BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang .
Perlindungan korban
kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat
dari masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan
memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban
kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya
merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan,
sebagaimana diamanatkan oleh Undangundang Dasar 1945, sebagai landasan
konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah
diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana,
maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar.
Melalui penelusuran
berbagai literatur, baik nasional maupun internasional, penulis mencoba untuk melihat bagaimana
seharusnya korban kejahatan memperoleh perlindungan
hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam
beberapa perundang-undang nasional permasalahan
perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak berlaku secara umum
untuk semua korban kejahatan.
Dengan adanya
berbagai permasalahan mengenai jenis korban dalam kehidupan masyarakat, maka ini pulalah yang
melatarbelakangi lahirnya cabang ilmu baru yang disebut dengan “viktimologi.” Viktimologi atau
victimology (istilah dalam bahasa Inggris)
berasal dari istilah Latin, yaitu victima yang berarti korban, sedangkan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Maka secara
singkat, viktimologi adalah ilmu yang mempelajari
korban dari berbagai aspek.
Walaupun disadari,
bahwa korban-korban kejahatan itu, disatu pihak dapat terjadi karena perbuatan/tindakan seseorang (orang
lain), seperti korban pencurian, pembunuhan dan sebagainya (yang lazimnya disebut sebagai
korban kejahatan), dan dilain pihak, korban
dapat pula terjadi oleh karena peristiwa alam yang berada di luar “jangkauan” manusia (yang lazimnya disebut sebagai korban
bencana alam), yaitu seperti korban letusan
gunung berapi, korban banjir, korban gempa bumi dan lain-lain.
Walaupun kategori
korban di atas sungguh-sungguh terjadi berdasarkan realita, akan tetapi menurut Andi Mattalatta,
pengertian korban yang mendasari lahirnya kajian viktimologi, pada awalnya hanya terbatas pada
korban kejahatan. Maka atas dasar ini pulalah,
tanpa mengecilkan arti dari upaya pengkajian jenis korban selain dari korban kejahatan yang ada dalam masyarakat tersebut,
pengkajian masalah korban dalam tulisan ini
hanya difokuskan pada jenis korban yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana materil, yang
lazimnya, seperti yang disebutkan di atas disebut sebagai korban kejahatan. Korban dalam
konteks ini merupakan korban dalam pengertian
yang konvensional dan sekaligus sebagai cikal bakal yang menjadi objek kajian pada awal lahirnya viktimologi (klasik).
Setiap terjadi
kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian pada korbannya. Korban kejahatan harus menanggung
kerugian karena kejahatan, baik materiil maupun imateriil. Korban kejahatan yang pada
dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tidak
memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan
oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh
pengadilan, kondisi korban kejahatan tidak dipedulikan
Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu
mengedepankan hak-hak
tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: “Dalam membahas
hukum acara pidana khususnya yang
berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas halhal
yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.” .
Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak
ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh
perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya imaterial maupun materiil. Korban kejahatan
ditempatkan sebagai alat bukti yang memberikan
keterangan yaitu sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan
haknya adalah kecil.
Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara
aktif dalam proses penyidikan dan persidangan
sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan.
Tidak jarang juga ditemukan koban yang
mengalami penderitaan (fisik, mental, atau
materiil) akibat dari suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia
terima karena berbagai alasan, misalnya Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom,
Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006, hlm.
Andi Hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi
Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 33.
Chaerudin, Syarif Fadillah, Korban Kejahatan
dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Pers, Jakarta, 2004, hlm. 47.
Ibid, hlm. 49.
korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian
karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi
semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.
Salah satu bentuk
perlindungan terhadap korban kejahatan dan merupakan hak dari seseorang yang menjadi korban tindak pidana adalah untuk
mendapatkan kompensasi dan restitusi.
Kompensasi diberikan oleh negara kepada korban pelanggaran HAM yang berat, sedangkan restitusi merupakan
ganti rugi pada korban tindak pidana yang
diberikan oleh pelaku sebagai bentuk pertanggungjawabannya.
Terkait dengan hal di atas, salah satu contoh
bahwa penyelesaian secara hukum maupun
politik terhadap pelanggaran HAM seringkali tidak berpihak kepada korban, namun justru dilakukan untuk melindungi para
pelaku dapat dikemukakan dalam konteks berikut
ini: Ada beberapa peraturan di Indonesia yang mengatur pemberian kompensasi dan
restitusi. Namun dalam kenyataannya
aturan tersebut tidak implementatif. Pengaturan pemberian ganti rugi itu misalnya bisa dilihat
pada KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana), KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), dan juga Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia yang kemudian
melahirkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban
Pelanggaran HAM Yang Berat. Namun berdasarkan
pengamatan, sangat jarang ada korban tindak pidana yang mendapatkan ganti rugi. Kasus-kasus HAM yang terjadi di
Indonesia sampai saat ini belum pernah ada korban pelanggaran HAM yang mendapat
kompensasi dan restitusi walaupun dalam amar putusan pengadilan korban berhak untuk
mendapatkan kompensasi dan restitusi.
Ibid, hlm. 55.
Berdasarkan catatan pengadilan HAM ad hod
Timor-Timur, hak-hak korban pelanggaran
HAM yang berat tidak pernah disinggung. Baik jaksa maupun hakim tidak pernah menyinggung sedikitpun
upaya-upaya pemulihan bagi korban, padahal
pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur telah diakui terjadi oleh pengadilan. Proses peradilan hanya difungsikan
untuk mencari siapa pelaku dan menghukumnya,
tetapi keadilan bagi korban secara nyata tidak menjadi bagian penting. Hak atas kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi yang secara jelas dinyatakan
oleh Undang-undang bahkan tidak dapat dijalankan sama sekali.
Supriady Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman,
Zainal Abidin, Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat, Elsam , Jakarta, 2005,
hlm. 3.
Tidak diberikannya
hak-hak korban yang secara tegas telah dinyatakan dalam ketentuan perundang-undangan dapat menimbulkan
ketidakpercayaan korban bahwa hakhak mereka akan dilindungi bahkan diberikan
ketika mereka berpartisipasi dalam proses peradilan untuk mendukung penegakan hukum. Hal
ini menunjukkan, bukan saja dapat dikatakan
bahwa negara gagal mewujudkan sistem peradilan yang kompeten dan adil, negara gagal menjamin sistem kesejahteraan
dari warga negaranya yang menjadi korban pelanggaran HAM, karena hak korban akan ganti
rugi pada dasarnya merupakan bagian integral
dari hak asasi bidang kesejahteraan/jaminan sosial (social security). Lebih
jauh lagi bahwa negara juga telah
mengurangi hak-hak dari saksi dan korban yang telah diakui oleh dunia internasional.
Salah satu contoh,
Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok yang merupakan satusatunya pengadilan yang
memberikan putusan kompensasi kepada korban belum berhasil diimplementasikan karena masih adanya hambatan
prosedural. Korban pelanggaran HAM
Tanjung Priok akhirnya mendapatkan putusan dari majelis hakim untuk mendapatkan kompensasi dalam dua putusan,
dimana satu putusan hanya menyatakan bahwa
korban mendapatkan kompensasi sedangkan satu putusan lainnya dengan disertai jumlah kompensasi yang akan diterima oleh para
korban.
Download lengkap Versi Word
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi