Sabtu, 05 April 2014

Skripsi Hukum: PENYAMPINGAN PERKARA PIDANA (DEPONERING) BERDASARKAN AZAS OPORTUNITAS OLEH JAKSA AGUNG RI



BAB I  PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang   
Negara modern dimanapun di dunia menjunjung supremasi hukum. Masing-masing negara mempunyai sistem peradilan pidana yang khas  karena  memiliki latar belakang sejarah dan perkembangan masyarakat yang berbeda,  tetapi dengan perkembangan dan kemajuan teknologi membuat batas-batas negara  menjadi tanpa batas mengarah pada persamaan dan menghilangkan perbedaan.

Sistem hukum suatu negara akan terbentuk dari pertumbuhan tata nilai  hukum yang berlaku dalam masyarakat dan organisasi alat perlengkapan negara  penegak hukum negara itu sendiri. Pandangan sejarah, sosial ekonomi, filsafat,  dan politik bangsa merupakan sumber yang menentukan terbentuknya pola sistem  hukum.
1 Selanjutnya dikatakan negara Republik Indonesia  adalah negara  berdasarkan hukum Ketentuan ini tercantum dalam penjelasan UUD 1945 yang  secara tegas menyatakan bahwa, “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum  (rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat)”. Hal tersebut  sesuai dengan hakekat tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yaitu untuk  melindungi segenap bangsa Indonesia. Oleh karena itu seluruh aspek kehidupan  baik itu di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan  diatur dan ditata oleh hukum, sehingga persoalan atau konflik yang timbul dalam  masyarakat diselesaikan menurut ketentuan hukum yang berlaku (rule of law).
1 Bambang Poernomo, 1993, Pola Dasar Teori – Azas Umum Hukum Acara Pidana  Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, hal. 70.
  Salah satu unsur utama dari suatu negara hukum adalah persamaan  kedudukan di dalam hukum (equality before the law) dan supremasi hukum  (supremacy of law). Dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan, bahwa ;  “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan  dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada  kecualinya”.
2 Dengan adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum dan  pemerintahan, setiap warga negara yang terbukti melanggar hukum yang berlaku  akan mendapat sanksi sesuai perbuatan yang dilakukannya.  Bisa dikatakan,  hukum tidak memandang siapa itu pejabat, rakyat sipil atau militer, jika  melanggar hukum akan mendapat sanksi sesuai perbuatan yang dilakukannya.
Oleh sebab itu sudah sewajarnya jika setiap orang yang melakukan suatu  perbuatan, baik perbuatan yang melanggar hukum atau bukan melanggar hukum  akan memperoleh akibat dari perbuatannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Karni,  bahwa kita semua yakin, hukum akan dijatuhkan jika kita melakukan kejahatan.
3 Hukum yang dijatuhkan disini adalah hukum pidana tentunya. Hukum pidana itu  merupakan : “Bagian dari hukum yang mengadakan dasar atau aturan-aturan  untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang  dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barang siapa  yang melanggar larangan tersebut: menentukan kapan dan dalam hal apa kepada  mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi  pidana sebagaimana yang telah diancam, menentukan dengan cara bagaimana  pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah  2 UUD 1945 pasal 27 ayat (1).
3 Karni, 1950, Ringkasan Tentang Hukum Pidana, Balai Buku Indonesia, JakartaSurabaya, hal. 9.
  melanggar larangan tersebut”.
4 Sedangkan perbuatan yang dikenai hukum pidana  itu merupakan : “Perbuatan pidana yang pada pokoknya diatur dalam buku II  KUHP dan aturan-aturan lain di luar KUHP yang dinyatakan di dalamnya sebagai  kejahatan dengan mengingat adagium nullum delictum, noulla poena, sine previa  lege poenali  yaitu, dikenal azas legalitas dalam hukum pidana materiil yang  berarti tidak seorangpun di pidana untuk perbuatan yang saat dilakukan tidak  merupakan tindak pidana”.
5 Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah dapatkah suatu perbuatan yang  sudah nyata-nyata merupakan perbuatan pidana tidak dikenai sanksi pidana?  Diungkapkan oleh Projodikoro: 6 “Praktek yang diturut penuntut umum di Indonesia sejak jaman Belanda  adalah lain, yaitu menganut prinsip oportunitas yang menggantungkan hal  akan dilakukan suatu tindakan kepada keadaan yang nyata dan ditinjau  satu persatu. Dalam praktek ada kalanya, sudah terang seseorang  melakukan suatu kejahatan akan tetapi keadaan yang nyata adalah  sedemikian rupa, sehingga kalau seseorang dituntut di muka hakim,  kepentingan Negara akan sangat dirugikan”.
Seirama dengan itu praktek penyampingan terhadap perkara pidana di  Indonesia saat ini dijelaskan oleh RM Surachman dan Andi Hamzah sebagai: 7 “Wewenang tidak menuntut tersebut dibenarkan dalam hal penghentian  penuntutan karena alasan teknis dan penghentian penuntutan karena alasan  4 Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara  Baru, Jakarta, hal. 45.
5 Roeslan Saleh, ibid, hal. 17.
6 R. Wiryono Projodikoro, 1981, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung,  Bandung, hal. 21.
7 RM Surachman dan Andi Hamzah, 1995, Jaksa Diberbagai Negara Peranan Dan  Kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 36-39.
  kebijakan sebagaimana dinyatakan dalam KUHAP dan undang-undang.
Pada perkembangan selanjutnya  dengan alasan guna mencegah  penyalahgunaan, penghentian penuntutan karena alasan kebijakan hanya  Jaksa Agung yang berwenang. Oleh karena itu, jaksa yang ingin  menggunakan wewenang tersebut harus memohon agar Jaksa Agung  mengesampingkan perkaranya”.
Penggunaan kewenangan menyampingkan perkara pidana oleh jaksa tidak  dapat dilepaskan dari kebebasan menjalankan tugasnya sehari-hari karena  kekuasaan kehakiman yang bebas merupakan salah satu unsur utama dari suatu  negara hukum. Kebebasan yang dimaksudkan adalah kebebasan menjalankan  kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan lain, karena hakekat yang dicari  dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah demi keadilan atas nama Tuhan  Yang Maha Esa bukan keadilan menurut kekuasaan yang lain. Menurut UUD  1945 pasal 24 ayat (1): “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah  Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”.
8 Dalam sistem peradilan pidana, keterpaduan (integrated) dalam penegakan  hukum dirasakan lebih efektif dan efisien dibanding penegakan hukum yang  berjalan sendiri-sendiri (disintegrated), selanjutnya keterpaduan perlu diikuti oleh  setiap penegak hukum untuk berusaha mengetahui dan mampu menangkap apa  yang dirasakan adil oleh masyarakat. Setiap penegak hukum mempunyai budaya  hukum masing-masing yang mengakibatkan terjadinya perbedaan pada persepsi  keadilan. Dengan sistem peradilan pidana yang integrated diharapkan persepsi  8 Op.Cit, pasal 24 ayat (1).
  keadilan mendekati rasa keadilan yang ideal atau setidak-tidaknya menciptakan  rasa aman dan ketertiban umum tercapai.
Sehubungan prosedur dan alat perlengkapan penegakan hukum di  Indonesia dikenal adanya sistem peradilan pidana yang terdiri dari empat  komponen. Fungsi yang satu dengan yang lainnya saling terkait dengan satu  tujuan dan kesamaan persepsi yang sama, yaitu usaha untuk menanggulangi  kejahatan yang tak lain adalah melaksanakan hakekat tujuan sebuah negara yang  berdasarkan hukum. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi penyidikan, penuntutan,  peradilan dan fungsi pemasyarakatan.
Fungsi penuntutan sebagaimana diatur oleh undang-undang diserahkan  pada Kejaksaan. Menurut KUHAP dan ditegaskan lagi dalam Undang-Undang  Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, kejaksaan mempunyai kewenangan  selain melakukan penuntutan pidana dan kewenangan lain menurut undangundang, di sisi lain terdapat juga wewenang untuk tidak melakukan penuntutan  pidana berdasarkan azas oportunitas.
Dikaitkan dengan hukum pidana yang menganut azas legalitas dengan  adanya wewenang jaksa menyampingkan perkara berdasarkan azas oportunitas  merupakan hal menarik karena antara azas oportunitas dengan azas legalitas  mengandung arti yang saling bertolak belakang.
Dalam hal penggunaan azas oportunitas saat ini tentu tidak terlepas dari  kedudukan kejaksaan dari susunan dan hubungan ketatanegaraan, memberi kesan  adanya ambiguitas maupun inkonsistensi karena berkaitan dengan ada tidaknya  indenpensi lembaga kejaksaan khususnya menyangkut kemandirian jaksa sebagai  penuntut umum menjalankan kewenangan kekuasaan kehakiman.
  Peradilan yang bebas, murah dan cepat menjadi tujuan kebijakan yang  diharapkan dalam sistem peradilan pidana khususnya menyangkut hukum acara  pidana. Menumpuknya perkara di Mahkamah Agung, lamanya proses peradilan  hingga putusan dan akhirnya membuat  biaya perkara menjadi tidak murah,  mengindikasikan adanya fungsi dalam sistem peradilan pidana kurang berjalan  dengan baik. Dari asumsi tersebut dihubungkan fungsi penyampingan perkara  dalam bidang penuntutan ingin diketahui efisiensi dan efektifitas penyampingan  perkara pidana bagi terselenggaranya proses peradilan yang bebas, murah, dan  cepat atau singkat.
Dewasa ini penumpukan perkara masih terjadi di Mahkamah Agung.
Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, dan dalam hal ini kebijakan di  bidang penuntutan sebagai bagian sistem peradilan pidana setidaknya subsistem  penuntutan dapat memberi andil dikaitkan dengan adanya kewenangan  penyampingan perkara pada penuntutan, yaitu dengan menyeleksi perkara yang  akan diajukan ke pengadilan yang akhirnya meringankan beban perkara yang  harus diselesaikan oleh badan peradilan. Menjadi suatu pertanyaan bahwa selama  ini kewenangan berdasarkan azas oportunitas jarang sekali digunakan.
Dapat dibenarkan pula penggunaan azas oportunitas itu sendiri dapat  membawa efek yang negatif bagi perkembangan hukum dan masyarakat apabila  penerapannya disalahgunakan, terutama dalam hal penggunaan bukan karena  alasan teknis tetapi karena alasan kebijakan yang oleh undang-undang dibenarkan  apabila demi kepentingan umum. Oleh karena itu jaksa dituntut untuk lebih arief  dan bijaksana apabila hendak menyampingkan perkara pidana yang ditanganinya.
  Pembatasan dalam undang-undang yang memberikan kewenangan  menyampingkan perkara pidana hanya pada Jaksa Agung dan demi kepentingan  umum membuat peluang jaksa untuk menyampingkan perkara berdasarkan alasan  kebijakan hampir bisa dikatakan tidak ada.
Penjelasan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 terhadap arti kepentingan  itu sendiri ternyata selain sempit juga perlu penjelasan lebih lanjut, yaitu diartikan  sebagai kepentingannegara dan/atau masyarakat.
9 Di Inggris kepentingan umum  diartikan secara luas, termasuk kepentingan anak di bawah umur dan orang yang  sudah terlalu tua.
10 Dengan demikian perlu adanya pedoman bagi jaksa untuk dapat  melakukan penyampingan perkara pidana sebagai jaminan dalam kerangka  kebijakan penuntutan yang transparan dalam kemandirian terhadap penggunaan  azas oportunitas yang meliputi juga pengawasan dan pertanggungjawaban  penggunaan azas oportunitas, sumber daya penegak hukum, serta hubungan  terkait dalam sistem.
Mengamati hal yang terurai di atas, penulis tertarik untuk melakukan  kajian ilmiah mengenai penyampingan perkara pidana (deponering) oleh Jaksa  Agung yaitu mengenai penggunaan azas oportunitas yang ideal dan yang mampu  memberikan gambaran tentang kebijakan penuntutan dalam penanganan perkara  pidana secara efektif, efisien, dan bertanggung jawab yang dilakukan tanpa  meninggalkan rasa keadilan.
9 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI, penjelasan pasal 35 sub c 10 RM Surachman dan Andi Hamzah, Op. Cit hal 34   B.  Permasalahan  Permasalahan adalah merupakan persoalan atau sesuatu yang harus dicari  pemecahannya. Permasalahan yang timbul dari sesuatu itu tidak akan habishabisnya apabila dikaji lebih mendalam, sistematis dan secara menyeluruh.
Berdasarkan pengamatan dan penelahan keadaan literatur, maka untuk memahami  lebih lanjut dan lebih mendalam tentang “Penyampingan Perkara Pidana  (Deponering) berdasarkan Azas Oportunitas oleh Jaksa Agung RI“, maka perlu  mengemukakan permasalahan yang akan menjadi pangkal tolak dalam  pembahasan selanjutnya, yaitu : 1.  Bagaimana azas oportunitas sebagai dasar kewenangan Jaksa Agung  dapat menjadi alasan penghentian penuntutan?  2.  Bagaimana penggunaan  asas oportunitas  dalam sistem  peradilan  pidana bagi perkembangan hukum pidana?  C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan  Guna memahami permasalahan yang berkaitan dengan penyampingan  perkara oleh jaksa, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :  1.  Untuk mengetahui bagaimana asas oportunitas sebagai dasar  kewenangan  Jaksa Agung dapat menjadi alasan penghentian  penuntutan..
2.  Untuk mengetahui sejauh mana penggunaan asas oportunitas dalam  sistem peradilan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.
  Selain tujuan tersebut di atas, penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi pembangunan negara dan bangsa dengan  memberikan kontribusi sebagai berikut :  1.  Kegunaan Teoritis  Secara teoritis skripsi ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan  kontribusi pemikiran atau wacana yang luas mengenai penyampingan  perkara pidana (deponering) berdasarkan azas oportunitas oleh Jaksa  Agung dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum.
2.  Kegunaan Praktis  Secara praktis skripsi ini dapat berguna untuk memperdalam kajian  mengenai penyampingan perkara pidana (deponering) oleh Jaksa  Agung dan memberi masukan kepada pihak-pihak yang berkompeten,  yaitu para pengambil kebijakan dan praktisi hukum, terutama dalam  memformulasikan dan mengoprasionalkan (menerapkan)  penyampingan perkara pidana oleh jaksa.
D. Keaslian Penulisan Sepanjang pengetahuan penulis, di Fakultas Hukum Universitas Sumatera  Utara belum ada yang mengangkat judul skripsi “Penyampingan Perkara Pidana  (deponering) berdasarkan Azas Oportunitas oleh Jaksa Agung RI”. Permasalahan  maupun penyajiannya merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri.
Skripsi ini juga didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media  cetak maupun elektronik,  Berdasarkan alasan tersebut diatas maka dapat  disimpulkan bahwa skripsi yang penulis kerjakan ini adalah asli.
  E.  Tinjauan Kepustakaan 1.  Pengertian dan Dasar Hukum Deponering Penyampingan perkara pidana (deponering) dalam proses pidana adalah  sebagai pengecualian dari azas legalitas. Menurut Prof.A.L.Melai, tidak  diadakannya penuntutan oleh jaksa sebagai penuntut umum adalah merupakan  Rechtvinding (penemuan hukum baru) yang harus dipertimbangkan masak-masak  berhubung hukum menuntut adanya keadilan dan persamaan hukum.
11 Pasal 35 sub c Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan  RI maupun penjelasannya mengatakan penyampingan perkara (deponering) demi  kepentingan umum adalah sebagai berikut : yang dimaksud dengan “kepentingan  umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat  luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini  merupakan pelaksanaan azas oportunitas, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa  Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan  negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Disamping apa yang telah disebutkan di atas, Osman Simanjuntak  mengatakan bahwa ; penyampingan perkara ini adalah wewenang yang diberikan  undang-undang kepada Jaksa Agung RI untuk menyampingkan perkara demi  kepentingan umum. Adapun dasar penyampingan perkara ini, karena hukum acara  kita menganut azas oportunitas. Dimana suatu perkara (perbuatan pidana)  bilamana dilimpahkan ke persidangan diperkirakan akan menimbulkan suatu  11 Djoko Prakoso, 1985, Eksistensi Jaksa Di tengah-tengah Masyarakat, Ghalia  Indonesia, hal. 89-90.(a)   goncangan di kalangan masyarakat atau dengan penyidangan perkara tersebut akan menimbulkan akibat negatif di kalangan masyarakat luas.
12 Dari pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas, maka dapatlah  kita menarik suatu pemikiran bahwa pengertian penyampingan perkara pidana  (deponering), termasuk dalam skripsi ini adalah tidak diadakannya penuntutan  oleh Jaksa sebagai penuntut umum atau pelaksanaan azas oportunitas yang  diberikan oleh undang-undang kepada jaksa sebagai penuntut umum untuk  menyampingkan perkara demi kepentingan umum.
Sedangkan kalau berbicara tentang dasar hukum deponering, maka sama  halnya dengan dasar hukum pelaksanaan azas oportunitas yang dianut oleh hukum  acara pidana di Indonesia. Oleh karena azas oportunitas itu pertama-tama timbul  dalam praktek, maka untuk mengetahui dasar hukum yang dimaksud tidak boleh  terlepas dari sejarah masuknya azas itu ke Indonesia hingga diberlakukannya  sampai sekarang ini.
Pada mulanya azas oportunitas itu timbul dalam praktek yang berlakunya  didasarkan pada hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), yang kemudian  dimasukkan ke dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 (Lembaran  Negara RI Tahun 1961 No 254) tertanggal 30 Juni 1961. Namun undang-undang  ini tidak berlaku  lagi setelah keluarnya Undang-undang No 5 Tahun 1991  (Lembaran Negara RI Tahun 1991 No 59) tertanggal 22 Juli 1991, dimana hal  tersebut diatur dalam pasal 32 sub c. Beberapa tahun kemudian, undang-undang  ini diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan keluarnya Undang-undang  12 Osman Simanjuntak, 1995, Tehnik Penuntutan Dan Upaya Hukum, PT.Gramedia  Widiasarana Indonesia, Jakarta, hal. 90.
  Nomor 16 Tahun 2004 (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No 67) tertanggal 26  Juli 2004, yang mana mengenai hal tersebut diatur dalam pasal 35 sub c.
Akan tetapi sebelum dicantumkannya azas oportunitas itu dalam pasal  pasal 8 Undang-undang No 15 Tahun 1961, sebenarnya azas itu sudah ada diatur  di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tanggal 9 Juli 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, 13 yang  di dalam pasal 4 nya dikatakan bahwa : “Jaksa  hanya diperbolehkan  menyampingkan perkara korupsi, jika ada perintah dari Jaksa Agung”.
14 Dengan demikian sejak tanggal 9 Juli 1960, azas oportunitas tersebut  sudah ada diatur dalam bentuk tertulis hanya saja terbatas khusus untuk perkara  korupsi, tidak bersifat umum. Oleh sebab itu secara umum azas itu dijadikan  dalam bentuk tertulis sejak keluarnya Undang-undang No 15 Tahun 1961tentang  Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI  (yang sekarang UU No 16 Tahun  2004).
Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa dasar hukum  pelaksanaan penyampingan perkara (deponering) berdasarkan azas oportunitas di  Indonesia adalah : a.  Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan)  b.  Pasal 4 PERPU No 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan  dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi  c.  Pasal 35 sub ( c) UU No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI.
13 Nasroen Yasabari, 1979, Mengerling Hukum Positif Kita, Alumni Bandung, hal. 31.
14 Perpu No 24 tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak  Pidana Korupsi, pasal 4.
  2.  Tujuan Deponering Perubahan masyarakat serta pertumbuhan nilai-nilai sebagai manifestasi  budaya memberikan suatu gambaran bahwa hukum pada saat ini sudah tidak  mampu lagi memikul beban sosial yang sedemikian banyak dan mejemuk.
Konstatasi ini membawa konsekwensi bahwa hukum harus lebih tampil dalam  menghadapi tugas-tugasnya untuk turut melapangkan pengadaan relung-relung  pembaharuan yang sejajar dengan perkembangan masyarakat secara mengakar  dan mendasar terutama pada aspek-aspek yang sudah kehilangan atau setidaktidaknya melunturkan nilai-nilai kemaslahatannya, keadilannya, ataupun dari sisasisa kemutlakan masa lalu yang tidak memiliki dimensi pancasila.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya di atas, bahwa penyampingan  perkara (deponering)   adalah tidak diadakannya penuntutan oleh Jaksa sebagai  penuntut umum atau pelaksanaan azas oportunitas yang diberikan oleh undangundang kepada jaksa sebagai penuntut umum untuk menyampingkan suatu  perkara demi kepentingan umum.
Makna harfiah tentang oportunitas adalah ketepatan, kepantasan,  menguntungkan saat yang tepat, layak/kesempatan dan manfaat yang baik. Jelas  sekali bahwa azas ini tiada lain adalah bermaksud dan bertujuan untuk memberi  kemanfaatan, kelayakan, dan kesempatan baik, guna kepentingan masyarakat,  sebagaimana yang dimaksud dengan kosa-kata oportunitas itu sendiri.
15 Azas oportunitas sebagai pranata hukum dikenal sebagai suatu  kewenangan Jaksa Agung untuk meniadakan penuntutan atau tidak menuntut ke  muka pengadilan terhadap seseorang, walaupun cukup bukti untuk dituntut atas  15 Djoko Prakoso (a),.Op.Cit., hal. 96.
  dasar pertimbangan kepentingan umum. Kebijaksanaan yang memberi wewenang  untuk memilih atau memotong suatu mata rantai dari proses peradilan adalah  untuk mewujudkan manfaat hukum bagi kemaslahatan masyarakat. Azas  oportunitas sebagai pranata hukum yang cenderung merupakan suatu tradisi itu  pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan yang sadar dari masyarakat dan  merupakan sarana untuk melindungi dan membimbing serta turut memberikan  bentuk dalam kehidupan masyarakat.
Apabila pada saat sekarang ini pranata hukum yang tumbuh diakui sudah  tidak mampu lagi memelihara dan memanifestasikan wujud hakiki hukum, yakni  keadilan, kebenaran dan ketertiban, maka secara sadar pula pranata tersebut  dengan sendirinya perlu ditinjau.
16 Jadi secara umum dapatlah ditarik kesimpulan  bahwa tujuan dari penyampingan perkara (deponering) pada prinsipnya adalah  untuk memberi kemanfaatan, kelayakan dan kesempatan yang baik guna  melindungi kepentingan masyarakat secara baik dan benar.
3.  Perbedaan Deponering dengan Penghentian Penuntutan  Pasal 35 sub c Undang-undang No 16 Tahun 2004 menyatakan : “Jaksa  Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi  kepentingan umum”, selanjutnya marilah kita lihat juga pasal 14 (h) KUHAP :  “Penuntut Umum mempunyai wewenang untuk menutup perkara demi  kepentingan hukum” dan pasal 140 ayat (2) KUHAP : “Dalam hal penuntut umum  memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti  atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara  16 Ibid, hal. 97.
  ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat  ketetapan”.
Dari kedua peraturan tersebut diatas, kita dapat menarik pengertian tentang  deponering atau penyampingan perkara, yaitu : a.  Perkara dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum (pasal 140  ayat 2 (a) KUHAP) b.  Perkara ditutup demi hukum (pasal 14 (h) jo pasal 140 ayat 2 (a)  KUHAP) c.  Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi  wewenang Jaksa Agung (Undang-undang No 16 Tahun 2004)  Apabila hal ini kita kaitkan dengan hukum pidana materiil, maka  penyampingan perkara terdiri dari dua golongan yaitu : a.  Penyampingan perkara berdasarkan azas oportunitas  b.  Penyampingan perkara atas dasar penilaian hukum pidana  (strafrechtelijk) Namun kedua hal ini mempunyai perbedaan, oleh karena itu haruslah  dibedakan dengan jelas antara tindakan hukum penghentian penuntutan dengan  penyampingan perkara. Malah pada penjelasan pasal 77 KUHAP telah ditegaskan;  “yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan  perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”.
Terlepas dari kenyataan bahwa KUHAP masih memberi lubang  oportunitas dalam penegakan hukum, mari kita bicarakan dimana letaknya  perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara. Untuk    itu mari kita lihat perbedaan terpenting dari kedua tindakan hukum tersebut,  antara lain : Pada Penyampingan perkara (deponering), perkara  yang bersangkutan  memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan di muka sidang pengadilan. Dari  fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman.
Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini sengaja dikesampingkan dan  tidak dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum atas alasan “demi untuk  kepentingan umum”.
17 Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dan  penegakan hukum dikorbankan demi untuk kepentingan umum. Seseorang yang  cukup terbukti melakukan tindak pidana, perkaranya dikesampingkan dan tidak  diteruskan ke sidang pengadilan dengan alasan kepentingan demi kepentingan  umum. Itulah sebabnya azas oportunitas ini bersifat diskriminatif dan menggagahi  makna equality before the law atau persamaan kedudukan di depan hukum. Sebab  kepada orang tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum  tidak diperlakukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan.
Sedang pada penghentian penuntutan, alasan bukan didasarkan kepada  kepentingan umum, akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan  kepentingan hukum itu sendiri, yakni : 18 a.  Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang cukup  sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang pengadilan diduga  keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim atas alasan kesalahan yang  didakwakan tidak terbukti. Untuk menghindari keputusan pembebasan yang  17 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka  Kartini, hal. 470.
18 Ibid hal. 471.
  demikianlah maka lebih bijaksana penuntut umum menghentikan  penuntutan.
b.  Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana  kejahatan atau pelanggaran.
Setelah penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil pemeriksaan  penyidikan dan berkesimpulan bahwa apa yang disangkakan penyidik  terhadap terdakwa bukan merupakan tindak pidana, baik yang berupa  kejahatan atau pelanggaran, penuntut umum lebih baik menghentikan  penuntutan. Sebab bagaimanapun, dakwaan yang bukan merupakan tindak  pidana kejahatan atau pelanggaran yang diajukan ke muka persidangan, pada  dasarnya hakim akan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum  (onstag van rechtvervolging).
c.  Atas dasar perkara ditutup demi hukum.
Penghentian penuntutan atas dasar perkara ditutup demi hukum adalah suatu  perkara pidana yang terdakwanya oleh hukum sendiri telah dibebaskan dari  tuntutan atau dakwaaan, dan perkara itu sendiri oleh hukum harus ditutup  atau dihentikan pemeriksaannya pada semua tingkat pemeriksaan. Alasan  yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum, bisa didasarkan pada:    Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP) •  Atas alasan ne bis in idem (pasal 76 KUHP)    Terhadap perkara yang hendak ditutup oleh penuntut umum, ternyata  telah kadaluarsa sebagaimana yang diatur dalam pasal 78-80 KUHP.
Selain daripada hal yang disebutkan di atas, pada penghentian penuntutan,  perkara yang bersangkutan pada umumnya masih dapat lagi diajukan kembali    penuntutan, jika ternyata diketemukan alasan baru yang memungkinkan  perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan. Umpamanya diketemukan  bukti baru sehingga dengan bukti tersebut sudah dapat diharapkan untuk menjerat  terdakwa. Lain halnya pada penyampingan perkara, apabila telah sekali dilakukan  penyampingan perkara, maka tidak ada lagi alasan untuk mengajukan perkara  tersebut ke muka sidang pengadilan.
19 F.  Metode Penelitian 1.  Jenis Penelitian Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dapat dibagi dua : 20 a.  Penelitian hukum normatif.
b.  Penelitian hukum sosiologis empiris.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dilakukan dengan  pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap  permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada  norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
2. Data dan sumber data  Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data  sekunder yang dimaksud diperoleh dari :  a.  Bahan hukum primer.
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang  berwenang. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah : 21 •  Norma atau kaedah dasar.
19 Ibid, hal. 472.
20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normatif :Suatu  Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hal. 15.
21 Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada,  Jakarta, hal. 71.
    Peraturan dasar.
  Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyampingan  perkara pidana yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, KUHP,  KUHAP.
b.  Bahan hukum sekunder.
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau kajian yang  berkaitan dengan  penyampingan perkara pidana, artikel, hasil-hasil penelitian,  laporan-laporan, dan sebagainya, baik diambil dari media cetak dan media  elektronik.
c.  Bahan hukum tersier.
Yaitu  bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi  petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum  sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta  bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk  melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
3. Metode pengumpulan data Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam  pengumpulan data adalah metode library research (penelitian kepustakaan), yakni  melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan  seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang  dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.
4. Analisis data    Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa  dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan  dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan. Sedangkan metode induktif  dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan  topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan  penelitian yang dirumuskan.
22 G. Sistematika Penulisan Sistematika  penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab, dimana  masing-masing bab diuraikan permasalahannya secara tersendiri, namun dalam  konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis  penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya dalam beberapa bab  berikut ini ;  BABI PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, perumusan masalah,  tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,  metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II ASAS OPORTUNITAS SEBAGAI DASAR KEWENANGAN JAKSA  AGUNG YANG DAPAT MENJADI ALASAN PENGHENTIAN  PENUNTUTAN Dalam bab ini akan dibahas maksud dan tujuan azas oportunitas,sejarah  singkat azas oportunitas di Belanda dan Indonesia, tinjauan umum  22 Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada,  Jakarta, hal. 71.
  lembaga-lembaga peniadaan penuntutan, susunan, tugas dan wewenang  kejaksaan, serta alasan penghentian penuntutan..
BAB  III  PENGGUNAAN  ASAS OPORTUNITAS DALAM SISTEM  PERADILAN PIDANA BAGI PERKEMBANGAN HUKUM  PIDANA DI INDONESIA Dalam bab ini akan dibahas mengenai pertanggungjawaban dan  pengawasan penyampingan perkara, kendala-kendala yang dihadapi dalam  penyampingan perkara oleh jaksa serta upaya-upaya yang dilakukan dalam  rangka penyampingan perkara di Indonesia.
BAB IV PENUTUP Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai kesimpulan yang ditarik oleh  penulis berdasarkan hasil rangkuman dari keseluruhan isi dengan disertai  saran-saran terhadap permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
   

Download lengkap Versi Word

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi