Selasa, 22 April 2014

Skripsi Hukum: PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN SEPEDA MOTOR PADA PT FEDERAL INTERNATIONAL FINANCE (FIF)

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang.
Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai  jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan  dikonsumsi. Barang dan atau jasa tersebut pada umumnya merupakan barang dan  atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap lainnya. Dengan banyaknya variasi produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan  kemajuan teknologi komunikasi dan informatika menyebabkan perluasan ruang  gerak arus transaksi barang atau jasa yang melintasi batas wilayah suatu negara.

Manusia pada akhirnya dihadapkan pada jenis barang dan atau jasa yang  ditawarkan secara varitatif, baik yang berasal dari produk domestik maupun dari  luar negeri.   Gunawan Wijdaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta :  PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 11. Sehingga dalam perjalanannya manusia selalu berusaha untuk  mencapai kesejahteraan dalam hidupnya dan akan selalu melakukan bermacammacam kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Tidak bisa kita elakkan  lagi, untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan dana oleh kalangan  usahawan perseorangan maupun usahawan yang tergabung dalam suatu badan  hukum di dalam mengembangkan usahanya maupun di dalam meningkatkan   produknya, sehingga dapat dicapai suatu keuntungan yang memuaskan maupun  tingkat kebutuhan bagi kalangan lainnya.
 Untuk membutuhkan dana tersebut, saat ini semakin banyak orang yang  mendirikan suatu lembaga pembiayaan yang bergerak di bidang penyediaan dana  ataupun barang yang akan dipergunakan oleh pihak lain di dalam  mengembangkan usahanya.
 Baik di bidang ekonomi, sosial, budaya maupun  politik. Pembiayaan konsumen merupakan salah satu model pembiayaan yang  dilakukan oleh perusahaan finansial, disamping kegiatan seperti  leasing, factoring, kartu kredit dan sebagainya. Target pasar modal dalam pembiayaan  konsumen ini sudah jelas yakni para konsumen.
 Lembaga pembiayaan konsumen di Indonesia dimulai pada tahun 1988,  yaitu dengan dikeluarkannya Keppres No 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga  Pembiayaan, dan Keputusan Menteri Keuangan No 1251/KMK.013/1988 tentang  Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kedua keputusan  inilah yang merupakan titik awal dari sejarah perkembangan pengaturan  pembiayaan kosumen sebagai lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia.
 Lembaga pembiayaan adalah suatu badan yang melalui kegiatannya di  bidang keuangan yakni menarik dana dari masyarakat dan menyalurkannya  kemasyarakat. Lembaga pembiayaan ini dibagi menjadi dua kelompok yakni   Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003),  hal. 95.
 Ibid   Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek), (Bandung : PT  Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 161.
 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 98.
 lembaga keuangan atau yang sering disebut bank dan lembaga keuangan bukan  bank.
 Fungsi bank pada umumnya adalah melayani kebutuhan pembiayaan dan  melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi banyak sektor perkonomian.
Namun dalam kenyataannya bank ini tidak cukup ampuh untuk menanggulangi  berbagai keperluan dana dalam masyarakat, mengingat keterbatasan jangkauan  penyebaran kredit ini dan keterbatasan sumber dana yang dimiliki oleh bank.
Menyikapi kelemahan yang terdapat pada lembaga keuangan bank dalam rangka  menyalurkan kebutuhan dana yang diperlukan masyarakat maka muncul lembaga  Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas  Undang-Undang Nomor 7 tahun 1972 Tentang Perbankan Pasal 1 angka (2) dan  Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 1 angka  (2), bank adalah “badan usaha yang melakukan kegiatan usaha di bidang  keuangan dengan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan  menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya  dalam rangka  meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Sedangkan lembaga  keuangan bukan bank adalah “badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang  keuangan secara langsung ataupun tidak langsung menghimpun dana dengan jalan  mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna  membiayai investasi masyarakat” (Keppres No 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga  Pembiayaan, dan Keputusan Menteri Keuangan No 1251/KMK.013/1988 tentang  Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan  dan Peraturan  Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan).
 M.Fuadi Dkk, Pengantar Bisnis, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 72   keuangan bukan bank yang merupakan lembaga penyandang dana yang lebih  fleksibel dan moderat daripada bank yang dalam hal-hal tertentu tingkat resikonya  bahkan lebih tinggi. Lembaga keuangan bukan bank ini seperti leasing (sewa guna  usaha), factoring (anjak piutang), modal ventura, perdagangan surat berharga,  usaha kartu kredit, dan pembiayaan konsumen yang diatur dalam Keputusan  Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan  dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 tentang  Lembaga Pembiayaan.
Dasar hukum perjanjian pembiayaan konsumen ini adalah perjanjian  diantara para pihak berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Yaitu perjanjian  antara pihak perusahaan finansial sebagai kreditur dan pihak konsumen sebagai  debitur. Sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku,  maka perjanjian seperti itu sah dan mengikat secara utuh.
 Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perjanjian pembiayaan adalah  perjanjian yang tidak ada di atur dalam KUH Perdata, tetapi hidup di dalam  Perjanjian semacam ini sering juga disebut sebagai perjanjian tidak  bernama. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1319 KUH Perdata yang menyatakan :  “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak  dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang  termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.
 Munir Fuady, Op.Cit, hal.164-165.
 pergaulan masyarakat berdasarkan asas yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH  Perdata yang mengandung asas kebebasan membuat perjanjian.
Perjanjian ini dibuat secara sah dengan memenuhi syarat-syarat yang  ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Apabila syarat-syarat Pasal 1320  KUH Perdata ini telah terpenuhi, maka akan memberikan akibat hukum bagi  pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut dan akan berlaku sebagai  undang-undang bagi mereka yaitu perusahaan konsumen dan konsumen (Pasal  1338 KUH Perdata). Konsekuensi selanjutnya, maka perjanjian tersebut harus  dilaksanakan dengan itikad baik dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
Perjanjian pembiayaan inilah yang menjadi dokumen penting sebagai bukti yang  sah bagi perusahaan pembiayaan konsumen dan konsumen.
 Asas kebebasan berkontrak ini memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian, selama Pasal 1320 KUH  Perdata dapat terpenuhi. Pihak-pihak dalam perjanjian adalah bebas menentukan  aturan main yang mereka kehendaki dalam perjanjian tersebut, dan selanjutnya  untuk melaksanakannya harus sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai  diantara mereka, selama dan sepanjang para pihak tidak melanggar ketentuan  mengenai klausula halal. Artinya ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut  tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan  yang berlaku,  ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasan umum yang berlaku dalam  masyarakat. Namun ada kalanya kedudukan kedua belah pihak dalam suatu  negosiasi dalam pembuatan perjanjian tidak seimbang, yang pada akhirnya   Ibid,hal. 99.
 melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu  pihak.
 Dalam praktek dunia usaha juga menentukan bahwa keuntungan  kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku atau  klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu  pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat baku kerena, baik  perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin  dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Tidak ada pilihan bagi salah  satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang dominan  tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia saat  ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk  membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku  tersebut atau atas klusula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada.
 Kontrak baku ini tetap memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan  kontrak baku diantaranya lebih efisien, dapat membuat praktek bisnis menjadi  lebih simpel, menghemat tenaga kerja serta dapat ditandatangani seketika oleh  para pihak. Hal ini sangat menguntungkan terutama bagi kontrak-kontrak yang  dilakukan secara massal. Sedangkan kelemahan dari sebuah kontrak baku adalah  bahwa karena kurangnya kesempatan bagi pihak konsumen untuk bernegosiasi  atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan, sehingga  kontrak baku tersebut sangat berpotensi untuk menjadi klusula yang berat sebelah,  Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 53.
 Ibid  karena format dan isi perjanjian dirancang oleh pihak yang kedudukannya lebih  kuat. Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang  memiliki kedudukan yang lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian  tersebut membuat klausula-klausula yang menguntungkan baginya  atau  meringankan / menghapuskan beban-beban / kewajiban-kewajiban tertentu yang  seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
 Dengan melihat kenyataan tersebut, bahwa pada hakikatnya konsumen  jauh di bawah para pelaku usaha, maka Undang-Undang tentang Perlindungan  Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku  dan atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang  dibuat oleh pelaku usaha.

Penerapan klausula-klausula tertentu yang dilakukan oleh pihak yang  memiliki kedudukan lebih kuat sangat merugikan pihak yang lemah yakni  konsumen. Hal ini memberikan dampak negatif bagi pihak yang lemah  (konsumen), yaitu pihak konsumen terpaksa menerima perjanjian tersebut bila ia  menyetujui kontrak tersebut, kontrak baku juga membatasi dan mengalihkan  kewajiban pelaku usaha bahkan ada kemungkinan pengusaha menciptakan  kewajiban baru yang semestinya bukan kewajiban konsumen  
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi