Selasa, 22 April 2014

Skripsi Hukum: PEMALSUAN DOKUMEN DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2007

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang menjadi  lumbung trafficking. Indonesia secara tidak langsung memiliki beberapa peran  dalam trafficking antara lain sebagai negara asal, perantara, dan tujuan. Korban  trafficking beragam mulai dari anak-anak, gadis belia, wanita dewasa, dan pria  yang diperdagangkan untuk eksploitasi seks dan kerja paksa. Jumlah korban  trafficking dari Indonesia paling banyak berasal dari Jawa, Kalimantan Barat,  Lampung, Sumatera Utara, Banten, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan  Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Utara.

Fakta tersebut menimbulkan keraguan akan kinerja pemerintah dalam  menangani segala tindakan yang berindikasi trafficking. Terlebih lagi selama ini  korban trafficking dari Indonesia adalah para imigran internasional atau lebih  tepat TKI. TKI yang merupakan pahlawan devisa juga merupakan cerminan  derita bangsa.
Pengertian  trafficking menurut Protokol PBB  adalah  perekrutan,  pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan  ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, pemaksaan,  penculikan, pemalsuan, penipuan, pencurangan atau penyalahgunaan kekuasaan  atau posisi rentan ataupun penerimaan/pemberian bayaran atau manfaat sehingga  memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut  untuk dieksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau   praktek-praktek yang menyerupai, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ  tubuh.
Dari definisi tersebut sebenarnya sudah sangat jelas untuk membedakan  dan mengidentifikasi segala bentuk tindakan yang mengarah kepada tindak pidana  perdagangan orang. Namun, definisi tersebut terkesan sia-sia karena sebagian  besar masyarakat yang menjadi korban bukan disebabkan oleh ketidaktahuan  masyarakat akan pekerjaan apa yang akan dilakukannya nanti, melainkan  dikarenakan kondisi ekonomi yang dialaminya. Buruknya sistem ekonomi lokal  membuat masyarakat sulit untuk bersaing, memaksa masyarakat mencari  pekerjaan ke luar negeri atau bahkan melakukan pekerjaan yang tidak sesuai  dengan harapan masyarakat.
Hal ini diperburuk oleh dampak globalisasi yang tidak dapat dihindari  bangsa Indonesia. Faktor kemiskinan cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak  tertentu untuk kepentingan bisnis, di mana korban diperjualbelikan bagaikan  barang yang tidak berharga melalui tipu muslihat.
  Chairul Bariah Mozasa, Aturan-Aturan Hukum Trafiking (Perdagangan Perempuan  dan Anak), USU Press, Medan, 2005, hal 3.
Sulitnya perekonomian  membuat masyarakat terjebak dalam lilitan hutang, kondisi inilah yang memaksa  masyarakat terjebak dalam praktek trafficking yang berupa tindakan menyewakan  tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman. Orang yang ditempatkan  sebagai buruh karena jeratan hutang rentan terhadap perbudakan. Hingga saat ini  dalam hubungan stuktural sosial kemasyarakatan, perempuan dan anak-anak  sering ditempatkan pada posisi marginal yang terabaikan. Konsekuensinya,  perempuan seringkali dianggap sebagai objek dan barang yang dapat diperjualbelikan.
 Perdagangan orang sebenarnya sudah terjadi sejak lama, bukti tertulis  tertua yang ditemukan menunjukkan bahwa praktek ini sudah berlangsung sejak  abad VI di wilayah Romawi.
 Di Indonesia sendiri sudah terjadi sejak zaman rajaraja Jawa dahulu, perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem  pemerintahan feodal. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan  sebagai yang agung dan mulia. Raja mempunyai kekuasan penuh, antara lain  tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir  tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda  kesetiaan, sebagian lagi persembahan dari kerajaan lain, tetapi ada juga yang  berasal dari lingkungan kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan langsung dengan  keluarga istana.
 Sistem feodal ini belum menunjukkan keberadaan suatu industri seks  tetapi telah membentuk landasan dengan meletakkan perempuan sebagai barang  dagangan. Pada masa penjajahan Belanda, industri seks menjadi lebih terorganisir  dan berkembang pesat yaitu untuk memenuhi kebutuhan pemuasan seks  masyarakat Eropa seperti serdadu, pedagang dan para utusan yang pada umumnya  adalah bujangan. Pada masa pendudukan Jepang (1941-1945), komersialisasi seks  terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi dan perempuan Belanda   Komnas Perempuan, Laporan Pelapor Khusus PBB Tentang Kekerasan Terhadap  Perempuan, Perdagangan Perempuan, Migrasi Perempuan dan Kekerasan Terhadap Perempuan:  Penyebab dan Akibatnya, 29 februari 2000  (http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2008/12/buku-komnas-perempuan-seridokumen-kunci-3.pdf) Diakses 23 Februari 2010, pukul 14.50 WIB.
 M. Zaelani Tammaka, Menuju Jurnalisme Berperikemanusiaan Kasus Trafficking dalam  Liputan Media di Jawa Tengah dan DIY, Aji Surakarta, Surakarta, 2003, hal. 3.
 menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari  Singapura, Malaysia dan Hong Kong untuk melayani para perwira tinggi Jepang.
 Tahun 2008 menurut  Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care  devisa sektor TKI mencapai sekitar USD 8,4 miliar atau lebih dari Rp 100 triliun  dari buruh migran yang sekitar 73 persennya perempuan.
Perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak yang saat ini  diperdebatkan di tingkat regional maupun global merupakan jenis perbudakan  pada pada era modern, dan konsep dasarnya adalah perekrutan, pemindahan  manusia dari satu tempat ke tempat lain baik antar wilayah dalam satu negara atau  antar negara. Akibat perdagangan perempuan ini tidak hanya merampas  kemerdekaan korban, tetapi juga membuat mereka rentan terhadap penganiayaan,  siksaan fisik, kerja paksa, penyakit, trauma psikis, cacat bahkan hingga kematian.
 Jumlah TKI di luar  negeri saat ini sekitar 6,5 juta, sekitar 2,6 juta di Malaysia, 1,8 juta di Timur  Tengah, 120.000 di Singapura, 124.000 di Hongkong, 113.000 di Taiwan,  160.000 di Korea, dan 80.000 di Jepang. Sisanya tersebar di berbagai negara lain,  seperti Eropa, AS, dan negara-negara yang sedang berkonflik.
  Soetedjo Yuwono, Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Persons) Di  Indonesia Tahun 2004-2005, Kementerian Koordinator  Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2005,  Jakarta ( Menurut Anis,  pekerja yang berusia di bawah 18 tahun berjumlah sekitar 54 persen. Sekitar 46  persen dari penempatan TKI terindikasi kuat trafficking  karena tidak melalui  mekanisme migrasi aman.
http://catalog.nla.gov.au/record/3675366) Akses 9 Juni 2010 pukul 19.55 WIB.
 Maria Hartiningsih, Rapor Merah Partai Politik Soal Buruh Migran, 16 Maret 2009  (http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=5&artid=413). Akses  5 Mei 2010 pukul 15.30 WIB.
 Maria Hartiningsih dan Ahmad Arif, Mewaspadai Gelombang Perdagangan Orang, 25  Maret  2009 (http://www.gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=  article&id=298:mewaspadai-gelombang-perdagangan-orang&catid=1:latest-news&Itemid=50)  Akses 27 April 2010 pukul 8.55 WIB.
 Berdasarkan data dari organisasi dunia yang menangani masalah anak,  United Nations Emergency Children’s Fund (UNICEF), angka global anak yang  diperdagangkan tiap tahunnya ada sekitar 1,2 juta dan sekitar 2 juta anak di  seluruh dunia dieksploitasi secara seksual tiap tahunnya.
 Industri perdagangan  anak ini menangguk untung USD 12 milliar per tahunnya (ILO). Rata-rata setiap  tahun 100.000 perempuan, dan anak-anak Indonesia telah diperdagangkan oleh  sindikat perdagangan orang. Sekitar 30% dari total korban adalah perempuan  dibawah 18 tahun.
  Ada beberapa yang masih berumur 10 tahun dan sekitar  40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi  seks.
 Data International  Organization for Migration (IOM), antara Maret 2005 - Januari 2008 mencatat  perdagangan orang sebanyak 3.024 orang dengan rincian 5 bayi, 651 anak  perempuan, 134 anak laki-laki, 2.048 perempuan dewasa dan 206 laki-laki  dewasa.

 Dari jumlah tersebut, 55 persen korban dieksploitasi di sektor Pekerja  Rumah Tangga (PRT), 21% di sektor pelacuran paksa, 18,4% di sektor pekerjaan  formal, 5% dieksploitasi pada tahap transit (khusus pekerja), 0,6% perdagangan  bayi. Ironisnya, dari sejumlah kasus tersebut yang dibawa ke meja pengadilan  secara nasional kurang dari 1% saja.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi