Rabu, 23 April 2014

Skripsi Hukum: PELANGGARAN PRINSIP MIRANDA RULE(PENDAMPINGAN PENASIHAT HUKUM)DALAM PRAKTIK PERADILANPIDANA DI INDONESIA

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Kita sudah mengenal apa yang disebut peradilan sesat, yaitu  kegagalan  proses mencari keadilan dalam seluruh aspeknya. Ini terjadi karena peradilan  gagal memproses pelaku pelanggar hukum secara tepat dan benar serta gagal  menerapkan hukum sebagaimana mestinnya. Penyebab kegagalan peradilan ini sebagian besar dilakoni aparat penegak  hukum yang tidak professional. Kegagalan peradilan ini merupakan kegagalan  penegakan hukum secara keseluruhan yang dapat dilihat dari kondisi  ketidakmampuan (unabilty) dan ketidakmauan (unwillingness).

Dalam penegakan hukum para aparat penegak hukum kurang mampu  menyikapi suatu kasus hukum, sehingga tidak jarang sebuah kasus dipaksakan  diberkas meski kurang bukti dan fakta pendukung. Kegagalan penegakan hukum akibat ketidakmauan terlihat dari terjadinya  proses penegakan hukum yang terkesan tidak transparan dan tidak jujur, bahkan  sebuah kasus hukum membuka peluang untuk dijadikan ladang pemerasan.
 Masalah penahanan sering dijadikan obyek tawar menawar antara  penegakan hukum dan tersangka. Sudah begitu banyak keluhan masyarakat  mengenai hasil kerja penegak hukum mulai dari tingkat kepolisian sampai putusan  pengadilan yang penuh kontoversi.
 Kegagalan penegakan hukum baik karena ketidakmampuan maupun  ketidakmauan ini dibarengi gejala menjamurnya calo kasus yang menawarkan  pengurusan perkara. Pada tahap ini kewajiban aparat penegak hukum untuk  memberitahu terhadap tersangka/terdakwa akan haknya didampingi penasihat   Tanggung jawab penegak hukum, (Jakarta : Kompas, 2004).
 hukum dalam perkara yang sedang dihadapai menjadi diabaikan, tetapi cukup  diatur para makelar yang menawarkan pembebasan dari penahanan dan pekara di  pengadilan. Maka daripada itu sebagian besar tindak pidana masih sering berulang  terjadi bahkan pemidanaan bukanlah sebagai suatu pemberian efek jera terhadap  seseorang melainkan opini bahwa suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur  khusus peradilan dan ini hanya menguntungkan sebagian pihak dimana pihak  lemah secara ekonomi tidak mendapatkan apa yang dinamakan keadilan.
Melihat aparat penegak hukum saat ini kita perlu melakukan terobosan  baru dalam upaya hukum untuk meminta pertanggungjawaban pejabat penegak  hukum atas pelanggaran yang mereka lakukan. Polisi, jaksa, atau hakim memiliki  kewenangan untuk melakukan penegakan hukum berdasar undang-undang, tetapi  aparat tersebut juga memiliki tanggungjawab untuk menjalankan kewenangannya  secara benar dan bertanggungjawab. Para korban atau masyarakat lain secara  hukum dapat meminta pertanggungjawaban aparat penegak hukum sebagai  pribadi pejabat bila melakukan penyimpangan dalam proses penegakan hukum  dan bertindak sewenang-wenang yang melanggar hak-hak asasi warga Negara.
Pertanggungjawaban atas penegakan hukum tingkat pidana dapat  dimintakan kepada polisi/jaksa sebagai pribadi pejabat sampai dengan jajaran di  bawahnya yang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Fakta hukum dapat dilihat dari kasus-kasus yang dipaksakan, bahkan  tersangka dipaksa ditahan meski kurang bukti. Tidak jarang para tersangka yang  telah disandera kemerdekaannya secara paksa itu akhirnya dilepas begitu saja  setelah tidak ditemukan bukti yang cukup, tanpa kompensasi apa-apa.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 termasuk  ketentuan Pasal 28 Huruf D ayat (1) dan Pasal 28 Huruf I ayat (1) UUD 1945  yang telah diamandemen tersebut maka hak atas bantuan hukum harus dipandang   sebagai suatu lembaga yang wajib dimiliki oleh negara hukum. Permasalahan  bantuan hukum tidak dinyatakan secara tegas sebagai beban dan tanggung jawab  dari negara. Namun, adanya prinsip-prinsip persamaan di hadapan hukum dan  perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat, merupakan petunjuk bahwa Negara  wajib memperhatikan masalah bantuan hukum bagi seluruh warga Negara.
Adanya prinsip hukum yang berdaulat (supremacy of law) dan adanya  jaminan terhadap setiap orang yang diduga bersalah untuk mendapatkan proses  peradilan yang adil (fair trial) merupakan syarat yang harus dijamin secara absolut  dalam negara hukum.
Negara kita, Indonesia adalah negara hukum (Rechstaat) bukan negara  yang berdasarkan kekuasaan (Machstaat), dengan hal ini tentunya kita bisa  mempelajari rechstaat melalui pandangan Aristoteles yang merumuskan bahwa  “Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin  keadilan kepada warga negaranya”. Sedangkan menurut Immanuel Kant bahwa  “tujuan Negara hukum adalah menjamin kedudukan hukum dari individu-individu  dalam masyarakat”. Immanuel Kant juga memberikan ciri-ciri negara hukum  yaitu pertama; adanya pengakuan dan perlindungan HAM, Kedua; Adanya  pemisahan kekuasaan. Akan tetapi dalam perkembangannya ciri-ciri bagi negara  yang berdasarkan hukum (Rechstaat) telah berkembang dengan pesat dalam tata pelaksanaannya, dimana kalau kita telusuri didalam beberapa literatur yang ada,  kita akan menemukan bahwa ciri-ciri suatu negara hukum yaitu; adanya  Perlindungan terhadap HAM, adanya pemisahan Kekuasaan, Pemerintahan  haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum, dan adanya peradilan  administratif.
 Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi  Manusia telah diatur beberapa pasal yang memiliki keterkaitan dengan konsep  bantuan hukum. Adapun pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :   Transisi menuju perwujudan jaminan HAM,  Pasal 5 : Ayat (1) : Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan  memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat  kemanusiaannya di depan hukum.
Ayat (2) : Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari  pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.
Ayat (3) : Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak  memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pasal 6 :Ayat (1) : Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan  kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh  hukum, masyarakat, dan Pemerintah.Pasal 18 : Ayat (1) : Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka  melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai  dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan  segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan  ketentuan peraturan perundang-undangan.
http://justiabellen.blogspot.com/2009/07/pro-bono-dalam-masa-transisi-menuju.html, diakses pada  tanggal 5 Januari 2010.
 Pasal 5, Pasal 6, Pasal 18 UU No. 39 tahun 1999 tentang hak azasi manusia.
 Ayat (4) : Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak  saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh  kekuatan hukum tetap.
Dalam praktiknya, hak tersangka yaitu hak untuk didampingi penasihat  hukum atau pengacara selama dalam pemeriksaan, khususnya pada tingkat  penyidikan di kepolisian masih sering diabaikan.
Ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP dari segi pendekatan stict law atau  formalistic legal thinking mengandung berbagai aspek permasalahan hukum  yakni: 1.  Mengandung aspek nilai HAM Setiap tersangka atau terdakwa berhak didampingi penasihat hukum dalam  semua tingkat pemeriksaan. Hak ini sesuai dengan deklarasi “universal”  HAM yang menegaskan hadirnya penasihat hukum mendampingi  tersangka atau terdakwa merupakan nilai yang inhaerent pada diri  manusia. Dengan demikian mengabaikan hak ini bertentangan dengan  nilai HAM.
2.  Pemenuhan  hak ini dalam proses peradilan pada semua tingkat  pemeriksaan, menjadi kewajiban dari pejabat yang bersangkutan.
Apabila tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan : a.  diancam dengan pidana mati atau 15 tahun lebih,atau b.  bagi yang tidak mampu yang diancam pidana 5 tahun lebih, yang  tidak mempunyai penasihat hukum, maka pejabat yang bersangkutan dalam semua tingkat pemeriksaan wajib  menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Berdasarkan ketentuan pasal 56  ayat (1) KUHAP, kehadiran dan keberadaan panasihat hukum  berifat   imperative, sehingga mengabaikannyamengakibatkan hasil pemeriksaan  tidak sah dan batal demi hukum.
 Penyidik sering mempersulit penasihat hukum atau pengacara untuk  bertemu dengan tersangka yang sedang ditahan dalam rangka untuk  menandatangani surat kuasa. Penyidik sering menekan tersangka untuk tidak usah  menggunakan penasihat hukum atau pengacara. Bahkan tidak jarang kita jumpai,  penyidik berupaya kepada tersangka agar mencabut kuasanya dari pengacara.
 Memang praktik-praktik seperi ini sering kita jumpai meskipun KUHAP  telah dengan secara tegas menyebutkan hak-hak konstitusional dari tersangka,  dimana apabila pemeriksaan penyidikan, penuntutan, atau persidangan tersangka  atau terdakwa tidak di dampingi penasihat hukum maka sesuai dengan Miranda rule, pemeriksaan tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void).
 Negara kita Indonesia adalah Negara hukum dan Pancasila merupakan dasar Negara dan pandangan hidup setiap warga Negara Indonesia dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara, serta Pancasila juga merupakan sumber dari  semua tertib hukum yang berlaku di Negara kita, yang mana di dalamnya sarat  dengan nilai-nilai kemanusiaan dan/atau hak-hak asasi manusia, maka penegakan  hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia adalah dua hal yang  secara simultan harus diperhatikan dan dipatuhi bagi setiap proses penegakan  hukum di Indonesia sehingga hal sewenang-wenang yang terjadi dikarenakan  tidak didampinginya para tersangka oleh Penasihat Hukum yang sebenarnya  sudah menjadi hak para tersangka sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) KUHAP dapat  dihindari. Hak tersangka  untuk memperoleh penasihat hukum tersebut lazim  disebut dengan Miranda Rule.
 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, edisi kedua,  (Jakarta : Sinar grafika, 2000),hal. 339.
 Amir syamsudin, Integritas Penegak Hukum, (Jakarta :  Kompas, 2008), hal. 8.
 Ibid, hal.339.
 Miranda Rule adalah merupakan hak-hak konstitusional dari tersangka  atau terdakwa yang meliputi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan pejabat  bersangkutan dalam proses peradilan pidana dan hak untuk didampingi atau  dihadirkan Penasihat Hukum sejak dari proses penyidikan sampai dan atau dalam  semua tingkat proses peradilan.

 Miranda Rule  adalah merupakan  hak  konstitusional yang bersifat universal dihampir semua negara yang berdasarkan  hukum. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum pada dasarnya sangat  menghormati Miranda Rule ini. Komitmennya terhadap penghormatan Miranda  Rule telah dibuktikan dengan mengadopsi Miranda Rule ini ke dalam sistem  Hukum Acara Pidana yaitu sebagaimana yang terdapat di dalam pasal 56 ayat (1)  UU No.8 tahun 1981 yang lebih dikenal dengan KUHAP. Secara umum prinsip  Miranda Rule (miranda principle) yang terdapat dalam KUHAP  yang  menyangkut hak-hak tersangka atau terdakwa ada di dalam BAB VI UU No.8  tahun 1981 tentang KUHAP, sedang secara khusus prinsip Miranda Rule atau  miranda principle terdapat di dalam pasal 56  KUHAP yang berbunyi sebagai  berikut :   (1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan  tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana  lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang  diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai  penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat  pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi  mereka.

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi