Senin, 07 April 2014

Skripsi Hukum: PELAKSANAAN ANALISIS TERHADAP TANAH DAN BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM KAITANNYA DENGAN PROSES PEMBERIAN KREDIT



BAB I PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang  tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah memajukan kesejahteraan Umum.  Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum tersebut, pemerintah  Indonesia dan lembaga DPR Republik Indonesia membebankan tujuan dari negara  Republik Indonesia tersebut kepada lembaga perbankan yang berada di Indonesia. Hal ini  dapat dibuktikan dengan adanya rumusan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992  tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun  1998, disebutkan bahwa “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari  masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam  bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup  rakyat banyak”.

 Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa bank termasuk lembaga penyedia  jasa keuangan serta merupakan suatu sektor yang strictly well regulated atau yang sangat  diatur.
  Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.Alinea 4.
 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992, tentang Perbankan, Pasal 1 Ayat (1) Jo.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1988 Pasal 1 Ayat (2).
 Anwar Hafid, Reformasi Manajemen, Jakarta, PT. Raja Grafika Persada, 2003. hal. 221.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan perbankan menyangkut kepentingan banyak  orang. Situasi di Indonesia adalah suatu hal yang cukup memberi gambaran bahwa  perbankan merupakan sebuah sektor yang sangat diperhatikan.
  Salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup rakyat yang dapat dilakukan  oleh pihak perbankan berupa pemberian kredit. Bank sebagai badan usaha yang  menjalankan bisnis yang berisiko tinggi tentu saja dalam memberikan kredit kepada  nasabah harus selalu didasarkan kepada prinsip kehati-hatian. Apalagi peristiwa krisis  moneter yang melanda dunia perekonomian kawasan Asia tahun 1997 telah membuat  lembaga perbankan nasional Indonesia menjadi muram dengan harus ditutup sejumlah  bank yang dianggap tidak sehat dalam segi finansial maupun perkreditannya.
Masalah kredit macet sebenarnya bukan hanya dialami oleh bank-bank umum  nasional, melainkan juga dialami oleh bank-bank kecil, yaitu bank perkreditan rakyat  yang sebagian besarnya turut terpuruk disaat terjadi krisis moneter ditahun 1997, maka  sejak saat itulah banyak bank yang terkena likuidasi, sehingga memaksa regulator dalam  hal ini Bank Indonesia dan pemerintah membenahi kembali lembaga perbankan secara  menyeluruh untuk mewujudkan bank yang sehat dan kuat, khususnya melalui berbagai  kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, guna mencegah terulangnya krisis  tersebut yang disebabkan kwalitas perkreditan yang buruk dengan tingkat NPL (Non  Performing Loan) yang sangat tinggi dan meruntuhkan satu persatu lembaga perbankan  nasional Indonesia.
Saat ini, di Indonesia setelah program rekapitalisasi dan restrukturisasi  dilaksanakan, pihak lembaga perbankan Indonesia sudah mulai berhati-hati melepaskan  kreditnya dengan sangat selektif, sehingga setiap kali bank akan mengucurkan kreditnya  telah memperhitungkan segala aspek yang kemungkinan terjadi untuk memperkecil risiko  kredit macet.
 Dalam usaha untuk menanggulangi masalah kredit macet, Bank Indonesia telah  mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.8/2/PBI/2006 tanggal, 30 Januari 2006  tentang Perubahan atas PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank  Umum untuk merubah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/147/ KEP/DIR  tertanggal, 12 Nopember 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Golongan kredit macet  yang sebelumnya ditentukan selama 270 hari menurut Surat Keputusan Direksi Bank  Indonesia No.31/147/KEP/DIR tanggal, 12 Nopember 1998, akan dipercepat menjadi 180  hari. Hal ini tentu saja akan membawa dampak percepatan penambahan kredit macet di  bank, dengan perincian sebagai berikut : a.  Kredit lancar adalah kredit yang tepat waktu dalam membayar kredit sesuai dengan  waktu yang telah diperjanjikan (disebut dengan KLTB 1); b.  Kredit dalam perhatian khusus adalah kredit yang telah terjadi tunggakan pembayaran  baik pokok maupun bunga sampai dengan 90 hari (disebut KLTB 2); c.  Kredit kurang lancar adalah kredit yang terjadi tunggakan pembayaran baik pokok  maupun bunga melampaui 90 hari sampai dengan maksimal 120 hari (disebut KLTB  3);  d.  Kredit diragukan adalah kredit yang terjadi tunggakan pembayaran baik pokok  maupun bunga melampaui 120 hari sampai dengan maksimal 180 hari (disebut KLTB  4);  e.  Kredit macet adalah kredit yang terjadi tunggakan pembayaran baik pokok maupun  bunga melampaui 180 hari (disebut KLTB 5).
 Munculnya PBI No.7/2/PBI/2005 Jo PBI  No.8/2/PBI/2006 dalam rangka  menanggulangi masalah kredit macet ternyata telah membawa kecemasan terhadap pihak  perbankan terhadap kemungkinan berkurangnya laba bank, disebabkan pihak bank wajib  menyediakan cadangan khusus. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Peraturan Bank  Indonesia yang merincikan sebagai berikut :  Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 Jo.Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006,  tentang Penilaian Aktiva Produktif.
 a.  5% (lima persen) dari aktiva dengan kualitas dalam status perhatian khusus setelah  dikurangi dengan agunan; b.  15% (lima belas persen) dari aktiva dengan kualitas dalam status kurang  lancar  setelah dikurangi dengan agunan; c.  50% (lima puluh persen) dari aktiva dengan kualitas dalam status diragukan setelah  dikurangi dengan agunan; d.  100% (seratus persen) dari aktiva dengan kualitas dalam status macet setelah  dikurangi dengan agunan.
 Keadaan tersebut membuat lembaga perbankan di Indonesia harus senantiasa  memiliki strategi yang tepat dan ampuh untuk mengatasi kredit macet sebagai terjemahan  dari manajemen risiko yang mutlak harus dijalankan oleh semua lembaga perbankan di  Indonesia.
Hak jaminan kebendaan adalah hak yang memberikan kepada seorang kreditur  kedudukan yang lebih baik, karena kreditur didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil  pelunasan atas tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok benda tertentu  milik debitur dan/atau ada benda tertentu milik debitur yang dipegang oleh kreditur atau terikat  kepada hak kreditur, yang berharga bagi debitur dan dapat memberikan suatu tekanan  psikologis terhadap debitur untuk memenuhi kewajibannya dengan baik terhadap kreditur. Di  sini adanya semacam tekanan psikologis kepada debitur untuk melunasi hutang-hutangnya  adalah karena benda yang dipakai sebagai jaminan umumnya merupakan barang yang berharga  baginya. Sifat manusia untuk berusaha mempertahankan apa yang berharga dan telah dianggap  atau diakui telah menjadi miliknya, menjadi dasar hukum jaminan.
 Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun  1998 tentang Perbankan, “agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur  )  Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005, Ibid, Pasal 42 Ayat (3).
6) J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12.
 kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip  syariah”, oleh karena itu agunan tersebut adalah upaya preventif apabila di kemudian hari pihak  debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) sesuai dengan persyaratan yang telah  disepakati bersama. Dan selanjutnya dalam Pasal 8 undang-undang tersebut ditegaskan  beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk melindungi dan mengamankan dana masyarakat  yang dikelola bank dan disalurkan dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Artinya bank dalam  memberikan kredit wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur  untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan oleh bank.
Beberapa ketimpangan yang mencuat akhir-akhir ini salah satunya disebabkan oleh  kesalahan dalam  melakukan penilaian. Di tengah krisis ekonomi yang menguncang  perekonomian nasional, masyarakat dikejutkan adanya pernyataan bahwa nilai aset yang  dikuasai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dari senilai Rp. 644,8 trilyun akhirnya  menjadi senilai Rp. 167,7 trilyun pada saat penilaian pasca revaluasi. Beberapa kasus yang  ditangani BPPN menunjukkan bahwa besarnya nilai aset yang sebenarnya tidak sesuai dengan  besarnya nilai aset yang dijaminkan, dan pada saat terjadi kredit bermasalah penjualan aset  tersebut nilainya tidak mencukupi.
 Tanah dan bangunan di atasnya yang dijadikan jaminan hutang dapat juga  Dalam rangka likuidasi aset/agunan, terdapat suatu kecenderungan nilai pasarnya lebih  rendah daripada harga yang sebenarnya, yang berarti merugikan bank karena pada saat bank  harus menjual/melepaskan aset tersebut harga yang terjadi relatif murah, sehingga tidak dapat  menutupi kewajiban yang ada.
 Siti Resmi S, “Urgensi Penilaian Properti Dalam Tatanan Ekonomi Masyarakat”, Usahawan, No.03  Th.XXXII Maret 2003, hal. 15-16.
 dikategorikan berpotensi tidak laku dijual, karena berkurang kualitasnya atau terjadi  persengketaan dengan pihak lain sehingga tanah dan bangunan di atasnya tersebut tidak setiap  waktu tersedia bilamana harus dilakukan eksekusi untuk pembayaran hutang debitur.
Dengan demikian penilaian terhadap benda jaminan hutang menjadi sangat penting,  terlebih-lebih apabila benda jaminan tersebut berupa tanah dan bangunan di atasnya. Pihak  bank harus mempunyai keyakinan atau kepastian penilaian sebelum menyetujui tanah dan  bangunan di atasnya dipergunakan sebagai jaminan hutang dalam pemberian kredit.
Salah satu BPR yang ada di kota Medan yang menjadi tempat penelitian penulis  adalah PT. Bank Perkreditan Rakyat Duta Adiarta, berkedudukan di Medan, Jalan  Brigjend Katamso No.158.
BPR Duta Adiarta pertanggal, 31 Desember 2008 memiliki  total  aset  sebesar  Rp.50,54 milliar,  Berdasarkan data di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap  pelaksanaan analisis terhadap tanah dan bangunan di atasnya sebagai jaminan hutang  dan sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia BPR Duta Adiarta adalah  bank yang berorientasi pada kredit usaha mikro dan kecil. Selama lebih kurang 5 (lima)  tahun beroperasi sejak dari didirikan pada tahun 2003, BPR Duta Adiarta juga tidak  terlepas dari ancaman kredit macet yang cukup menjadi perhatian serius bagi pihak  manajemen BPR Duta Adiarta, karena sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada  tahun 1997 sampai sekarang, perkembangan perekonomian Indonesia masih belum pulih,  sehingga diakui oleh pihak BPR Duta Adiarta, ada sebagian besar debiturnya mengalami  kemerosotan hasil usaha, malah ada yang bangkrut, sehingga mendorong tingkat kredit  macet menjadi besar.


Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi