hukum: KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENYELESAIKAN SENGKETA BISNIS DALAM HAL ADANYA KLAUSUL ARBITRASE

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.   Latar Belakang.
Berkembangnya usaha perniagaan di Indonesia telah membawa pada suatu  segi yang lain dari perniagaan itu sendiri, yaitu harapan agar dapat menyelesaikan  setiap sengketa yang timbul dengan cepat, murah dan sebaik-baiknya. Dengan  pengertian sebaik-baiknya dimaksudkan, bahwa penyelesaian sengketa tersebut  tidak akan mengganggu sengketa iklim bisnis antara pihak yang bersengketa  disamping terjalinnya relasi business dari para pihak karena dipegang teguh  kerahasiaan.

Dalam arti kata sehari-hari “sengketa” dimaksudkan sebagai kedudukan  dimana pihak-pihak yang melakukan upaya perniagaan mempunyai masalah, yaitu  menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak  lainnya menolak untuk berbuat demikian.
Praktek menunjukkan bahwa yang paling sering terjadi dalam perniagaan  modern adalah dipenuhinya pengertian “sengketa” seperti didefenisikan dalam  kontrak perniagaan “default” dan jika hal ini terpenuhi maka prosedur yang tertera  dalam kontrak juga menjadi berlaku. Misalnya suatu kontrak menentukan “default”  apabila salah satu pihak tidak melakukan pembayaran pada hari jatuh tempo (due  date) atau paling lambat 14 hari sesudahnya, di samping tanggung awal selanjutnya   akan dipikul juga oleh perusahaaninduk (mother campony) atau oleh Negara dalam  hal BUMN (cross default).
 Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara  melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal  lainnya. untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih yaitu  dengan cara non ligitasi seperti melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase  dan degan cara ligitasi, yaitu melalui pengadilan.
 Dunia perniagaan modern berpaling kepada Alternatif Dispute Resulution  (ADR) yaitu sebagai penyelesaian sengketa yang cepat tidak menghambat iklim  perniagaan modern menghendaki penyelesaian sengketa yang tersedia (yaitu  Pengadilan) dirasa tidak dapat mengakomodasi harapan demikian. Upaya  menyelesaikan sengketa alternatif ini merupakan upaya yang paling tua yang telah  dikenal sejak bangsa Mesopotamia yang tinggal dintara sungai Euphart dan Tigris  yang menyelenggarakan satu bentuk perwasitan dimana Raja Meselin memutus  sengketa anatara 2 (dua ) suku bersengketa.
  Chairul Anwar, Chairul Anwar, Hukum Perdagangan Internasional, Navindo Pustaka  Mandiri, Jakarta 1999, hal.21.
 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,  2006, hal. 3.
 Ibid, hal.
Tujuan alternatif untuk menghindari kemacetan penyelesaian sengketa ini  banyak menjadi pilihan. Timbulnya lembaga-lembaga yang dikenal sebagai “good  offices” sebagai bentuk penyertaan pihak ketiga yang membawa pihak yang  bersengketa kemeja perundingan apabila negoisasi sudah tidak mungkin lagi.Good  offices inilah sebetulnya yang merupakan bentuk penyertaan pihak ke-3 yang paling  awal sebagai penyedia fasilitas.
 Dari tahapan “good offices” ini biasanya berkelanjutan ketahapan mediasi yang  dalam arti dasarnya sudah melangkah ke pengertian menengahi sengketa sehingga  lebih aktif dari “good offices”. Selangkah dari mediasi adalah memasuki tahap  konsiliasi dimana tidak dibawa usulan penyelesaian sehingga secara lebih aktif membantu dan mengarahkan para pihak untuk sampai pada kesimpulan  penyelesaian sengketa yang dapat disepakati pihak-pihak. Apabila ternyata para  pihak sudah tidak lagi melihat celah penyelesaian berdasarkan “take and give” diantara para pihak disamping bahwa sengketa tersebut tidak lagi mendapatkan  kekeliruan penafsiran ataupun kekeliruan konfirmasi dari keadaan factual (fact  fending) maka dalam keadaan seperti ini tahap penyelesaian sengketa yang paling  wajar adalah melalui arbitrase.
 Sebetulnya dengan memilih upaya ADR pihak yang bersengketa seharusnya  mengacu kepada kontraknya sendiri (apabila ada), yaitu kepada klausul kontrak  yang menujuk kepada penggunaan pihaik ke-3 untuk membantu apabila negoisasi  tidak berhasil, yaitu melalui jasa-jasa baik, mediasi dan konsiliasi di satu pihak serta  arbitrase di lain pihak. Sudah barang tentu masing-masing dengan tata cara  penanganannya sendiri dengan “rules of procedure” yang berlaku.
 Apabila yang dipilih ternyata arbitrase maka karena sifat putusan arbitrase sebagai  putusan yang mengikat, maka sebaiknya dalam kontrak yang bersangkutan diatur  dengan tegas dan terinci tentang perangkat ketentuan mana yang akan diikuti,  apakah misalnya ketentuan-ketentuan BANI, UNICTRAL dan sebagainya serta  hukum yang dipilihnya (choice of law). Sebetulnya dalam proses arbitrase, misalnya   Huala Adolf, Arbitrase Komersial lnternasional, Rajawali Press, Jakarta, 1999, hal.
35.
 lbid, hat. 24.
 dalam ketentuan BANI, lembaga jasa baik, mediasi dan konsiliasi sudah tercakup.
Hal ini disebabkan pada waktu berjalannya proses terutama pada siding pertama  para arbiter secara berulang-ulang menawarkan agar pihak pemohon dan termohon  bernegoisasi lagi apabila dianggap masih mungkin dan apabila dianggap perlu  dengan ikut sertanya arbiter. Sifat upaya damai akan tetap terbuka sepanjang proses, artinya pada setiap tahap pada masa berjalannya persidangan arbitrase para pihak  dapat mengajukan permohonan untuk melakukan pendekatan damai. Apabila usaha  ini tidak berhasil maka proses selanjutnya berjalan sebagaimana biasa.
Di Indonesia, pengertian arbitrase termuat dalam Pasal 1 angka 8 Undang  Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Nomor 30 tahun 1999 :  "Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa  untuk memberikan putusan mengenrri sengketa tertentu, lembaga tersebut juga  dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum  tertentu dalam hal belum timbul sengketa." Dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 disebutkan bahwa :  “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang  perdagangan dan hak vang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan  dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.” Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah  dalam lingkup hukum keluarga. Arbitrase hanya dapat diterapkan untuk masalah  perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarikguna  menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya  sudah lama dikenal meskipun jarang diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan   dipakainya Reglement op de Rechtsreglement Bitengewesten (RBg) dan Het  Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun  Rechtsreglement Bitengewesten  (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglement Of De  Rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi  dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam UU No. 4  tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian  perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap  diperbolehkan. akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial  setelah memperoleh izin atau perintah untuk diekskusi dari Pengadilan.
 Dalam banyak perjanjian perdata, klasual arbitase banyak digunakan sebagai  pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase  bersifat mengikat (bending) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan  menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang diminta  pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan  terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap  perjanjain (breach of contrac-wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan  perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan Arbitrase bersifat mandiri,  final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap)  sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau  pertimbangan dari putusan arbitrase nasional maupun internasional.
  Gary Goodpaster. Tinjauan terhadap Penyelesaian Sengketa dalam Arbitrase di Indonesia,  Ghalia Indonesia. Jakarta, 1995, hal. 16.
 Ibid.
 Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat  pembahasan mengenai masalah ini dalam sebuah skripsi. Seperti diketahui bersama, pada praktek saat ini masih dijumpai pengadilan negeri yang melayani gugatan  pihak yang kalah dalam arbitrase. Lembaga arbitrase masih memiliki  ketergantungan pada pengadilan negeri dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa  lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap  para pihak untuk  menaati putusannya.
 1.  Bagaimana keberadaan dan perkembangan lembaga arbitrase dalam proses  penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis mencoba membahas  bagaimana hubungan antara lembaga pengadilan dan lembaga arbitrase, khususnya  apakah pengadilan negeri berwenang mengadili perkara yang telah memiliki klausul  arbitrase.

B. Perumusan Permasalahan Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang  akan di bahas di dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 2.  Apakah Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan mengadili perkara  yang dalam hal adanya klausul arbitrase.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi