BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Selama 21 tahun
pertama Indonesia merdeka, perekonomian bangsa menghadapi tantangan dan ujian berat, termasuk
adanya rongrongan dari dalam dan luar
negeri, yang nyaris membuat sendi – sendi perekonomian nasional mati. Pada 1959, trend
paham kapitalisme liberalisme secara konstitusional ditolak, sehingga sistem ekonomi nasional lebih condong
ke sistem ekonomi etatistik (segalanya
negara) yang otomatis mematikan segala daya kreasi masyarakat.
Ekonomi Komando
yang berlangsung selama tujuh tahun dari tahun 1959 sampai dengan tahun 1966 dan mencapai titik paling
kritis dengan hiperinflasi 650% pada 1966,
hampir melumpuhkan seluruh sistem produksi dan distribusi nasional.
Ekonomi Orde Baru yang dimulai sejak tahun
1966 secara radikal membalikkan arah
sistem ekonomi Indonesia. Pembangunan diarahkan pada demokrasi ekonomi, dan politik ekonomi diarahkan
pada upaya untuk menggerakkan kembali
roda ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kegiatan pencetakan uang yang telah
berlangsung hampir tanpa kendali dihentikan,
anggaran belanja pemerintah dibuat berimbang, dan produksi dalam negeri khususnya bidang pangan ditingkatkan
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
penduduk yang terus bertambah. Sistem ekonomi pasar bebas mulai berjalan normal, pembangunan ekonomi dibangun
berdasarkan Rencana Widjanarto, Hukum
& Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2002), hal 13.
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Rencana
Pembangunan Lima Tahun ini diarahkan
dari tahun 1969 sampai dengan tahun 1994.
Ditandai dengan adanya krisis ekonomi yang
terjadi di kawasan Asia Tenggara,
dimulai dari negara yang sudah siap menghadapi krisis ekonomi tersebut seperti Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Brunei sampai pada negara – negara berkembang seperti Indonesia, salah
satu negara yang mengalami tahun – tahun
ledakan kemajuan yang dirasakan kawasan Asia Tenggara sampai pada Filipina, negara yang tidak mengalami tahun –
tahun ledakan, tetapi mengalami perubahan
drastis Produk Nasional Bruto Riil dari tahun 1980 sampai tahun 2000.
Indonesia sendiri mengalami krisis hebat yang
mengakibatkan terjadinya tingkat
pertumbuhan ekonomi minus 14 persen pada 1998.
Krisis ekonomi itu sudah mulai berlalu, tetapi
kita baru menyadari bahwa pembangunan di
bidang ekonomi lebih diutamakan namun dengan mengabaikan pembangunan hukumnya. Akibatnya, dalam
pembangunan bidang ekonomi tersebut
munculah berbagai isu dan persoalan hukum berskala nasional.. Oleh karena itu, sewajarnya pemerintah berbenah
diri dalam menghadapi pertumbuhan dan
perkembangan pembangunan ekonomi yang sedemikian pesatnya. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan penyesuaian
dan perubahan seperlunya terhadap
berbagai perangkat hukum dan perundang - undangan nasional yang Asyakuri ibn Chamim, Pendidikan
Kewarganegaraan, (Yogyakarta:
Diktilitbang Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, 2004), hal 143.
Vedi R Hadiz, Politik Gerakan Buruh di Asia
Tenggara, hal 16.
Ibid, hal 8.
mengatur bidang ekonomi.
Untuk memberdayakan perekonomian rakyat,
kedaulatan harus dikembalikan pada
rakyat, karena hanya dengan kedaulatan rakyat itulah ekonomi kerakyatan dapat terwujud. Pemberdayaan
ekonomi rakyat juga merupakan bagian integral
dalam mewujudkan ketahanan nasional dalam bidang ekonomi. Arus Banyak sekali produk undang-undang yang
membahas masalah di atas, tetapi dalam
penelitian ini penulis lebih cenderung menggunakan UU no 20 tahun 2008 karena, UU ini baru dan sangat relevan
pada masa sekarang. Juga didalam TAP MPR
NO. XVI/1998 ditegaskan tentang perlunya penerapan sistem ekonomi kerakyatan yang berpihak pada upaya-upaya
pemberdayaan ekonomi rakyat.
Pemberdayaan
ekonomi rakyat ini dianggap penting karena ketertinggalan sektor ekonomi rakyat dari sektor ekonomi menengah
dan besar, sehingga menimbulkan kecemburuan
dan kesenjangan sosial. Hal ini menjadi masalah yang serius bagi bangsa Indonesia di masa sekarang. Sistem
ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi
kerakyatan yang mampu mewujudkan demokrasi dalam tatanan ekonomi nasional. Sistem ideologi suatu bangsa akan
menentukan sistem ekonomi seperti apa
yang tercantum dalam Pancasila sila ke-4. Penggunaan istilah ’’kerakyatan’’ dipastikan mengandung unsur demokrasi yang
kental. Bila istilah ’’kerakyatan’’ dalam
ungkapan ’’ekonomi kerakyatan’’ itu dicari maknanya sesuai kedudukanya sebagai kata sifat, kata lain dari ’’ekonomi
kerakyatan’’ sesungguhnya adalah ’’ekonomi
yang demokratis’’ atau ’’demokrasi ekonomi’’. Artinya, kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran
perorangan.
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di
Indonesia, (Jakarta: P.T Gramedia Pustaka
Utama, 2003), hal 2.
ekonomi global harus diimbangi dengan
penguatan pondasi ekonomi dalam negeri.
Oleh karenanya, sistem ekonomi kerakyatan harus didukung dengan keberpihakan pemerintah dalam pemberdayaan
ekonomi rakyat. Karena dengan ekonomi
rakyat yang tangguh, ketahanan nasional di bidang ekonomi dapat terwujud.
Para pengamat
acapkali melakukan kritik terhadap pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia yang terlalu
berorientasi pada pertumbuhan, karena
dengan otomatis perekonomian rakyat akan cenderung terabaikan.
Padahal, GBHN
sendiri sudah lama menempatkan aspek pemerataan pada urutan pertama dalam Trilogi Pembangunan Indonesia.
Upaya untuk memberdayakan ekonomi rakyat,
khususnya koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah (UKM), dimaksudkan agar mampu berkembang menjadi usaha yang mandiri dan kokoh dalam
struktur perekonomian nasional.
Melalui paradigma
baru, diharapkan tidak lagi terjadi pemusatan aset ekonomi produktif pada segelintir orang atau golongan.
Sebaliknya paradigma baru ini dimaksudkan
untuk memperluas aset ekonomi produktif di tangan rakyat, meningkatkan partisipasi dan advokasi rakyat
dalam proses pembangunan, berkembangnya
basis ekonomi wilayah di tingkat kabupaten dan pedesaan, Dengan ditempatkannya pemerataan sebagai logi pertama, dalam rencana
masa depan perekonomian Indonesia,
seharusnya perhatian lebih diarahkan pada prospek perekonomian rakyat, bukan pada pertumbuhan ekonomi besar.
Lihat GBHN Trilogi Pembangunan.
meluasnya kesempatan usaha bagi koperasi dan
UKM, dan pemerataan serta keadilan bagi
rakyat dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.
Dalam ekonomi
kerakyatan yang diharapkan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
serta harus ada upaya keras untuk memberdayakan
ekonomi rakyat. Pola pemberdayaan yang dilakukan yaitu menciptakan kemandirian bagi ekonomi rakyat,
melalui koperasi dan UKM agar memiliki
nilai tambah.
Upaya tersebut
memerlukan peran aktif dari pemerintah yang tidak hanya memberikan bantuan dengan belas kasihan,
tetapi sekaligus mengupayakan fasilitas
dan program – program yang menjadikan ekonomi rakyat lebih produktif.
Hal ini sejalan
dengan apa yang telah disampaikan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Suryadharma Ali dan tiga wakil bank
peserta penyalur, bank BRI, bank BNI,
dan bank Mandiri dalam Raker dengan Komisi VI DPR pada tanggal 22 Agustus 2008 lalu, yang menghasilkan
kesepakatan bahwa komisi VI menyetujui
penambahan dana sebesar Rp.1 triliun untuk program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan asumsi gearing ratio 10
kali, dan tambahan KUR untuk periode
tahun ini akan meningkat menjadi Rp.10 milyar. Ditambah dengan dana sebelumnya sebesar Rp.14,5 triliun, total dana
KUR yang disalurkan menjadi Rp.
24,5 triliun.
Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengajukan penambahan dana KUR kepada Departemen Keungan setelah
serapan dari Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) hingga awal Agustus hampir mencapai Rp 9 triliun.
Rapat Kerja Bersama antara Komisi VI DPR
dengan Kenenterian Negara Koperasi dan UKM
beserta tiga wakil bank peserta penyalur, 22 Agustus 2008.
Pelaksanaan program kredit usaha rakyat ini
tidak terlepas dari lembaga perbankan
selaku instrumen penyalur yang telah baku.
Dalam pelaksanaan pembiayaan
kredit usaha rakyat ini, harus diupayakan agar pembiayaan yang diberikan tepat sasaran sehingga peningkatan
ekonomi kerakyaan yang menjadi tujuan
program kredit usaha rakyat ini dapat dicapai. Oleh karena hal tersebut, sebagaimana pembiayaan perbankan pada umumnya,
pada kredit usaha rakyat, eksistensi
prinsip kehati-hatian (Prudent Banking
Principle) dalam penyaluran kredit juga
mutlak diperlukan oleh perbankan agar penyaluran kredit dapat berjalan efektif dan berkesinambungan serta
tepat sasaran.
Oleh karena hal
tersebut di atas, maka skripsi ini diberi judul: Prinsip Kehati-hatian dalam Program Kredit Usaha
Rakyat.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi