BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia
telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keppress No. 36 tahun 1990. Peratifikasian ini
sebagai upaya negara untuk memberikan
perlindungan terhadap anak. Dari berbagai isu yang ada dalam konvensi hak anak salah satunya yang sangat
membutuhkan perhatian khusus adalah
anak, anak yang memerlukan perlindungan khusus diantaranya anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam hukum nasional
perlindungan khusus anak yang berhadapan
dengan hukum juga diatur dalam Undang-undang Perlindungan Anak No.23 tahun 2002 dan juga Undang-Undang No. 3
tahun 1997 tentang Peradilan Anak.
Perlindungan Anak
merupakan pekerjaan penting yang harus terus dilakukan oleh seluruh unsur negara kita.
Bentuk-bentuk perlindungan anak inipun
dilakukan dari segala aspek, mulai pada pembinaan pada keluarga, kontrol sosial terhadap pergaulan anak, dan penanganan
yang tepat melalui peraturanperaturan yang baik yang dibuat oleh sebuah negara.
Namun dalam
perjalanan panjangnya hingga saat ini apa yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut
terkendala dengan sarana dan prasarana
yang disediakan oleh Pemerintah, misalnya penjara khusus anak yang hanya ada di kota-kota besar. Hal ini tentu
saja menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak
anak sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang dan Konvensi Hak Anak tersebut. Selain itu kurangnya
sosialisasi yang terpadu dan menyeluruh yang dilakukan kepada aparat penegak hukum
termasuk kepolisian hingga ke jajaran
paling bawah menyebabkan tidak efektifnya pemberian perlindungan hukum terhadap anak.
Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian
dari generasi muda anak berperan sangat
strategis sebagai succesor suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita – cita
perjuangan bangsa. Peran strategis ini telah
disadari oleh masyarakat Internasional untuk melahirkan sebuah konvensi yang intinya menekankan posisi anak sebagai
makhluk manusia yang harus mendapatkan
perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya.
Selain itu, anak merupakan harapan orang tua,
harapan bangsa dan negara yang akan
melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus
yang akan menjamin kelangsungan eksistensi
bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan pembinaan dari sejak dini, anak
perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya
untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Terlebih lagi bahwa masa
kanak-kanak merupakan periode penaburan
benih, pendirian tiang pancang, pembuatan pondasi, yang dapat disebut juga sebagai periode pembentukan watak,
kepribadian dan karakter diri seorang manusia,
agar mereka kelak memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.
Ruben Achmad, “Upaya Penyelesaian Masalah
Anak yang Berkonflik dengan Hukum di
KotaPalembang, dalam Jurnal Simbur Cahaya, Nomor 27, Tahun X, Januari 2005, hal
24.
Ibid., Maidin
Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama,
2008, hal., 1.
Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda
penerus cita-cita perjuangan bangsa,
memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan
negara pada masa depan.
Sehingga kewajiban setiap masyarakat untuk
memberikan perlindungan dalam rangka
untuk kepentingan terbaik bagi anak. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam
tindakan yang menimbulkan kerugian
mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan.
Anak harus dibantu
oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam Pelaksanaan
Peradilan Anak yang asing bagi dirinya.
Anak perlu mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap
dirinya, yang menimbulkan kerugian
mental, fisik, dan sosial.
Seorang anak sesuai sifatnya masih memiliki
daya nalar yang belumcukup baik untuk
membedakan hal-hal baik dan buruk. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses
meniru ataupun terpengaruh bujuk rayu
dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana
tentunya membawa konsekuensi yang cukup
besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan
pidana formal dengan memasukkan anak ke
dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses
tumbuh-kembangnya. Penjara Mukaddimah
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Ibid., hal . 2.
justru seringkali membuat anak semakin
profesional dalam melakukan tindak kejahatan.
Persoalan tentang anak di dunia ini dirasakan
sebagai persoalan yang tak pernah
kunjung selesai. Bahkan ada beberapa negara di belahan dunia ini, kondisi anak-anaknya justru sangat memprihatinkan.
Banyak anak-anak yang menjadi korban
kekerasan di keluarganya atau mengalami penderitaan akibat peperangan ataupun ikut mengangkat senjata dalam
peperangan demi membela bangsa dan negaranya.
Masyarakat seolah-olah lupa bahwa anak-anak sebenarnya merupakan karunia yang tidak ternilai yang dititipkan
oleh Yang Maha Kuasa untuk disayang, dikasihi,
diasuh, dibina, dirawat ataupun dididik oleh kedua orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Hal ini sesuai dengan data yang dirilis UNICEF
pada tahun 1995 yang mengeluarkan
laporan tahunan di bawah judul “Situasi Anak-Anak di Dunia 1995” mengungkap fakta dan data mengenai nasib
anak-anak di dunia. Menurut laporan itu,
dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir ini, hampir 2 (dua) juta anak-anak tewas dan 4 (empat) sampai 5
(lima) juta anak-anak cacat hidup akibat
perang. Di beberapa negara seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia, dan Guetamala, anak-anak dikenakan wajib militer.
Dari sudut pandang psikologis, berbagai sikap
dan tindakan sewenangwenang terhadap anak, membuat mereka menjadi anak-anak
yang bermasalah sehingga mengganggu
proses pertumbuhan/perkembangan secara sehat. Hal ini M. Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum
Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi
Hak Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1, dikutip dari UNICEF,
Situasi Anak di Dunia 1995, Jakarta
1995, hal. 1.
Ibid., hal 1-2.
Ibid., hal.2.
tidak terlepas dari semakin kompleksnya
masalah yang dihadapi anak-anak zaman sekarang,
ditambah lagi faktor-faktor penunjang untuk terjadinya proses belajar secara tidak langsung, seperti
tayangan-tayangan kekerasan di layar kaca, sampai berita kekerasan serius yang muncul
akhir-akhir ini. Sementara pada diri seorang anak, proses imitasilah (meniru) paling
dominan memberikan pengaruh terhadap dirinya.
Bertitik tolak dari
kompleksnya permasalahan berkaitan dengan perlindungan yang harus diberikan kepada
seorang anak yang berkonflik dengan hukum
tentu harus ada upaya dari berbagai pihak untuk menyelamatkan anak bangsa. Polisi sebagai garda terdepan dalam
penegakan hukum memiliki tanggung-jawab
yang cukup besar untuk mensinergikan tugas dan wewenang Polri sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam
menangani anak yang berkonflik dengan hukum, polisi senantiasa harus memperhatikan kondisi anak yang berbeda
dari orang dewasa. Sifat dasar anak
sebagai pribadi yang masih labil, masa depan anak sebagai aset bangsa, dan kedudukan anak di masyarakat yang masih
membutuhkan perlindungan dapat dijadikan
dasar untuk mencari suatu solusi alternatif bagaimana menghindarkan anak dari suatu sistem peradilan pidana
formal, penempatan anak dalam penjara, dan
stigmatisasi terhadap kedudukan anak sebagai narapidana.
Salah satu solusi
yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah pendekatan restorative
juctice, yang dilaksanakan dengan cara pengalihkan
(diversi). Restorative justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana
(Criminal Justice System) dengan melibatkan
korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihakpihak yang
berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian.
Restorative justice dianggap cara berfikir/paradigma baru dalam memandang sebuah
tindak kejahatan yang dilakukan oleh seorang.
Polisi sebagai
garda terdepan dalam penegakan hukum memiliki tanggung-jawab yang cukup besar untuk
mensinergikan tugas dan wewenang Polri
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
yaitu bahwa Kepolisian Republik Indonesia
memiliki tugas: a. Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat.
b. Menegakkan Hukum c. Memberikan Perlindungan, Pengayoman, dan
Pelayanan Masyarakat.
Dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya tersebut polisi harus senantiasa melihat kepentingan masyarakat.
Salah satu tugas polisi yang sering mendapat
sorotan masyarakat adalah penegakan hukum. Pada prakteknya penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi
senantiasa mengandung 2 (dua) pilihan.
Pilihan pertama adalah penegakan hukum sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang pada umumnya, dimana ada upaya paksa yang dilakukan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal oleh polisi untuk menegakkan hukum sesuai
dengan hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Sedangkan pilihan kedua adalah tindakan yang lebih mengedepankan
keyakinan yang ditekankan pada moral
pribadi dan kewajiban hukum untuk memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat. Hal ini dikenal dengan
nama diskresi. Tindakan tersebut diatur
di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan UndangUndang No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana polisi telah diberi kebebasan yang
bertanggung-jawab untuk melaksanakan hal
tersebut.
Oleh karena itu
Penyidik, khususnya Penyidik Satreskrim Poltabes Medan, dituntut mampu melakukan tindakan diversi
dalam menangani perkara tindak pidana
anak. Pengalihan proses peradilan anak atau yang disebut dengan diversi berguna untuk menghindari efek negatif dari
proses-proses peradilan selanjutnya dalam
administrasi peradilan anak, misalnya labelisasi akibat pernyataan bersalah maupun vonis hukuman. Dalam melaksanakan
diversi terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum, sebenarnya polisi telah memiliki payung hukum baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
memberi wewenang untuk tindakan tersebut
maupun pedoman pelaksana di Internal Kepolisian dengan keluarnya Telegram (TR) Kabareskrim Polri
No.1124/XI/2006.
Oleh sebab itu,
menarik untuk diteliti yang pada prinsipnya guna mengetahui bagaimanakah PERAN PENYIDIK DALAM
PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG
BERHADAPAN DENGAN HUKUM.
Inilah nantinya
yang akan penulis kaji pada tahapan penulisan.
B.
Permasalahan Berdasarkan latar
belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas maka pokok permasalahan
yang ingin diangkat penulis tentang peran penyidik dalam penerapan diversi terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum ini adalah:
1. Hal-hal Apakah yang Melatarbelakangi
Pelaksanaan Diversi Terhadap Anak yang
Berhadapan dengan Hukum?
2. Bagaimanakah Peran Penyidik dalam Pelaksanaan
Diversi?
3. Dampak-Dampak serta Hambatan-Hambatan Apakah
yang Timbul dalam Pelaksanaan Diversi?
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi