BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Sebuah negara yang
menganut paham demokrasi paling tidak terdapat beberapa hal yang mutlak keberadaannya, yakni
mengharuskan adanya pemilihan umum,
adanya rotasi atau kaderisasi kepemimpinan nasional, adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri, adanya representasi
kedaulatan rakyat melalui kelembagaan
parlemen yang kuat dan mandiri, adanya penghormatan dan jaminan hak asasi manusia, adanya konstitusi yang
memberikan jaminan hal-hal tersebut berjalan.
Sebagai bagian dari penyempurnaan demokrasi
tersebut, maka penataan kembali lembaga
kepresidenan merupakan suatu hal yang harus dilakukan, mulai pada saat pemilihannya hingga pada saat fungsi
dan tugas dari lembaga tersebut dijalankan.
Muncullah suatu pemikiran bahwa kedaulatan harus dikembalikan ke tangan rakyat dengan memberikan peranan yang
lebih besar yakni ikut dalam proses
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian lahirlah suatu kajian terhadap sistempemilihan Presiden secara
langsung dimana yang dimaksudkan Apabila
prinsip-prinsip tersebut berjalan serta adanya jaminan secara konstitusional, maka salah satu konsekuensinya
akan melahirkan suatu mekanisme penataan
kekuasaan atas lembaga kepresidenan. Karenanya, masalah kekuasaan Presiden adalah merupakan perihal
demokrasi dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,
Cetakan ke-14, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1992, hal. 60.
disini bukan hanya diartikan bahwa rakyat
secara “one man one vote” memilih Presiden, sehingga Presiden terpilih adalah
calon Presiden yang berhasil mengumpulkan
suara paling banyak dari calon Presiden lainnya. Melainkan suatu pemilihan Presiden yang benar-benar
mendapatkan legitimasinya langsung dari rakyat
bukan melalui institusi rakyat permanen yang memainkan peran pengganti rakyat sekaligus kepadanya Presiden
bertanggung jawab secara langsung.
Pemilihan Presiden dalam sistem pemerintahan
presidensial yang tidak dilakukan langsung oleh rakyat pemilih tetapi
diserahkan kepada MPR mengandung
beberapa masalah, yakni: 1. Konsep pemilihan Presiden oleh MPR
menimbulkan beban pertanggungjawaban
atas segala pelaksanaan kekuasaan Presiden yang dapat membawa jatuhnya Presiden dalam masa
jabatannya jika pertanggungjawaban tidak
diterima oleh MPR. Ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan dan secara khusus hubungan
Presiden dengan lembaga perwakilan
rakyat baik DPR maupun MPR merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara sistem
parlementer di satu sisi dengan sistem
presidensial di sisi lain. Pola hubungan seperti ini harus segera diahkiri, sebab jika hendak meletakkan
dominasi kekuasaan negara atas prinsip
kedaulatan rakyat di tangan lembaga perwakilan rakyat, maka One man one vote adalah suatu istilah yang
mengandung pengertian satu orang satu suara.
Artinya, setiap orang (rakyat) berhak untuk menggunakan atau memberikan
suaranya dalam suatu proses pemilihan
yang berlangsung (pemilihan Presiden dan Wakil Presiden) sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dimana pada masa
sebelumnya bahwa rakyat tidak bisa menggunakan hak suaranya untuk ikut dalam pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden.
Mulyana W. Kusuma, dkk, Menata Politik Pasca Reformasi,
KIIP, Jakarta, 2000, hal.
145.
Sistem pemerintahan presidensial ialah sistem
pemerintahan yang tugas-tugas eksekutifnya
dijalankan dan dipertanggungjawabkan oleh Presiden.
Mulyana W. Kusuma, op.cit., hal. 1 prinsip sistem parlementerlah yang harus
dipakai. Tetapi jika hendak mempertahankan
sistem Presidensial maka pola hubungan yang seimbang antara Presiden dengan lembaga perwakilan
rakyat harus diterapkan. Dan ini berarti
pengangkatan Presiden oleh MPR harus diubah dengan pemilihan langsung oleh rakyat agar legitimasi
kekuasaan Presiden tak lagi berasal dari
majelis.
2. Problem lain yang menyangkut dasar legitimasi
kekuasaan Presiden.
Pemilihan Presiden
yang hanya ditentukan oleh anggota MPR akan sangat tergantung kepada konstelasi politik menjelang
pemilihan Presiden pada saat sidang MPR.
Jika suara MPR yang memenangkan calon Presiden yang terpilih sama dengan keinginan rakyat
yang tercermin dari raihan kursi partai-
partai yang mencalonkan calon Presiden dimaksud. Tetapi jika terjadi sebaliknya, kehendak calon
Presiden dari sebagian besar anggota MPR
tidak sama dengan yang diinginkan oleh sebagian besar rakyat, maka dasar legitimasi atau ukuran
kemauan rakyat menjadi persoalan.
Presiden terpilih akan mendapat tingkat akseptasi yang rendah di masyarakat sehingga prinsip kehendak rakyat
sebagai dasar kekuasaan pemerintah tidak
terpenuhi.
3. Pemilihan Presiden oleh MPR mudah
dimanipulasi. Sejarah membuktikan dalam
masa pemerintahan orde baru MPR telah direkayasa sedemikian rupa melalui pembuatan undang-undang tentang
susunan dan kedudukan MPR, undang-undang
tentang pemilihan umum dan undang-undang tentang partai politik dan golongan karya
sehingga Presiden yang berkuasa dapat
terus menerus dipilih oleh MPR itu.
Seiring dengan
perjalanan waktu, terjadi perubahan di sana-sini. Setelah adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945,
rakyat diberikan hak yang lebih istimewa
lagi yaitu dapat memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dimana pada saat berlakunya Undang-Undang
Dasar 1945 sebelum amandemen, hal
tersebut adalah hak mutlak yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Proses pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden bisa dilakukan dengan cara diusulkan oleh partai politik ataupun
gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
Selanjutnya, akhir daripada proses demokrasi
tersebut, institusi penyelenggara
pemilihan umum akan mengumumkan pemenang pemilu dan akan melahirkan satu pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden yang merupakan representasi
dari seluruh rakyat Indonesia yang nantinya akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Pembentukan kabinet merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan dalam waktu dekat oleh Presiden
yang telah dilantik. Penentuan jumlah
personil dan komposisi kabinet adalah wewenang mutlak atau hak prerogatif daripada Presiden.
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945.
Kabinet adalah suatu dewan menteri yang
bertugas membantu Presiden dalam melaksanakan
tugas pemerintahan sehari-hari.
T. A. Legowo, Paradigma Cheks and Balances,
Center for Strategic and International Studies,
Jakarta, 2002, hal. 89.
Akan tetapi dalam
menggunakan hak prerogatif tersebut,
Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri seperti yang tertulis dalam Undang-Undang
Dasar 19 Berkaitan dengan penyusunan
kabinet tersebut banyak hal yang harus dijadikan
pertimbangan oleh seorang Presiden terpilih yaitu; partai politik pendukung, apakah merupakan partai politik
tunggal ataupun gabungan daripada beberapa
partai politik; stabilitas roda pemerintahan ke depan; kemajuan negara; dan lain-lain, kesemuanya itu bersifat politis
dan sepenuhnya menjadi hak mutlak Presiden
tentang hal siapa yang bisa menjadi anggota kabinet. Akan tetapi di sisi lain ada ketentuan yang menyebutkan bahwa
seseorang yang akan diangkat menjadi
menteri dan masuk dalam kabinet Presiden terpilih haruslah memiliki integritas dan kepribadian yang baik selama
perjalanan karirnya.
harus mempunyai pertimbangan yang benar-benar matang dalam
menentukan komposisi dan personil dalam
kabinet tersebut.
Pada aspek inilah kemampuan Presiden terpilih
dipergunakan dalam mempertimbangkan
kesemua aspek dalam penyusunan kabinet, apakah yang dinginkan selama lima tahun perjalanan roda
pemerintahan ke depan ialah stabilitas
kabinet dengan cara memasukkan orang-orang dari partai pendukung atau gabungan partai pendukung, atau
menginginkan kemajuan pemerintahan dengan
menempatkan orang-orang profesional
dalam kabinet sesuai dengan keahlian
yang dimiliki? Tentu bukan merupakan hal yang sangat mudah untuk dilakukan. Karena dengan adanya konsep
pemisahan kekuasaan yang dianut oleh Indonesia,
akan ada sebuah sistem checks and balances antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif, dimana antara
Presiden sebagai kepala eksekutif Pasal
17 ayat (2) UUD 1945.
Pasal 22 ayat (2) huruf e UU No. 39 tahun 2008.
mempunyai kedudukan yang sederajat dan saling
mengendalikan dengan lembaga parlemen
sebagai pemegang kekuasaan legislatif.
Apabila dalam pembentukan dan penyusunan
kabinet Presiden lebih mengedepankan
kemajuan dan perkembangan negara, maka selayaknya orangorang profesional dan
beberapa orang dari partai pendukung Presiden yang harus ditempatkan di dalam kabinet, dengan kata lain
orang yang akan memimpin suatu kementerian
haruslah orang yang benar-benar ahli dalam bidang tersebut, sesuai dengan tugas, fungsi dan keahliannya, akan
tetapi Presiden dan kebinet akan mendapat
kesulitan dalam menjalin hubungan dengan parlemen. Juga dalam menentukan kebijakan pemerintah, apalagi kalau
partai pendukung Presiden tersebut bukan
sebagai partai pemenang pemilu yang notabene pasti mempunyai suara minoritas di parlemen. Sebaliknya, jika stabilitas pemerintahan yang
dikehendaki, maka Presiden harus
menempatkan orang-orang dari partai po litik pendukung ataupun dari gabungan partai politik
pendukung di dalam kabinetnya, maka
kepentingan gabungan partai politik pendukung akan terakomodir. Akan muncullah hubungan yang sangat harmonis antara
Presiden sebagai kepala eksekutif dengan
parlemen, dalam hal ini fungsi checks and balances tersebut tidak akan berjalan, karena Presiden dan
kabinetnya telah didukung oleh mayoritas
suara di parlemen.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi