BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Kita sudah mengenal
apa yang disebut peradilan sesat, yaitu
kegagalan proses mencari keadilan
dalam seluruh aspeknya. Ini terjadi karena peradilan gagal memproses pelaku pelanggar hukum secara
tepat dan benar serta gagal menerapkan
hukum sebagaimana mestinnya.
Penyebab kegagalan peradilan ini sebagian besar dilakoni
aparat penegak hukum yang tidak
professional. Kegagalan peradilan ini merupakan kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan yang dapat
dilihat dari kondisi ketidakmampuan
(unabilty) dan ketidakmauan (unwillingness).
Dalam penegakan
hukum para aparat penegak hukum kurang mampu menyikapi suatu kasus hukum, sehingga tidak
jarang sebuah kasus dipaksakan diberkas
meski kurang bukti dan fakta pendukung. Kegagalan penegakan hukum akibat ketidakmauan
terlihat dari terjadinya proses
penegakan hukum yang terkesan tidak transparan dan tidak jujur, bahkan sebuah kasus hukum membuka peluang untuk
dijadikan ladang pemerasan.
Masalah penahanan sering dijadikan obyek tawar
menawar antara penegakan hukum dan
tersangka. Sudah begitu banyak keluhan masyarakat mengenai hasil kerja penegak hukum mulai dari
tingkat kepolisian sampai putusan pengadilan
yang penuh kontoversi.
Kegagalan penegakan hukum baik karena
ketidakmampuan maupun ketidakmauan ini
dibarengi gejala menjamurnya calo kasus yang menawarkan pengurusan perkara. Pada tahap ini kewajiban
aparat penegak hukum untuk memberitahu
terhadap tersangka/terdakwa akan haknya didampingi penasihat Tanggung jawab penegak hukum, (Jakarta :
Kompas, 2004).
hukum dalam perkara yang sedang dihadapai
menjadi diabaikan, tetapi cukup diatur
para makelar yang menawarkan pembebasan dari penahanan dan pekara di pengadilan. Maka daripada itu sebagian besar
tindak pidana masih sering berulang terjadi
bahkan pemidanaan bukanlah sebagai suatu pemberian efek jera terhadap seseorang melainkan opini bahwa suatu perkara
dapat diselesaikan melalui jalur khusus
peradilan dan ini hanya menguntungkan sebagian pihak dimana pihak lemah secara ekonomi tidak mendapatkan apa
yang dinamakan keadilan.
Melihat aparat
penegak hukum saat ini kita perlu melakukan terobosan baru dalam upaya hukum untuk meminta
pertanggungjawaban pejabat penegak hukum
atas pelanggaran yang mereka lakukan. Polisi, jaksa, atau hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan hukum
berdasar undang-undang, tetapi aparat
tersebut juga memiliki tanggungjawab untuk menjalankan kewenangannya secara benar dan bertanggungjawab. Para korban
atau masyarakat lain secara hukum dapat
meminta pertanggungjawaban aparat penegak hukum sebagai pribadi pejabat bila melakukan penyimpangan
dalam proses penegakan hukum dan
bertindak sewenang-wenang yang melanggar hak-hak asasi warga Negara.
Pertanggungjawaban
atas penegakan hukum tingkat pidana dapat dimintakan kepada polisi/jaksa sebagai pribadi
pejabat sampai dengan jajaran di bawahnya
yang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Fakta hukum dapat
dilihat dari kasus-kasus yang dipaksakan, bahkan tersangka dipaksa ditahan meski kurang bukti.
Tidak jarang para tersangka yang telah
disandera kemerdekaannya secara paksa itu akhirnya dilepas begitu saja setelah tidak ditemukan bukti yang cukup,
tanpa kompensasi apa-apa.
Sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 termasuk ketentuan Pasal 28 Huruf D ayat (1) dan Pasal
28 Huruf I ayat (1) UUD 1945 yang telah
diamandemen tersebut maka hak atas bantuan hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga yang wajib dimiliki
oleh negara hukum. Permasalahan bantuan
hukum tidak dinyatakan secara tegas sebagai beban dan tanggung jawab dari negara. Namun, adanya prinsip-prinsip
persamaan di hadapan hukum dan perlakuan
yang adil bagi seluruh masyarakat, merupakan petunjuk bahwa Negara wajib memperhatikan masalah bantuan hukum bagi
seluruh warga Negara.
Adanya prinsip
hukum yang berdaulat (supremacy of law) dan adanya jaminan terhadap setiap orang yang diduga
bersalah untuk mendapatkan proses peradilan
yang adil (fair trial) merupakan syarat yang harus dijamin secara absolut dalam negara hukum.
Negara kita,
Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat) bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (Machstaat), dengan
hal ini tentunya kita bisa mempelajari
rechstaat melalui pandangan Aristoteles yang merumuskan bahwa “Negara hukum adalah Negara yang berdiri di
atas hukum yang menjamin keadilan kepada
warga negaranya”. Sedangkan menurut Immanuel Kant bahwa “tujuan Negara hukum adalah menjamin kedudukan
hukum dari individu-individu dalam
masyarakat”. Immanuel Kant juga memberikan ciri-ciri negara hukum yaitu pertama; adanya pengakuan dan
perlindungan HAM, Kedua; Adanya pemisahan
kekuasaan. Akan tetapi dalam perkembangannya ciri-ciri bagi negara yang berdasarkan hukum (Rechstaat) telah
berkembang dengan pesat dalam tata pelaksanaannya, dimana kalau kita telusuri
didalam beberapa literatur yang ada, kita
akan menemukan bahwa ciri-ciri suatu negara hukum yaitu; adanya Perlindungan terhadap HAM, adanya pemisahan
Kekuasaan, Pemerintahan haruslah
berdasarkan peraturan-peraturan hukum, dan adanya peradilan administratif.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia telah diatur
beberapa pasal yang memiliki keterkaitan dengan konsep bantuan hukum. Adapun pasal-pasal tersebut
adalah sebagai berikut : Transisi
menuju perwujudan jaminan HAM, Pasal 5 :
Ayat (1) : Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan
memperoleh perlakuan serta perlindungan
yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya
di depan hukum.
Ayat (2) : Setiap
orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.
Ayat (3) : Setiap
orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya.
Pasal 6 :Ayat (1) :
Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,
masyarakat, dan Pemerintah.Pasal 18 : Ayat (1) : Setiap orang yang ditangkap,
ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan
sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu
sidang pengadilan dan diberikan segala
jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
http://justiabellen.blogspot.com/2009/07/pro-bono-dalam-masa-transisi-menuju.html,
diakses pada tanggal 5 Januari 2010.
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 18 UU No. 39 tahun
1999 tentang hak azasi manusia.
Ayat (4) : Setiap orang yang diperiksa berhak
mendapatkan bantuan hukum sejak saat
penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam praktiknya,
hak tersangka yaitu hak untuk didampingi penasihat hukum atau pengacara selama dalam pemeriksaan,
khususnya pada tingkat penyidikan di
kepolisian masih sering diabaikan.
Ketentuan Pasal 56
ayat (1) KUHAP dari segi pendekatan stict law atau formalistic legal thinking mengandung berbagai
aspek permasalahan hukum yakni: 1. Mengandung aspek nilai HAM Setiap tersangka
atau terdakwa berhak didampingi penasihat hukum dalam semua tingkat pemeriksaan. Hak ini sesuai
dengan deklarasi “universal” HAM yang
menegaskan hadirnya penasihat hukum mendampingi tersangka atau terdakwa merupakan nilai yang
inhaerent pada diri manusia. Dengan
demikian mengabaikan hak ini bertentangan dengan nilai HAM.
2. Pemenuhan
hak ini dalam proses peradilan pada semua tingkat pemeriksaan, menjadi kewajiban dari pejabat
yang bersangkutan.
Apabila tindak
pidana yang disangkakan atau didakwakan : a.
diancam dengan pidana mati atau 15 tahun lebih,atau b. bagi yang tidak mampu yang diancam pidana 5
tahun lebih, yang tidak mempunyai
penasihat hukum, maka pejabat yang bersangkutan dalam semua tingkat pemeriksaan
wajib menunjuk penasihat hukum bagi
mereka. Berdasarkan ketentuan pasal 56 ayat
(1) KUHAP, kehadiran dan keberadaan panasihat hukum berifat imperative, sehingga
mengabaikannyamengakibatkan hasil pemeriksaan tidak sah dan batal demi hukum.
Penyidik sering mempersulit penasihat hukum
atau pengacara untuk bertemu dengan
tersangka yang sedang ditahan dalam rangka untuk menandatangani surat kuasa. Penyidik sering
menekan tersangka untuk tidak usah menggunakan
penasihat hukum atau pengacara. Bahkan tidak jarang kita jumpai, penyidik berupaya kepada tersangka agar
mencabut kuasanya dari pengacara.
Memang praktik-praktik seperi ini sering kita
jumpai meskipun KUHAP telah dengan
secara tegas menyebutkan hak-hak konstitusional dari tersangka, dimana apabila pemeriksaan penyidikan,
penuntutan, atau persidangan tersangka atau
terdakwa tidak di dampingi penasihat hukum maka sesuai dengan Miranda rule,
pemeriksaan tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void).
Negara kita Indonesia adalah Negara hukum dan
Pancasila merupakan dasar Negara dan pandangan hidup setiap warga Negara
Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta Pancasila juga merupakan sumber dari semua tertib hukum yang berlaku di Negara
kita, yang mana di dalamnya sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan/atau hak-hak asasi manusia, maka penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia adalah dua hal yang secara
simultan harus diperhatikan dan dipatuhi bagi setiap proses penegakan hukum di Indonesia sehingga hal
sewenang-wenang yang terjadi dikarenakan tidak didampinginya para tersangka oleh
Penasihat Hukum yang sebenarnya sudah
menjadi hak para tersangka sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) KUHAP dapat dihindari. Hak tersangka untuk memperoleh penasihat hukum tersebut
lazim disebut dengan Miranda Rule.
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP, edisi kedua, (Jakarta :
Sinar grafika, 2000),hal. 339.
Amir syamsudin, Integritas Penegak Hukum,
(Jakarta : Kompas, 2008), hal. 8.
Ibid, hal.339.
Miranda Rule adalah merupakan hak-hak
konstitusional dari tersangka atau
terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan
hak untuk didampingi atau dihadirkan
Penasihat Hukum sejak dari proses penyidikan sampai dan atau dalam semua tingkat proses peradilan.
Miranda Rule
adalah merupakan hak konstitusional yang bersifat universal
dihampir semua negara yang berdasarkan hukum.
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum pada dasarnya sangat menghormati Miranda Rule ini. Komitmennya
terhadap penghormatan Miranda Rule telah
dibuktikan dengan mengadopsi Miranda Rule ini ke dalam sistem Hukum Acara Pidana yaitu sebagaimana yang
terdapat di dalam pasal 56 ayat (1) UU
No.8 tahun 1981 yang lebih dikenal dengan KUHAP. Secara umum prinsip Miranda Rule (miranda principle) yang terdapat
dalam KUHAP yang menyangkut hak-hak tersangka atau terdakwa ada
di dalam BAB VI UU No.8 tahun 1981
tentang KUHAP, sedang secara khusus prinsip Miranda Rule atau miranda principle terdapat di dalam pasal
56 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : (1) Dalam hal tersangka atau terdakwa
disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka
yang tidak mampu yang diancam dengan pidana
lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang
bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi