BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Tujuan pembangunan
nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, sehingga pembangunan tersebut harus
mencerminkan kepribadian Bangsa
Indonesia termasuk membangun generasi muda. Generasi muda merupakan bagian dari pembangunan nasional
yang tidak terpisahkan dan menempati
posisi sebagai subyek dan obyek dari pembangunan itu sendiri.
Generasi muda
sebagai subjek merupakan pelaku dan pelaksana pembangunan yang harus dapat membangun dirinya sendiri
serta bersama-sama membangun bangsanya.
Generasi muda sebagai obyek merupakan generasi penerus sejarah dan sebagai penerus cita-cita perjuangan
Bangsa Indonesia.
Anak adalah
generasi penerus dan pelaksana pembangunan terhadap dirinya sendiri, keluarga, dan bangsanya. Oleh
karena itu, wajib bagi anak untuk memperoleh
perlindungan. Jika anak telah dikangkangi haknya atau dieksploitasi kepribadiannya oleh orang dewasa
disekelilingnya, jelas bahwa perbuatan orang dewasa tersebut telah merusak tujuan
pembangunan nasional. Salah satu bentuk eksploitasi
terhadap hak-hak anak adalah perbuatan pelacuran anak (defenisi anak dibatasi pada konsep anak menurut hukum
positif).
Dunia pelacuran
menjanjikan pemenuhan sejuta impian. Pelacuran terhadap anak di bawah umur sangat menjanjikan
permintaan pasar. Impian tersebut muncul
dengan menjadikan wanita yang masih dibawah umur sebagai korban pelacuran. Terhadap perbuatan
orang dewasa yang melacurkan anak tersebut semacam penyakit masyarakat yang
muncul dari berbagai tuntutan hidup.
Sehubungan dengan
itu, para sarjana ilmu sosial sepakat mengkategorikan pelacuran ini ke dalam ”Patologi Sosial” atau
penyakit masyarakat yang harus diupayakan penanggulangannya.
Jika ditinjau dari anak sebagai pelaku
(pelacur), terdapat berbagai persoalan
yang menyangkut tuntutan hidupnya sehingga tidak merasa bersalah dan enggan untuk dilindungi. Mereka
seolah-olah senang dengan perbuatan tersebut.
Salah satu faktor penyebabnya adalah tuntutan ekonomi dalam keluarga sehingga seks sebagai komoditi telah
menumbuhkan suatu profesi yang memerlukan
totalitas diri sebagai modal kerja.
Di samping itu, ada kalanya anak pada mulanya tidak mempunyai niat untuk
melacur, melainkan suatu jebakan dengan
iming-iming dipekerjakan pada sebuah perusahaan, namun pada akhirnya ternyata anak tersebut dipaksa melakukan
pelacuran.
Hak asasi anak telah direnggut oleh situasi
pelacuran yang demikian.
Bukan saja itu,
pelacuran terhadap anak telah melanggar nilai-nilai, norma, yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dalam
termasuk pelanggaran hukum di Indonesia
karena pelacuran anak melanggar berbagai ketentuan di dalam undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Patologai berasal dari kata “phatos” artinya
penderita, penyakit. Jadi Patologi artinya ilmu tentang penyakit. Sedangkan patologi
sosial adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap sakit disebabkan oleh faktor-faktor
sosial. Defenisi sosiologisnya adalah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan,
stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun
bertetangga, disiplin kebaikan dan hukum formal.
Kartini Kartono
(I)., Pathologi Sosial I, (Jakarta: CV. Rajawali, 1981), hal. 13.
Ashadi Siregar., Menyusuri Remang-Remang
Jakarta, (Jakarta: Sinar Harapan, 1979), hal. 5.
Ibid.
Anak, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1999
tentang HAM, dan Hukum Internasional
tentang Konvensi Hak-Hak Anak. Banyaknya regulasi yang berkaitan dengan hak-hak anak tersebut,
menggambarkan begitu pentingnya memberikan
perlindungan terhadap pemerkosaan hak-hak anak seperti halnya pelacuran anak. Itulah sebabnya menurut
Agustinus, bahwa, ”pelacuran sama pentingnya
dengan selokan atau riool di dalam sebuah istana, mungkin tanpa selokan sebuah istana indah dan megah lambat
laun akan berbau busuk karena tidak ada
jalan untuk membuang kotoran yang terdapat di dalamnya”.
Menghalalkan segala cara dengan dalih untuk
mencari sesuap nasipun dilakukan dengan
melacur. Hal ini mengakibatkan menurunnya moral dan etika masyarakat Indonesia yang masih kental dengan
budaya timur. Oleh karenanya, harus
diberantas. Pemberantasan yang dimaksud dalam penelitian ini, difokuskan Pada dasarnya, pelacuran anak menyangkut
masalah sosial yang mengganggu
nilai-nilai sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan, karena menyangkut tata kelakuan yang immoral,
dan sangat berlawanan dengan hukum yang
berlaku. Sebab itu, masalah-masalah sosial tidak akan mungkin dapat ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran
masyarakat mengenai apa yang dianggap
baik dan apa yang dianggap buruk. Apalagi belakangan ini di jaman yang serba penuh kesulitan ekonomi. Keadaan
ekonomi yang sulit menyebabkan orang-orang
berani melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, beberapa di antaranya ingin menghasilkan uang
banyak melalui jalan pintas tanpa pertimbangan
akibat hukumnya.
Tjahjo Purnomo., dan Ashadi Siregar., Op. cit,
hal. 9.
kepada Kepolisian Republik Indonesia yang
merupakan ujung tombak dalam pemberantasan
dan penanggulangan kriminal, seperti pelacuran anak di bawah umur walapun Kepolisian banyak menghadapi
kesulitan.
Dalam melakukan
penanggulangan pelacuran terhadap anak di bawah umur tersebut, Polisi tidak dapat bekerja
sendirian untuk memberantasnya.
Misalnya saja
pembuatan Kartu Tanda Penduduk yang dapat melegalkan seorang anak bekerja sebagai pelacur. Biasanya mereka
akan masuk ke Jakarta atau bekerja
dengan melebihkan umurnya di KTP. Misalnya kelahiran sebenarnya tahun 1992, tetapi dicatatkan di KTP tahun
1991. Bahkan terkadang mereka sampai
memberi uang untuk kelancaran pembuatan KTP tersebut dengan umur 17 tahun. Ironisnya, para anak bekerja memilih
dunia malam sebagai tempatnya bekerja
karena alasan ekonomi lemah.
Bisnis pelacuran tidak pernah merugi, karena
dengan efisiensi modal yang kecil
seperti menyediakan tempat dan wanita saja, dapat meraup keuntungan yang didapat dari penyelenggaraan kegiatan
pelacuran tersebut. Besar kecilnya keuntungan
tergantung pada cara pengelola (pengelola selanjutnya disebut istilah germo). Belum cukup sampai di situ saja,
bahkan germo dengan teganya melacurkan
anak di bawah umur (dengan kata lain anak dalam penelitian ini juga disebut Anak Baru Gede atau ABG) untuk memuaskan
syahwat lelaki iseng.
Banyak tempat
hiburan malam dan tempat remang-remang serta lokasi illegal di http://www.ham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1470%,
diakses terakhir tanggal 16 Januari
2010, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, ”Prostitusi Anak
Bisa Dibasmi dengan Kerjasama”. Kepala Polsek Metro Taman Sari, Kompol Imam Saputra
menghimbau perlunya kerjasama dengan berbagai institusi dan masyarakat untuk memberantas
prostitusi dan perdagangan anak di bawah umur yang terjadi di wilayah Mangga Besar, Jakarta.
Kota Medan khususnya di Kecamatan Pancur Batu
yaitu di kawasan Bandar Baru misalnya
yang menyediakan gadis-gadis di bawah umur ini untuk menjalankan transaksi seks secara langsung, karena
tersedianya fasilitas yang legal maupun illegal.
Adapun yang tidak langsung biasanya
bertransaksi di pusat-pusat perbelanjaan
secara tersamar, di pub, karaoke, panti pijat dan diskotik.
Membicarakan
kehidupan seks seputar dunia ABG, sepertinya tidak akan ada habis-habisnya. Pergaulan ABG semakin
semarak dengan kebebasan yang melupakan
norma-norma yang hidup di dalam masyarakat. Tingkat peradaban masyarakat yang semakin maju, kemajuan teknologi
yang tidak terbendung menjadikan dunia
komunikasi dan hiburan-hiburan yang ditayangkan di televisi sebahagian membawa berbagai pengaruh buruk
dari budaya barat yang berbeda dan
bertentangan dengan norma-norma adat di Indonesia.
Ditambah dengan
kurangnya filter bahkan sama sekali tidak ada filter serta kurangnya pendidikan agama menjadikan tontonan
yang dilihat misalnya Film Blue, gambar
porno, tayangan di televisi, langsung mencontohnya tanpa dipikir matang terlebih dahulu.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi