BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Berkembangnya usaha
perniagaan di Indonesia telah membawa pada suatu segi yang lain dari perniagaan itu sendiri,
yaitu harapan agar dapat menyelesaikan setiap
sengketa yang timbul dengan cepat, murah dan sebaik-baiknya. Dengan pengertian sebaik-baiknya dimaksudkan, bahwa
penyelesaian sengketa tersebut tidak akan
mengganggu sengketa iklim bisnis antara pihak yang bersengketa disamping terjalinnya relasi business dari
para pihak karena dipegang teguh kerahasiaan.
Dalam arti kata
sehari-hari “sengketa” dimaksudkan sebagai kedudukan dimana pihak-pihak yang melakukan upaya
perniagaan mempunyai masalah, yaitu menghendaki
pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak untuk berbuat demikian.
Praktek menunjukkan
bahwa yang paling sering terjadi dalam perniagaan modern adalah dipenuhinya pengertian
“sengketa” seperti didefenisikan dalam kontrak
perniagaan “default” dan jika hal ini terpenuhi maka prosedur yang tertera dalam kontrak juga menjadi berlaku. Misalnya
suatu kontrak menentukan “default” apabila
salah satu pihak tidak melakukan pembayaran pada hari jatuh tempo (due date) atau paling lambat 14 hari sesudahnya,
di samping tanggung awal selanjutnya akan
dipikul juga oleh perusahaaninduk (mother campony) atau oleh Negara dalam hal BUMN (cross default).
Sengketa yang perlu diantisipasi adalah
mengenai bagaimana cara melaksanakan
klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya. untuk menyelesaikan sengketa ada
beberapa cara yang bisa dipilih yaitu dengan
cara non ligitasi seperti melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase dan degan cara ligitasi, yaitu melalui
pengadilan.
Dunia perniagaan modern berpaling kepada
Alternatif Dispute Resulution (ADR)
yaitu sebagai penyelesaian sengketa yang cepat tidak menghambat iklim perniagaan modern menghendaki penyelesaian
sengketa yang tersedia (yaitu Pengadilan)
dirasa tidak dapat mengakomodasi harapan demikian. Upaya menyelesaikan sengketa alternatif ini
merupakan upaya yang paling tua yang telah dikenal sejak bangsa Mesopotamia yang tinggal
dintara sungai Euphart dan Tigris yang
menyelenggarakan satu bentuk perwasitan dimana Raja Meselin memutus sengketa anatara 2 (dua ) suku bersengketa.
Chairul Anwar, Chairul Anwar, Hukum
Perdagangan Internasional, Navindo Pustaka Mandiri, Jakarta 1999, hal.21.
Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal. 3.
Ibid, hal.
Tujuan alternatif
untuk menghindari kemacetan penyelesaian sengketa ini banyak menjadi pilihan. Timbulnya
lembaga-lembaga yang dikenal sebagai “good offices” sebagai bentuk penyertaan pihak
ketiga yang membawa pihak yang bersengketa
kemeja perundingan apabila negoisasi sudah tidak mungkin lagi.Good offices inilah sebetulnya yang merupakan
bentuk penyertaan pihak ke-3 yang paling awal sebagai penyedia fasilitas.
Dari tahapan “good offices” ini biasanya
berkelanjutan ketahapan mediasi yang dalam
arti dasarnya sudah melangkah ke pengertian menengahi sengketa sehingga lebih aktif dari “good offices”. Selangkah
dari mediasi adalah memasuki tahap konsiliasi
dimana tidak dibawa usulan penyelesaian sehingga secara lebih aktif membantu
dan mengarahkan para pihak untuk sampai pada kesimpulan penyelesaian sengketa yang dapat disepakati
pihak-pihak. Apabila ternyata para pihak
sudah tidak lagi melihat celah penyelesaian berdasarkan “take and give” diantara
para pihak disamping bahwa sengketa tersebut tidak lagi mendapatkan kekeliruan penafsiran ataupun kekeliruan
konfirmasi dari keadaan factual (fact fending)
maka dalam keadaan seperti ini tahap penyelesaian sengketa yang paling wajar adalah melalui arbitrase.
Sebetulnya dengan memilih upaya ADR pihak yang
bersengketa seharusnya mengacu kepada
kontraknya sendiri (apabila ada), yaitu kepada klausul kontrak yang menujuk kepada penggunaan pihaik ke-3
untuk membantu apabila negoisasi tidak
berhasil, yaitu melalui jasa-jasa baik, mediasi dan konsiliasi di satu pihak
serta arbitrase di lain pihak. Sudah
barang tentu masing-masing dengan tata cara penanganannya sendiri dengan “rules of
procedure” yang berlaku.
Apabila yang dipilih ternyata arbitrase maka
karena sifat putusan arbitrase sebagai putusan
yang mengikat, maka sebaiknya dalam kontrak yang bersangkutan diatur dengan tegas dan terinci tentang perangkat
ketentuan mana yang akan diikuti, apakah
misalnya ketentuan-ketentuan BANI, UNICTRAL dan sebagainya serta hukum yang dipilihnya (choice of law).
Sebetulnya dalam proses arbitrase, misalnya Huala Adolf, Arbitrase Komersial
lnternasional, Rajawali Press, Jakarta, 1999, hal.
35.
lbid, hat. 24.
dalam ketentuan BANI, lembaga jasa baik,
mediasi dan konsiliasi sudah tercakup.
Hal ini disebabkan
pada waktu berjalannya proses terutama pada siding pertama para arbiter secara berulang-ulang menawarkan
agar pihak pemohon dan termohon bernegoisasi
lagi apabila dianggap masih mungkin dan apabila dianggap perlu dengan ikut sertanya arbiter. Sifat upaya
damai akan tetap terbuka sepanjang proses, artinya pada setiap tahap pada masa
berjalannya persidangan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan untuk melakukan
pendekatan damai. Apabila usaha ini
tidak berhasil maka proses selanjutnya berjalan sebagaimana biasa.
Di Indonesia,
pengertian arbitrase termuat dalam Pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa Nomor 30 tahun 1999 : "Lembaga
Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenrri sengketa
tertentu, lembaga tersebut juga dapat
memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa." Dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 disebutkan bahwa
: “Sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak vang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.” Dengan demikian arbitrase tidak dapat
diterapkan untuk masalah-masalah dalam
lingkup hukum keluarga. Arbitrase hanya dapat diterapkan untuk masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase
merupakan pilihan yang paling menarikguna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan mereka.
Keberadaan
arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang
diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsreglement
Bitengewesten (RBg) dan Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) ataupun
Rechtsreglement Bitengewesten (RBg),
karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglement Of De Rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut
sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) yang
antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan.
akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
diekskusi dari Pengadilan.
Dalam banyak perjanjian perdata, klasual
arbitase banyak digunakan sebagai pilihan
penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (bending) oleh karena
pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang diminta pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut).
Setiap pendapat yang berlawanan terhadap
pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjain (breach of contrac-wanprestasi).
Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan
dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga
ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional
maupun internasional.
Gary Goodpaster. Tinjauan terhadap
Penyelesaian Sengketa dalam Arbitrase di Indonesia, Ghalia Indonesia. Jakarta, 1995, hal. 16.
Ibid.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka
penulis merasa tertarik untuk mengangkat pembahasan mengenai masalah ini dalam sebuah
skripsi. Seperti diketahui bersama, pada praktek saat ini masih dijumpai
pengadilan negeri yang melayani gugatan pihak
yang kalah dalam arbitrase. Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan negeri dan
sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga
arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
1.
Bagaimana keberadaan dan perkembangan lembaga arbitrase dalam proses penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia.
Oleh karena itu,
dalam skripsi ini penulis mencoba membahas bagaimana hubungan antara lembaga pengadilan
dan lembaga arbitrase, khususnya apakah
pengadilan negeri berwenang mengadili perkara yang telah memiliki klausul arbitrase.
B. Perumusan
Permasalahan Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan
yang akan di bahas di dalam skripsi ini
adalah sebagai berikut : 2. Apakah
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan mengadili perkara yang dalam hal adanya klausul arbitrase.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi