x BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Konsep Indonesia
sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 pulau dengan
panjang pantai 81.000 Km yang terdiri dari 0,3 juta km (5,17%) laut teritorial, 2,8 juta km (48,28%) perairan kepulauan, serta 2,7 juta km (46,55%) Zona Ekonomi Eksklusif.
Indonesia yang terdiri dari 17.508 pulau
dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan kawasan laut seluas 5,8 juta, dinilai
memiliki keanekaragaman kekayaan yang
terkandung didalamnya sangat potensial bagi pembangunan ekonomi negara. Luas laut Indonesia meliputi ¾
(tiga per empat) dari seluruh luas wilayah
Negara Indonesia. Wilayah perairan yang demikian luas menjadi beban tanggung jawab yang besar dalam mengelola dan
mengamankannya. Untuk mengamankan laut
yang begitu luas, diperlukan kekuatan dan kemampuan dibidang maritim berupa peralatan dan
tekhnologi kelautan modern serta sumber Diakui
dunia setelah United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang
disahkan pada tanggal 10 Desember 1982 dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985. Pengakuan Indonesia sebagai
negara kepulauan tersebut merupakan anugerah besar bagi bangsa Indonesia karena perairan yurisdiksi
Nasional Republik Indonesia bertambah
luas.
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman RI, Penggantian dan Pembaharuan
Perundang-Undangan Kolonial Menjadi Nasional (Stb. 1939 No.442 Territoriale Zee En Maritieme Kringen Ordonantie),
(Jakarta, 1996/1997),hal.
xi daya manusia yang handal untuk mengelola
sumber daya yang terkandung di dalamnya,
seperti : ikan, koral, mineral, biota laut dan lain sebagainya.
Geografis Indonesia
terdiri dari ¾ (tiga per empat) wilayah laut dan ¼ (satu per empat) wilayah daratan, membuka
kerawanan terhadap sejumlah dimensi
terpenting dari keamanan. Tanpa pengamatan terintegrasi yang memadai, letak geografis Indonesia yang strategis
membuka peluang terjadinya pencurian dan
pemanfaatan sumberdaya laut secara ilegal oleh pihak-pihak yang merugikan negara apabila kemampuan pengawasan terbatas.
Masalah penangkapan
ikan secara ilegal (illegal fishing), masih marak terjadi diperairan Indonesia. Kemampuan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian dinilai terbatas, karena
kemampuan sarana dan prasarana pengawasan
yang kita miliki belum cukup mendukung untuk tugas-tugas pengawasan.
Kepala staf Angkatan
Laut, Laksamana Slamet Subiyanto dalam suatu perbincangan dengan media Barracuda menyatakan
bahwa, “Kemudian kita pun seharusnya ada
persamaan persepsi bahwa ikan itu adalah
milik kita yang diambil oleh orang lain, itukan namanya mencur i dan suratnya tidak ada dan didalam
pembelaannya itu sering dikategorikan sebagai
tindak pidana ringan jadi sangat merugikan negara”.
Khususnya praktek perikanan ilegal (illegal
fishing) saat ini telah merugikan negara
sebesar yaitu mencapai kurang lebih 1,9 milyar US $ per tahun Slamet Subiyanto, Tidak Ada Toleransi Bagi
Pelaku Illegal Fishing, Baraccuda, Agustus
2005, hal.
xii atau sekitar Rp 18 trilyun, serta
membahayakan harga diri dan kedaulatan bangsa Indonesia.
Praktek IUU Fishing (Illegal, unreported,
unregulated fishing) di wilayah laut
Indonesia hingga kini masih marak. Bahkan akibat pencurian ikan tersebut, negeri bahari ini mengalami kerugian hingga
mencapai Rp 30 triliun pertahun.
Duta Besar (Dubes)
Thailand untuk Indonesia, Chaiyong Satjipanon, mengakui banyak nelayan dari negaranya mencuri ikan di
perairan Indonesia. Mafia pencurian ikan
semakin marak di perairan Indonesia. Di tahun 2008 saja Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)
bersama TNI AL, Kepolisian Republik
Indonesia (Polri), khususnya Polisi Air (Polair) dan masyarakat berhasil menangkap sekitar 130 kapal nelayan berbendera
asing yang mencuri ikan di perairan
Indonesia. Kasus terbesar adalah penangkapan 24 kapal dengan 400 anak buah kapal (ABK) yang tengah melakukan
pemindahan hasil tangkapan dari kapal kecil
ke dua kapal besar di Laut Arafuru, Papua. Kasus pencurian juga terjadi di Laut Natuna dan Sulawesi hingga Lautan
Pasifik. Kapal nelayan asing asal Taiwan,
Tiongkok, Filipina, Vietnam, dan Thailand menyerbu perairan Indonesia.
Kerugian negara
akibat penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) olehkapalJuga masalah
pemanfaatan hasil laut secara illegal, pemerintah cukup banyak menghadapi masalah dalam hal perusakan
dan pencemaran lingkungan laut seperti
penangkapan ikan dengan bahan peledak, pengambilan terumbu karang secara besar-besaran dan pencemaran
laut akibat tumpahan minyak, serta pembuangan
zat-zat yang berbahaya dari kapal-kapal.
3 http://www.dkp.go.id. Departemen Kelautan dan
Perikanan Tangani Illegal Fishing, (Info Aktual IUU Fishing, 22 Februari 2010) xiii kapal penangkap ikan nelayan asing
dikhawatirkan kian meningkat sejalan dengan semakin banyaknya jumlah kasus-kasus
pelanggaran bidang perikanan. Dengan banyaknya
kasus pelanggaran penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) yang dilakukan oleh kapal berbendera asing di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
maka pemerintah Indonesia harus melakukan upaya penegakan hukum untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana
illegal fishing di ZEEI.
Untuk memberikan
landasan hukum bidang perikanan, telah disahkan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan. Undang-undang ini merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang No. 9 Tahun 1985 dan UndangUndang No. 31 Tahun
2004 tentang Perikanan yang dipandang belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum
serta perkembangan teknologi.
Sudah beberapa kali
Undang-Undang mengenai perikanan direvisi mulai dari Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 kemudian
disempurnakan menjadi Undang-Undang No.
31 Tahun 2004 dan yang terakhir Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tetapi implementasi di lapangan
masih memprihatinkan. Amanat agar
perkara-perkara perikanan dibawa ke pengadilan perikanan dan menjerat pelaku dengan UU Perikanan itu ternyata belum
efektif. Setelah tiga tahun Pengadilan
Perikanan beroperasi, penyelesaian kasus-kasus perikanan ternyata kurang memadai. Ada sekitar 800 kasus
perikanan selama tiga tahun terakhir, kebanyakan
kasus penangkapan kapal nelayan asing. Namun, dari 800 kasus tersebut, belum ada tindak lanjut yang
efektif. Padahal, Mahkamah Agung sudah membentuk
lima Pengadilan Perikanan, yakni di PN Jakarta Utara, PN Medan, xiv PN Pontianak, PN Bitung, dan PN Tual.
kurang efektifnya tindak lanjut kasuskasus tersebut menandakan pemanfaatan
peradilan perikanan belum maksimal.
Oleh karena itu,
perlu dilakukan evaluasi atas eksistensi Pengadilan Perikanan.
Perlu dilakukan
suatu gebrakan hukum.
Salah satu faktor
yang membuat Pengadilan Perikanan belum efektif adalah sikap aparat hukum sendiri. banyak
kasus kejahatan perikanan diselesaikan di
peradilan umum karena penyidik dan jaksa juga menggunakan KUH Pidana, bukan jerat yang terdapat pada UU Perikanan.
Misalnya, kematian seorang nelayan di
Sulawesi Selatan karena penggunaan bom ikan. Seyogianya polisi bisa memakai UU Perikanan, tetapi ternyata polisi
lebih memilih KUH Pidana. UU Perikanan
jelas mengancam pidana setiap orang yang menangkap ikan dengan menggunakan bom ikan. Kasus lain yang
prosesnya menggunakan peradilan umum
adalah penggunaan trawl atau pukat hela.
Berdasarkan uraian
diatas, jika keadaan ini tidak secara cepat direspon maka kegiatan penangkapan ikan ilegal ini akan
merusak ekosistem laut kita, terutama
perikanannya, dan bahkan akan merugikan perekonomian negara kita.
Oleh karena itu
diperlukan usaha yang efektif untuk mencegah usaha-usaha penangkapan ikan secara ilegal untuk tetap
menjaga eksistensi sumber daya ikan.
Diperlukan adanya
suatu pengaturan yang terpadu dan peran serta masyarakat.
Melalui kajian
hukum pidana terhadap aktivitas penangkapan ikan ilegal, kita akan melihat peranan pengadilan perikanan
serta kebijakan dan pengaturan hukum xv
pidana terhadap pencegahan penangkapan ikan secara ilegal. Dimana hal ini sesuai dengan tujuan hukum pidana, yaitu: a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai
melakukan kejahatan, baik menakut-nakuti
orang banyak maupun orang tertentu, agar di kemudian hari tidak melakukan lagi.
b. Untuk medidik atau memperbaiki orang-orang
yang suka melakukan kejahatan, agar
menjadi orang yang baik tabiatnya dan bermanfaat bagi masyarakat.
Dan hal inilah yg
melatar belakangi penulisan skripsi ini dan menuangkannya dalam sebuah skripsi
yang berjudul “PERANAN PENGADILAN PERIKANAN MEDAN DALAM MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA
ILLEGAL FISHING.” B. Perumusaan Masalah Berdasarkan latar belakang
di atas, telah kita ketahui bahwa aktivitas penangkapan ikan secara ilegal masih marak
terjadi di perairan Indonesia. Maka peranan
pengadilan perikanan serta kebijakan dan pengaturan hukum pidana terhadap pencegahan penangkapan ikan secara
ilegal sangat diperlukan dalam menyelesaikan
tindak pidana illegal fishing.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi