Senin, 07 April 2014

Skripsi Hukum: PERAN PENYIDIK DALAM PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM



BAB I PENDAHULUAN A.  Latar Belakang 
Negara Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui  Keppress No. 36 tahun 1990. Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk  memberikan perlindungan terhadap anak. Dari berbagai isu yang ada dalam  konvensi hak anak salah satunya yang sangat membutuhkan perhatian khusus  adalah anak, anak yang memerlukan perlindungan khusus diantaranya anak yang  berkonflik dengan hukum. Dalam hukum nasional perlindungan khusus anak yang  berhadapan dengan hukum juga diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak  No.23 tahun 2002 dan juga Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Peradilan  Anak.

Perlindungan Anak merupakan pekerjaan penting yang harus terus  dilakukan oleh seluruh unsur negara kita. Bentuk-bentuk perlindungan anak  inipun dilakukan dari segala aspek, mulai pada pembinaan pada keluarga, kontrol  sosial terhadap pergaulan anak, dan penanganan yang tepat melalui peraturanperaturan yang baik yang dibuat oleh sebuah negara.
Namun dalam perjalanan panjangnya hingga saat ini apa yang  diamanatkan dalam undang-undang tersebut terkendala dengan sarana dan  prasarana yang disediakan oleh Pemerintah, misalnya penjara khusus anak yang  hanya ada di kota-kota besar. Hal ini tentu saja menyebabkan tidak terpenuhinya  hak-hak anak sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang dan Konvensi  Hak Anak tersebut. Selain itu kurangnya sosialisasi yang terpadu dan menyeluruh    yang dilakukan kepada aparat penegak hukum termasuk kepolisian hingga ke  jajaran paling bawah menyebabkan tidak efektifnya pemberian perlindungan  hukum terhadap anak.
 Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda anak  berperan sangat strategis sebagai  succesor  suatu bangsa. Dalam konteks  Indonesia, anak adalah penerus cita – cita perjuangan bangsa. Peran strategis ini  telah disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi  yang intinya menekankan posisi anak sebagai makhluk manusia yang harus  mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.
 Selain itu, anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara  yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran  strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan  eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu, setiap anak harus  mendapatkan pembinaan dari sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang  seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,  mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa kanak-kanak merupakan periode  penaburan benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut  juga sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang  manusia, agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar  dalam meniti kehidupan.
  Ruben Achmad, “Upaya Penyelesaian Masalah Anak yang Berkonflik dengan Hukum  di KotaPalembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya, Nomor 27, Tahun X, Januari 2005, hal 24.
 Ibid.,  Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana  Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2008, hal., 1.
  Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan  bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang  menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
 Sehingga kewajiban setiap masyarakat untuk memberikan perlindungan dalam  rangka untuk kepentingan terbaik bagi anak. Pada hakikatnya anak tidak dapat  melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan  kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan.
Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi  dan kondisinya, khususnya dalam Pelaksanaan Peradilan Anak yang asing bagi  dirinya. Anak perlu mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan  perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan  kerugian mental, fisik, dan sosial.
 Seorang anak sesuai sifatnya masih memiliki daya nalar yang belumcukup  baik untuk membedakan hal-hal baik dan buruk. Tindak pidana yang dilakukan  oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru ataupun terpengaruh  bujuk rayu dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya  menempatkan anak dalam status narapidana tentunya membawa konsekuensi yang  cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang  diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan  anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi  pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh-kembangnya. Penjara   Mukaddimah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  Ibid., hal . 2.
  justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak  kejahatan.
 Persoalan tentang anak di dunia ini dirasakan sebagai persoalan yang tak  pernah kunjung selesai. Bahkan ada beberapa negara di belahan dunia ini, kondisi  anak-anaknya justru sangat memprihatinkan. Banyak anak-anak yang menjadi  korban kekerasan di keluarganya atau mengalami penderitaan akibat peperangan  ataupun ikut mengangkat senjata dalam peperangan demi membela bangsa dan  negaranya. Masyarakat seolah-olah lupa bahwa anak-anak sebenarnya merupakan  karunia yang tidak ternilai yang dititipkan oleh Yang Maha Kuasa untuk disayang,  dikasihi, diasuh, dibina, dirawat ataupun dididik oleh kedua orang tua, keluarga,  masyarakat, bangsa dan negara.
 Hal ini sesuai dengan data yang dirilis UNICEF pada tahun 1995 yang  mengeluarkan laporan tahunan di bawah judul “Situasi Anak-Anak di Dunia  1995” mengungkap fakta dan data mengenai nasib anak-anak di dunia. Menurut  laporan itu, dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir ini, hampir 2 (dua)  juta anak-anak tewas dan 4 (empat) sampai 5 (lima) juta anak-anak cacat hidup  akibat perang. Di beberapa negara seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia, dan  Guetamala, anak-anak dikenakan wajib militer.
 Dari sudut pandang psikologis, berbagai sikap dan tindakan sewenangwenang terhadap anak, membuat mereka menjadi anak-anak yang bermasalah  sehingga mengganggu proses pertumbuhan/perkembangan secara sehat. Hal ini   M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif  Konvensi Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1, dikutip dari UNICEF, Situasi  Anak di Dunia 1995, Jakarta 1995, hal. 1.
 Ibid., hal 1-2.
 Ibid., hal.2.
  tidak terlepas dari semakin kompleksnya masalah yang dihadapi anak-anak zaman  sekarang, ditambah lagi faktor-faktor penunjang untuk terjadinya proses belajar  secara tidak langsung, seperti tayangan-tayangan kekerasan di layar kaca, sampai  berita kekerasan serius yang muncul akhir-akhir ini. Sementara pada diri seorang  anak, proses imitasilah (meniru) paling dominan memberikan pengaruh terhadap  dirinya.
Bertitik tolak dari kompleksnya permasalahan berkaitan dengan  perlindungan yang harus diberikan kepada seorang anak yang berkonflik dengan  hukum tentu harus ada upaya dari berbagai pihak untuk menyelamatkan anak  bangsa. Polisi sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum memiliki  tanggung-jawab yang cukup besar untuk mensinergikan tugas dan wewenang  Polri sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002  tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia  Dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum, polisi senantiasa  harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda dari orang dewasa. Sifat dasar  anak sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan  kedudukan anak di masyarakat yang masih membutuhkan perlindungan dapat  dijadikan dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan  anak dari suatu sistem peradilan pidana formal, penempatan anak dalam penjara,  dan stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana.
Salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak  pidana anak adalah pendekatan restorative juctice, yang dilaksanakan dengan cara  pengalihkan (diversi). Restorative justice merupakan proses penyelesaian yang    dilakukan di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan  melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihakpihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk  mencapai kesepakatan dan penyelesaian. Restorative justice  dianggap cara  berfikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang  dilakukan oleh seorang.
Polisi sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum memiliki  tanggung-jawab yang cukup besar untuk mensinergikan tugas dan wewenang  Polri sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002  tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu bahwa Kepolisian Republik  Indonesia memiliki tugas:  a.  Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.
b.  Menegakkan Hukum c.  Memberikan Perlindungan, Pengayoman, dan Pelayanan  Masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tersebut polisi harus  senantiasa melihat kepentingan masyarakat. Salah satu tugas polisi yang sering  mendapat sorotan masyarakat adalah penegakan hukum. Pada prakteknya  penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi senantiasa mengandung 2 (dua)  pilihan. Pilihan pertama adalah penegakan hukum sebagaimana yang disyaratkan  oleh undang-undang pada umumnya,  dimana ada upaya paksa yang dilakukan   Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal    oleh polisi untuk menegakkan hukum sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang No. 8  Tahun 1981 tentang KUHAP. Sedangkan pilihan  kedua adalah tindakan yang lebih mengedepankan keyakinan yang ditekankan  pada moral pribadi dan kewajiban hukum untuk memberikan perlindungan kepada  anggota masyarakat. Hal ini dikenal dengan nama diskresi. Tindakan tersebut  diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan UndangUndang No.  2 Tahun 2002  tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,  dimana polisi telah diberi kebebasan yang bertanggung-jawab untuk  melaksanakan hal tersebut.
Oleh karena itu Penyidik, khususnya Penyidik Satreskrim Poltabes Medan,  dituntut mampu melakukan tindakan diversi dalam menangani perkara tindak  pidana anak. Pengalihan proses peradilan anak atau yang disebut dengan diversi  berguna untuk menghindari efek negatif dari proses-proses peradilan selanjutnya  dalam administrasi peradilan anak, misalnya labelisasi akibat pernyataan bersalah  maupun vonis hukuman. Dalam melaksanakan diversi terhadap anak yang  berkonflik dengan hukum, sebenarnya polisi telah memiliki payung hukum baik  berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memberi wewenang untuk  tindakan tersebut maupun pedoman pelaksana di Internal Kepolisian dengan  keluarnya Telegram (TR) Kabareskrim Polri No.1124/XI/2006.
Oleh sebab itu, menarik untuk diteliti yang pada prinsipnya guna  mengetahui bagaimanakah PERAN PENYIDIK DALAM PENERAPAN  DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM.
Inilah nantinya yang akan penulis kaji pada tahapan penulisan.
  B.  Permasalahan  Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas maka pokok permasalahan yang ingin diangkat penulis tentang peran penyidik  dalam penerapan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum ini  adalah:
 1.  Hal-hal Apakah yang Melatarbelakangi Pelaksanaan Diversi  Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum?
2.  Bagaimanakah Peran Penyidik dalam Pelaksanaan Diversi?
3.  Dampak-Dampak serta Hambatan-Hambatan Apakah yang Timbul  dalam Pelaksanaan Diversi?

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi