BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945) setelah perubahan menentukan bahwa ”kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”, sedangkan UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan mengatur bahwa ”Kedaulatan adalah di
tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” Pelaksanaan
kedaulatan rakyat di Indonesia lebih lanjut diwujudkan melalui penyelenggaraan sistem pemerintahan di daerah,
dengan diundangkanya UndangUndang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
. Setelah perubahan diatur bahwa
kedaulatan rakyat tidak lagi terletak pada suatu lembaga yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, akan tetapi berada di
tangan rakyat dan kedaulatan tersebut di
pegang secara langsung oleh rakyat.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar sebelum
perubahan Lembaran Negara Republik Indonesia ( yang selanjutnya disebut LNRI)
Tahun 2004 No.125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut TLNRI) No.
(selanjutnya
disingkat UU No. 32 Tahun 2004).
Undang-Undang ini mempuyai peran strategis dalam rangka pengembangan demokrasi, keadilan,
pemerataan kesejahteraan masyarakat,
memelihara hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta menata daerah untuk menjamin
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pelaksanaan pemerintahan yang demokratis pada
pemerintahan pusat maupun pemerintahan
daerah dilaksanakan dengan penyelenggaraan pemilihan umum. Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945 menetapkan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil setiap
lima tahun sekali dan diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD.
Sedangkan aturan tentang Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) diatur dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
menyatakan secara tegas bahwa ”Gubernur,
bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara
demokratis”. Karena pasal 18 ayat (4) UUD
NRI 1945 yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah (yang selanjutnya
disingkat Pilkada) berada pada bab tentang pemerintahan daerah, maka pengaturan Pilkada tersebut dalam
pelaksanaannya dimuat dalam Undang – Undang
Pemerintahan Daerah.
Masyarakat di daerah yang merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari warga
negara Indonesia secara keseluruhan, juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka yang telah dijamin
oleh UUD NRI Tahun 1945.
Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Tatacara
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bagian umum.
Maruarar Siahaan, Makalah, Beberapa
Perkembangan Hukum acara MK dalam praktik,disampaikan
dalam temu wicara forum kristiani pemimpin muda Indonesia di gedung MKRI, Jakarta 24 Agustus 2009 h.
Ibid Karena
itu, masyarakat di daerah harus diberi kesempatan untuk ikut menentukan masa depan daerahnya masing-masing, antara
lain memilih kepala daerah dan wakil
kepala daerahnya secara langsung, Lahirnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun dan
berdasarkan ketentuan pasal 18 ayat (4)
UUD NRI 1945 maka dilaksanakanlah pemilihan umum kepala dan wakil kepala daerah secara langsung atau atau sering
disingkat Pilkada Langsung.
tentang penyelenggaran Pemilu (selanjutnya disingkat UU No.22 Tahun
2007), perubahan ketentuan Pilkada juga
terjadi yaitu dilaksanakannya pemilihan secara langsung oleh rakyat, juga Pilkada yang tadinya masuk dalam rezim
pemerintahan daerah, kemudian ditentukan
menjadi rezim pemilu. Akibat yang timbul adanya pergeseran tersebut maka penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang
tadinya dilakukan oleh Mahkmah Agung
kemudian berpindah ke Mahkamah Konstitusi.
Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini
adalah Pilkada DKI Jakarta pada tahun2007,
Pasal 24C ini mengatur secara tegas kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Salah satu kewenangan Mahkamah
Konstitusi adalah memutus perselisihan
tentang hasil pemilu baik pemilu yang dilakukan secara Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 menentukan: Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
H. Rozali Abdullah , Pelaksanaan Otonomi Luas
Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,2005, h 53.
LNRI Tahun 2007 No.59, TLNRI No.4721.
Maruarar Siahaan, Loc.cit.
Ahmad Zaenudin, www. Ahmad_ Zaenudin
blogshop.com, Sabtu 19 September nasional
maupun pemilu yang dilakukan untuk memilih kepala dan wakil kepala daerah.
Kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilu ini juga ditegaskan dalam Pasal
10 ayat (1) huruf d Undang – Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkmah Konstitusi (selanjutnya disebut UU No.24 Tahun 2003) Juncto Pasal 12 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Ketentuan-ketentuan tersebut menegaskan
menegaskan bahwa salah satu kewenangan konstitusional MK adalah memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan pasal 106 ayat (1) dan
ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 keberatan
mengenai hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon diajukan ke Mahkamah Agung atau
menjadi kewenangan Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Kewenangan tersebut kemudian dicantumkan lagi dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun LNRI Tahun 2003 Nomor 98, TLNRI No Maruar Siahaan op.cit h.
Ibid LNRI
No.59 Tahun 2008,LNRI (Selanjutnya
disebut UU No.12 Tahun 2008) pada Pasal
236C menentukan: ”Penanganan sengketa hasil perhitungan suara pemilihan kepala daerah oleh
Mahkamah Agung dialihkan kepada
Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas bulan) sejak UndangUndang ini
diundangkan”. Pengajuan perkara sengketa hasil pemilihan kepala daerah kepada Mahkamah Konstitusi setelah
lahirnya Pasal 236C tersebut, tidak dapat
diterima oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan bahwa sebelum berlalu tenggang waktu 18 bulan Mahkamh Konstitusi
berpendapat diperlukan terlebih dahulu
tindakan hukum untuk mengalihkan wewenang tersebut oleh Mahkamah Agung.
Sebuah pendapat berbeda sumbernya mengemukakan
bahwa tindakan hukum demikian tidak
diperlukan dan dengan ketentuan dalam Pasal 236C tersebut Mahkamah Konstitusi sudah berwenang
selanjutnya ketentuan Pasal 236C
merupakan pilihan forum bagi pihak yang berkepentingan untuk mengajukannya, apakah kepada Mahkamah Agung
atau Mahkamah Konstitusi.
Tampaknya hal
tersebut mendorong percepatan pangalihan kewenangan dari Mahkamah Agung, sehingga kemudian pada tanggal
29 Oktober 2008 Ketua Mahkamah Agung dan
Ketua Mahkmah Konstitusi bersama-sama menandatangani
Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili perselisihan hasil pilkada sebagai pelaksaaan Pasal 236C UU No.12
Tahun 2008 di atas.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus
Perselisihan hasil Pilkada merupakan
kewenangan yang baru dimiliki oleh Mahkamh Konstitusi karena sebelumnya merupakan kewenangan yang
dimiliki oleh Mahkamah Agung sehingga
pengalihan kewenangan ini juga merupakan hal yang menarik untuk dibahas karena berhubungan dengan perkembangan
ketatanegaraarn kita Ibid h.
Ibid h.
khususnya ditinjau berdasarkan Hukum Tata
Negara dan karenanya juga berdampak pada
perkembangan hukum acara Mahkamah Konstitusi.
Contoh Pelaksanaan
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus Perselisihan hasil Pilkada adalah kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam memutus
Persilisihan hasil Pilkada Kabupaten Dairi yang diajukan oleh Drs.
Parlemen Sinaga,
M.M dan Dr. Budiman Simanjuntak, M.kes sebagai Pemohon terhadap Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Dairi
Provinsi Sumatera Utara sebagai
Termohon.Yang menjadi permasalahan utama dalam permohonan yang diajukan oleh pemohon tersebut adalah
keberatan terhadap hasil perhitungan suara pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala
daerah kabupaten Dairi Provinsi Sumatera
Utara yang ditetapkan berdasarkan penetapan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Dairi Nomor 37 Tahun 2008 tentang
penetapan pasangan calon terpilih kepala
daerah daerah dan wakil kepala daerah Dairi tahun 2008 putaran kedua bertanggal 13 Desember 2008.
Kasus Pilkada Dairi
ini menarik ditinjau dari sudut pandang Hukum Tata Negara karena yang melaksanakan kewenangan
memutus perkara perselisihan hasil
Pilkada Kabupaten Dairi ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang keputusanya berdasarkan landasan-landasan
Hukum yang telah disebutkan diatas.
Dalam kasus ini
akan dilihat bagaimana Mahkamah Konstitusi melaksanakan kewenangannya berdasarkan peraturan
perundangan-undangan yang mengaturnya.
B.
Perumusan Masalah Yang menjadi permasalahan utama dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah yang menjadi alasan diajukannya
Permohonan Perselisihan Hasil Pilkada
Kabupaten Dairi? 2. Apakah yang menjadi
landasan konstitusional Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya memutus
perselisihan hasil Pilkada? 3.
Bagaimanakah Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus Perselisihan Hasil Pilkada Kabupaten
Dairi? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Yang
menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui: 1. Proses pelaksanaan Pilkada Kabupaten Dairi putaran
pertama dan kedua.
2. Dasar diajukannya permohonan perselisihan
hasil Pilkada Kabupaten Dairi.
3. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.
4. Tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi
sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman.
5. Perkembangan hukum acara serta ketentuan
beracara perkara Perselisihan hasil
Pilkada di Mahkamah Konstitusi.
6. Mengetahui Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam memutus perselisihan
hasil Pilkada Kabupaten Dairi.
Sedangkan yang
menjadi Manfaat Penulisan skripsi ini adalah: 1. Manfaat Secara Teoretis Pembahasan masalah-masalah diatas diharapkan
akan menambah wawasan pembaca,
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi koleksi karya ilmiah serta memberikan
kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas
pelaksanaan kewenangan MK dalam memutus perselisihan hasil Pilkada.
2. Manfaat Secara Praktis Bermanfaat bagi
pembaca dan semua orang yang berminat mempelajari dan mendalami pelaksanaan kewenangan MK dalam
memutus perselisihan Pilkada.
Penulisan ini
diharapkan mampu menggambarkan pelaksanaan kewenangan MK dalam Putusannya Nomor 60/PHPU.D-VI/2008
tentang Putusan MK terhadap perselisihan
Pilkada Kabupaten Dairi.
D. Keaslian Penulisan Sepanjang yang penulis
ketahui Penulisan mengenai ”Pelaksanaan Kewenangan
Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (Studi Kasus Pilkada Kabupaten
Dairi)” yang diangkat menjadi judul
skripsi ini yang kemudian dijadikan sebagai dasar perumusan dan pembahasan permasalahan dalam skripsi ini
belum pernah ditulis di Fakultas Hukum .
Begitu juga berdasarkan data yang penulis dapatkan dari perpustakaan Fakultas Hukum USU
Judul ini belum pernah ditulis sebagai
skr ipsi.
Dilihat dari substansi pembahasan serta studi kasus
yang diangkat penulis dalam skripsi
ini,maka dapat dipastikan bahwa skripsi ini belum pernah ditulis oleh orang lain sehingga dengan demikian
skripsi ini merupakan karya penulis yang
asli dan dapat penulis pertanggungjawabkan secara ilmiah.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi