Selasa, 22 April 2014

Skripsi Hukum: PEMBENTUKAN KABINET DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Sebuah negara yang menganut paham demokrasi paling tidak terdapat  beberapa hal yang mutlak keberadaannya, yakni mengharuskan adanya pemilihan  umum, adanya rotasi atau kaderisasi kepemimpinan nasional, adanya kekuasaan  kehakiman yang mandiri, adanya representasi kedaulatan rakyat melalui  kelembagaan parlemen yang kuat dan mandiri, adanya penghormatan dan jaminan  hak asasi manusia, adanya konstitusi yang memberikan jaminan hal-hal tersebut  berjalan.

 Sebagai bagian dari penyempurnaan demokrasi tersebut, maka penataan  kembali lembaga kepresidenan merupakan suatu hal yang harus dilakukan, mulai  pada saat pemilihannya hingga pada saat fungsi dan tugas dari lembaga tersebut  dijalankan. Muncullah suatu pemikiran bahwa kedaulatan harus dikembalikan ke  tangan rakyat dengan memberikan peranan yang lebih besar yakni ikut dalam  proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian lahirlah suatu kajian  terhadap sistempemilihan Presiden secara langsung dimana yang dimaksudkan  Apabila prinsip-prinsip tersebut berjalan serta adanya jaminan secara  konstitusional, maka salah satu konsekuensinya akan melahirkan suatu  mekanisme penataan kekuasaan atas lembaga kepresidenan. Karenanya, masalah  kekuasaan Presiden adalah merupakan perihal demokrasi dalam struktur  ketatanegaraan Indonesia.
 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-14, Gramedia Pustaka Utama,  Jakarta, 1992, hal. 60.
 disini bukan hanya diartikan bahwa rakyat secara “one man one vote”  memilih  Presiden, sehingga Presiden terpilih adalah calon Presiden yang berhasil  mengumpulkan suara paling banyak dari calon Presiden lainnya. Melainkan suatu  pemilihan Presiden yang benar-benar mendapatkan legitimasinya langsung dari  rakyat bukan melalui institusi rakyat permanen yang memainkan peran pengganti  rakyat sekaligus kepadanya Presiden bertanggung jawab secara langsung.
 Pemilihan Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial  yang tidak  dilakukan langsung oleh rakyat pemilih tetapi diserahkan kepada MPR  mengandung beberapa masalah, yakni:  1.  Konsep pemilihan Presiden oleh MPR menimbulkan beban  pertanggungjawaban atas segala pelaksanaan kekuasaan Presiden yang  dapat membawa jatuhnya Presiden dalam masa jabatannya jika  pertanggungjawaban tidak diterima oleh MPR. Ini menunjukkan bahwa  sistem pemerintahan dan secara khusus hubungan Presiden dengan  lembaga perwakilan rakyat baik DPR maupun MPR merupakan hubungan  yang tidak dapat dipisahkan antara sistem parlementer di satu sisi dengan  sistem presidensial di sisi lain. Pola hubungan seperti ini harus segera  diahkiri, sebab jika hendak meletakkan dominasi kekuasaan negara atas  prinsip kedaulatan rakyat di tangan lembaga perwakilan rakyat, maka   One man one vote adalah suatu istilah yang mengandung pengertian satu orang satu  suara. Artinya, setiap orang (rakyat) berhak untuk menggunakan atau memberikan suaranya dalam  suatu proses pemilihan yang berlangsung (pemilihan Presiden dan Wakil Presiden) sesuai dengan  ketentuan yang berlaku, dimana pada masa sebelumnya bahwa rakyat tidak bisa menggunakan hak  suaranya untuk ikut dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
 Mulyana W. Kusuma, dkk, Menata Politik Pasca Reformasi, KIIP, Jakarta, 2000, hal.
145.
 Sistem pemerintahan presidensial ialah sistem pemerintahan yang tugas-tugas  eksekutifnya dijalankan dan dipertanggungjawabkan oleh Presiden.
 Mulyana W. Kusuma, op.cit., hal. 1  prinsip sistem parlementerlah yang harus dipakai. Tetapi jika hendak  mempertahankan sistem Presidensial maka pola hubungan yang seimbang  antara Presiden dengan lembaga perwakilan rakyat harus diterapkan. Dan  ini berarti pengangkatan Presiden oleh MPR harus diubah dengan  pemilihan langsung oleh rakyat agar legitimasi kekuasaan Presiden tak lagi  berasal dari majelis.
2.  Problem lain yang menyangkut dasar legitimasi kekuasaan Presiden.
Pemilihan Presiden yang hanya ditentukan oleh anggota MPR akan sangat  tergantung kepada konstelasi politik menjelang pemilihan Presiden pada  saat sidang MPR. Jika suara MPR yang memenangkan calon Presiden  yang terpilih sama dengan keinginan rakyat yang tercermin dari raihan  kursi partai- partai yang mencalonkan calon Presiden dimaksud. Tetapi  jika terjadi sebaliknya, kehendak calon Presiden dari sebagian besar  anggota MPR tidak sama dengan yang diinginkan oleh sebagian besar  rakyat, maka dasar legitimasi atau ukuran kemauan rakyat menjadi  persoalan. Presiden terpilih akan mendapat tingkat akseptasi yang rendah  di masyarakat sehingga prinsip kehendak rakyat sebagai dasar kekuasaan  pemerintah tidak terpenuhi.
3.  Pemilihan Presiden oleh MPR mudah dimanipulasi. Sejarah membuktikan  dalam masa pemerintahan orde baru MPR telah direkayasa sedemikian  rupa melalui pembuatan undang-undang tentang susunan dan kedudukan  MPR, undang-undang tentang pemilihan umum dan undang-undang   tentang partai politik dan golongan karya sehingga Presiden yang berkuasa  dapat terus menerus dipilih oleh MPR itu.
Seiring dengan perjalanan waktu, terjadi perubahan di sana-sini. Setelah  adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, rakyat diberikan hak yang lebih  istimewa lagi yaitu dapat memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung,  dimana pada saat berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen,  hal tersebut adalah hak mutlak yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan  Rakyat. Proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden bisa dilakukan dengan cara diusulkan oleh partai politik ataupun gabungan partai politik peserta  pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil  Presiden.
  Selanjutnya, akhir daripada proses demokrasi tersebut, institusi  penyelenggara pemilihan umum akan mengumumkan pemenang pemilu dan akan  melahirkan satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan  representasi dari seluruh rakyat Indonesia yang nantinya akan dilantik sebagai  Presiden dan Wakil Presiden.
 Pembentukan kabinet  merupakan salah  satu tugas yang harus  dilaksanakan dalam waktu dekat oleh Presiden yang telah dilantik. Penentuan  jumlah personil dan komposisi kabinet adalah wewenang mutlak atau hak  prerogatif daripada Presiden.
  Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.
 Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
 Pasal 6A ayat (4) UUD 1945.
 Kabinet adalah suatu dewan menteri yang bertugas membantu Presiden dalam  melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari.
 T. A. Legowo, Paradigma Cheks and Balances, Center for Strategic and International  Studies, Jakarta, 2002, hal. 89.
Akan tetapi dalam menggunakan hak prerogatif  tersebut, Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri   seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar 19  Berkaitan dengan penyusunan kabinet tersebut banyak hal yang harus  dijadikan pertimbangan oleh seorang Presiden terpilih yaitu; partai politik  pendukung, apakah merupakan partai politik tunggal ataupun gabungan daripada  beberapa partai politik; stabilitas roda pemerintahan ke depan; kemajuan negara;  dan lain-lain, kesemuanya itu bersifat politis dan sepenuhnya menjadi hak mutlak  Presiden tentang hal siapa yang bisa menjadi anggota kabinet. Akan tetapi di sisi  lain ada ketentuan yang menyebutkan bahwa seseorang yang akan diangkat  menjadi menteri dan masuk dalam kabinet Presiden terpilih haruslah memiliki  integritas dan kepribadian yang baik selama perjalanan karirnya.
harus mempunyai  pertimbangan yang benar-benar matang dalam menentukan komposisi dan  personil dalam kabinet tersebut.
 Pada aspek inilah kemampuan Presiden terpilih dipergunakan dalam  mempertimbangkan kesemua aspek dalam penyusunan kabinet, apakah yang  dinginkan selama lima tahun perjalanan roda pemerintahan ke depan ialah  stabilitas kabinet dengan cara memasukkan orang-orang dari partai pendukung  atau gabungan partai pendukung, atau menginginkan kemajuan pemerintahan  dengan menempatkan  orang-orang profesional dalam kabinet sesuai dengan  keahlian yang dimiliki? Tentu bukan merupakan hal yang sangat mudah untuk  dilakukan. Karena dengan adanya konsep pemisahan kekuasaan yang dianut oleh  Indonesia, akan ada sebuah sistem checks and balances antara lembaga eksekutif  dengan lembaga legislatif, dimana antara Presiden sebagai kepala eksekutif   Pasal 17 ayat (2) UUD 1945.
 Pasal 22 ayat (2) huruf e UU No. 39 tahun 2008.
 mempunyai kedudukan yang sederajat dan saling mengendalikan dengan lembaga  parlemen sebagai pemegang kekuasaan legislatif.

 Apabila dalam pembentukan dan penyusunan kabinet Presiden lebih  mengedepankan kemajuan dan perkembangan negara, maka selayaknya orangorang profesional dan beberapa orang dari partai pendukung Presiden yang harus  ditempatkan di dalam kabinet, dengan kata lain orang yang akan memimpin suatu  kementerian haruslah orang yang benar-benar ahli dalam bidang tersebut, sesuai  dengan tugas, fungsi dan keahliannya, akan tetapi Presiden dan kebinet akan  mendapat kesulitan dalam menjalin hubungan dengan parlemen. Juga dalam  menentukan kebijakan pemerintah, apalagi kalau partai pendukung Presiden  tersebut bukan sebagai partai pemenang pemilu yang notabene pasti mempunyai  suara minoritas di parlemen.  Sebaliknya, jika stabilitas pemerintahan yang  dikehendaki, maka Presiden harus menempatkan orang-orang dari partai po litik  pendukung ataupun dari gabungan partai politik pendukung di dalam kabinetnya,  maka kepentingan gabungan partai politik pendukung akan terakomodir. Akan  muncullah hubungan yang sangat harmonis antara Presiden sebagai kepala  eksekutif dengan parlemen, dalam hal ini fungsi checks and balances tersebut  tidak akan berjalan, karena Presiden dan kabinetnya telah didukung oleh  mayoritas suara di parlemen.
Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi