BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Perkembangan
perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari masing-masing jenis
barang dan atau jasa yang akan dikonsumsi.
Barang dan atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat
komplementer satu terhadap lainnya. Dengan banyaknya
variasi produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informatika
menyebabkan perluasan ruang gerak arus
transaksi barang atau jasa yang melintasi batas wilayah suatu negara.
Manusia pada
akhirnya dihadapkan pada jenis barang dan atau jasa yang ditawarkan secara varitatif, baik yang berasal
dari produk domestik maupun dari luar
negeri. Gunawan Wijdaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang
Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 11. Sehingga dalam
perjalanannya manusia selalu berusaha untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya dan akan
selalu melakukan bermacammacam kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
Tidak bisa kita elakkan lagi, untuk
memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan dana oleh kalangan usahawan perseorangan maupun usahawan yang
tergabung dalam suatu badan hukum di
dalam mengembangkan usahanya maupun di dalam meningkatkan produknya, sehingga dapat dicapai suatu
keuntungan yang memuaskan maupun tingkat
kebutuhan bagi kalangan lainnya.
Untuk membutuhkan dana tersebut, saat ini
semakin banyak orang yang mendirikan
suatu lembaga pembiayaan yang bergerak di bidang penyediaan dana ataupun barang yang akan dipergunakan oleh
pihak lain di dalam mengembangkan
usahanya.
Baik di bidang ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Pembiayaan konsumen merupakan salah
satu model pembiayaan yang dilakukan
oleh perusahaan finansial, disamping kegiatan seperti leasing, factoring, kartu kredit dan
sebagainya. Target pasar modal dalam pembiayaan konsumen ini sudah jelas yakni para konsumen.
Lembaga pembiayaan konsumen di Indonesia
dimulai pada tahun 1988, yaitu dengan
dikeluarkannya Keppres No 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan, dan Keputusan Menteri Keuangan No
1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kedua keputusan inilah yang merupakan titik awal dari sejarah
perkembangan pengaturan pembiayaan
kosumen sebagai lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia.
Lembaga pembiayaan adalah suatu badan yang
melalui kegiatannya di bidang keuangan
yakni menarik dana dari masyarakat dan menyalurkannya kemasyarakat. Lembaga pembiayaan ini dibagi
menjadi dua kelompok yakni Richard
Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003), hal. 95.
Ibid Munir
Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek), (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 161.
Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2009), hal. 98.
lembaga keuangan atau yang sering disebut bank
dan lembaga keuangan bukan bank.
Fungsi bank pada umumnya adalah melayani
kebutuhan pembiayaan dan melancarkan
mekanisme sistem pembayaran bagi banyak sektor perkonomian.
Namun dalam
kenyataannya bank ini tidak cukup ampuh untuk menanggulangi berbagai keperluan dana dalam masyarakat,
mengingat keterbatasan jangkauan penyebaran
kredit ini dan keterbatasan sumber dana yang dimiliki oleh bank.
Menyikapi kelemahan
yang terdapat pada lembaga keuangan bank dalam rangka menyalurkan kebutuhan dana yang diperlukan
masyarakat maka muncul lembaga Menurut
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1972 Tentang
Perbankan Pasal 1 angka (2) dan Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 1 angka (2), bank adalah “badan usaha yang melakukan
kegiatan usaha di bidang keuangan dengan
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak”. Sedangkan lembaga keuangan
bukan bank adalah “badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan secara langsung ataupun tidak
langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan
surat berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi masyarakat” (Keppres No 61
Tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan,
dan Keputusan Menteri Keuangan No 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009
tentang Lembaga Pembiayaan).
M.Fuadi Dkk, Pengantar Bisnis, (Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 72 keuangan
bukan bank yang merupakan lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel dan moderat daripada bank yang dalam
hal-hal tertentu tingkat resikonya bahkan
lebih tinggi. Lembaga keuangan bukan bank ini seperti leasing (sewa guna usaha), factoring (anjak piutang), modal
ventura, perdagangan surat berharga, usaha
kartu kredit, dan pembiayaan konsumen yang diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun
1988 tentang Lembaga Pembiayaan dan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan.
Dasar hukum
perjanjian pembiayaan konsumen ini adalah perjanjian diantara para pihak berdasarkan asas kebebasan
berkontrak. Yaitu perjanjian antara
pihak perusahaan finansial sebagai kreditur dan pihak konsumen sebagai debitur. Sejauh tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum yang berlaku, maka
perjanjian seperti itu sah dan mengikat secara utuh.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa
perjanjian pembiayaan adalah perjanjian
yang tidak ada di atur dalam KUH Perdata, tetapi hidup di dalam Perjanjian semacam ini sering juga disebut
sebagai perjanjian tidak bernama. Hal
ini dapat dilihat pada Pasal 1319 KUH Perdata yang menyatakan : “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu
nama khusus, maupun yang tidak dikenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.
Munir Fuady, Op.Cit, hal.164-165.
pergaulan masyarakat berdasarkan asas yang
terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata
yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian.
Perjanjian ini
dibuat secara sah dengan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Apabila syarat-syarat Pasal 1320 KUH
Perdata ini telah terpenuhi, maka akan memberikan akibat hukum bagi pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian
tersebut dan akan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yaitu perusahaan konsumen dan konsumen (Pasal 1338 KUH Perdata). Konsekuensi selanjutnya,
maka perjanjian tersebut harus dilaksanakan
dengan itikad baik dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
Perjanjian
pembiayaan inilah yang menjadi dokumen penting sebagai bukti yang sah bagi perusahaan pembiayaan konsumen dan
konsumen.
Asas kebebasan berkontrak ini memberikan hak
kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian,
selama Pasal 1320 KUH Perdata dapat
terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan aturan main yang mereka kehendaki dalam
perjanjian tersebut, dan selanjutnya untuk
melaksanakannya harus sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara mereka, selama dan sepanjang para
pihak tidak melanggar ketentuan mengenai
klausula halal. Artinya ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan
kebiasan umum yang berlaku dalam masyarakat.
Namun ada kalanya kedudukan kedua belah pihak dalam suatu negosiasi dalam pembuatan perjanjian tidak
seimbang, yang pada akhirnya Ibid,hal.
99.
melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu
menguntungkan bagi salah satu pihak.
Dalam praktek dunia usaha juga menentukan
bahwa keuntungan kedudukan tersebut
sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku atau klausula baku dalam setiap dokumen atau
perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak
yang lebih dominan dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat baku kerena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak
dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan
atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Tidak ada pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung
merugikan pihak yang kurang dominan tersebut.
Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang
cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan
tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut atau atas klusula baku yang termuat
dalam perjanjian yang ada.
Kontrak baku ini tetap memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan kontrak baku
diantaranya lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi lebih simpel, menghemat tenaga kerja serta
dapat ditandatangani seketika oleh para
pihak. Hal ini sangat menguntungkan terutama bagi kontrak-kontrak yang dilakukan secara massal. Sedangkan kelemahan
dari sebuah kontrak baku adalah bahwa
karena kurangnya kesempatan bagi pihak konsumen untuk bernegosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak
yang bersangkutan, sehingga kontrak baku
tersebut sangat berpotensi untuk menjadi klusula yang berat sebelah, Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal.
53.
Ibid karena
format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat. Oleh karena yang merancang format dan
isi perjanjian adalah pihak yang memiliki
kedudukan yang lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut membuat klausula-klausula yang
menguntungkan baginya atau meringankan / menghapuskan beban-beban /
kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya
menjadi tanggung jawabnya.
Dengan melihat kenyataan tersebut, bahwa pada
hakikatnya konsumen jauh di bawah para
pelaku usaha, maka Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan
mengenai ketentuan perjanjian baku dan
atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha.
Penerapan
klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat sangat merugikan
pihak yang lemah yakni konsumen. Hal ini
memberikan dampak negatif bagi pihak yang lemah (konsumen), yaitu pihak konsumen terpaksa
menerima perjanjian tersebut bila ia menyetujui
kontrak tersebut, kontrak baku juga membatasi dan mengalihkan kewajiban pelaku usaha bahkan ada kemungkinan
pengusaha menciptakan kewajiban baru
yang semestinya bukan kewajiban konsumen
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi