Sabtu, 05 April 2014

Skripsi Hukum: PEMBERDAYAAN PEMERINTAHAN DESA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN OTONOMI DESA



BAB I  PENDAHULUAN 
  A. Latar Belakang 
 Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan   pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk, struktur sejenis   desa, masyarakat adat dan sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai   posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat   istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan   tingkat keragaman yang tinggi.

Sejalan dengan perkembangan zaman telah memberikan nuansa baru dalam   sistem kenegaraan modern, sehingga kemandirian dan kemampuan  masyarakat desa   mulai berkurang kondisi ini sangat kuat terlihat dalam pemerintahan Orde Baru yang   berdasarkan  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa  melakukan sentralisasi, birokratisasi dan penyeragaman pemerintahan desa pada waktu   itu, tanpa menghiraukan kemajemukan masyarakat adat pemerintahan asli, UndangUndang ini melakukan penyeragaman secara nasional, hal ini kemudian tercermin dalam   hampir semua kebijakan pemerintah pusat yang terkait dengan desa.
Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun   1998, telah diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang   pemerintahan daerah yang kemudian mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974   tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979   tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang   Nomor 22 Tahun 1999 dalam Bab XI pasal 93-111 tentang penyelenggaraan pemerintah     desa, yang kemudian disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bab   XI pasal 200-216 dan PP Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan   mengenai desa menekankan pada prinsip-prinsip demokarasi, peran serta masyarakat,   pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah.
Dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bentuk pemerintahan desa terdiri   atas Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dimana pemerintahan desa terdiri atas   Kepala Desa dan perangkat desa (Sekdes, Kepala urusan, Kepala Dusun), sedangkan   Badan Perwakilan Desa sesuai dengan pasal 104 adalah wakil penduduk desa yang   dipilih dari dan oleh penduduk desa yang mempunyai fungsi mengayomi adat istiadat,   membuat peraturan desa, dan mengawasi penyelenggaraan desa.dalam melaksanakan   tugas dan kewajibannya kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan   Perwakilan Desa dan melaporkan kepada Bupati. Dengan demikian mekanisme yang   diterapkan telah mengalami perubahan yang sangat mendasar karena sebelumnya tidak   diterapkan demikian.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Bab I, Tentang peraturan Daerah, Pasal 1   menyebutkan bahwa yang namanya Desa atau yang disebut dengan nama lain yang   selanjutnya disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki   kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat   berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan   nasional dan berada di daerah kabupaten. Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, maka   desa dalam penyelenggaraan pemerintahannya mempunyai tanggung jawab yang penuh   mengenai kemajuan desa tersebut, karena desa sebagai daerah otonom yang memiliki   kewenangan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut     prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat. Sehingga aparatur pemerintah   desa dituntut untuk bisa mengakomodir dan menampung aspirasi masyarakat untuk   menyelenggarakan pemerintahannya sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran   serta aktif masyarakat tersebut dalam rangka mengembangkan dan memajukan   daerahnya.
Dalam penyelenggaraan pemerintah desa yang merupakan sub-sistem dari sistem   penyelenggaraan pemerintah daerah maka hal itu tidak bisa lepas dari konsep dasar   Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Adapun konsep   tersebut adalah:  1  1.  Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom.
2.  Keleluasaan daerah untuk mengatur atau mengurus kewenangan semua bidang   pemerintahan kecuali enam kewenangan.
3.  Kewenangan yang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan   pengendalian.
4.  Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa dan inisiatif, menyangkut peran   masyarakat dan legislatif.
Oleh karena hal tersebut di atas, tulisan ini mengangkat masalah pemberdayaan   pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa.
B.  Permasalahan   Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:  1.  Bagaimana sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia?   1  Kaloh, DRJ. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hal. 57.
  2.  Bagaimana pelaksanaan konsep otonomi desa di Indonesia?   3.  Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan   otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang?   C. Tujuan dan Manfaat Penulisan  1.  Tujuan Penulisan  a.  Untuk mengetahui sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia  b.  Untuk mengetahui upaya konsep otonomi desa di Indonesia  c.  Untuk mengetahui upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya   mewujudkan otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli   Serdang  2.  Manfaat Penulisan  a.  Secara Teoritis  1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Tata   Negara, khususnya yang berkaitan dengan pemberdayaan pemerintahan   desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa  2. pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa  yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
b.  Secara Praktis  Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan   mahasiswa, masyarakat, lembaga  penegak hukum, praktisi hukum dan     pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemberdayaan   pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa.
D. Keaslian Penulisan  Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai   “Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”   belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera   Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari   skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran   ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara   ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab   sepenuhnya.
E.  Tinjauan Kepustakaan  1.  Teori  Untuk mencapai tujuan penelitian ini, digunakan teori demokrasi, dengan   pendekatan transpolitika dan postrukturalisme.  Dari analisis transformasi demokrasi   dalam tata pemerintahan desa, realitasnya demokrasi desa dalam era transisi pertama   bersifat otoritarian-leviathan yang seragam, tidak begitu banyak pilihan dalam   pelaksanaan demokrasi desa. Istilah, struktur, fungsi dan mekanisme dalam menjalankan   pemerintahan desa sudah dibakukan. Paradigmatik pengaturan politik yang bersifat   otoritarian tidak memberikan peluang yang cukup bagi munculnya perbedaan dalam   corak dan tata cara pengaturan dalam pemerintahan desa. Dalam era transisi kedua terjadi   transformasi mendasar ke demokrasi libertarian-liliput dengan penggantian Lembaga     Musyawarah Desa (LMD) yang sebelumnya bersifat korporatis dengan kekuasaan   monolitik di tangan kepala desa menjadi Badan Perwakilan Desa (BPD-1) yang jauh   lebih demokratis sehingga dapat menghasilkan relasi kuasa yang lebih berimbang.
Kondisi ini meningkatkan keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan   desa yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warga.
Memasuki era transisi ketiga demokrasi desa kembali bertransformasi ke arah   pola demokratis-prosedural yakni perombakan tata kelembagaan dan proses demokrasi   lewat pembentukan lembaga baru Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2) yang fungsinya   jauh lebih lemah dibandingkan dengan fungsi BPD-1 sebelumnya.
2  2.  Konsepsi  Pemberdayaan berasal dari kata ‘daya’. Arti daya adalah kekuatan atau tenaga,   misalnya: daya pikir, daya batin, daya gaib, daya gerak, daya usaha, daya hidup, daya   tahan, sudah tak ada dayanya lagi.
3  Sebenarnya hakekat redefinisi pemberdayaan adalah:   4  Pertama, pemberdayaan adalah proses, yaitu perubahan dari status yang rendah ke   status yang lebih tinggi. Kedua, pemberdayaan adalah metode, yaitu sebagai suatu   pendekatan agar masyarakat berani mengungkapkan pendapatnya. Ketiga, pemberdayaan   adalah program, yaitu sebagai tahapan-tahapan yang hasilnya terukur menuju kehidupan   rakyat yang mandiri dan sejahtera.  Keempat, pemberdayaan adalah gerakan, yaitu   membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kelima,   2   http://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/04/05/transformasi-tata-pemerintahan-desa/.
Diakses pada tanggal 20 Mei 2010.
3  WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1985.
4  http://sobirin-xyz.blogspot.com/2008/07/hakekat-pemberdayaan.html. diakses pada tanggal 20   Mei 2010.
  pemberdayaan adalah pemberian otorisasi, yaitu menempatkan masyarakat sebagai  subyek dalam pembangunan.
Pemerintahan adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang mengatur suatu   negara dengan cara dan sistem tertentu sesuai dengan tujuan didirikannya negara   tersebut.
5  Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur   dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat   setempat yang diakui dalam sistem  pemerintahan  nasional dan berada di daerah   Kabupaten.
6  a.  Otonomi daerah  Adanya perubahan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan   Daerah, di samping karena adanya amandemen UUD 1945, juga memperhatikan   beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR. Adanya kekurangan-kekurangan dalam   UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah disempurnakan dalam UU No. 32   Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Beberapa kelemahan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah yang   dapat diamati adalah sebagai berikut:  7  a.  Dalam pembagian daerah, belum atau tidak cukup jelas mengatur pembagian   daerah. Apa ukuran atau kriteria suatu daerah provinsi dapat dikatakan otonom.
Apakah didasarkan pada luas wilayah, tingkat kepadatan penduduk, tingkat   5  http://pasuruan.go.id/pemerintahan/. Diakses tanggal 20 Mei 2010.
6  Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 22.
7  Armida Alisyahbana, Identifikasi Permasalahan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang   Perimbangan Keuangan Pusat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Seminar Nasional dalam rangka   Lustrum IV tahun 1999 Program Pascasarjana Universitas Pajajaran, Bandung, 1999.
  pendapatan/penghasilan daerah dan/atau budaya masyarakat. Begitu pula dengan   daerah kabupaten/kota.
b.  Dalam pembentukan dan susunan daerah tidak rinci, hanya didasarkan atas   prakarsa dan kehendak masyarakat. Kriteria susunan daerah dibentuk berdasarkan   pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosialbudaya, sosial politik,   jumlah penduduk, luas daerah dan lain-lain. Kriteria seperti ini dapat   menimbulkan ketidakpastian hukum tentang keberadaan suatu daerah.
c.  Dalam kewenangan daerah. Sebagai akibat ketidakjelasan kriteria otonomi   tercermin pula kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Kondisi seperti ini akan   tetap menempatkan pusat sebagai pihak yang lebih tinggi dari provinsi, kemudian   provinsi sebagai pihak yang lebih tinggi dari kabupaten/kota, dan seterusnya.
d.  Tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Belum memberikan   kewenangan yang sungguh-sungguh kepada DPRD sebagai lembaga legislatif   dengan tidak jelasnya kedudukan DPRD dalam pengambilan keputusan terhadap   masalah-masalah daerah.
e.  Tentang perangkat daerah. Daerah mempunyai wewenang untuk mengangkat   perangkat derah, akan tetapi tidak ada kejelasan kewenangan daerah merekrut   perangkat derah di luar struktur pemerintahan sebelumnya (lama).
f.  Dalam keuangan daerah. Belum mencerminkan otonomi penuh daerah untuk   menentukan jumlah anggaran dan pengaturannya.
g.  Dalam hubungan pusat dan daerah. Harus ada batasan yang jelas hubungan antara   Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
  Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Otonomi Daerah   adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus   sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan   peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom, selanjutnya disebut daerah   adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang   berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat   setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara   Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsi otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam UU No. 32 Tahun   2004 ini adalah sebagai berikut:  8  a.  Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti   daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan   pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam   Undang-undang ini.
b.  Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi   pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang   bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
c.  Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan   bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk   menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan   kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan   berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud   8  Ibid    dengan otonomi yang beranggung jawab adalah otonomi yang dalam   penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud   pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk   meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan  nasional.
d.  Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan   kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi   yang tumbuh dalam masyarakat.
e.  Penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin hubungan antara daerah   dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk   meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah.
f.  Otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah   dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan   wilayah negara dan tetap tegaknya NKRI dalam rangka mewujudkan tujuan   negara.
Adapun asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Undang-Undang   No.32 Tahun 2004, yaitu:  a.  digunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;  b.  penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di   daerah kabupaten dan daerah kota; dan  c.  asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan dari daerah provinsi, daerah   kabupaten, daerah kota, dan desa.
  Pada umumnya faktor-faktor dan atau variabel-variabel yang mempengaruhi   keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan sumber daya manusia   (aparat maupun masyarakat), sumber daya alam, kemampuan keuangan (finansial),   kemampuan manajemen, kondisi sosial budaya masyarakat, dan karakteristik ekologis.
9  Menurut Widjaya ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah   otonom, yaitu:  10  a.  variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerah/keuangan,   kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi,   kemampuan demografi, serta kemampuan organisasi dan administrasi;  b.  variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya; dan  c.  variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan dan keamanan serta   penghayatan agama.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak   dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman   seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan, dan pengawasan. Di samping itu   diberikan pula standar arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi,   pemantauan dan evaluasi. Di samping itu, juga memberikan bantuan dan dorongan   kepada daerah agar otonomi dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
Otonomi berasal dari kata Yunani outos dan nomos, outos berarti “sendiri” dan   nomos berarti “perintah”. Sehingga otonomi bermakna “memerintah sendiri”, yang dalam   wacana administrasi publik otonomi sering disebut sebagai local self government.
11  9  Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai Dan sumber daya,   Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 94.
10  HAW Widjaya, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001,   hal. 39.
  3.  Pemerintahan Desa  Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur   dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat   setempat yang diakui dalam sistem  pemerintahan  nasional dan berada di daerah   Kabupaten.
12  “Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat   hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat   istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945.
Landasan pemikiran dalam pengaturan  Pemerintahan  Desa  adalah   keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan   masyarakat”.
 Rumusan defenisi Desa secara lengkap terdapat dalam UU No.22/1999   adalah sebagai berikut:  13  Pengaturan  tentang  desa  dalam bab XI tersebut diharapkan Pemerintah Desa  bersama masyarakat secara bersama-sama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian   tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam pasal 206,   yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki   kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
Kewenangan Desa  mencakup: keberadaan lembaga perwakilan desa  atau badan   Perwakilan Desa  (BPD) sebagai bentuk miniatur DPRD di tingkat Kota maupun   Kabupaten. Kewenangan ini berdampak pada mekanisme penyelenggaraan pemerintah   desa yang selama ini tidak memiliki “lawan” atau yang mengontrol jalannya Pemerintah   11  http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/05/tentang-kuliah-tentang-otonomi-daerah. html.
Diakses tanggal 20 Mei 2010.
12  Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 22.
13  Undang-undang Otonomi Daerah, 1999, hal 47.
  Desa. Selain itu keberadaan lembaga ini akan membawa perubahan suasana dalam proses   Pemerintahan di desa.
Keberadaan BPD secera otomatis akan mempengaruhi kinerja dari Pemerintahan   Desa, begitu pula kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Desa dalam hal ini   kepala Desa juga akan berbeda dari sebelumnya. Namun yang tidak kalah pentingnya   adalah masalah keuangan Desa (pasal 212) yang mengatur tentang sumber pendapatan   desa, yaitu berdasarkan pendapatan asli desa (hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil   swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang   sah), kemudian bantuan dari Pemerintah Kabupaten berupa bagian yang diperoleh dari   pajak dan retribusi serta bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang   diterima oleh Pemerintah Kabupaten, selain itu bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah   Propinsi, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman desa.
Beberapa hal yang dimuat dalam keuangan desa ini merupakan hal yang baru bagi   Pemerintah Desa  karena selama ini mereka belum terbiasa untuk berkreasi mencari   pendapatan asli  desa. Untuk mengetahui, sekaligus membandingkan konsep   Pemerintahan Desa yang terbaik dan sesuai untuk masyarakat desa di Indonesia maka   perlu mempelajari perkembangan pemerintaan Desa sejak awal. Di bawah ini merupakan   uraikan perkembangan pemerintahan  desa  di Indonesia sejak masa kolonial hingga   berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku saat ini.
F.  Metode Penelitian  1.  Jenis Penelitian  Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor   mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data     deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat   diambil.
14  2.  Lokasi Penelitian  Dengan dasar tersebut, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan   gambaran mengenai kinerja BPD dengan didukung data-data tertulis maupun data-data   hasil wawancara.
Lokasi penelitian merupakan tempat penelitian dilakukan. Dengan ditetapkan   lokasi dalam penelitian akan dapat lebih mudah untuk mengetahui tempat dimana suatu   penelitian dilakukan. Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah di Desa Sigaragara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang.
3.  Sumber Data  Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.
15  a.  Sumber data primer, diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara   langsung dari sebenarnya, dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan   masalah yang akan dibahas dalam hal ini adalah dari Badan Permusyawaratan   Daerah (BPD), pemerintah desa yang terdiri dari kepala desa dan perangkat   desa. Untuk memperoleh sumber data primer digunakan teknik wawancara   dan observasi.
Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
b.  Sumber data sekunder, untuk memperoleh sumber data sekunder penulis   menggunakan teknik dokumentasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari   14  Moleong, J Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosydakarya, 2002, hal.
3.
15  Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta,   2002, hal. 107.
  dan mengumpulkan data melalui informan secara tertulis ataupun gambargambar yang berhubungan dengan masalah-masalah penelitian.
4.  Alat dan Teknik Pengumpulan Data  Penelitian di samping perlu menggunakan metode yang tepat, juga perlu memilih   alat dan teknik pengumpulan data yang relevan.  Teknik pengumpulan data dalam   penelitian ini dilakukan dengan:  a.  Wawancara  Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu   dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan   pertanyaan dan yang di wawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban   atas pertanyaan itu.
16  b.  Pengamatan (observasi)  Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik   terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan   pencatatan yang dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau  berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama objek yang   diselidiki, disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung   adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu yang   akan diselidiki.
17  c.  Dokumentasi   16  Moeloeng, Op.cit, hal. 133.
17  Maman Rachman, Strategi dan Langkah-langkah Penelitian. Semarang: IIKIP Semarang Press,   1999, hal. 77.
  Teknik dokumentasi adalah mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis,   seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil   atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah   penelitian.
18  5.  Analisa Data  Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan   menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan   membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan   dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini,   sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah   dirumuskan.
G. Sistematika Pembahasan  BAB I :   Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain   memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat   Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan   Sistematika Penulisan.
BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum tentang tindak Sejarah   Perkembangan Pemerintahan Desa Di Indonesia, yang mengulas   Pemerintahan Desa Masa Kolonial,  Pemerintahan Desa Awal   Kemerdekaan, Pemerintahan Desa Masa Orde Baru, dan Pemerintahan   Desa Masa Reformasi (1999-sekarang)  18  Ibid, hal. 96    BAB III:    Bab ini akan membahas tentang upaya pemberdayaan pemerintahan   desa dalam kerangka otonomi daerah, yang memuat Permasalahanpermasalahan dalam Tata Pemerintahan Desa, Kemitraan sebagai Ideologi   dalam Tata-Pemerintahan Desa, dan  Pemberdayaan pemerintahan desa   melalui implementasi kemitraan dalam tata pemerintahan desa  BAB IV:  Bab ini akan dibahas tentang pemberdayaan pemerintahan desa dalam   upaya mewujudkan otonomi desa di desa sigara-gara kec. patumbak kab.
deli serdang, yang mengulas tentang Gambaran Umum Desa Sigara-gara   Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang, dan Pemberdayaan Pemerintahan Desa   dalam Upaya Mewujudkan Otonomi Desa Sigara-gara Kec. Patumbak   Kab. Deli serdang  BAB IV:  Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi   kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.
  

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi