BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan
negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, adalah memajukan kesejahteraan Umum. Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum
tersebut, pemerintah Indonesia dan
lembaga DPR Republik Indonesia membebankan tujuan dari negara Republik Indonesia tersebut kepada lembaga
perbankan yang berada di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya rumusan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, disebutkan bahwa “Bank adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak”.
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa
bank termasuk lembaga penyedia jasa
keuangan serta merupakan suatu sektor yang strictly well regulated atau yang
sangat diatur.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.Alinea 4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1992, tentang Perbankan, Pasal 1 Ayat (1) Jo.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1988 Pasal 1 Ayat (2).
Anwar Hafid, Reformasi Manajemen, Jakarta, PT.
Raja Grafika Persada, 2003. hal. 221.
Hal ini bisa
terjadi dikarenakan perbankan menyangkut kepentingan banyak orang. Situasi di Indonesia adalah suatu hal
yang cukup memberi gambaran bahwa perbankan
merupakan sebuah sektor yang sangat diperhatikan.
Salah satu usaha untuk meningkatkan taraf
hidup rakyat yang dapat dilakukan oleh
pihak perbankan berupa pemberian kredit. Bank sebagai badan usaha yang menjalankan bisnis yang berisiko tinggi tentu
saja dalam memberikan kredit kepada nasabah
harus selalu didasarkan kepada prinsip kehati-hatian. Apalagi peristiwa krisis moneter yang melanda dunia perekonomian
kawasan Asia tahun 1997 telah membuat lembaga
perbankan nasional Indonesia menjadi muram dengan harus ditutup sejumlah bank yang dianggap tidak sehat dalam segi
finansial maupun perkreditannya.
Masalah kredit
macet sebenarnya bukan hanya dialami oleh bank-bank umum nasional, melainkan juga dialami oleh
bank-bank kecil, yaitu bank perkreditan rakyat yang sebagian besarnya turut terpuruk disaat
terjadi krisis moneter ditahun 1997, maka sejak saat itulah banyak bank yang terkena
likuidasi, sehingga memaksa regulator dalam hal ini Bank Indonesia dan pemerintah
membenahi kembali lembaga perbankan secara menyeluruh untuk mewujudkan bank yang sehat
dan kuat, khususnya melalui berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, guna mencegah terulangnya krisis tersebut yang disebabkan kwalitas perkreditan
yang buruk dengan tingkat NPL (Non Performing
Loan) yang sangat tinggi dan meruntuhkan satu persatu lembaga perbankan nasional Indonesia.
Saat ini, di
Indonesia setelah program rekapitalisasi dan restrukturisasi dilaksanakan, pihak lembaga perbankan
Indonesia sudah mulai berhati-hati melepaskan kreditnya dengan sangat selektif, sehingga
setiap kali bank akan mengucurkan kreditnya telah memperhitungkan segala aspek yang
kemungkinan terjadi untuk memperkecil risiko kredit macet.
Dalam usaha untuk menanggulangi masalah kredit
macet, Bank Indonesia telah mengeluarkan
Peraturan Bank Indonesia No.8/2/PBI/2006 tanggal, 30 Januari 2006 tentang Perubahan atas PBI No. 7/2/PBI/2005
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
untuk merubah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/147/ KEP/DIR tertanggal, 12 Nopember 1998 tentang Kualitas
Aktiva Produktif. Golongan kredit macet yang
sebelumnya ditentukan selama 270 hari menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/147/KEP/DIR tanggal, 12
Nopember 1998, akan dipercepat menjadi 180 hari. Hal ini tentu saja akan membawa dampak
percepatan penambahan kredit macet di bank,
dengan perincian sebagai berikut : a.
Kredit lancar adalah kredit yang tepat waktu dalam membayar kredit sesuai
dengan waktu yang telah diperjanjikan
(disebut dengan KLTB 1); b. Kredit dalam
perhatian khusus adalah kredit yang telah terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga sampai dengan 90 hari
(disebut KLTB 2); c. Kredit kurang
lancar adalah kredit yang terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga melampaui 90 hari sampai dengan
maksimal 120 hari (disebut KLTB 3); d.
Kredit diragukan adalah kredit yang terjadi tunggakan pembayaran baik
pokok maupun bunga melampaui 120 hari
sampai dengan maksimal 180 hari (disebut KLTB 4); e. Kredit macet adalah kredit yang terjadi
tunggakan pembayaran baik pokok maupun bunga
melampaui 180 hari (disebut KLTB 5).
Munculnya PBI No.7/2/PBI/2005 Jo PBI No.8/2/PBI/2006 dalam rangka menanggulangi masalah kredit macet ternyata
telah membawa kecemasan terhadap pihak perbankan
terhadap kemungkinan berkurangnya laba bank, disebabkan pihak bank wajib menyediakan cadangan khusus. Hal ini dapat
dilihat dari rumusan Peraturan Bank Indonesia
yang merincikan sebagai berikut : Peraturan
Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Jo.Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/2/PBI/2006, tentang Penilaian Aktiva
Produktif.
a. 5%
(lima persen) dari aktiva dengan kualitas dalam status perhatian khusus setelah
dikurangi dengan agunan; b. 15% (lima belas persen) dari aktiva dengan
kualitas dalam status kurang lancar setelah dikurangi dengan agunan; c. 50% (lima puluh persen) dari aktiva dengan
kualitas dalam status diragukan setelah dikurangi
dengan agunan; d. 100% (seratus persen)
dari aktiva dengan kualitas dalam status macet setelah dikurangi dengan agunan.
Keadaan tersebut membuat lembaga perbankan di
Indonesia harus senantiasa memiliki
strategi yang tepat dan ampuh untuk mengatasi kredit macet sebagai terjemahan dari manajemen risiko yang mutlak harus
dijalankan oleh semua lembaga perbankan di Indonesia.
Hak jaminan
kebendaan adalah hak yang memberikan kepada seorang kreditur kedudukan yang lebih baik, karena kreditur
didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas tagihannya atas hasil penjualan
benda tertentu atau sekelompok benda tertentu milik debitur dan/atau ada benda tertentu
milik debitur yang dipegang oleh kreditur atau terikat kepada hak kreditur, yang berharga bagi
debitur dan dapat memberikan suatu tekanan psikologis terhadap debitur untuk memenuhi
kewajibannya dengan baik terhadap kreditur. Di sini adanya semacam tekanan psikologis kepada
debitur untuk melunasi hutang-hutangnya adalah
karena benda yang dipakai sebagai jaminan umumnya merupakan barang yang
berharga baginya. Sifat manusia untuk
berusaha mempertahankan apa yang berharga dan telah dianggap atau diakui telah menjadi miliknya, menjadi
dasar hukum jaminan.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 23
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, “agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah
debitur ) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005,
Ibid, Pasal 42 Ayat (3).
6) J. Satrio, 2002,
Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12.
kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”, oleh karena itu agunan tersebut
adalah upaya preventif apabila di kemudian hari pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya
(wanprestasi) sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Dan selanjutnya dalam Pasal
8 undang-undang tersebut ditegaskan beberapa
hal yang perlu diperhatikan untuk melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank dan disalurkan dalam bentuk
kredit kepada masyarakat. Artinya bank dalam memberikan kredit wajib mempunyai keyakinan
atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan oleh bank.
Beberapa
ketimpangan yang mencuat akhir-akhir ini salah satunya disebabkan oleh kesalahan dalam melakukan penilaian. Di tengah krisis ekonomi
yang menguncang perekonomian nasional,
masyarakat dikejutkan adanya pernyataan bahwa nilai aset yang dikuasai Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) dari senilai Rp. 644,8 trilyun akhirnya menjadi senilai Rp. 167,7 trilyun pada saat
penilaian pasca revaluasi. Beberapa kasus yang ditangani BPPN menunjukkan bahwa besarnya
nilai aset yang sebenarnya tidak sesuai dengan besarnya nilai aset yang dijaminkan, dan pada
saat terjadi kredit bermasalah penjualan aset tersebut nilainya tidak mencukupi.
Tanah dan bangunan di atasnya yang dijadikan
jaminan hutang dapat juga Dalam rangka
likuidasi aset/agunan, terdapat suatu kecenderungan nilai pasarnya lebih rendah daripada harga yang sebenarnya, yang
berarti merugikan bank karena pada saat bank harus menjual/melepaskan aset tersebut harga
yang terjadi relatif murah, sehingga tidak dapat menutupi kewajiban yang ada.
Siti Resmi S, “Urgensi Penilaian Properti
Dalam Tatanan Ekonomi Masyarakat”, Usahawan, No.03 Th.XXXII Maret 2003, hal. 15-16.
dikategorikan berpotensi tidak laku dijual,
karena berkurang kualitasnya atau terjadi persengketaan dengan pihak lain sehingga tanah
dan bangunan di atasnya tersebut tidak setiap waktu tersedia bilamana harus dilakukan
eksekusi untuk pembayaran hutang debitur.
Dengan demikian
penilaian terhadap benda jaminan hutang menjadi sangat penting, terlebih-lebih apabila benda jaminan tersebut
berupa tanah dan bangunan di atasnya. Pihak bank harus mempunyai keyakinan atau kepastian
penilaian sebelum menyetujui tanah dan bangunan
di atasnya dipergunakan sebagai jaminan hutang dalam pemberian kredit.
Salah satu BPR yang
ada di kota Medan yang menjadi tempat penelitian penulis adalah PT. Bank Perkreditan Rakyat Duta
Adiarta, berkedudukan di Medan, Jalan Brigjend
Katamso No.158.
BPR Duta Adiarta
pertanggal, 31 Desember 2008 memiliki
total aset sebesar Rp.50,54 milliar, Berdasarkan data di atas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian terhadap pelaksanaan
analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang dan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia BPR
Duta Adiarta adalah bank yang
berorientasi pada kredit usaha mikro dan kecil. Selama lebih kurang 5 (lima) tahun beroperasi sejak dari didirikan pada
tahun 2003, BPR Duta Adiarta juga tidak terlepas
dari ancaman kredit macet yang cukup menjadi perhatian serius bagi pihak manajemen BPR Duta Adiarta, karena sejak
terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997 sampai sekarang, perkembangan
perekonomian Indonesia masih belum pulih, sehingga diakui oleh pihak BPR Duta Adiarta,
ada sebagian besar debiturnya mengalami kemerosotan
hasil usaha, malah ada yang bangkrut, sehingga mendorong tingkat kredit macet menjadi besar.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi